Monday, October 02, 2006

Dosa-Dosa Dunia Komedi Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Religion & Democracy : Face-to-Face adalah topik diskusi di dunia maya yang menarik di situs http://www.islamonline.net/, 7 Maret 2005. Nara sumber yang tampil adalah Caspar Melville, Direktur Eksternal situs www.openDemocracy.net.


Salah satu peserta diskusi adalah “doaa,” yang mengaku sebagai mahasiswa teknik asal Mesir. Ia meminta penjelasan bagaimana kaum muslim dapat menjelaskan kepada dunia bahwa Islam memiliki budaya demokrasi.


Caspar Melville yang mengaku sebagai sekuler dan tidak tahu banyak tentang Islam, memahami rasa frustrasi yang dialami dunia Islam pasca 11 September 2001, yang mendapatkan tekanan untuk menjelaskan bahwa Islam bukan identik sebagai agama kekerasan. Ia berterus terang bahwa untuk membahas topik menarik tersebut dirinya belajar dari artikel yang ditulis Fareena Alam, editor Q News, majalah muslim terpandang dari Inggris.


Fareena Alam, kelahiran London 1978, keturunan Bangladesh dan besar di Singapura itu, telah dikutip oleh Caspar Melville bahwa dalam Islam dikenal budaya demokrasi yang ia sebutkan sebagai tradisi “moderasi, tidak berlebih-lebihan dan keinginan untuk mencari jalan tengah.”

Caspar Melville juga merujuk perbincangannya dengan jurnalis dan tokoh muslim Inggris lainnya, Fuad Nahdi, pendiri Q News yang kelahiran Mombasa, Kenya, yang telah malang melintang di dunia pers seperti International Islamic News Agency, Associate Press, Los Angeles Times, Guardian dan BBC.


Dari keduanya Caspar Melville memperoleh pemahaman betapa sangat kayanya dan beragamnya sejarah pemikiran Islam yang menampung segala macam gagasan, termasuk sekularisme, nihilisme, hedonisme, juga sejarah sistem pemerintahan Islam yang mampu secara tegas memisahkan antara negara dan agama.


Secara khusus, Caspar Melville menyatakan bahwa dirinya selalu menemukan kejutan ketika berbincang dengan tokoh-tokoh yang relijius, yang menurutnya selalu lebih jenaka, lebih terbuka pikirannya, dan jauh dari pola pikir kaku yang semula ia duga. Pendek kata, usulnya kepada penanya, berdiskusilah dengan tokoh-tokoh tersebut.


Humor Cerdas Gus Dur. Usulan Caspar Melville yang simpatik. Bagi saya, tokoh yang muncul di benak saya terkait perbincangan seputar topik Islam dan demokrasi, tidak lain adalah Gus Dur.


Cakrawala itu menyeruak antara lain setelah mengikuti perbincangan menarik Abdul Moqsith Ghazali dari Kajian Islam Utan Kayu dengan Dr. Rumadi di JawaPos (29/9/2006 : 10), ketika membicarakan buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), karya Gus Dur yang terbaru. Gus Dur oleh Dr. Rumadi disebutnya memiliki keteguhan dalam membela demokrasi.


Penjelasan Caspar Melville lainnya bahwa sosok-sosok relijius itu disebutnya selalu lebih jenaka, bagi saya, kembali lagi betapa Gus Dur merupakan sosok yang pas untuk kriteria tersebut. Siapa orang di Indonesia yang mampu menandingi kelucuan dan kebernasan lelucon Gus Dur ?


Seorang Gus Dur, seperti diceritakan oleh Moh. Mahfud M.D. dalam artikelnya “Politik Humor Gus Dur” (JawaPos,15/3/2006), memiliki kepiawaian tingkat tinggi dalam menghumori dirinya sendiri.


Alkisah, ketika berceramah di depan kerumunan massa, Gus Dur mengajak massa untuk membaca salawat bersama-sama dengan suara keras. Setelah itu, dia mengatakan, selain mencari pahala, ajakan membaca salawat tersebut adalah untuk mengetahui berapa banyak orang yang hadir. “Dengan lantunan salawat tadi, saya jadi tahu berapa banyak yang hadir di sini. Habis, saya tak bisa melihat. Jadi, untuk tahu besarnya yang hadir, ya dari suara salawat saja,” jelasnya.


Keikhlasan Gus Dur untuk mengolok kekurangan diri sendiri, self-deprecating, merupakan ujud kewarasan dirinya sebagai pribadi. Menu tersebut adalah hukum universal bagi kaum komedian. Termasuk juga menjadi andalan komedian muslim di Amerika Serikat dan Inggris yang dewasa ini sedang berjuang menegakkan citra Islam sebagai agama yang cinta damai pasca serangan teroris 11 September 2001.


Sebagai contoh adalah Shazia Mirza, pelawak Inggris yang tidak lajim. Ia perempuan, lulusan biokimia Universitas Manchester dan keturunan Pakistan. Menceritakan isi kelasnya, ia bercerita bahwa mahasiswa muslim pria lebih banyak yang lebih pintar menguasai ilmu kimia dibanding dirinya. “Pantas saja, mereka tekun belajar karena ingin sukses membuat bom,” cetusnya.


Tissa Hami adalah komedian perempuan lain, tetapi di Amerika Serikat. Ia bergelar Master Kajian Internasional dan bekerja di John F. Kennedy School of Government., Universitas Harvard. Dengan melawak, “saya ingin menunjukkan bahwa umat Islam bukanlah teroris, tidak semuanya fanatik. Juga tidak semua wanita muslim tertindas dan terbungkam,” katanya.


Latar belakang asalnya dari Iran dan referensi buruk hubungan antara negeri kelahirannya dengan negerinya kini (AS), sering jadi lawakan. Katanya, “kalau tidak ada penonton yang tertawa mendengar lawakan saya, Anda semua akan saya jadikan sandera!”


Pelawak Indonesia Berlumuran Dosa ? Bagaimana lanskap lawakan di Indonesia selama ini ? Kiranya kita dapat bercermin dari pengalaman pelawak Basuki Srimulat. Seperti tertuang di JawaPos (3/3/2006), ia baru pulang dari naik haji. Ia satu pesawat dengan KH Zainuddin MZ, Ustadz Iskandar dan satu lagi pria yang disebut Basuki sebagai Ketua Dewan Syuro.


Pria yang terakhir ini bertanya kepada Basuki : “Apa akan terus melawak meski sudah menyandang predikat haji ?” Basuki balik bertanya : “Lho, memangnya kenapa ?” Beliau menjawab : “Melawak itu kan identik dengan mencela orang lain ?”


Mendengar hal itu Basuki tidak bisa langsung menjawab.


Miftah Faridl dari ITB dalam bukunya Pokok-Pokok Ajaran Islam (2004) telah menderetkan daftar dosa atau hal-hal yang tidak baik terkait afatul lisan, bahaya lidah. Bahaya lidah termasuk mencaci maki, membuka kesalahan orang lain, memanggil nama jelek terhadap orang lain, sampai menghina dan mencemooh.


Pasanglah mikroskop untuk setiap acara lawak di televisi-televisi kita. Kalau saja perbuatan-perbuatan negatif di atas selama ini justru merupakan modus lawakan yang lajim bagi kebanyakan pelawak Indonesia, yang sekaligus berpotensi melumuri dirinya dengan dosa-dosa, lalu bagaimana solusinya ?


Pernyataan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi (Suara Merdeka, 4/2/2006) mungkin dapat dipakai sebagai panduan. Ia mensinyalir rentetan bencana yang melanda Indonesia akhir-akhir ini tidak lepas dari perilaku spiritual manusia Indonesia.


Menurutnya, kebanyakan bangsa Indonesia dewasa ini lebih sibuk mengurusi cacat orang lain sehingga kerap lupa pada cacat sendiri. Padahal, dalam salah satu hadis Rasulullah bersabda, berbahagialah orang yang repot mengurusi cacatnya sendiri hingga lupa dan tidak sempat menghitung cacat orang lain.


Memang terlalu gegabah bila komunitas pelawak Indonesia dituding sebagai satu-satunya fihak yang memicu terjadinya rentetan bencana yang melanda Tanah Air akhir-akhir ini. Tetapi, paling tidak, sinyal dan panduan arah menuju sajian komedi yang lebih baik telah ditorehkan.
Mungkin di tengah-tengah suasana Ramadhan seperti saat ini pesan-pesan untuk introspeksi, juga keberanian untuk merehabilitasi wawasan diri, pantas menjadi bahan renungan bagi setiap insan komunitas dunia kepelawakan kita.


Apalagi, kita tahu dan hampir menjadi tradisi, bulan Ramadhan di televisi-televisi kita identik dengan pesta tayangan komedi. Di antara gelimang tebaran uang, kemeriahan tawa dan gelak artifisial, kiranya di bulan suci ini juga tepat dijadikan sebagai momen bagi komunitas komedi kita untuk berhenti berlari, lalu merenung, memperbarui diri. Agar mampu menemukan (kembali) jalan lurus, jalan jenaka yang luhur, sekaligus jalan yang semakin bersih dari “dosa-dosa” dalam berkarya.


Keteladanan pribadi Gus Dur yang cerdas, jujur sekaligus jenaka, sampai nasehat KH Hazim Musyadi, diharapkan mampu sebagai pencerahan. Baik bagi dunia komedi Indonesia khususnya, dan juga bagi bangsa Indonesia dalam melangkah ke masa depan. Komedi, mungkin tidak seperti disangka oleh banyak orang, senyatanya merupakan dunia luhur yang mengedepankan kejujuran.


Sehingga ketika terlalu banyak pemimpin dan pejabat negeri susah ini semakin sulit ditemui memiliki kewarasan, dalam arti berani jujur mengakui dan berani menertawai kekurangan dirinya sendiri, mungkin kita masih punya sandaran agar mampu untuk terus bertahan.


Yaitu sense of humor kita.
Juga kejujuran para komedian.


Wonogiri, 1-2 Oktober 2006


ke