Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
PASKI.
Persatuan Seniman Komedi Indonesia.
Ketua Umum : Indro Warkop.
Sekretaris Jenderal : Miing Bagito.
"Jujur saja, selama periode kepengurusan mereka, saya belum melihat atau mendengar ada sesuatu yang penting dicatat, sebutlah tonggak atau jejak yang penting bagi peningkatan kualitatif SDM pelawak kita."
Penilaian di atas itu telah disampaikan oleh Darminto M Sudarmo (foto) dalam catatan di akun Facebooknya (7/12/2010) yang berjudul Menjadi Pelawak, Enak atau Tidak Enakkah?
Judul artikel itu mungkin dibuat agar provokatif bagi pembaca, walau senyatanya topik tulisannya menukik ke hal yang lebih fundamental. Karena sarat berisi gugatan dirinya tentang kondisi dunia komedi kita saat ini.
Dengan tajam mantan pemimpin redaksi majalah HumOr ini mengungkap meruyaknya pola pikir kalangan pelaku dunia komedi kita yang pada umumnya mencampuradukkan kualitas karya dengan kualitas dalam parameter dagang.
"Di dalam parameter dagang, apa yang disebut bagus, bermutu adalah yang DISUKAI atau BISA MEMUASKAN konsumen. Di sinilah paradoks itu terjadi. Silang sengkarut pendapat merebak, salah paham, saling menafikan dan mau menangnya sendiri tak terelakkan lagi," tandasnya.
Bahkan ia pun merujuk ucapan Miing misalnya : "Eh, kalau dengan begini lawakan gue udah laku, ngapain sih repot-repot mikirin yang aneh2 dan belum tentu laku."
Pesan penting lainnya yang ia gelar adalah wacana mengenai kerasnya pergulatan seniman, seniman apa pun termasuk kreator komedi, dalam proses penciptaan karya-karya yang unggul.
Ia merujuk contoh kartunis andal kita, G.M. Sudarta, di mana "di balik tiap karya kartun/karikatur yang bagus, berjejer rak-rak buku tebal yang memaksa si kartunis rajin-rajin menyimak dan menelaahnya."
Kreator memang nampak seperti perangai seekor bebek. Ia nampak tenang mengapung di permukaan air, tetapi yang di bawah permukaan terdapat ribuan ayunan gerak dua kaki yang bekerja sangat keras untuk membuat dirinya melaju.
250 Ribu Karya Lawakan. Kaki-kaki yang bekerja keras di bawah permukaan itu, bila merujuk para pelaku dunia komedi di negara maju, dapat tercermin dari beberapa pendapat mereka.
Misalnya, seorang Jerry Seinfeld punya kredo : "Menulislah sampai jari-jarimu sakit !" Mentor komedi Judy Carter selalu berseru : "Menulislah setiap kali bangun pagi, bahkan sebelum kau pergi ke belakang untuk beol atau mandi."
Bahkan sudah menjadi rumus pekerjaan, penulis komedi harus bekerja delapan jam dalam sehari !
Pentingnya drill secara spartan yang ditujukan untuk memperkuat muscle memory (myelin) itu, demikian kata Rhenald Kasali, merupakan kunci setiap insan dan juga bangsa dalam meraih keunggulan dan keberhasilan. Dunia pendidikan kita yang terlalu berat sebelah dengan menganakemaskan olah untuk memperkuat brain memory, tak lagi cukup.
Tak ayal, di manca negara terdapat sosok seorang komedian bernama Richard Lewis yang harus menyewa safe deposit box di bank. Agar koleksi 250.000 judul lelucon karyanya aman tersimpan di dalamnya !
Bagaimana komedian kita ?
Ada dua kelompok komedian terkenal, di mana untuk menulis biografi mereka sendiri saja harus menyewa penulis. Komedian yang tidak menulis itu jelas bakal tidak mampu menghayati apa yang menjadi pergulatan seorang GM Sudarta, kartunis senior Indonesia, seperti diungkap Mas Darminto di atas.
Di Indonesia memang begitulah panggungnya. Saya kutipkan lagi (karena memang sering saya kutip) ujaran Dr. Sudjoko (almarhum) dari ITB, bahwa : "Semua yang kita kenal sebagai pelawak, badut, bodor, klontangan, ludruk dan sebagainya adalah pelakon, orang panggung, orang tontonan. Bukan penulis, bukan sastrawan. Dalang juga bukan penulis. Semua tidak mampu menulis."
Serigala saling cakar. Semoga gedoran dari Mas Dar ini bisa sampai ke telinga PASKI yang konon akan berkonggres.
Untuk momen penting itu saya ingin titip bisikan. Tentang ujaran seorang Patrick Bromley, pengelola blog komedi di bawah koran The New York Times. Ia berkata bahwa komedi itu komunitas, warganya guyub, saling membantu untuk meraih sukses secara bersama.
Gotong royong ternyata malah subur di Amerika Serikat sana. Contoh ekstrim : komedian muslim Amerika Serikat keturunan Mesir, Ahmed Ahmed ("bila divonis sebagai teroris Islam, saya akan dihukum DUA kali lipat," guyonnya) dan Rabbi Bob Alper yang jelas-jelas Yahudi, berkolaborasi melakukan tur lawak bareng untuk menyiarkan kerukunan beragama melalui komedi.
Semangat guyub antarkomedian kita di sini, boleh jadi dicerminkan dari kehadiran dan ketidakhadiran organisasi mereka, yaitu Persatuan Seniman Komedi Indonesia (PASKI). Begitu diresmikan langsung mati suri.
Hal itu terjadi mungkin karena pola gaul antarkomedian kita yang justru masih dikerangkeng oleh hukum Hobbesian : "komedian satu merupakan serigala untuk komedian lainnya."
Tak ada guyub. Tak ada keinginan untuk saling mengedukasi satu dengan yang lainnya. Yang ada adalah rivalitas. Saling mencerca dibalik punggung masing-masing.
Akibatnya,sejak diresmikan kegiatan wajib fungsionaris PASKI yang paling menonjol adalah melakukan amal yang sangat mulia. Menengok komedian yang sakit parah dan yang meninggal dunia.
Mungkin dengan rasa sedih yang tulus, tapi mungkin juga, merujuk hukum Thomas Hobbes di atas, justru dengan rasa "bergembira" : karena telah hilang satu lagi saingan dalam membuat periuk nasi mereka bisa ngebul sehari-harinya ?
Wonogiri, 7-8 Desember 2010
ke
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment