Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Ditusuk berkali-kali. Ada 38 saksi mata ketika Kitty meregang mati. Gadis peserta kontes kecantikan itu dikejar-kejar para pembunuh bayaran dan dianiaya sampai tiga kali di jalanan. Selama lebih dari setengah jam. Tetapi saksi-saksi itu tidak berbuat apa-apa ketika pembunuhan itu terjadi. Bahkan juga berbuat apatis yang sama ketika pembunuhnya itu meninggalkan tempat kejadian dan lalu kembali ke tempat semula untuk menusuk si Kitty yang malang itu berkali lagi.
Kejadian mengerikan yang menimpa Chaterine Genovese pada tahun 1964 di Queens, New York itu, sering diungkap kalangan sosiolog sebagai sisi gelap sebuah kehidupan kota besar yang dingin, tidak pedulian dan rendah responsibilitas sosialnya terhadap warga lainnya. Anonimitas dan keterasingan dalam kehidupan kota besar membuat orang jadi keras dan tidak berperasaan.
Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Difference (2000), memperkaya analisis peristiwa di atas dengan fenomena yang ia sebut sebagai bystander problem atau masalah kecenderungan sebagai penonton. Ia mengutipnya dari hasil kajian psikolog sosial New York City, Bibb Latane dari Universitas Columbia dan John Darley dari Universitas New York. Temuan keduanya mengejutkan, bahwa kecenderungan orang untuk menolong orang lain ditentukan oleh berapa banyak saksi dalam suatu kejadian.
Dalam sebuah eksperimen, kedua ahli itu mengatur agar seorang mahasiswa di sebuah apartemen berpura-pura kena serangan ayan. Apabila tetangga itu hanya satu orang dan orang itu tahu tidak ada orang lain di sekitar tempat kejadian, peluang dirinya untuk langsung memberikan bantuan adalah 85 persen. Tetapi jika dia tahu ada empat tetangga lain ayng menurut perkiraannya juga mendengar gejala serangan ayan, peluang untuk mendatangi si sakit itu hanya 31 persen.
Kesimpulannya, ketika saksi mata tidak sendirian maka tanggung jawab untuk mengambil tindakan menjadi menyebar. Masing-masing mengandaikan ada seseorang di antara mereka akan menolong atau menelepon. Atau masing-masing mengandaikan bahwa karena tidak ada yang bertindak, berarti peristiwa yang terjadi--suara orang mengerang atau asap mengepul dari bawah pintu—bukan masalah serius. Untuk kasus Kitty Genovese, kedua psikolog social itu berkesimpulan bukan “tidak ada orang menelpon kendati 38 orang mendengar gadis itu berteriak,” melainkan “tidak ada orang menelpon karena ada 38 orang sama-sama mendengarnya berteriak.”
“Ironisnya,” begitu Malcolm Gladwell menggumam, “kalau saja ia diserang di jalanan sepi dan seseorang yang melihatnya tahu tidak ada orang lain menyaksikan atau mendengar kejadian itu, sang gadis mungkin masih hidup.”
Catherine Genovese yang malang. Tragisnya, tragedi bystander problem yang menimpanya itu sepertinya kembali terjadi kini. Memang bukan menimpa seseorang. Tetapi menimpa dunia komedi kita. Komedi Indonesia.
Menihilkan logika. “Sejak dua tahun lalu, mantan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Andi Hakim Nasution merasa sangat terganggu dengan tayangan serial komedi di televisi yang meremehkan nalar manusia sehat seperti serial Tuyul dan Mbak Yul. Tidak bisa dibayangkan reaksi mantan Rektor IPB itu menyaksikan tayangan sejenis malah bertebaran di berbagai stasiun televisi saat ini.”
Itulah awal tulisan di harian Kompas, 16/4/2001. Surut ke belakang lagi, adalah tulisan Darminto M Soedarmo yang telah pula mengutip pendapat analis politik Wimar Witoelar. Menurut Wimar Witoelar (Kompas, 16/2/1996), dunia lawak kita kian tidak lucu dan cenderung dilucu-lucukan.
Tahun-tahun lalu, catat Darminto, masalah tersebut telah diangkat Kompas dalam serial berita polemis yang mengutip komentar beberapa tokoh dan cukup memberikan ragam warna dan persepsi. Apakah sinyalemen ahli statistik asal IPB yang kini sudah almarhum itu dan kritik analis politik berambut kribo yang masih sehat dan jenaka itu masih relevan dengan konstelasi dunia tayangan komedi kita di media massa saat ini ? Anda bisa menjawabnya.
Yang pasti, mashab menihilkan akan sehat dan cenderung dilucu-lucukan, masih saja lestari sebagai dosa dunia komedi kita yang belum tertebus hingga saat ini. Mungkin beberapa contoh ini cukup menggelitik.
Tanpa kredibilitas ! Awal tahun ini rumah produksi MD Pictures meluncurkan film yang disebut dalam rilis sebagai bergenre komedi romantis. Judulnya, Namaku Dick yang diproduseri Dharmoo dan Manoj Punjabi. Film ini disutradarai Teddy Soeriaatmadja yang sekaligus merangkap sebagai penulis skenario. Inti kelucuan yang ingin diaduk dalam film ini bahwa penis (dick) sang pelaku utama, bisa bicara. Musibah itu terjadi gara-gara ia mendapatkan kutukan dari seseorang gadis yang ia kecewakan karena ulah playboynya selama ini.
Penis bisa bicara, itu lucu ? Mungkin dirasakan lucu oleh Dharmoo, Manoj Punjabi, dan Teddy Soeriaatmadja. Tetapi menurut saya cerita itu tidak lucu. Juga tidak lucu di mata rata-rata audiens yang memiliki akal sehat. Karena cerita itu memang tidak memiliki kredibilitas. Kalau suhu komedi Gene Perret pernah bilang bahwa resep nomor satu dalam komedi haruslah mencerminkan realitas, the truth, maka film Namaku Dick itu telah mengingkari aksioma satu ini. Karena premisnya tidak terpercaya.
Dalam komedi, penonton senantiasa ingin diyakinkan untuk bisa mempercayai apa yang ia tonton atau dengar. Hanya dengan cara ini akan memudahkan penonton dalam meresapi sajian, tontonan atau lawakan tersebut. Untuk kasus semacam ini, kiranya tak ada salahnya bila kita mau bercermin dan belajar dari seorang Tom Shadyac.
Siapakah dia ? Tom telah sukses menyutradarai film-film yang dibintangi para komedian sekelas Eddie Murphy, Jim Carrey, sampai Robin Wiliams. Misalnya saja film The Nutty Professor, Liar Liar, Ace Ventura, dan Patch Adams. Sebelum menjadi sutradara, Tom Shadyac melakoni hidup sebagai komedian tunggal setelah belajar dari Judy Carter, mentor komedi terkenal. Jadi ia tahu akan sari pati dunia komedi. Sedangkan Teddy Soeriaatmadja, misalnya, pernahkah ia belajar secara serius mengenai komedi ?
Nampaknya tidak hanya dia yang perlu memperoleh penyegaran pemahaman mengenai kosmologi dunia komedi. Bahkan seseorang yang punya nama besar di dunia televisi, yaitu Naratama. Juga rekan-rekan se-korpsnya. Ketika ia menulis mengenai resep fenomena suksesnya Tukul Arwana, contoh kecil saja, ia menyebut Tukul sebagai seorang standing comedan. Untung ia kemudian mendapatkan koreksi dari Isman H. Suryaman, termasuk meluruskan pendapatnya mengenai kegagalan Taufik Savalas (oleh Narotama disebut sebagai Mat Solar) dalam berkomedi solo.
Narotama menulis, “Tukul muncul bak seorang standing comedian yang melucu seorang diri, tanpa perlu umpan, tanpa perlu lawan. Gaya melawak standing ini pernah dicoba oleh Mat Solar, tapi gagal ? Karena Mat Solar tidak punya lawan sehingga sering bingung, mencari lawan, akhirnya menjadi basi.”
Isman menjawab : “Menurut saya, stand-up comedian atau komedian solo, justru tidak membutuhkan ‘lawan’. Sejatinya, komedian solo ya sendirian berhadapan dengan penonton. Mengandalkan materi dan latihan. Tidak ada umpan. Dialah yang harus menjadi umpan bagi diri sendiri. Dan seorang komedian solo harus selalu berada dalam karakternya (stay in character). Almarhum Taufik Savalas (bukan Mat Solar) gagal dalam usahanya merintis jalur stand-up ini karena dua hal :
a) Materi yang lemah : Lelucon yang diambil dari Internet lantas dibawakan satu per satu bukanlah materi komedian solo yang baik. Stand-up comedian Barat yang masih bertahan dengan gaya ini bisa dihitung dengan jari. Salah satunya Mitch Hedberg. Yang lainnya sudah beralih ke opini atau pengalaman diri yang dibawakan dengan karakter kuat, seperti Chris Rock, Robin Williams, maupun (Jerry) Seinfeld.
b) Pembawaan dengan gaya komedian berkelompok, yang masih mengandalkan umpan, lelucon, celetukan. Padahal seharusnya mengandalkan kepribadian/karakter. Dalam hal ini, ketidaksiapan ini berlaku di dua sisi. Selain komedian kita belum ada yang siap, penonton kita juga belum terbiasa dengan budaya komedian solo ini. “
Terima kasih, Isman.
Komedian solo, menurut Jay Sankey dalam bukunya Zen and The Art of Stand-Up Comedy (1998, “thanks Danny Septriadi, untuk hadiah bukunya yang revolusioner ini”), merupakan sosok filsuf bawel, blak-blakan, pemimpi anarkis dan pahlawan sosial. “Strong individuals rather than group members, with a burning desire to share what they think and feel,” tegas Jay Sankey lebih lanjut.
Dalam lanskap komedi Indonesia yang masih kuat dicengkeram budaya Srimulatan atau lenong, memang sulit ditemui komedian dengan kualitas strong individual yang mampu terbang sendirian sebagaimana seekor garuda. Melainkan mereka akan selalu mencari rasa aman, menghindari resiko, sebagai group members yang bermain secara keroyokan. Ibarat barisan sekumpulan bebek-bebek yang riuh belaka.
Sehingga ketika mereka menyajikan suguhan komedi di televisi, yang menihilkan akal sehat sekali pun, respons positif akan pula selalu bisa mereka raup. Tidak lain berupa hamburan tawa-tawa riuh, tawa-tawa kalengan yang gaduh. Baik yang diproduksi secara elektronik atau pun yang bersumber dari orkestrasi puluhan mereka yang bangga berjaket sebagai mahasiswa.
Menyedihkan. Semua itu membuat komedi Indonesia terancam mengalami nasib tragis sebagaimana dialami oleh Kitty juga. Tawa-tawa yang terburai dari tayangan komedi di televisi-televisi kita, tidak lain ibarat tusukan belati demi belati yang mengakhiri hidup komedi itu sendiri. Tragisnya lagi, kita semua yang menonton adegan itu tidak berbuat apa-apa untuk menolongnya.
Wonogiri, 26/10-15/11/2008
ke
Monday, October 27, 2008
Tragedi Kitty, Tragedi Komedi Kita ?
Label:
catherine genovese,
gene perret,
isman h suryaman,
jay sankey,
judy carter,
kitty,
komedi keroyokan,
komedi solo indonesia,
lenong,
malcolm gladwell,
narotama,
srimulatan,
taufik savalas,
tom shadyac
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment