Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Politik berisik. Meksiko negeri dirundung malang. Belum surut perbincangan tentang negeri sombrero sebagai asal-muasal menyebarnya virus flu babi, musibah muncul lagi.
Sebuah panti penitipan anak-anak terbakar. Sekitar 30 balita meninggal dunia, sebagian besar tercekik oleh asap beracun. Penyebab kebakaran diduga dari hubungan arus pendek listrik.
Masih tentang Meksiko yang terkait dengan arus listrik dan hawa panas, seorang Len Deighton dalam bukunya Mexico Set (1985) pernah berujar tentang hal yang relevan dengan lanskap dunia perpolitikan kita hari-hari ini. Katanya, di Meksiko mesin pendingin ruangan disebut sebagai politikus karena mereka hanya mampu mengeluarkan banyak sekali keberisikan sementara kinerjanya sangatlah tidak memuaskan.
Di Indonesia, mesin-mesin pendingin itu kini sedang meraung-raung mengisi udara hidup kita kini. Panggungnya adalah pemilihan umum presiden. Ada tiga pasang. Mereka sengit berkompetisi dalam menebar pesona, menebar janji, juga berusaha mengingkari, menutup-nutupi sampai mengubur kejelekan masing-masing di masa lalu.
Rakyat yang punya ingatan kuat melihat akrobat politik dengan rasa teraduk-aduk. Mereka mengasyikkan untuk diamati, dicatat, dan banyak sekali yang mampu memancing gelak tawa kita secara beramai-ramai.
Kita tidak sendirian. Simak kata komedian dan aktor terkenal, Will Rogers (1879–1935) dari AS. Ia punya kredo yang juga terkenal untuk aksi kita : I don’t make jokes; I just watch the government and report the facts. .
Ia tidak membuat lelucon, tetapi hanya menyimak tingkah laku atau kinerja pemerintah dan kemudian melaporkan segala fakta yang ada. Yang dimaksud pemerintah itu, tentu saja, diwakili para pejabatnya. Juga calon-calonnya.
Bukan pemilu. Lelucon pertama : pemilihan umum di Indonesia harus dan sebaiknya disebut sebagai general elections saja. Tidak usah diterjemahkan. Titik. Pemilihan para jenderal. Tak kurang dan tak lebih. Sebab sejak era Soeharto yang selalu menang berkali-kali itu, bahkan sebutannya pun harus general elections with his family and cronies. Titik.
Sebut saja, siapa anak Soeharto yang tidak terpilih sebagai anggota MPR saat itu ?. Istri dan anak Jenderal Wiranto, pernah juga masuk sebagai anggota MPR, bukan ? Sementara itu di tahun 2009 saat ini, separo dari mereka yang bertarung adalah para (mantan) jenderal.
Ingin lebih banyak bukti yang valid ? Simak saja data tim sukses masing-masing pasangan itu. Bertaburan di sana para mantan jenderal. Pemilihan umum sepertinya menjadi ajang reuni terbaik bagi mereka. Personalia tim-tim sukses itu tak lebih dari organisasi-organisasi olahraga kita. Entah KONI sebelum Rita Subowo sampai PB PBSI, misalnya, di mana banyak mantan petinggi tentara berhimpun di sana.
Tak ada yang salah dengan itu semua. Tetapi ada yang lucu karena ironi. Seorang jenius periklanan David Ogilvy ketika menjalani masa sepuh, dalam bukunya Confessions of an Advertising Man (1963), jujur berucap : like everyone my age, I talk to much about the past. Sebagaimana tiap-tiap orang seumuran saya, saya akan banyak berbicara mengenai masa lalu.
Para mantan-mantan jenderal itu bila berkumpul, pasti juga lebih suka saling bercerita mengenai masa lalu. Padahal pemilihan umum berfokus merencanakan peta jalan bangsa untuk berorientasi ke masa depan.
Insan analog. Masih tentang tim-tim sukses yang berjubelan mantan jenderal itu. Tak banyak dari mereka yang seperti Marsekal Chappy Hakim, yang masih aktif menulis dan dan bahkan mengelola blog. Dapat diduga, sebagian besar mereka bisa diberi label sebagai insan-insan analog yang hidup di era digital.
Simak saja tim sukses SBY-Boediono, yang keduanya memiliki gelar doktor. Dan di sekelilingnya juga banyak doktor. Tetapi, lihatlah, nama-nama tim sukses mereka memakai kode-kode era jaman radio CB. Era komunikasi jadul, masa lalu.
Menurut Kompas (23/52009), ada tim Echo dikepalai mantan Panglima TNI Marsekal (Purn) Djoko Suyanto, tim Delta dikomandani Mayjen (Purn) Abikusno, tim Romeo dipimpin Mayjen (Purn) Sardan Marbun, sampai tim Foxtrot yang punya sebutan sebagai Bravo Media dengan pengasuh utamanya Choel Mallarangeng yang juga direktur Utama Fox Indonesia.
“Sierra Bravo Yankee, Sierra Bravo Yankee, kontak Delta Papa Delta, bisa dikopi ? Ganti !” Grrrk. Grrrk. Grrrk. “OK, Sierra Bravo Yankee, bisa dikopi. Delta Papa Delta menunggu instruksi. Ganti !”
Itulah contoh obrolan di udara antara SBY dan juru bicaranya, Dino Patti Djalal. Bahasa dan kode serupa malah juga dipakai untuk komunikasi via sms, Twitter dan email mereka. Untuk email contohnya :
“Yang terhormat Bapak Sierra Bravo Yankee dan Ibu Alpha November India Sierra Bravo Yankee. Bagaimana kabar cucu tersayang Anda, Alpha Mike India Romeo Alpha ?”
Intelijen militer. Operasi Senyap Diantisipasi : Tim Kampanye Calon Presiden Libatkan Pensiunan Jenderal. Selain merupakan pertempuran para calon presiden dan calon wakil presiden, Pemilu Presiden 2009 juga pertarungan antartim sukses. Perang intelijen pun tak bisa dielakkan akan terjadi. (Kompas, 23/5/09 : 4).
Perang intelijen militer akan terjadi ? Komedian jenius George Carlin menyikut istilah itu. Katanya, intelijen militer merupakan istilah yang kontradiktif. Intelijen militer adalah oxymoron, dan intelijen militer merupakan kombinasi dua kata yang tidak masuk akal.
Kasihanilah, Indonesiaku. Masa depannya sekarang ini bakal ditentukan oleh aksi-aksi dan peperangan yang tidak masuk akal itu !
Siapa menguntit siapa. Jerman Timur sebelum runtuh, dikenal sebagai negara polisi. Di bawah kekuasaan Stasi, dinas polisi rahasia atau intelijen yang cakarnya menjarah kemana-mana, setiap orang bahkan direkrut untuk menjadi intelijen guna mengawasi orang lain. Itukah yang sekarang terjadi menjelang Pemilu Pilpres 2009 ? Medan perang intelijen dalam senyap itu tergambar sebagai berikut :
Intel-intel kubu SBY-Boediono akan selalu diawasi oleh intel bloknya JK-Wiranto dan juga intel front Mega-Prabowo. Intel-intel blok JK-Wiranto akan diinteli intel front Mega-Prabowo dan intel-intel kubu SBY-Boediono. Intel-intel front Mega-Pabowo juga tidak akan luput dari intaian intel kubu SBY-Boediono dan intel blok JK-Wiranto.
Ada fenomena luar biasa terjadi. Intel-intel kubu SBY-Boediono kali ini bisa bekerja sama dengan intel bloknya JK-Wiranto, bahkan juga merangkul intel front Mega-Prabowo. Gabungan ketiganya bahu-membahu siang dan malam selalu menguntit gerak-gerik musuh bersama mereka : Sri Bintang Pamungkas dan gerakan Golputnya !
Operasi senyap. Kata operasi sangat akrab untuk dunia militer. Membayangkan banyaknya pensiunan-pensiunan jenderal itu saling sering ketemuan di markas masing-masing kubu antartim sukses, pasti kata operasi tersebut tidak jarang keluar dalam percakapan mereka.
Tetapi mengingat usia-usia mereka pasti akan sering muncul juga kata-kata operasi yang bermakna lain dalam obrolan mereka : Operasi prostat. Operasi jantung. Operasi ginjal. Operasi kanker.
Jenderal vs Facebook. Anda sudah punya akun media jaringan sosial, Facebook ? Sudahkah Anda bergabung di cause ini, http://apps.facebook.com/causes/290597, untuk mendukung pembebasan Prita Mulyasari ?
Diilhami oleh sukses Barack Obama, pasangan yang bertarung dalam Pemilu Presiden 2009tak ketinggalan memanfaatkan Facebook itu pula. Lihatlah, para pensiunan jenderal yang berbaris dalam masing-masing tim sukses itu dikabarkan memiliki akun Facebook juga. Bahkan mereka setiap hari selalu memperbaiki isi status-nya dengan data mutakhir pribadi mereka :
Data tekanan darah, denyut jantung, kadar gula darah, kadar kolesterol, sampai kadar PSA dari prostat masing-masing !
Janji sorga. Markas besar kampanyenya Bill Clinton tahun 1992, oleh manajer kampanyenya James Carville, dipasangi banner besar. Isinya slogan : It's the economy, stupid. Memang itulah jantung persoalan Amerika saat itu, dan Clinton memenangkan pilpresnya.
Slogan serupa harusnya juga dipasang di markas besar ketiga pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2009. Syukur-syukur juga dipasangi angka-angka persentase pertumbuhan ekonomi yang mereka janjikan, entah satu digit atau dua digit.
Rakyat akan mencatatnya. Di tengah situasi ekonomi global yang suram, perusahaan bertumbangan dan PHK meruyak dimana-mana, siapa tahu angka-angka janji sorga mereka itu kelak hanya cerminan dari kenaikan tensi darah mereka !
Run, generals, run ! Pencipta lagu dan penyanyi rok Amerika Bruce Springsteen dalam lagunya Born to Run (1974) berisi lirik “cause tramps like us, baby, we were born to run.”
Politisi Indonesia sebagai petualang kiranya cocok pula masuk dalam deskripsi itu. Mereka terlahir untuk selalu ngacir. Dalam Pilpres 2009, semua kandidat bahkan berebutan mencuri start agar lebih dulu bisa ngacir. Bungkus, alasan dan pembenaran untuk aksi pengaciran itu mudah dicari-cari.
Hari Minggu pagi, 7 Juni 2009, dengan bergabung dalam kegiatan komunitas Bike to Work, SBY dan istri ikut ramai-ramai mengayuh sepeda di Jakarta. Agak luput dari liputan media, di sepanjang jalan yang dilewati SBY terhimpun ribuan warga berbagai bangsa keras berseru sambil mengacung-acungkan spanduk berbunyi : Run, run, SBY, run, run ! Run, run, SBY, run, run ! Run, run, SBY, run, run !
Sebelumnya mereka juga pernah memenuhi badan jalan di Jl. Teuku Umar, Jakarta, untuk berseru pula : Run, run, Mega, run, run ! Run, run, Mega, run, run ! Run, run, Mega, run, run !
Juru bicara kampanye masing-masing kubu kemudian dengan bangga mengklaim bahwa calon presiden mereka telah di-endorse oleh komunitas internasional. Mereka tidak tahu bahwa kelompok itu bernama International Runners Brotherhood Against Overweight and Obesity. Misi mereka mengajak SBY dan Mega untuk rajin olahraga lari, guna mengurangi kegemukan mereka.
Tokoh-tokoh calon wakil presiden juga mengalami demo yang sama. Ketika utusan khusus, special envoy dari Komisi HAM PBB datang ke Indonesia untuk menyelidiki secara lebih detil dugaan pelanggaran HAM di Indonesia 1998 dan Timor Timur 1999, teriakan serupa juga muncul.
Tetapi kali ini bukan dari kelompok International Runners Brotherhood Against Overweight and Obesity. Teriakan dan spanduk kelompok sangat besar satu ini berbunyi :
“Lari, jenderal ! Lari !”
Sepeda dan politisi. Politisi konservatif Inggris, Norman Tebbit, punya cerita tentang sepeda. Seperti dikutip koran Daily Telegraph (15/10/1981) ia bercerita saat ia hidup ditahun 1930-an dengan ayah yang pengangguran. “Ia tidak membuat huru-hara, ia hanya naik sepeda untuk berangkat mencari kerja,” cetusnya.
Di Indonesia kini, kondisinya mungkinkah lebih baik ? Sepeda kini gencar dikampanyekan sebagai kendaraan untuk menuju tempat kerja. Komunitas Bike to Work, adalah contohnya. Kehadiran SBY di tengah komunitas ini merupakan tanda empati bagi mereka.
Empati bagi mereka yang sejatinya merupakan warga Indonesia yang terpaksa menyimpan mobil atau sepeda motor karena harga BBM mahal. Mereka yang takut sakit akibat stres di saat macet dan macet di jalanan yang dipicu biaya pengobatan mahal. Mereka yang bila naik mobil atau motor di jalanan jengkel terkena pungli. Juga bagi mereka yang naik sepeda untuk nglembur kerja di hari Minggu agar bisa makan dengan keluarganya.
Suntikan SBY itu memicu inspirasi lain. Komunitas ini sekarang sangat-sangat mengharap Gede Prama, penulis laris buku-buku motivasi, untuk segera bisa bergabung di dalam komunitas mereka. Alasannya, warga komunitas ini ingin memperoleh suntikan motivasi, sambil bareng-bareng bersepeda, karena terkesan isi artikel-artikel inspiratif dari Gede Prama di harian Kompas.
Dorongan paling utama komunitas ini bersemangat mengajak Gede Prama untuk bergabung karena pada bagian akhir artikelnya selalu tertulis keterangan : Gede Prama, tinggal di Bali, bekerja di Jakarta.
Kabar lain. Seorang teman, juga anggota komunitas itu mengeluh, karena berkali-kali sepeda mahalnya dicuri orang. Ia kini membentuk komunitas baru untuk rekan senasibnya, bernama : Bike to Walk !
Menu sang presiden. Ini bukan lelucon. Prof. DR. Ir Made Astawan, dosen IPB, dalam bukunya Kandungan Gizi Aneka Bahan Makanan (2004) punya pendapat tentang mi instan. Bahan baku utamanya adalah tepung terigu, menjadikan mi bukan merupakan makanan asli Indonesia.
Sebungkus mi instan 75 gram, tulisnya, menghasilkan total energi sekitar 350 kilo kalori. Sementara kebutuhan energi orang dewasa 2.500 kilo kalori dan anak balita 1.300 kilokalori per harinya. Jadi sumbangan energi dari semangkuk mi instan hanya 14 persen untuk orang dewasa dan 27 persen anak balita per harinya.
Jadi : mengandalkan hanya sebungkus mi instan sebagai sumber energi utama dalam kehidupan sehari-hari harus dihindari karena hal tersebut cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap stamina tubuh dan produktivitas kerja. Oleh karena itu, terlalu sering menggunakan mi sebagai “pengganjal perut” satu-satunya setelah seharian bekerja keras adalah tindakan yang sangat keliru.
Mi instan saat ini memasuki ranah nutripolitico complex, persilangan antara komersialisasi gizi dan interes politik. Selain penduduk Indonesia digencarkan untuk mengonsumsi pangan dari bahan terigu itu, sesuai tuntutan pasar bebas yang dianut neoliberalisme, asupan sesering mungkin dari pangan yang nilai gizinya tidak adekuat ini, akan membuat daya tahan pikir bangsa kita menjadi melemah, tidak kritis, sehingga rentan terhadap bujukan dan rayuan bermotif politik.
Peringatan ini sebaiknya didengar oleh seluruh warga negara Indonesia. Perhatikanlah, seorang doktor yang juga lulusan IPB akhir-akhir ini sosoknya setiap saat selalu membombardir benak warga Indonesia dengan pesan-pesan nutripolitico complex itu melalui iklan-iklan di televisi.
“Ketika menghidupkan komputer, otak Anda bekerja. Ketika menghidupkan televisi, otak Anda berhenti.” Demikian kata pendiri Apple Corps., Steve Jobs.
Tanda lampu merah ini sebaiknya menyala dalam kesadaran publik kita saat mendengar bujukan, ajakan, dan rayuan agar warga Indonesia mau beramai-ramai mengonsumsi “mi instan politik” sesering mungkin, setiap hari, sampai tanggal 8 Juli 2009 nanti !
Bertabur doktor. Politisi Partai Buruh Inggris, Neil Kinnock, dalam pidato partainya yang disiarkan televisi telah mengunggulkan makna pendidikan. Ia melempar retorika : “Mengapa saya merupakan Kinnock pertama di antara ribuan generasi Kinnock yang mampu berkuliah di perguruan tinggi ?” Pidato ini kemudian dijiplak oleh Joe Biden, yang kini merupakan Wakil Presiden Amerika Serikat.
Di Indonesia, status lulusan vs bukan lulusan perguruan tinggi pernah menjadi isu perdebatan untuk calon presiden. Kini, lihatlah sekarang, calon-calon presiden dan calon-calon wakilnya yang maju dalam Pilpres 2009. Kalau saja SBY-Boediono nanti terpilih, Indonesia kita memiliki petinggi yang sama-sama bergelar doktor.
Tetapi untuk wakil presiden, bila terpilih, Boediono tak boleh menepuk dada. Sebab di era presiden Megawati kita pernah memiliki wakil presiden yang juga bergelar doktor. Doktor (HC) Hamzah Haz.
Penculikan Rengasdengklok. Megawati juga bergelar doktor honoris causa. Ayahnya, Ir. Soekarno, bahkan banyak mengumpulkan gelar doktor kehormatan dari banyak universitas. Bukan karena gelar-gelar akademis kehormatan semata bila tanggal lahir Bung Karno diperingati pada tanggal 6 Juni 2009 di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Kota ini memang bersejarah. Tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda dipimpin Sukarni sengaja menculik Soekarno dan Hatta. Keduanya dibawa ke Rengasdengklok ini, didesak agar segera memproklamirkan bangsa Indonesia saat itu juga. Namun Bung Karno menolak.
Ketika kembali ke Jakarta malam harinya, keduanya langsung merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamada Maeda, Jalan Imam Bonjol. Naskah inilah yang akan dibacakan esok harinya.
Semula proklamasi akan dibacakan di Lapangan Ikada (Monas). Tapi, demi menghindari bentrokan dengan tentara Jepang, akhirnya teks proklamasi itu dibacakan –sekitar pukul 09.00 pagi—di kediaman Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta Pusat.
Peringatan hari ulang tahun Bung Karno ke-108 itu, tentu saja, juga dihadiri oleh pasangan calon presiden Megawati, juga calon wakil presidennya, Prabowo Subianto. Milis pembela HAM ada yang nyeletuk : Kalau bicara tentang peristiwa penculikan, mengapa nama Prabowo Subianto selalu bisa saja terkait di dalamnya ?
Pura-pura orang kecil. Pasangan Mega-Prabowo mendeklarasikan pencalonannya untuk maju dalam Pilpres 2009 di lokasi pembuangan sampah, Bantargebang. Lalu saat memperingati harlah Bung Karno ke-108 di Rengasdengklok. Termasuk aksi SBY mengunjungi pabrik tempe di Malang atau pun Jusuf Kalla rajin mengunjung pasar-pasar tradisional.
Masih ingatkah Anda, Harmoko menggendong seorang tukang becak di Solo ? Soeharto dan anggota kabinetnya makan thiwul beramai-ramai. mBak Tutut saat menjabat sebagai Menteri Sosial makan di warung tegal. Wiranto bahkan makan nasi aking baru-baru ini pula.
Sunu Wasono, pengajar Fakultas Ilmu Pengtahuan Budaya Universitas Indonesia, dalam bukunya Sastra Propaganda (2007) menyebut ulah para petinggi tadi sebagai aksi propaganda yang memanfaatkan jurus pura-pura sebagai orang kecil.Disorot oleh televisi, aksi mereka itu untuk membangun citra bahwa mereka merakyat, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat kecil, mencoba menarik simpati dan dukungan massa dengan cara menempatkan dirinya (seolah-olah) mereka juga.
Para kontestan Pilpres 2009 dalam liputan media ada yang konsisten menunjukkan kedekatannya pada rakyat kecil. Tetapi kebanyakan tidak. Megawati, tidak. Jusuf Kalla, tidak. Wiranto, tidak. Boediono, juga tidak. Apalagi Prabowo.
Yang nampak paling dekat dengan rakyat kecil adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Rakyat kecil yang paling dekat dengan dirinya bernama : Amira.
Kerbau dicocok hidung. George Burns almarhum, komedian sepuh dan dihormati, yang biografinya (foto di atas) ditulis Martin Gottfried berjudul George Burns and The Hundred Years Dash (1996), mengakui kemuliaan rakyat kecil.
Seperti dikutip majalah Life (Desember 1979) ia berujar, “too bad that all people who know how to run the country are busy driving taxicabs and cutting hair ”. Sangat disayangkan bahwa mereka-mereka yang tahu bagaimana mengelola negeri ini sibuk sebagai sopir taksi dan tukang cukur.
Orang-orang kecil tersebut di Indonesia saat menjelang Pilpres 2009 ini, sekarang ini lagi gencar didekati para kandidat. Dengan beragam jurus propaganda. Di antaranya adalah jurus umpatan. Jurus umpatan yang lagi laris manis dijajakan antara lain sebutan neoliberalisme dan pengungkapan mengenai pembengkakan utang negara.
Istilah-istilah itu diucapkan untuk menyerang fihak lain guna mendapatkan simpati. Tetapi dasar dari semua itu, ketika menggunakan jurus umpatan tersebut si pengguna tidak menginginkan kita berpikir, tetapi hanya bereaksi, membabi buta, dan tidak memiliki keraguan.
Kita sebagai rakyat mereka harapkan berlaku seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Menerima begitu saja isu tersebut, tanpa mempermasalahkan atau mengujinya dengan sikap kritis. Propaganda jurus satu ini sudah kita akrabi sejak jaman Orde Lama, Orde Baru, dan sampai saat ini pula. Termasuk slogan “Ganyang Malaysia !” yang muncul kembali di televisi ketika kasus Ambalat akhir-akhir ini mengemuka.
Tak ada lagi rumah angin. Novelis dan penyair Inggris D. H. Lawrence (1885–1930) pernah berujar : Never trust the artist. Trust the tale. Jangan mempercayai sang seniman, tetapi percayai karya-karyanya. Nasehat ini relevan di tengah hiruk-pikuk Pilpres 2009 yang nampak ramai-ramai melibatkan para seniman.
Effendi Gazali dan Sujiwo Tejo memproklamasikan dukungannya untuk pasangan Jusuf Kalla-Wiranto ketika nonton bareng film Capres (Calo Presiden). Butet ikut berbaris di kubu Mega-Prabowo ketika disewa untuk melontarkan bom-bom kritik untuk pemerintahan SBY. Dan lihatlah, Rendra membaca puisi dan menyatakan dukungan dalam acara deklarasi Mega-Prabowo di Bantargebang.
Seniman kini memang tak lagi betah tinggal di atas angin. Ketika umur semakin menua, atau ketika idealisme memudar, mereka memilih turun untuk semakin dekat dengan tanah. Bahkan tanah tempat Rendra membacakan sajak Krawang-Bekasi-nya Chairil Anwar itu adalah tanah tempat pembuangan sampah.
Agenda rahasia Butet. Malam Deklarasi Pemilu Damai yang diselenggarakan KPU di Hotel Bidakara, Jl Gatot Subroto, Rabu 10 Juni 2009, memicu kontroversi. Acara yang seharusnya penuh suasana persahabatan berubah jadi tegang lantaran sajian monolog Butet Kartaredjasa.
Butet menyampaikan monolog mewakili tim kesenian pasangan capres Mega-Prabowo dalam Deklarasi Pemilu Damai. Butet tampil memukau, tapi menyentil salah satu capres, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia memberondongkan sindiran terhadap pemerintah yang berkuasa, SBY, dan dilontarkan di depan SBY sendiri.
Tanpa tendeng aling-aling. Kritikan Butet membombardir mulai dari masalah utang negara, korupsi, hingga banyaknya pesawat Indonesia yang sering jatuh sebelum perang terjadi.
Mengapa Butet berani melakukan aksi itu ? Seorang pengamat politik, Dr. Sukardi Hambali dari Politika Humorista Institut Jakarta, memberikan analisisnya. Pertama, Butet berani melakukan hal itu untuk kubu Mega-Prabowo karena ia ketakutan. Takut menjadi korban aksi penculikan.
Kedua, Butet lagi terkena Omni-Prita Syndrome. Butet sebenarnya menginginkan sesudah melakukan orasi itu akan ditangkap, lalu diinterogasi fihak keamanan. Dengan modus ini, ia akan semakin terkenal di dunia Internasional.
Ketiga, dengan menyerang SBY, ia memang berharap tokoh yang menyewanya akan memenangkan Pilpres 2009. Sebagai aktivis kebudayaan, bila Mega-Prabowo menang, Butet mampu memiliki link khusus yang ia kira akan membantunya dalam merampungkan agenda kebudayaan yang ia pendam selama ini.
Semoga agenda kebudayaan Butet itu sukses. Antara lain mampu mencari kejelasan tentang nasib penyair Wiji Thukul, aktivis era reformasi sampai Deddy Hamdun, suami aktris cantik Eva Arnaz, yang tidak ada kabarnya sampai kini.
Polusi demokrasi. Agenda Butet di atas hanyalah fiksi. Ia yang mengaku sebagai profesional, yang siap disewa oleh pasangan mana saja, boleh jadi merupakan sejimpit gambaran bagaimana kekuatan uang mampu berbicara dalam sebuah pesta demokrasi.
Untuk fenomena satu ini, penulis dan wartawan Amerika Serikat, Theodore H. White (1915–1986) pernah bilang wanti-wanti, bahwa banjir uang yang digelontorkan dalam kancah perpolitikan dewasa ini merupakan polusi bagi demokrasi. Sepertinya, ancaman polusi itu kini sedang pula terjadi di tanah air kita. Termasuk fenomena lembaga survei yang dibayar oleh kandidat. Kita lihat dan saksikan semuanya harus dengan waspada.
Sebab bila polusi demokrasi itu meruyak kemana-mana, maka kita kelak akan hanya mendapati apa yang pernah disinyalir oleh tokoh serba bisa, ya ilmuwan, penemu dan juga politisi Amerika serikat, Benjamin Franklin (1706–1790), yang bersabda :
Di aliran sungai dan pemerintahan yang jelek, benda yang paling ringan saja yang mengapung di atasnya !
Wonogiri, 11-15/6/2009
ke
Wednesday, June 10, 2009
General Elections 2009’s Guffaw
Label:
boediono,
butet kartaredjasa,
effendi gazali,
george burns,
hamzah haz,
jusuf kalla,
megawati,
pilpres 2009,
polusi demokrasi,
prabowo,
rendra,
satir,
sby,
soeharto,
soekarno,
sunu wasono,
wiranto
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment