Friday, October 28, 2005

Extravaganza Sampai Buka Pake Tertawa : Lawakan Di Televisi Kok Maksa-Maksa Kita Untuk Tertawa ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




5600 Jokes For All Occasions. Republik Indonesia pernah memiliki seorang presiden yang humoris ulung. Tepat sembilan belas tahun lalu, 25 Oktober 1986, saya sempat menjadi “korban” dirinya. Hari itu, Sabtu Malam, saya melongoki isi rak buku humor di Toko Buku Gramedia Blok M, Jakarta Selatan. Tiba-tiba masuk seseorang yang saya kenal, melalui media massa atau pun forum seminar.

Sejurus kemudian, saya ambil sebuah buku dari rak, karya Mildred Meiers dan Jack Knapp, 5600 Jokes For All Occasions (Avenel Books, 1980). Kepada seseorang itu buku tersebut saya angsurkan kepadanya, dengan berkata : “Buku ini untuk Anda”. Merasa dirinya dikenali dan seleranya tertebak, ia hanya tertawa kecil. Tiba-tiba ia malah memberi saya suatu cangkriman, tebakan, kepada saya :

“Rambut wanita BAGIAN MANA yang paling lebat, paling hitam dan paling keriting ?” Saya tak siap dengan riddle semacam itu. Saya hanya meringis gelagepan, sambil berasosiasi jawaban yang bukan-bukan. Akhirnya saya hanya mampu mendengar sang penanya itu membocorkan rahasianya :

“Rambut Wanita BAGIAN Papua Nugini !”

Pemberi cangkriman itu adalah Gus Dur, yang ketika menjadi presiden sempat menghumori diri sendiri sebagai “presiden Indonesia yang membuat banyak orang menjadi crazy”. Momen di toko buku itu saya ingat, karena memang tercatat dalam bukunya Mildred Meiers dan Jack Knapp yang menjadi koleksi buku kumpulan lelucon saya.

Bagi saya, walau humorn-humornya kelas satu premium, Gus Dur kadang tampil bukan sebagai penutur lelucon yang baik. Karena pada momen kritis, saat terjadinya titik ledak lelucon bersangkutan, punchline, dirinya nampak sering tergoda untuk ikut atau bahkan memelopori tertawa. Idealnya sih, seperti halnya pemanggungan komedian profesional, dirinya memasang wajah pemain poker, dingin, dan membiarkan penonton yang terguncang dalam tawa.

Gus Dur tidaklah sendirian. Konsultan merek dan kolumnis Kafi Kurnia, juga hampir sama. Kalau Anda mendengar acaranya di radio, tertawa ngakaknya melegenda. Lelucon yang biasa-biasa saja sudah membuat dirinya terbahak, berderai-derai. Apakah dengan royal menghamburkan tawa itu dirinya merasa para pendengarnya lalu juga ketularan untuk ikut-ikut tertawa ?


Korban Komedi Kasar Modus operandi memancing tawa “model” Gus Dur atau Kafi Kurnia itu sepertinya kini merajalela di stasiun-stasiun televisi kita. Tonton saja, misalnya, acara komedi skets Extravaganza yang rutin dipanggungkan di stasiun televisi TransTV.

Saat nonton tayangan satu ini, di tengah para pelakon menembakkan lelucon, kita bertubi-tubi disuguhi adegan di mana para penonton di studio nampak kompak dan tiba-tiba tertawa. Adegan penonton yang tertawa itu lumayan mencolok, dijejalkan lewat shoot yang menohok. Tetapi adegan ini, termasuk munculnya efek suara tertawa, nampak tidak genuine, artifisial dan kentara dibuat-buat.

Akibatnya fatal. Kita sebagai penonton di rumah selalu merasa tidak ngeh, sulit nyambung, terhadap lawakan yang terjadi. Apalagi sebagaimana formula lawakan di televisi di mana konstruksi setup sampai punchline lawakan sering kurang/tidak bagus, audionya pun sering kedodoran, trik teknik televisi di atas jelas tak mampu mengangkat Extravaganza menjadi tontonan komedi yang punya kelas..

Tertawa memang menular. Tetapi pemanggungan lawakan model Extravaganza semata bermotif pemaksaan, bukan penularan. Karena trik mereka dalam memancing dan menularkan tawa penonton itu hanya semata akal-akalan teknik gambar televisi yang dangkal, dan bukan berdasar bangunan formula suguhan komedi yang andal.

Trik bermotif pemaksaan agar penonton tertawa, dengan formula yang lebih parah, terjadi pada acara berjudul Buka Pake Tertawa (BPK) yang disiarkan oleh stasiun televisi TPI. Dengan memanfaatkan teknik-teknik animasi kelas elementer, ulah para personil kelompok musik lawak TeamLo dari Solo yang tidak ada juntrung, seperti dua personil yang tiba-tiba tabrakan, jatuh berguling-guling atau terpeleset, sampai kena timpuk entah apa dan oleh siapa, dicoba menjadi adonan humor visual. Bumbu penyedapnya antara lain musik, efek suara, teks, dan rekaman suara audiens yang riuh tertawa.

Inilah lagi-lagi suguhan slapstick di televisi kita lagi.

Sebagai wong kelahiran Solo, saya hanya merasa kasihan sama kelompok musik TeamLo asal Solo ini. Mereka hanya manut-manut saja, ikut tanpa berpikir kritis, ibarat kerbau dicocok hidung, untuk membintangi acara televisi yang sama sekali tidak menunjukkan kekuatan artistik dan komedik mereka yang sebenarnya. Mereka kok ya mau-maunya menjadi korban pertunjukan komedi kasar, slapstick, yang senyata-nyatanya hanya lucu di benak para kreatornya sendiri.

Pada tahun 80-an di TVRI pernah ditampilkan sajian humor visual, kalau tak salah berjudul Football Circus atau Football Comedy. Isinya seri adegan para pemain sampai wasit saat pertandingan sepakbola berlangsung. Misalnya adegan pemain yang meludah, lalu memakai teknik pengulangan adegan, sehingga tervisualisasikan pemain bersangkutan sedang meludah berkali-kali. Berbeda dibanding adegan dalam BPT yang dibuat-buat, tidak alamiah, adegan sepakbola yang benar-benar terjadi itu mampu mengundang penonton untuk memiliki relation, kaitan, atas peristiwa yang terjadi. Penonton merasa akrab dengan momen-momen yang ada, sehingga ketika terjadi pembengkokan adegan atau nalar, mereka pun ikhlas memberikan tawa.

Humor visual yang terkenal, selain film-film bisunya Charlie Chaplin, yang mutakhir adalah serial Mr. Bean. Sajiannya terorkestrasi secara rapi, nalar, sehingga memunculkan kejutan yang mampu mengundang tawa. Di RCTI (2001) pernah ada lawakan yang pengin meniru humor visualnya Rowan Atkinson, yaitu Toples, dibintangi oleh Topan dan Lesus, tetapi hanya menunjukkan bahwa merancang sajian komedi yang menonjolkan humor visual itu tidaklah mudah !


Bicara Bahasa Penonton. Para kreator acara komedi di stasiun-stasiun televisi kita, hemat saya, sebaiknya membaca buku How To Sell Yourself-nya Joe Girard (1981). Ia tercatat di The Guinness Book of World Record sebagai penjaja, salesman terhebat di dunia.

Joe Girard dalam bukunya itu telah mengutip kiat kampiun pemasaran lainnya, yaitu Buck Rodgers dari perusahaan raksasa komputer IBM. Tercatat bahwa Buck Rodgers selalu menuntut armada penjualan komputernya agar mampu berbahasa seperti calon pembelinya. Bayangkan betapa membingungkan apabila penjual komputer IBM itu berkata seperti berikut ini kepada calon pembelinya :

“Saya ingin menjual kepada Anda sistem elektronik transistor yang unitnya saling terintegrasi, mampu diprogram dengan masukan ribuan input, terentang dari kontrol inventarisasi, membuat faktur, sampai fasilitas penyimpanan bank memori, data yang mudah diakses, kemampuan antarmuka dengan seluruh fasilitas pendukung”.

Paparan berbau teknis itu mungkin terdengar keren, tetapi para konsumen jelas tidak memahaminya. Buck Rodgers meralatnya, dengan pernyataan bahwa hal tersebut merupakan kekeliruan yang fatal. “Kita berbisnis adalah memberikan solusi untuk memecahkan problem para pelanggan kita”, tuturnya. Ia menekankan bahwa perusahaannya tidaklah menjual komputer, melainkan menjual manfaat komputer bersangkutan.

Rodgers pun memberikan koreksi terhadap bahasa penjualan yang berbau teknis tadi ke dalam bahasa yang lebih mudah difahami oleh konsumen kebanyakan :

“Saya memiliki sarana yang mampu mendukung Anda mengerjakan pekerjaan secara lebih mudah, mampu mengurangi biaya operasional, sehingga perusahaan Anda mampu memberikan layanan yang lebih baik lagi kepada para pelanggan Anda”


DALAM KONTEKS PEMANGGUNGAN KOMEDI di televisi, jelas merupakan suatu keniscayaan apabila para kreator tayangan di televisi itu mampu meneladani apa yang dilakukan oleh Buck Rodgers dalam hal penjualan komputer IBM-nya. Mereka harus merancang tayangan komedi dari kacamata penonton, yaitu tontonan di mana para penonton mampu mengaitkannya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Gene Perret, pemenang 3 Grammy Award untuk penulisan komedi di televisi telah berbaik hati memberikan formula ampuhnya :

”All comedy must be relevant. People like Erma Bombeck and Bill Cosby are realistic. They talk about things we can relate. Every family recognizes itself in The Cosby Show”

Semua komedi harus relevan. Orang-orang seperti Erma Bombeck atau Bill Cosby adalah orang-orang yang nyata. Mereka membicarakan hal-hal yang kita dapat terkait. Setiap keluarga dapat melihat potret diri masing-masing dari tayangan The Cosby Show.


Wonogiri, 25 – 27 Oktober 2005

Tuesday, October 18, 2005

Ketika Komedian Melawak Tanpa Kejujuran : Catatan Kecil dari Reality Show Meteor Kampus di AnTV

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Perempuan Diintip Di Kamar Mandi. Mahasiswi itu sedang melawak. Ia mengenakan jilbab. Bercelana panjang jin dan berkacamata. Wajahnya biasa saja. Tetapi saat di panggung, rupanya ia sedang memanggungkan monolog yang punya titik ledak, punchline-nya, berujung pada lelucon seputar seks.

Bagi saya, ini sebuah kejutan !

Mahasiswi itu merupakan salah satu peserta acara bertajuk Meteor Kampus, yaitu acara reality show yang digulirkan oleh stasiun televisi swasta AnTV, dalam upaya merekrut bibit-bibit pelawak baru dari dunia mahasiswa. Tujuan yang mulia dan pantas didukung.

Mahasiswi yang berasal dari perguruan tinggi pendidikan asal Bandung itu memanggungkan monolog bertema “biografi”. Riwayat hidup tentang dirinya macam apa yang hendak ia tuturkan pada pentasnya tersebut ? Bagi saya, sungguh mengagetkan lagi, ketika dirinya justru tidak menceritakan riwayat hidupnya sebagai seorang mahasiswa. Melainkan sebagai buruh perempuan !

Ia berkisah tentang nasib dirinya sebagai buruh yang terpaksa harus berpindah-pindah pekerjaan. Pasalnya, karena menjadi korban tindakan pelecehan seksual. Semula bekerja di pabrik coklat, pabrik krupuk dan akhirnya pada pabrik bantal. Ia terpaksa berpindah-pindah bekerja karena setiap dirinya ke kamar kecil, ia merasa selalu diintip oleh mandornya.

Pada dua pekerjaan sebelumnya, begitu ceritanya, ia tentu saja marah atas tindakan itu. Dirinya sempat mendobrak dinding yang dipakai mandornya untuk mengintip. Pada tempat kerjanya yang terakhir, ia melakukan hal yang sama, tetapi tidak ada insiden dengan mandornya. Kali ini, ia mengaku, justru menyerah untuk mau dan rela di-“apa-apa”-kan oleh sang mandor lelaki, sang pengintipnya tersebut.

L u c u ?
Terserah Anda.


Seks Dan Kebohongan. Lelucon mengenai seks memang terus saja menggiurkan didaulat sebagai topik yang populer untuk dipanggungkan. Para pemula dalam dunia komedi atau lawakan sepertinya suka terjerumus untuk melakoni aksi yang satu ini.

Hal ini bisa dimaklumi. Karena jam terbang mereka belum banyak. Pengalaman masih hijau. Mesin kreativitas dalam menggali lelucon belum menemukan formula atau langkah yang pas. Karena mungkin tertodong guna memenuhi target utama setiap pemanggungan, yaitu bagaimana memperoleh tawa dari audiensnya, maka lelucon seputar seks mereka pilih sebagai jalan pintas yang mudah digasak.

Tetapi ada satu hal vital yang mungkin mereka lupakan. Lawakan seputar seks, atau dalam komunitas komedi luar negeri disebut sebagai dick jokes, memang objek menggiurkan untuk dipanggungkan. Tetapi itu hanya laku untuk audiens lawakan yang berumur 13 tahunan.

Yang bilang ini adalah Judy Carter, mentor atau suhu pelawak terkenal di Amerika Serikat. Bahayanya lagi, menurut pengalaman Judy, para komedian muda yang melulu menjual lelucon-lelucon blue material itu terancam tergusur habis lebih awal dalam perjalanan karier melawak mereka.

Kemudian yang terkait dengan materi monolog berbau lelucon seksual yang dipanggungkan oleh mahasiswi berjilbab tadi, Judy Carter pernah bercerita tentang salah satu peserta workshop melawaknya di California. Peserta itu seorang perempuan, tampil melawak dengan menggali topik seputar perempuan yang bila bertambah usianya akan semakin kesulitan membina hubungan dengan kaum pria.

Menurut Judy, materinya lucu. Tetapi di antara peserta workshop lainnya, lawakan si perempuan itu disambut dingin-dingin saja. Mengapa materi lucu itu justru bernasib flop, alias gagal ? Judy Carter baru tahu alasannya setelah beberapa saat kemudian ia mendapatkan informasi bahwa perempuan itu telah menikah, kehidupannya berbahagia selama 25 tahun dan memiliki dua putri.

Jadi pemanggungan lawakan si perempuan itu berdasar pada cerita boongan di mana sebagian dari teman workshopnya tahu akan hal itu. Saran tegas Judy : “Singkirkan topik-topik lawakan yang berdasarkan kebohongan, maka kau akan memperoleh sambutan gelak tawa yang lebih menggegerkan !”

Dari pemanggunan lawakan yang dilakoni oleh mahasiswi berjilbab tadi, Anda dapat menilai sendiri seberapa kental kadar kebohongan, atau ketidakjujuran, yang terdapat di dalamnya.

Yang pasti : ia seorang mahasiswi, bukan buruh pabrik. Penampilannya yang berjilbab tentu mengasumsikan dirinya mengukuhi nilai-nilai relijius tertentu yang pasti sangat absurd bila yang ia ceritakan di babak punchline lawakannya itu sungguh-sungguh terjadi pada dirinya pula !


Salah Kaprah Melawak. Melawak memang ditujukan untuk membuat penonton tertawa. Tetapi tawa itu akan semakin bermakna, semakin meledak, apabila berasal dari sumber kejujuran. Tentu saja kejujuran pada diri sang pelawak itu sendiri. Sehingga apa yang ia tulis (pelawak di luar negeri rata-rata adalah juga penulis !) dan apa yang ia panggungkan merupakan paparan otobiografi hidup mereka sendiri.

Michael Hanel, wakil presiden senior pengembangan komedi pada 20th Century –Fox TV seperti dikutip oleh Judy Carter wanti-wanti berpesan : “Untuk menghasilkan naskah, pemanggungan sampai lawakan yang hebat, ungkapkan segala apa yang paling Anda takutkan untuk Anda ceritakan kepada orang lain, terutama untuk diri Anda sendiri. Situasi ini membuat diri Anda dalam posisi rawan sehingga menggerakkan orang untuk menyandarkan diri dan mau mendengarkannya”

Bandingkan dengan misalnya pelawak Komeng, dan lain-lainnya. Orang-orang justru akan cenderung pengin menjauh karena takut mendapatkan kata-kata atau ulah jahil darinya. Atau insiden kelompok lawak Bagito yang melucukan gangguan penglihatan pada diri Presiden Gus Dur. Ada sebagian warga pendukung presiden yang jenaka itu marah, tetapi Gus Dur memaafkan ulah Miing dkk. Sejak saat itu, pamor Bagito meredup secara pelahan.

Sekadar contoh lagi : Woody Allen mampu membuat penonton tertawa karena ia melebih-lebihkan gangguan hipokondriak (perasaan menderita sesuatu penyakit) dan neurosis yang ia idap. Chris Farley, komedian muda jenius Amerika Serikat yang meninggal dunia pada usia 33 tahun, di tahun 1998, adalah potret komedian yang melucukan dirinya (dan masyarakatnya) sampai ke batas ekstrim.

Chris Farley melucukan kehidupannya yang serba keterlaluan. Baik dalam suara hati, aksi, sikap, enerji dan bahkan berat badannya sendiri. Ia meninggal karena kegemukan, bercampur komplikasi akibat berlebihan mengonsumsi makanan, minuman, narkoba dan gaya hidup. Chris Farley yang benar-benar total. Sekaligus fatal !

Di panggung, dengan mengeluarkan segala uneg-unegnya yang paling pribadi, seseorang komedian sejati mampu menggetarkan dawai-dawai nurani jiwa terdalam pada penonton mereka. Para penonton tersebut tidak hanya tertawa, tetapi ketika pulang akan juga membawa segurat atau sesisir keluhuran yang bakal sulit mereka lupakan.

Bagaimana di Indonesia ?

Sayang, mungkin tidak tahu atau tidak berani, alias berjiwa pengecut, presentasi kejujuran itu belum banyak mengilhami atau bersemi pada nurani kebanyakan mereka yang mengaku sebagai pelawak Indonesia.

Dampak parahnya, sampai-sampai seorang mahasiswi dalam usaha memenangkan kontes melawak mahasiswa yang bertajuk Meteor Kampus tidak merasa berdosa ketika melakukan lawakan yang sarat rekayasa, yang tidak bersumberkan pada kejujuran.

Mungkin dirinya secara bawah sadar justru terilhami oleh sebutan meteor itu sendiri. Menurut definisi, meteor adalah kilatan cahaya di malam hari ketika sebentuk meteorit, yaitu partikel debu atau bongkahan batu planet, terbakar saat memasuki atmosfir bumi.

Mungkinkah sosok-sosok komedian mahasiswa dan lawakan-lawakan mereka dalam acara Meteor Kampus itu baru pantas dianggap sebagai partikel debu atau bongkahan batu planet yang nasibnya hanya untuk hangus dan kemudian habis sebelum mampu mendarat di permukaan bumi ?

Selama lawakan mereka tidak berbasiskan kejujuran, maka betapa sia-sia upaya yang dikerjakan oleh stasiun televisi swasta AnTV tersebut. Mungkin juga sia-sia upaya serupa yang dikerjakan oleh stasiun-stasiun televisi lainnya dalam niatnya memajukan dunia komedi Indonesia !

Apa pendapat Anda ?



Wonogiri, 17 Oktober 2005