Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Polisi yang brutal. Polisi kulit putih dan profesor Harvard berkulit hitam hampir saja memicu berkobarnya sentimen rasial di Amerika Serikat.
Peristiwa itu bermula ketika Henry Louis Gates, profesor dari Universitas Harvard dibekuk oleh seorang polisi berkulit putih, Sersan James Crowley, ketika sang guru besar itu mau masuk ke rumahnya sendiri.
Aneh tapi nyata. Mengingatkan kasus yang menjadi contoh dalam bukunya Malcolm Gladwell, Blink : The Power of Thinking without Thinking (2005) : pemuda 20 tahunan, Amadou Diallo, keturunan Guinea tewas setelah digerebeg oleh empat polisi kulit putih di New York, 3 Februari 1999.
Apa kesalahan Diallo ? Tak ada. Ia hanya mencari angin segar malam itu di luar rumahnya. Malam yang membawa sial baginya, gara-gara keempat polisi yang sebenarnya tidak tergolong rasis, melakukan serial terkaan, critical misjudgment yang fatal, sehingga ia tewas.
Peristiwa ini memicu demo warga kulit hitam, termasuk akhirnya berhasil mengganti nama jalan lokasi kejadian itu. Semula adalah Wheeler Avenue dan digantikan menjadi Amadou Diallo Place. Peristiwa itu mengilhami penyanyi rock AS, Bruce Springsteen menciptakan lagu berjudul “41 Shots” yang dalam refrennya tergurat lirik : “You can get killed just for living in your American skin.”
Bir perdamaian. Kembali ke masalah Gates versus Crowley. Kasusnya semakin memanas ketika Presiden Obama ikut berkomentar atas kejadian itu. Ia mengecam tindakan polisi yang gegabah. Langsung saja, komedian AS pun lalu ramai mengomentari peristiwa yang substansinya masih peka dalam sanubari rakyat Amerika.
Misalnya Bill Maher. “Maling macam apa yang hendak membobol rumah sambil membawa bagasi ? Itulah hal yang saya ingin tahu,” katanya. “Dan petugas polisi itu, Sersan Crowley bilang, bahwa Henry Louis Gate mengancam. Dan mengancam itu, yang ia maksud adalah : seorang berkulit hitam yang berpendidikan.”
Isu rasial lalu agak mereda ketika Presiden Obama mengambil prakarsa lanjutan, dengan mempertemukan keduanya, untuk mengobrol sambil minum bir di Gedung Putih (foto). Para komedian ribut lagi.
Komedian Conan O'Brien berkata bahwa dalam pertemuan perdamaian itu Obama menyuguhkan bir buatan Budweiser. Ledeknya kemudian : “Untuk mendorong semangat harmoni ras, pabrik bir Budweiser telah merubah julukannya. Dari semula King of Beers menjadi Martin Luther King of Beers.”
Lelucon tentang bir itu lalu menyikut sana-sini. Kali ini menyodok ingatan rakyat AS terkait peristiwa ketika George W. Bush yang pernah tersedak saat makan kue pretzel, seperti diungkap lagi oleh Conan O’Brien :
“Sungguh mengesankan, Presiden Obama menyuguhi Profesor Gates dan Sersan Crowley minuman bir dan pretzel. Pretzel. Ya, inilah saat kali pertama pretzel disuguhkan di Gedung Putih sejak kue itu menyerang Presiden Bush. Anda masih ingat, bukan ?.”
David Letterman menimpali : “Presiden Obama bukan satu-satunya presiden yang menikmati bir sesekali waktu. Bill Clinton juga. Menurut cerita, Bill Clinton masuk bar dan memesan segelas bir dingin. Lalu apa jawab sang pelayan ? ‘Oh, pulanglah, dan temui Hillary saja.’”
Andy Borowitz di kolomnya edisi 28/7/2009, ikut bergunjing bahwa hari minum-minum bir itu sebaiknya didaulat sebagai hari libur baru : Hari Minum Bir Bersama Seseorang Yang Anda Tangkap.
Untuk menjelaskan momen itu, Obama seperti direka-reka secara jenaka oleh Andy Borowitz, konon telah berkata kepada para wartawan : “Ketika kemarahan sedikit memuncak, maka akan selalu ada penolong agar seseorang mampu berpikir lebih rasional : bir.”
Presiden Obama berharap bahwa proklamasinya itu akan menggiring terselenggaranya pesta di seantero negeri yang melibatkan polisi dan orang-orang tidak bersalah yang baru saja mereka tangkap.
Lain di AS, lain di Indonesia. Pesta bir perdamaian di Gedung Putih itu mungkin sama sekali tidak pernah terdengar oleh telinga Presiden SBY. Bila saja ia mendengar, siapa tahu, Presiden SBY akan meneladani sikap Obama itu. Apalagi SBY yang temperamen budaya Jawanya masih kental dalam menjaga harmoni, sehingga mengesankan sebagai peragu, diharapkan mampu berlaku bijak dengan mengundang para petinggi Polisi dan KPK untuk bertemu dan minum-minum bersama.
Untuk mendamaikan konflik cicak melawan buaya.
Tetapi yang terpenting adalah menunjukkan ketegasan SBY di momen krusial ini. Dan bukan seolah tutup mata dan tutup telinga terhadap berubah-ubahnya sangkaan yang terkesan artifisial, seperti yang diajukan oleh polisi terhadap kedua pimpinan KPK yang mereka seret ke ranah hukum itu selama ini.
Ketegasan SBY kini disorot oleh nurani hukum bangsa ini. Saatnya ia menentukan secara jernih fihak mana yang menjadi biang kerok pengganjal angin perubahan aksi pemberantasan korupsi di negeri sarang para koruptor ini. Lalu dengan kuasanya, melakukan kebijakan untuk menghukum mereka yang sebenarnya bertindak korup. Tanpa pandang bulu !
Wonogiri, 28/9/2009
ke
Monday, September 28, 2009
Bir Obama, Polisi Korup dan Ketegasan SBY Kita
Label:
bambang haryanto,
barack obama,
blink,
cicak melawan buaya,
henry louis gates,
james crowley,
komedian,
kpk,
malcolm gladwell,
negeri koruptor,
pemberantasan korupsi,
peragu,
polisi,
satir,
sby
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Berita Amadou Diallo itu menyakitkan hati, tapi syukurlah ada yang bisa melahirkan lelucon dari balik ketegangan peristiwa itu.
ReplyDeleteMungkin betul bahwa kita orang Indonesia juga lebih bisa melihat dimana lucunya dengan perkembangan kasus KPK kita. Semoga. Seseorang.
Dear Juniar Hendrik William Lumankun,
ReplyDeleteThanks, sudi mampir. Terima kasih untuk komentarmu, walau sebenarnya kisah tentang Diallo itu ditulis bukan dengan "ha-
ha-ha," tetapi dengan kepedihan. Maka saya setuju dengan sentilan Andy Borowitz agar Presiden AS (dan SBY juga ?)
menetapkan hari dimana mereka yang dizalimi oleh polisi tanppa berbuat salah sebagai hari besar, hari konsiliasi, dan
termasuk hari bagi polisi untuk meminta maaf.
Momennya yang tepat sudah hadir saat ini. Ketika Tim 8 meragukan tuduhan polisi, maukah mereka meminta maaf kepada
ketua KPK nonaktif Bibit dan Chandra saat ini ? Juga meminta maaf kepada bangsa Indonesia ?