Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Kodok beracun. “Ada nasib baik, juga ada nasib buruk,” demikian jawab peramal kepada seekor kodok yang ingin mengetahui masa depannya. “Nasib baiknya, kau akan bertemu gadis-gadis SMA.” Hati kodok pun menjadi berbunga-bunga. Lalu apa nasib buruknya ?
Sang peramal pun meneruskan dengan berbisik : “Gadis-gadis itu menemuimu di lab biologi sekolahnya.”
Katak yang malang. Mungkin bisa disebut bernasib kurang beruntung. Atau ia justru lebih beruntung bila dibandingkan nasib katak yang mati secara mengerikan dalam acara talk-show komedi Empat Mata, Rabu 29 Oktober 2008 di stasiun televisi Trans 7 yang lalu itu.
Merujuk cerita AS Ode di Suara Merdeka (2/11/2008 : 32), saat itu Tukul Arwana menghadirkan Sumanto dan Lina. Hadir pula ibu dan guru mengajinya Sumanto, pendamping Lina, serta kriminolog Adrianus Meliala untuk mengomentari kasus mutilasi, yang menurutnya merupakan cantolan berita yang tidak nyambung dengan kasus Sumanto, sang pemakan mayat, yang menghebohkan dulu itu.
Adegan mengerikan terjadi ketika kamera dengan polos mensyut Lina, sang pemakan binatang hidup, menangkap katak dalam toples lalu memakannya hidup-hidup. Tak hanya penonton yang menunjukkan rasa ngeri dan lebih dari itu jijik (hingga ada yang mau muntah), tapi juga Tukul.
Buntut dari tayangan ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menghentikan sementara program Empat Mata sejak surat itu dikeluarkan, 4/11/2008. KPI menilai adegan makan kodok dalam acara itu sudah kelewat batas. Juga melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) yang antara lain melarang tayangan yang mengandung adegan sadistis, mengagungkan kekerasan dan adegan penyiksaan terhadap binatang.
Dikutip dari Kompas (9/11/2008 : 22) tersaji data bahwa tayangan Empat Mata sebelumnya sudah menerima tiga surat teguran tertulis dari KPI, yakni 5 Mei 2007, 27 September 2007 dan 25 Agustus 2008. Surat-surat teguran itu dilayangkan karena Empat Mata beberapa kali menampilkan adegan dan lelucon berbau seks secara eksplisit.
“Sejak awal memang sudah diramalkan, Empat Mata yang hanya mengandalkan kelucuan-kelucuan artifisial bakal kalah jauh dari talk show lain semacam Kick Andy yang lebih bertumpu pada isi,” catat AS Ode lagi. Sehingga, menurutnya, persaingan yang sengit dalam upaya mempertahankan rating di antara tontonan televisi yang ada telah mendorong tim kreatif Empat Mata malah “terlalu kreatif.”
Beberapa waktu lalu mereka mendandani Tukul berikut Pepi dan kru yang lain dengan pakaian yang aneh-aneh. Mereka membuat latar dengan aksesori yang aneh-aneh juga. Tak berbeda dari cara pelawak “tradisional” menarik perhatian penonton berpakaian mencolok, bahkan kalau perlu di luar kelaziman. Upaya yang ternyata kian menegaskan, demikian simpul AS Ode, bahwa Empat Mata memang tak menyuguhkan isi, tapi cuma wadah.
Perempuan berjanggut. Saya bukan penonton setia tayangan Empat Mata. Pada awal pemunculannya, yang mendapat liputan menggebu dari media, saya pernah menyaksikan ketika menghadirkan bintang tamu pencipta lagu dan penyanyi Melly Guslaw. Saya hanya mampu mengingat untuk menafsirkan senyum-senyum kecil Melly, yang nampak agak terpaksa karena tuntutan sopan santun belaka, ketika Tukul melontarkan lawakan-lawakannya. “Kasihan deh lawakan-lawakan lu.” Hanya kalimat itu yang tergores di benak saya saat itu.
Terkait adegan makan kodok itu, kini menyusul kalimat lain. Dari Susan Shaughnessy. Ia menuliskannya dalam buku Walking on Alligators : A Book of Meditation for Writers (1993). Buku menarik ini telah diterjemahkan menjadi Berani Berekspresi atau Aku Bisa Menulis : Buku Meditasi Untuk Para Penulis (MLC, 2004).
“Anak sapi berkepala dua dan wanita-wanita berjanggut merupakan bahan untuk karnaval dan tabloid di supermarket. Tidak ada salahnya tertarik pada yang luar biasa. Tetapi yang luar biasa itu, anehnya, tidak bertahan lama. Kita tidak membaca tentang itu atau menonton pertunjukan seperti itu setiap hari. Sebentar saja dia sudah membosankan dan kehilangan daya tariknya,” tutur Susan Shaughnessy.
Hal yang biasa, lanjut Susan, menarik minat kita lebih lama. Kehidupan sehari-hari yang biasa, yang kita tahu benar-benar terjadi, merupakan bahan tulisan yang lebih menarik, yang tidak akan membuat kita bosan. Anak-anak pembangkang, kekasih yang dikecewakan, niat terbaik, harapan dan kekecewaan, hal-hal inilah yang diketahui dan dipedulikan pembaca.
Dalam ranah komedi, menurut Gene Perret, topik-topik biasa di atas mencocoki salah satu rumus universal komedi : karena beragam persoalan tersebut relevan bagi kita semua. Semua komedi memang harus relevan. Apa yang mereka sajikan kita dapat memiliki kaitan dengannya.
Atau dalam bahasa Garin Nugroho, dikutip Kompas (16/4/2001 : 28), sambil merujuk komedi situasi Cheers yang ia sebut “ada harunya, ada persahabatan dalam pertentangan yang hebat. Juga ada penerimaan yang tulus ketika mengetahui satu teman dekat kita memiliki preferensi seksual yang berbeda, sehingga dalam tontonan itu kita mendapat suatu hubungan yang bersahaja, tetapi mampu menggerakan indera kita.”
Kreator komedi Indonesia, dengan mengambil contoh tayangan makan kodok dalam Empat Mata itu, menunjukkan mereka masih mengalami kesulitan besar untuk mengolah hal-hal yang biasa, hal-hal yang bersahaja itu. Mereka justru tergoda untuk mengaduk-aduk hal-hal yang artifisial, aneh-aneh, merekayasa segala bentuk kepalsuan, ketidakwajaran, dan segala hal yang bertentangan dengan akal sehat.
“Pikiran picik hanya tertarik pada hal-hal yang luar biasa, pikiran cerdas tertarik pada hal-hal yang biasa,” demikian ucap penulis Amerika Elbert Hubbard (1859–1915) yang juga dikutip oleh Susan Shaughnessy Ucapan itu kiranya paling cocok untuk menggambarkan pola pikir para kreator komedi Indonesia dewasa ini.
Pikiran picik dapat pula diumpamakan sebagai katak dalam peribahasa Jepang, yang selama hidupnya selalu berada di kubangan sehingga dirinya tidak tahu apa-apa tentang lautan luas. Katak dalam tempurung.
Hemat saya, momentum dari tragedi tayangan makan kodok di Trans 7 dan hukuman keras KPI itu, seharusnya mampu mendorong komunitas kreator komedi di televisi-televisi kita untuk mawas diri. Syukur-syukur ikut juga menggandeng PASKI yang mati suri, untuk sama-sama berani keluar dari kubangan ignoransi yang mengungkungnya selama ini.
Tanpa adanya niat untuk melakukan revolusi pola pikir pada diri mereka, maka tidak ada salah kiranya bila tanggal penayangan Empat Mata edisi kelewat batas itu, 29 Oktober 2008, dapat kita daulat sebagai hari puncak dari hari-hari panjang kematian komedi Indonesia !
Wonogiri, 18/11/2008
ke
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment