Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Nyawa tercabut. Dalam Perang Dunia I, angka tiga terkenal sebagai angka sial.
Tahyul itu beredar luas di kalangan tentara yang berlindung di parit-parit pertahanan saat didesak rasa ngebet untuk merokok guna mengusir pelukan kantuk atau rasa bosan di waktu malam.
Mereka percaya bahwa tentara yang menyalakan pemantik api yang sama pada urutan ketiga, maut berpeluang besar mencabut nyawanya.
Rumusnya, juga rumus tiga. Ready. Aim. Fire ! Penjelasannya : para penembak jitu pada kubu musuh mungkin dapat melihat nyala yang pertama. Lalu ia membidik saat melihat nyala yang kedua. Kemudian melepaskan tembakan untuk nyala pemantik api yang ketiga.
Presiden SBY, purnawirawan jenderal, mungkin tersenyum membaca cerita ini. Mungkin ia tergerak untuk membayangkan apa yang terjadi pada foto dirinya, foto dramatis yang ia tunjukkan dengan wajah geram ke seluruh warga Indonesia. Moga momen itu masih Anda ingat. Saat Indonesia diguncang teror bom oleh komplotan Noordin M Top di hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton, momen itu oleh kalangan luas dinilai telah dimanfaatkan SBY untuk “menembak” sana-sini.
Utamanya, patut diduga, untuk menghantam kompetitornya dalam Pilpres 2009 yang saat itu gencar memasalahkan keabsahan Pemilu. Oleh SBY, teror bom kedua hotel itu seolah ia kait-kaitkan dengan upaya konspiratif para pesaing dalam menghalangi langkahnya memerintah Indonesia untuk kedua kalinya.
Bumbunya pun teatrikal, saat ia menjelaskan bahwa dirinya pun menjadi latihan sasaran tembak kaum teroris. Dengan “bukti” yang dramatis. Wajahnya berlubang di pipi, ditembus peluru, yang ia tunjukkan dalam foto kepada para wartawan. Apakah pada hitungan yang ketiga juga saat peluru kaum teroris itu melubangi foto dirinya ?
Kita tidak tahu. Yang pasti, kalau Anda rada jeli menyimak konstruksi pidato-pidato SBY selama ini, angka tiga nampaknya bukan ia anggap sebagai angka sial. Sebaliknya merupakan angka favorit. Angka keberuntungan !
Sejak mendapat mandat dari rakyat, melalui pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia di tahun 2004, SBY merumuskan new deal dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang tertuang dalam prinsip triple track strategy : pro-growth, pro-job, dan pro-poor.
Loncatlah kemudian ke tahun 2009. Dalam pidato setelah disumpah menjadi Presiden Republik Indonesia 2009-2014, SBY meluncurkan visi tugas konstitusional kabinetnya untuk lima tahun mendatang dalam tiga pilar : Kemakmuran. Demokrasi. Keadilan. Sebagaimana dirinya yang getol menggunakan bahasa Inggris, rumus tiganya itu menjadi : Prosperity. Democracy. Justice.
Bahkan menurut Kompas (24/10/2009), selanjutnya SBY membuat semboyan dengan juga berunsurkan hitungan tiga. Pertama, change and continuity, perubahan dan keberlanjutan. Kedua, de-bottlenecking, acceleration and enhancement, penguraian hambatan, percepatan dan peningkatan. Dan ketiga, unity, together we can, bersatu, bersama kita bisa.
Trimurti sampai komedi. Dalam era pemerintahan Soeharto yang Orde Baru, angka favorit yang sering muncul adalah lima. Hal ini kiranya terkait dengan Pancasila. Tetapi mengapa SBY memilih tiga ? Mungkin saja ia terilhami oleh trimurti, tiga dewa Hindu : Brahma, dewa pencipta, Wisnu, dewa pemelihara, dan Shiwa, dewa perusak.
Sebagai perwira militer yang pernah digembleng di negeri Paman Sam, mungkin saja SBY juga teringat mantra sakti tentang tiga pilar demokrasi dari presiden AS ke-16, Abraham Lincoln (1809–1865).Hal tiga itu ia sampaikan dalam pidato terkenalnya, Gettysburg Address, 19 November 1863, di Pennsylvania.
Pidato Lincoln di tengah kecamuk Perang Sipil itu diakhiri dengan : “bangsa ini, di bawah naungan Tuhan, akan mendapat kelahiran baru kebebasan dan pemerintahan rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tidak akan menghilang dari muka bumi.”
Tetapi angka tiga bukan melulu sebagai cerminan angka mujur. Seratus tiga puluh dua tahun plus sehari dari saat Lincoln berpidato itu, 20 November 1995, dalam acara Panorama di BBC-1 TV almarhumah Putri Diana (1961-1997) menumpahkan keluh kesahnya. Terkait ulah perselingkuhan suaminya, Pangeran Charles dengan kekasih lamanya, Camilla Parker Bowles. “Terdapat tiga sosok dalam perkawinan ini, sehingga membuatnya menjadi begitu sesak,” ujar Diana.
Angka tiga dalam dunia literasi seringkali digunakan untuk memprovokasi keberadaan hal-hal ganjil. Sebagai kontras dari angka dua yang merupakan cerminan keadaan yang alami, seperti belahan dunia, anggota badan misalnya kaki, tangan sampai mata kita.
Sekadar contoh, dalam film War of The Worlds (2005), makhluk angkasa luar dan mesinnya dihadirkan sebagai sosok serba tiga : bermata tiga, berkaki tiga, sampai berjari tiga. Juru sihir dalam sandiwara Macbeth-nya Shakespeare, berjumlah tiga.
[Keajaiban tiga, yang bahkan berupa ancaman bagi rusaknya demokrasi di Indonesia akibat si tiga itu, akan diceritakan lanjutannya kemudian].
ke
Saturday, October 24, 2009
Tiga, Angka Sial dan Trilogi Bagi Sang Jenderal
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment