Thursday, May 27, 2010

Andi Kalah,Komedian Demo, Koran Terancam Bangkrut

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Partai Demokrat memberi kejutan.

Kekalahan mencolok Andi Mallarangeng dalam pemilihan ketua umum Partai Demokrat, langsung mengguncang industri komunikasi dan media.

Yang paling terpukul pertama kali adalah sirkuit industri komedi di Indonesia.

Begitu mendengar Andi Mallarangeng tersingkir pada putaran pertama, yang hanya berhasil mengantungi suara 16 persen, sontak organisasi Akposi (Asosiasi Komedian Politik Seluruh Indonesia) mengadakan ritual tuguran.


Para anggotanya dengan pakaian hitam-hitam langsung berhimpun, menyalakan ribuan lilin, dan mereka berbaris dengan muka muram memutari tugu Monas sampai pagi dalam keheningan. Bahkan mereka akan merencanakan melakukan long march serupa, Jakarta-Makassar pulang-pergi.

"Kekalahan Andi, yang digadang-gadang banyak orang untuk bisa maju sebagai kandidat presiden 2014, merupakan pukulan berat bagi kami. Komedian politik Indonesia benar-benar kehilangan salah satu target terbaiknya untuk dijadikan sebagai sumber lawakan. Untuk kualitas yang satu ini, Andi jelas lebih menarik dibanding Anas Urbaningrum yang tampil santun," ujar Herman "Joker" Hermawan, aktivis Akposi.

"Gara-gara Andi kalah, komedian politik Indonesia benar-benar menuju kebangkrutan yang serius. Kondisinya melebihi pengaruh resesi global 1930, 1997 dan 2007 di gabung sekaligus menjadi satu," imbuh Sofia Tegurasakya, sekretaris jenderal Akposi. Keduanya secara terpisah dihubungi melalui email oleh reporter Fake News Komedikus Erektus, beberapa hari yang lalu.

Rusaknya reputasi. "Kami juga tak kalah kuatir," timpal Dicky Amordani, ketua Indonesia Spin Doctors Association (ISDA), lembaga yang mewadahi kiprah konsultan politik di Indonesia.

"Kekalahan Andi benar-benar merusak reputasi bisnis kami. Dan multiplier effect-nya sangat serius. Angka pengangguran nasional akan meroket lagi," lanjut Dicky Amordani.

Ia lalu merinci betapa para pemikir komunikasi politik, tenaga survei, ahli statistik, penulis naskah, desainer logo, desainer grafis, pelaku industri percetakan digital, wartawan-wartawan humas, tukang pasang spanduk sampai pelaku cheer leader dan demo bayaran, semuanya akan terancam kehilangan pekerjaan.

Salah satu solusi untuk terhindar dari bencana itu, menurutnya, konsultan politik FoxIndonesia yang menjadi mesin kampanye Andi Mallarangeng, yang dikelola dirinya bersaudara itu harus segera berganti nama. Menjadi : Lame FoxIndonesia.

Malah lebih baik, usulnya, mereka harus kembali menata model bisnisnya secara radikal. Misalnya berubah menjadi jasa penyedia sembako untuk menunjang sukses kandidat apa pun ketika terjun berkampanye dalam pemilihan apa pun.

"Back to basic ! Sebab itulah yang diharapkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia sejak era reformasi bergulir," tegas Dicky Amordani. Ia sendiri menyatakan niatnya segera lengser sebagai konsultan politik dan berganti profesi sebagai pemasok sembako.

Efek domino dikuatirkan berlanjut. "Iklan-iklan politik di media massa juga akan anjlok. Omsetnya diperkirakan hanya mampu mencapai 2 persen setelah kekalahan Andi itu," kata Leo S. Moronagua, pengamat bisnis media.

"Setelah kehadiran Internet, kekalahan Andi jelas semakin membuat rapuh eksistensi bisnis media-media utama yang mengandalkan iklan. Karena ia yakini, kaum politisi akan hanya tertarik memasang iklan bila ada politisi lain meninggal dunia. Itu pun bila yang meninggal dunia adalah para politisi saingan mereka. Itu pun hanya berupa iklan baris, iklan berita gembira yang ditulis dengan gaya alay pula. Benar-benar menyiutkan hati !"

Industri buku-buku otobiografi ikut pula dibekap meriang berat. Partai Demokrat adalah partai yang intensif menerbitkan buku untuk menunjang sukses kampanye revolusi sunyi mereka.

"Begitu menjabat sebagai tangan kanan presiden SBY selama enam tahun terakhir, kami mengharap sosok Andi Mallarangeng akan banyak menulis buku sehingga mampu menghidupkan roda industri kami," kata Rina Publikatadewata dari White Lies Publication, penerbit khusus otobiografi para tokoh politik.

"Kini, kami kuatirkan, tak ada lagi politisi yang mau menulis buku untuk kampanye politik mereka. Hal itu memang baik untuk mengurangi polusi informasi-informasi yang penuh puji-pujian palsu dan juga klaim-klaim yang sarat kebohongan. Tetapi itu jelas jelek banget bagi bisnis kami," keluh Rina dengan lesu.

Seperti diketahui, menjelang konggres Partai Demokrat ia meluncurkan buku berjudul Merebut Masa Depan (2010). Sebelumnya, ketika menjabat sebagai Juru Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng telah menulis buku Dari Kilometer 0,0 (2007).

Orangtua dari Kenya. "Kegagalan Andi, antara lain karena ia tidak meneladani jejak hidup Obama," sahut Julius Sendangkalimat, penulis biografi terkenal. Ia membicarakan kegagalan Andi sambil merujuk isi biodata dalam buku-buku yang ditulis pemilik gelar Master of Science di bidang sosiologi dan Doctor of Philosophy di bidang ilmu politik dari Northern Illinois University (NIU) Dekalb, Illinois, Amerika Serikat itu.

"Seharusnya ada sedikit modifikasi dalam penulisan riwayat hidup Andi Mallarangeng. Sebaiknya ia mengaku memiliki orang tua yang berasal dari Kenya, lalu besar di Amerika Serikat, dan kemudian berjuang untuk berusaha menjadi presiden Republik Indonesia !"

Nasi memang sudah menjadi bubur.

Tetapi toh masih ada kabar baik. Menurut desas-desus, setelah kalah merebut kursi nomor satu Partai Demokrat, Andi Mallarangeng akan kembali menulis buku. Sambutan hangat pun segera terdengar. "Kalau isu buku itu benar, kami pantas tidak pesimis lagi terhadap masa depan profesi kami," tegas Herman "Joker" Hermawan, aktivis Asosiasi Komedian Politik Seluruh Indonesia (Akposi) dengan wajah berbinar.

"Karena kami akan merasa memiliki teman seiring dalam menghumori diri sendiri, berani menertawakan kekurangan diri sendiri atau self-deprecating, suatu kualitas kemanusiaan luhur yang nyaris hilang pada diri para penguasa dan bangsa Indonesia setelah Gus Dur meninggal dunia."

"Gesture yang langka itu pasti akan menjadi ilham untuk memperkuat tekad kami dalam membesarkan profesi langka ini di Indonesia di masa-masa mendatang. Syukur-syukur bila dengan gelar doktornya Bung Andi itu mampu mengajari kami untuk membuat lawakan-lawakan tingkat tinggi. Utamanya untuk menghumori sasaran tembak yang sulit bagi kami selama ini. Yaitu Presiden SBY, dan Anas Urbaningrum nantinya."

Buku yang dihebohkan kalangan komedian politik itu diperkirakan berjudul : Merebut Masa Depan Yang Gagal Kesampaian dan Kembali Ke Kilometer 0,0 Lagi.


Wonogiri, 27 Mei 2010

ke

Thursday, May 13, 2010

Komedian Berdiri Di Bahu Raksasa

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Stand on the shoulders of giants.
Berdiri di bahu raksasa.

Anda sebagai pengguna Internet, sudahkah Anda akrab dengan slogan di atas ? Kata-kata indah dan dahsyat itu merupakan slogan situs Google Scholar. Edisinya berbahasa Indonesia disebut sebagai Google Cendekia. Situs tersebut merupakan situs mesin pencari untuk menemukan karya-karya ilmiah dunia.

Anda kenal Isaac Newton (1642–1727) ? Bagi Anda yang mencandui kata-kata mutiara, mungkin tidak akan menemui kesulitan memahami bahwa slogan itu diilhami oleh kata-kata ilmuwan raksasa bidang fisika dan matematika asal Inggris tersebut.

Bagi saya, kata mutiara ini pertama kali saya dengar di tahun 1980. Dari dosen saya, almarhumah Ibu Lily Koeshartini Soemadikarta, di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ucapan beliau itu begitu membekas, sehingga setiap kali akan menulis sesuatu, ujaran Newton tersebut senantiasa berdering di kepala ini pula.

Pastinya adalah, ketika saat itu Isaac Newton sering ditanya mengapa dirinya mampu melihat jauh ke masa depan, ia menjawab dalam sepucuk surat yang ia kirimkan kepada koleganya, Robert Hooke, pada tanggal 5 Februari 1676. Ujarnya : “If I have seen further it is by standing on the shoulders of giants .” Apabila saya mampu melihat jauh ke depan karena saya berdiri di bahu para raksasa.

Raksasa yang ia maksud adalah para ilmuwan dan buah karyanya yang telah mereka sumbangkan sejak berabad-abad lalu. Himpunan ilmu pengetahuan tersebut merupakan fondasi bagi ilmuwan-ilmuwan berikutnya, dalam kiprah pencapaian-pencapaian karya ilmiah berikutnya pula.

Sebagai kalangan terpelajar, bila kita menggunakan karya-karya mereka, kita harus melakukan ritual penghormatan. Dalam ranah komunikasi ilmiah, bentuk rasa hormat dan pernyataan utang budi kepada ilmuwan-ilmuwan pendahulu itu diwujudkan berupa kutipan, rujukan, sampai daftar pustaka dalam karya ilmiah seseorang ilmuwan.

Dalam berkomunikasi di Internet, rujukan itu diwujudkan dalam bentuk hyperlink atau tautan. Merujuk pentingnya tautan ini sampai seorang konsultan bisnis di Internet, B.L. Ochman, memberikan saran, link like a crazy.

“Satu hal yang membedakan antara tulisan di blog dan di jurnalisme pohon mati (kertas) bahwa para blogger membuat tautan sedemikian luar biasa banyaknya. Tampilkan tautan yang merujuk ke blog atau situs yang Anda sebut. Tautkan dengan artikel, buku, produk, biodata, materi penjelasan dari situs lain yang Anda sebutkan pada blog Anda. Buatkan senantiasa tautan untuk informasi yang memberikan klarifikasi atau informasi latar belakang atau pun opini dari tulisan pada blog Anda,” begitu tandasnya.

Sayangnya, perilaku mulia itu justru seringkali diingkari. Atau dilecehkan. Saya pernah menulis untuk blog lain, tautan-tautan yang saya sertakan itu justru dipreteli. Itulah pola pikir kaum pendekar kertas, yang bermental kelangkaan, yang mungkin takut pembaca situsnya akan lari ke situs lain. Mereka tidak tahu bagaimana cara kerja Google, yang kehadirannya membantu siapa saja agar mampu lari ke jutaan situs-situs lainnya. Dan karena hal itu justru membuat Google menjadi kaya raya !

Dalam dunia akademisi kita, tindak pelecehan terhadap pentingnya ungkapan rasa hormat dan pernyataan utang budi kepada ilmuwan-ilmuwan pendahulu, membuat komunitas ilmuwan Indonesia tercoreng di muka dunia. Momen memalukan itu terjadi ketika seorang MZ, doktor lulusan ITB, terkuak melakukan skandal plagiasi yang kabarnya meledak seantero dunia.

Semua itu terjadi karena dirinya memperlakukan karya ilmuwan sebelumnya secara tidak semestinya. Alih-alih menunjukkan kejujuran dan rasa hormat dengan mencantumkan karya itu sebagai rujukan, tetapi dirinya justru melakukan klaim, mendakunya, sebagai karyanya sendiri. Fatal akibatnya.

Pusat humor dunia. Nasehat Newton itu merupakan perwujudan dari sikap rendah hati. Juga bermanfaat untuk mencegah pemborosan. Sekaligus memicu inovasi. Dengan mempelajari apa-apa saja yang telah dihasilkan oleh generasi sebelumnya, kita tercegah melakukan pengulangan, yang berarti mencegah pemborosan. Sehingga kemudian ilmu pengetahuan mampu bergerak terus menuju kemajuan.

Kiat universal serupa seharusnya juga berlaku untuk dunia komedi kita. Seorang blogger komedi dari kelompok suratkabar The New York Times, Patrick Bromley, telah mengudar pesan kepada mereka yang bercita-cita memilih “jalan pedang” sebagai seorang calon komedian. Nasehatnya : “Dunia sudah memiliki seorang Mitch Hedberg atau seorang Chris Rock. Anda harus membawakan sesuatu yang baru di atas meja.”

Untuk mengetahui apa saja hal-hal yang baru tersebut, seperti Anda ketika menulis skripsi, mau tak mau Anda harus melakukan riset terdahulu. Untuk mengetahui apakah topik skripsi Anda itu sudah pernah dikaji orang atau belum. Kalau sudah pernah, Anda dapat melakukan penajaman atau memfokuskan pada kajian yang berbeda. Begitulah idealnya. Tetapi tradisi ilmiah yang wajib itu dalam dunia komedi kita seringkali tidak berjalan.

Sekadar ilustrasi, di koran Kompas Jawa Tengah (21/6/2005) pernah muncul artikel berjudul “Universitas Humor.” Ringkas kata, artikel itu melambungkan klaim gagah bahwa “jurusan lawak belum dibuka di muka bumi ini,” sehingga Indonesia berpeluang menjadi proyek percontohan kajian ilmu humor di dunia.

Artikel yang lucu. Sekaligus menggaris bawahi betapa tradisi ilmiah nampaknya memang bukan, atau belum menjadi, perilaku wajib komunitas komedi kita. Kalau seorang Jay Sankey menggambarkan rata-rata komedian itu sebagai sosok yang “very insightful, highly intelligent people,” sebaliknya komedian kita justru sering nampak tidak mau (tidak mampu ?) tampil sebagai insan yang cendekia.

Silakan simak acara Democrazy di MetroTV. Silakan perhatikan kualitas celetukan para “komedian” yang menurut saya sungguh selalu tidak sepadan dengan materi yang dibicarakan oleh nara sumber dalam acara itu.

Merujuk sedikit ilustrasi itu, kita berspekulasi bahwa para pemangku kepentingan dunia komedi kita boleh jadi tidak tahu pentingnya, atau bahkan tidak tertarik sama sekali, untuk berusaha mampu “berdiri di atas bahu raksasa.” Mereka rupanya memang sudah cukup puas dengan wawasan sampai pengetahuan warisan yang mereka miliki. Puas pula untuk terus-menerus memeluk dunia kecilnya sendiri.

Sindrom dunia kecil itu yang membuat tayangan-tayangan komedi kita, utamanya di televisi-televisi, nampak tidak pernah terkait dengan problem aktual masyarakatnya. Komedian kita tidak terpanggil untuk membicarakan nasib bangsanya. Padahal, “semua komedi harus relevan,” begitu tutur Gene Perret. Nasehat luhur yang masih sia-sia. Karena komedi kita selalu saja tidak relevan adanya.

Mereka, misalnya, tidak merasa berdosa karena tidak menyuarakan jerit penderitaan para korban akibat lumpur panas di Sidoarjo. Tidak tergerak meledeki fihak yang bertanggung jawab tetapi lebih suka cuci tangan. Termasuk pula tidak hirau terhadap tuntutan keluarga korban Insiden Trisakti dan Semanggi yang kasusnya terkatung-katung belasan tahun hingga kini.

Boleh jadi, dengan meminjam tamsil dari Piramida Maslow, penyebab tidak relevannya dunia komedi kita karena mereka memang baru sibuk berurusan pada tataran terbawah dari hirarki kebutuhan manusia itu. Mereka bersibuk guna memenuhi kebutuhan sendiri untuk bertahan hidup. Kebutuhan akan makan dan minum. Kebutuhan primitif bagi diri mereka sendiri. Semata mementingkan diri sendiri. Egosentris. Me, me, and me. Seperti sikap mental pemilik akun Facebook pada tingkat pemula.

Fatal dampaknya.

Kalau seorang Patrick Bromley pernah menegaskan bahwa comedy is a community, komedi adalah paguyuban, maka jangan harap hal-hal yang guyub itu, suburnya interaksi yang rukun dan saling mendukung antarsesama komedian, mampu berkembang dalam komunitas komedi kita. Akibat belenggu pola pikir primitif itu maka yang marak adalah pola pikir Hobbesian. Homo homini lupus. Komedian yang satu merupakan serigala bagi komedian lainnya.

Sehingga entah sudah berapa kali saya ulang dan ulang lagi pernyataan ini, betapa pola pikir primitif itu pula yang membuat organisasi mereka, PaSKI (2005), langsung mati suri ketika diumumkan berdiri hingga kini.

Matinya Angsa Emas. Pendekatan untuk selalu mementingkan diri sendiri itu, boleh jadi di luar dugaan mereka, sebenarnya justru semakin mempercepat proses bunuh diri mereka pula. Sebuah ilustrasi kasar, adalah cerita tentang kelompok komedi yang pernah berjaya di tahun 80-an. Bahkan mereka mampu mencapai rekor kontrak televisi hingga satu milyar, tetapi kini tinggal sebagai catatan kaki sejarah komedi Indonesia.

Merujuk tamsil tentang sindrom angsa emas dari Stephen R. Covey, saat itu sang angsa bersangkutan, yaitu kelompok komedi tersebut, dituntut pasar, diburu-buru dan dipaksa agar selalu mampu bertelur emas. Yaitu hadirnya lawakan-lawakan yang inovatif dan lucu. Tetapi ada satu hal vital yang mereka lupakan. Angsa emas itu tidak pernah memperoleh asupan gizi yang cukup.

Kelompok komedi itu, sepertinya, tidak pernah atau tidak sungguh-sungguh men-charge isi kepalanya dengan asupan-asupan wawasan, pengetahuan sampai sumber daya kreatif yang memadai. Akibatnya, semakin hari, angsa emas itu menjadi sakit karenanya. Lawakan kelompok itu pun kemudian tidak menggigit lagi. Ketika kontrak usai, sang angsa emas itu pun secara klinis tervonis mati pula. Sebuah tragedi. Karena sukses justru menimbulkan akibat yang mematikan.

Think big !.” Itulah pendapat konglomerat flamboyan Donald Trump. Nasehat yang tulis bersama Robert T. Kiyosaki dalam buku berjudul Why We Want You to Be Rich: Two Men - One Message (2008), kiranya cocok untuk semua fihak yang ingin memperoleh sukses. Saya fikir, nasehat itu juga berlaku bagi komedian dan calon komedian Indonesia. Agar mereka mampu berpikir besar, bercita-cita besar, dan tidak semata terus berada di bawah tempurung dunia kecilnya selama ini.

Merujuk maraknya acara kontes mencari bakat di pelbagai stasiun televisi kita, hal itu semata menunjukkan betapa mereka kelaparan dan kehausan guna menemukan talenta-talenta baru dalam dunia hiburan. Termasuk talenta di bidang pengocok tawa !

Hanya saja, camkanlah hal penting ini. Mereka yang beruntung terpilih, tetapi tanpa visi dan tanpa bekal cukup untuk merevitalisasi dirinya sendiri, akan hanya bernasib sebagai seonggok kapur barus belaka. Dirinya hanya mampu bertahan sebentar, dan sesudah itu berubah menjadi gas yang lenyap di udara untuk seterusnya.

Nenek bercita-cita besar. Boleh jadi kita dapat belajar sesuatu hal dari tokoh yang satu ini. Ia lahir tahun 1934. Kini usianya 75 tahun. Janda seorang marinir itu beranak 4 dan pernah berkeliling dunia. Ia pernah pula menjadi wartawan. Tahun 1995, suaminya meninggal karena kanker. Tahun lalu, ia memutuskan untuk mengikuti ajang mencari bakat dan sebagai bekal ia pun nekad belajar komedi. Itulah : Grandma Lee.

Anda tahu, leluconnya cenderung nakal dan sensual. Salah seorang jurinya, Piers Morgan, pernah secara nakal bertanya, apakah Eyang Lee itu mempunyai cowok. Ia menjawab ya, dan cowoknya itu bernama Norbert. Lebih lanjut ia ceritakan, Norbert lebih muda dibanding dirinya. Berumur 74 tahun. Tetapi, ngocolnya lebih lanjut, “Norbert memiliki tubuh seorang pria berumur 72 tahun.”

Juri lainnya, bintang film seri Baywatch, David Hasselhoff, ikut nimbrung. Apakah Eyang Lee dan cowoknya itu berhubungan intim, begitu pertanyaan David. Eyang Lee tergelak. Menurutnya, terbatuk-batuk adalah permainan seks awal, bersin-bersin adalah permainan berikutnya, dan menyentuh siku merupakan permainan yang sebenarnya.

Sejak tampil di acara kontes itu, lulusan Otterbein College di Ohio tersebut menjadi terkenal di Amerika Serikat. Dalam usia yang sudah begitu sepuh itu toh ia juga mampu pula berpikir besar. Karena ia membawa misi luhur ketika bertarung dalam ajang "America's Got Talent" yang terkenal itu.

Grandma Lee (foto) yang mengagumkan. Ia benar-benar menjadi komedian raksasa yang berdiri di bahu raksasa, karena membawa misi yang lebih besar dibanding dirinya sendiri. Inilah cita-cita besar Grandma Lee ketika terjun dalam kontes sebagai seorang komedian :

“Berusaha menyadarkan kaum lansia bahwa tidak ada kata terlambat untuk berusaha merealisasikan impian, meraih cita-cita, dan mampu mengajak dunia untuk tertawa !”

Dengan bercita-cita besar, semua hal justru lebih mudah diraih.
Grandma Lee yang sepuh itu sudah membuktikannya !


Wonogiri, 13 Mei 2010