Friday, March 03, 2006

Infojunkie, Jon Stewart dan Wawasan Intelektual Komedian Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Terorisme meningkatkan pariwisata. Anda pasti tidak percaya terhadap pernyataan ini, bukan ? Untuk memahami rumusan kontroversial ini, bayangkanlah diri Anda sebagai Dr. Azahari atau Noordin Mohd. Top. Kemudian bayangkan apa yang segera mereka kerjakan setelah terjadi peristiwa Bom Bali 1 dan Bom Bali 2 ?

Mereka pasti segera aktif melakukan kegiatan pariwisata. Rajin berpindah-pindah lokasi dengan mengunjungi banyak kota di Indonesia. Demi menghindari kejaran agen-agen Detasemen 88 yang hendak meringkus mereka !

Bagi saya, terus terang, pariwisata adalah dunia alien, dunia asing yang tidak terlalu akrab dengan diri saya. Ada salah seorang wanita terindah saya, Widhiana Laneza, berkiprah dalam dunia pariwisata. Menjadi eksekutif pemasaran di Hotel Tugu dan Exotic Spas di Bali. Tetapi hal itu baru saya ketahui ketika ia secara mendadak dan dalam momen menggetarkan, kembali menghadap Illahi, 20 Desember 2005 yang lalu.


Baiklah. Perjalanan pariwisata terakhir yang saya lakukan sudah berlangsung setahun lalu. Januari 2005. Yaitu ketika berperan sebagai seorang football flaneur, istilah eksotis dari kritikus dan penyair Perancis, Charles Baudelaire (1821–1867), yang berarti sebagai wisatawan sepakbola.

Saat itu dalam peran sebagai suporter sepakbola yang mendukung Tim Nasional Indonesia di Final Piala Tiger 2004/2005, saya bersama Mayor Haristanto yang pendiri Pasoepati Solo, ikut mendidih rasa nasionalisme kami ketika bergabung dengan sesama suporter sepakbola Indonesia di National Stadium Kallang, Singapura.

Esoknya, sambil menikmati kopi pagi di lobi Quality Hotel di bilangan Balestier Road, saya senyum-senyum membaca koran The Straits Times (17/1/2005). Karena nama saya dan pendapat saya tentang masa depan sepakbola Indonesia di bawah pelatih kepala Peter Withe, muncul di koran terpandang negaranya Lee Kuan Yew itu.

”The future is still bright.
Peter Withe is a good coach and motivator.
We can bounce back”

(Bambang Haryanto, Indonesia Fan).

Usai sarapan itu kemudian kami melakukan jalan-jalan wajib sebagai “turis melayu.” Tidak lain harus ke Orchard Road. Saya khusus mengunjungi tempat rekreasi paling favorit, yaitu jaringan toko buku kelas dunia : Borders dan Kinokuniya.

Sayang, judul-judul buku yang saya incar dengan subjek menarik yang pernah dikenalkan oleh Tika Bisono dan Mas Ito (Prof. Sarlito Wirawan Sarwono) kepada saya, yaitu knowledge management, tidak saya temui. Padahal toko buku ini benar-benar bikin ngiler karena mampu menampung puluhan ribu judul buku, mengingat luas ruangannya mendekati luas lapangan sepakbola.


Pak Yono Street University. Toko buku memang selalu menjadi tempat main favorit saya. Termasuk ketika belasan tahun memiliki kartu tanda penduduk sebagai warga Jakarta sejak tahun 1980. Semula main saya adalah ke Toko Buku Gramedia di Gajahmada.

Lalu ketika mereka buka di Blok M saya pun pindah ke sana. Di sini saya pernah ketemu dan bertukar lelucon dengan Gus Dur saat saya membeli buku kumpulan humor, 25/10/1986.

Pernah pula bertemu kembali, secara tak terduga, dengan Miduk, putri Solo jelita, berdarah biru, wanita terindah saya lainnya. Pertemuan yang kembali membuat saya patah hati. Matanya masih berkilauan, cinta lama masih berkobaran, tetapi ia kini sudah milik orang.

Ketika Toko Buku Gramedia buka gerai baru di Matraman, saya merasa beruntung. Tinggal saya di Rawamangun, membuat lokasi baru itu lebih dekat untuk dijangkau. Toko Buku Gramedia ini kadang agak terlambat dalam menyediakan buku-buku teknologi informasi terbaru, topik favoritku di tahun 90-an akhir. Saya lalu mencarinya di Times Bookshop, Indonesia Plaza. Judul-judul majalah luar negerinya di sini juga lebih banyak ragamnya.

Selain di toko-toko buku, untuk majalah-majalah luar negeri saya memiliki tempat belanja favorit lain yang juga asyik. Di lapaknya Pak Yono, Bang Japrak dan Mas Solikin, di depan Gedung PMI, Kramat Raya. Saya menyebutnya sebagai kampus baru, tempat kuliah baru. Universitas Jalanan Pak Yono.

Mereka mendapat pasokan majalah-majalah itu dari hotel. Majalah Time, Newsweek, Asiaweek, Far Eastern Economic Review, Business Week, Economist, sampai Fortune, kadang hanya berselang seminggu dari tanggal terbitnya sering sudah bisa terbeli di sini. Kalau di toko harga bandrolnya 6-10 ribu, di lapak ini seribu rupiah bisa mendapat 3-4 majalah.

Majalah Reader’s Digest berjibun. Harganya lebih murah dibanding majalah serupa yang terbit dalam negeri : Intisari. Belum lagi bila serasa mendapat durian runtuh, karena bisa menemukan majalah top seperti Wired sampai Harvard Business Review.


Ketika di Solo terjadi aksi sweeping untuk turis asing dan di Jakarta merebak demo anti Amerika, ternyata memunculkan dampak yang tidak saya duga. Pasokan majalah untuk universitasnya Pak Yono juga ikut macet. Dan saya ikut kesulitan mengakses informasi-informasi baru dari luar negeri pula.

Apalagi Internet saat itu masih hanya dimonopoli pemakaiannya oleh fihak militer AS. Tim Berners-Lee dan kawan-kawan belum meluncurkan teknologi web, karya saktinya ke masyarakat luas.

Begitulah, kalau ada kesempatan main ke Jakarta, selain mampir ke sofa empuknya QB World of Books, toko buku merangkap cafe itu di Jl. Sunda, belakang Sarinah itu, pasti saya menyempatkan bersilaturahmi ke kampus Pak Yono Street University dan koleganya di Kramat ini.

Apalagi pak Yono adalah orang Sragen yang merantau ke Jakarta sejak 1957. Mungkin bagi dia silaturahmi semacam ini bisa agak menggembirakan dirinya, berbau nostalgia, karena kami ngobrolnya memakai bahasa Jawa.


Host Oscar 2006. Kegetolan saya terhadap buku dan majalah itu mungkin dalam bahasa prokem mendapat julukan sebagai infojunkie. Pemabuk informasi. Pemulung informasi. Sebutan tersebut hari-hari ini bisa saya temukan kembali ketika saya membaca-baca di Internet tentang sosok Jon Stewart, komedian Amerika Serikat, yang terpilih untuk memandu acara Oscar 2006, Minggu (5/3/2006).

Deborah White menulis bahwa Jon Stewart adalah komedian politik. Ciri khas shownya membuat ia dijuluki sebagai ikon "the most trusted name in fake news.” Nama terpercaya untuk berita-berita boongan.

Ia berani, brilyan, humor politiknya tajam menggigit dalam menyuarakan rasa frustrasi rakyat Amerika. Terutama terhadap kebijakan salah langkah dan sikap munafik pemerintahan Bush, juga tingkah konyol politisi lainnya dan kebijakan yang mereka jatuhkan.

“Anda tahu, bila saya menghimpun sekeping receh setiap kali Bush menyebut peristiwa 11 September, maka saya dapat mengumpulkan uang cukup besar untuk hadiah memburu Osama Bin Laden.”

Ucapan pedas Jon Stewart itu dinilai kritikus dan kolektor humor terkenal Daniel Kurtzman sebagai satu di antara 25 Kutipan Lelucon Paling Lucu Tahun 2005.

Bush sudah menjadi rahasia umum di Amerika Serikat sebagai presiden yang kedodoran dalam bernalar dan berbahasa. Ketika aktor berotot asal Austria, bintang film Terminator, diangkat menjadi Gubernur California, maka keduanya pun segera menjadi bulan-bulanan lelucon Jon Stewart.

“Presiden Bush minggu lalu melucukan suasana pertemuannya dengan Schwarzenegger dengan menyebut bahwa mereka berdua sering salah ucap dalam berbahasa Inggris. Tuan Presiden, ingatlah, Schwarzenegger itu berasal dari negeri asing.”


Siapakah Jon Stewart ? Deborah White meneruskan bahwa Jon Stewart (aslinya : Jonathan Stuart Leibowitz), pembawa acara talkshow tersohor “The Daily Show” itu adalah warga New York, kelahiran Lawrenceville, New Jersey, 28 November 1962.

Dalam berhumor ia adalah komedian yang suka mengejek dirinya sendiri. Ayahnya adalah ahli fisika dan ibunya seorang guru, sehingga pendidikan dinilai tinggi dalam keluarga ini. Jon Stewart adalah pribadi privat, sangat jarang menceritakan kehidupannya kepada publik.

Ia menikah di tahun 2000 dengan Tracey McShane. Dikaruniai putra, Nathan (Juli 2004) dan anak perempuan, Maggie (Februari 2006). Jon dikenal workaholic, susah tidur, news junkie, pelahap berita, dan bekas perokok berat yang bisa berhenti pada tahun 2000. Untuk ukuran orang Barat, pria keturunan Yahudi ini boleh disebut pendek. Tingginya 170 cm.

Di SMA, gerak-geriknya yang suka humor sudah menunjukkan bakat yang menonjol. Ia meraih ranking ketiga ketika lulus dan terpilih sebagai siswa terbaik selera humornya. Ia kemudian berkuliah di College of William & Mary, Virginia, semula mengambil jurusan kimia, lalu pindah ke Psikologi.

Ia juga aktif menjadi anggota tim sepakbola kampusnya. Menurut Wikipedia, ia tercatat pernah membuat sepuluh gol dan 12 asis. Yang menarik, kependekan dari nama keluarga Yahudinya yang ia buang, “Leibo” kini di kampusnya menjadi nama anugerah tahunan bagi anggota tim sepakbola kampusnya yang menunjukkan kedewasaan dan mampu menghadirkan tawa untuk seluruh anggota timnya.

Jon Stewart bahkan pernah melatih sepakbola di SMA Gloucester di Virginia. Tahun 2006 ini ia memperoleh anugerah kehormatan All-America Award dari Asosiasi Pelatih Sepakbola Nasional Amerika Serikat.

Tahun 1986, ia mengadu nasib dan karier komedinya ke New York. Ia tampil di pelbagai sirkuit komedi di kota yang berjulukan Big Apple tersebut. Kariernya pun melambung.

Tahun 1999 ia tampil sebagai pembawa acara The Daily Show on Comedy Central menggantikan Craig Kilborn. Ia dibantu koresponden yang juga jenakawan seperti Stephen Colbert and Rob Corddry (baca artikel “Dick Cheney, Humor Politik, dan Posisi Tiarap Komedian Indonesia” di posting saya sebelumnya).

Tahun 2005, The Daily Show dan Jon Stewart mendapat anugerah 2 Emmy Awards. Juga anugerah sebagai Best Comedy Album Grammy Award untuk buku audionya yang berjudul America (The Book): A Citizen's Guide to Democracy Inaction. Buku ini masuk daftar buku laris koran The New York Times selama 46 minggu. Juga mendapat penghargaan Thurber Prize kategori Humor Amerika.

Tetapi Jon Stewart pernah pula mengalami peristiwa pahit, ketika menjadi pembawa acara Grammy Award 2001 di mana leluconnya mendapat cemoohan pengunjung. Dengan jujur ia menanggapinya dengan kearifan. “I feel your scorn and I accept it.”. Saya merasakan cemoohan Anda dan saya menerimanya. Kejadian itu justru membuat dirinya semakin tegar untuk meraih kedudukan sebagai komedian besar.


Apa keteladanan dirinya yang dapat dipetik oleh kalangan komedian di Indonesia ? Silakan Anda memberikan pendapat. Saya hanya ingin membuka-buka lagi isi majalah Reader’s Digest (3/1988), yang saya beli dari lapak majalah bekasnya Pak Yono di trotoir jalan bilangan Kramat, Jakarta. Artikel itu membahas seluk-beluk industri hiburan dan terkait dengan daftar artis-artis berpenghasilan tertinggi di Amerika Serikat saat itu pula.

Bill Cosby (57 juta dolar). Michael Jackson (31). Charles “Snoopy” Schulz (30). Eddie Murphy (27). Bruce Springsteen (27). Madonna (26). Whitney Houston (24). Steven Spielberg (23). Sylvester Stallone (21) dan Johnny Carson (20).

Saya kemudian terpana membaca penjelasan dalam bagian akhir artikel tersebut yang secara tegas menyatakan bahwa saat ini entertainment is intellectual property, just like computer software or patented pharmaceuticals. Hiburan merupakan karya cipta intelektual, seperti halnya peranti lunak komputer atau obat-obatan yang dilindungi hak paten.

Hiburan merupakan kiprah yang serius. Merupakan lahan kiprah intelektual. Kalau dalam daftar tadi nama komedian ternyata menduduki peringkat paling tinggi, semoga komunitas komedian Indonesia kini dapat terbuka cakrawala pemikirannya, mampu mencerna penjelasan tadi, dan kemudian bereaksi secara cerdas pula berusaha memenuhi tuntutan perubahan jaman yang terjadi.

Melawak itu mensyaratkan kecerdasan. Jon Stewart telah membuktikannya. Semoga saya tidak hanya bermimpi bahwa pelawak yang cerdas sungguh pula sangat dinanti kehadirannya di negeri ini. Semoga saya tidak sendirian dalam bermimpi !



Wonogiri, 4 Maret 2006.

No comments:

Post a Comment