Tuesday, February 27, 2007

I Love You Ellen, Ellen DeGeneres !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Rumus Anda Tidak Berlaku ! Margaret Hilda Thatcher, perdana menteri Inggris (1979-1990), pernah dikutip majalah People (15/9/1975) mengatakan, “In politics if you want anything said, ask a man. If you want anything done, ask a woman.”. Apabila dalam politik Anda menginginkan segala sesuatunya hanya jadi bahan omong-omongan, pilihan politikus pria. Apabila Anda menginginkan segala sesuatunya dikerjakan, pilihlah politisi wanita.

Rumusan bagus.

Mendongkrak rasa percaya diri kaum perempuan. Sayang, Lady Thatcher, rumus Anda tersebut tidak berlaku seratus persen di Indonesia. Karena Indonesia pernah dipimpin politisi perempuan, tetapi dirinya nampak menonjol tidak tertarik untuk melakukan aktivitas omong-omongan, sementara prestasi kerja pemerintahannya pun diragukan.

Seorang linguis, Deborah Tannen dalam bukunya You Just Don’t Understand : Women and Men In Conversation (1990), menekankan bahwa perempuan secara alami mempererat hubungan mereka dengan terang-terangan dalam menyalurkan informasi, petunjuk, atau bantuan dengan sepenuh hati. Aneh juga ketika kita justru mendapati betapa politisi perempuan kita malah lebih suka berdiam diri.

Politisi perempuan di Amerika Serikat yang tidak suka selalu berdiam diri, mungkin bisa kita temui pada sosok Hillary Rodham Clinton. Ia sudah disebut-sebut oleh surat kabar The New York Times sejak Oktober 2002 sebagai calon kuat presiden AS masa depan. Disusul Majalah Forbes mendata dirinya sebagai salah satu figur kuat dunia dan jajak pendapat mendudukkan Hillary masuk daftar 100 tokoh pilihan Majalah TIME.

Ketika suaminya, Presiden Bill Clinton, dilanda rumor skandal seks dengan Gennifer Flowers sampai Monica Lewinsky, Hillary bersedia muncul untuk wawancara dalam acara terkenal 60 Minutes di televisi CBS.

Ujarnya saat itu, “I am not standing by my man, like Tammy Wynette.” Ia menjelaskan bahwa dirinya bersedia hadir pada acara ini karena ia mencintai suaminya, ia menghormatinya, dan dirinya menghargai apa yang suaminya putuskan dan, “kami berdua akan bertanggung jawab secara bersama-sama.” Dalam bukunya Living History (2003), setebal 562 halaman dan laku lebih dari sejuta eksemplar setelah sebulan diluncurkan, Hillary menjelaskan bahwa cinta yang menjadi alasan dirinya tetap bersama suaminya tersebut.

“Tidak ada orang yang mampu memahami diri saya secara lebih baik dan mampu membuat diri saya tertawa sebagaimana Bill kerjakan. Setelah waktu dan waktu berlalu, ia tetap pria yang paling menarik, energizing, dan sosok penuh gembira yang pernah saya temukan. Bill dan saya memulai mengobrol di musim semi tahun 1971, dan lebih dari tiga puluh tahun kemudian kita berdua tetap saja saling berbicara”


Salah satu tokoh ternama di dunia hiburan AS yang mungkin bersorak atas majunya Hillary Clinton tersebut adalah comedienne Ellen DeGeneres (foto di bawah ini) yang baru saja memandu acara Oscar 2007.


Photobucket - Video and Image Hosting


Memandu Oscar 2007. Ellen DeGeneres saat tampil dalam memandu acara penganugerahan Oscar atau Academy Awards ke-79, 25 Februari 2007 yang lalu.

Ellen DeGeneres, lahir tanggal 26 Januar1 1958 di Ochsner Hospital, Metairie, Louisiana dan memiliki darah campuran Perancis, Inggris, Jerman dan Irlandia itu pernah mengemukakan, “masa depan Amerika yang lebih baik harus dipimpin oleh seorang presiden perempuan.”
"Kekurangan Amerika sekarang ini adalah terletak pada pedoman dan kepemimpinan yang hanya bisa diberikan oleh sosok perempuan bijaksana serta pengasih. Mengapa tidak? Perempuan bisa bekerja lebih cekatan, belajar lebih lama serta berusaha lebih keras untuk berhasil di dunia pria ini.

Kita harus belajar untuk sukses tanpa merasa terancam, mengajak tanpa menuntut serta memimpin tanpa merasa tertinggal di belakang. Kami adalah politisi alami. Persyaratan usia minimum adalah 35 tahun. Di usia inilah perempuan sedang berada di puncak intelektualnya. Bukan matang karena krisis paroh baya," ujar komedian ini.

Tetapi dalam penampilannya di malam Oscar, ia tidak menyuarakan pandangan politiknya tersebut. Ia justru meledek kehadiran mantan wakil presiden AS, Al Gore, yang malam itu menyabet Oscar untuk film dokumentasi, An Inconvenient Truth, yang mengampanyekan ancaman pemanasan global bagi masa depan umat manusia.

Photobucket - Video and Image Hosting


Ellen DeGeneres melucukan Al Gore dengan memperbandingkannya dengan nasib artis Jennifer Hudson. Audiens telah tahu, Jennifer Hudson sebelumnya gagal dalam ajang American Idol. “Tetapi kini,” seru Ellen DeGeneres, “ia sekarang ada disini sebagai nominator Piala Oscar.” Lalu ia menunjuk ke Al Gore, yang juga hadir sebagai nominator Oscar, terkait pemilihan presiden di AS tahun 2000.

“Amerika telah memilih dirinya sebagai presiden, dan...” di tengah gemuruh sorak dan tepuk tangan hadirin, Ellen melepaskan punchline-nya : “Sangat-sangat sarat komplikasi !”

Kekalahan Al Gore dari George W. Bush dalam pilpres waktu itu memang kontroversial. Angka perolehan keduanya bersaing sangat ketat. Bahkan kemudian sengketa itu harus dibawa ke Kejaksaan Agung, dan Al Gore lebih memilih mundur dan memberikan kemenangan bagi Bush. Pemilu yang kontroversial. Dan bagi komunitas komedian, segala hal yang berbau kontroversial merupakan menu lezat yang harus disantap untuk dijadikan bahan bulan-bulanan lawakan.

Merujuk rumusan di atas maka ketika mengomentari acara Republik Mimpi yang menampilkan tokoh SBY, hal itu saya sebut sebagai blunder. Karena SBY adalah tokoh yang kurang “bergerigi” dan lembek untuk dijadikan lawakan, terutama bila konstruksi lelucon tentangnya hanya berputar-putar menguliti sisi-sisi wadag, hanya permukaan, seperti yang hanya mampu dilakukan oleh Butet selama ini. Butet memang tidak salah, tetapi tim kreatif acara bersangkutan yang kurang tajam wawasannya tentang isi acara parodi politik !

Bandingkan misalnya dengan karya satir dari Van Gross, MD dalam situs BongoNews ketika mengolok kemenangan Al Gore di malam Oscar 2007 tersebut. Ia tuliskan bahwa kemenangan Al Gore itu ternyata kemudian harus dibatalkan oleh hakim. Karena Piala Oscar untuk kategori Film Dokumentasi Terbaik justru dianugerahkan kepada George Bush untuk film politiknya yang berjudul Mounting Mr. Cheney.

Bahkan ketika pesta Oscar itu berlangsung, pemerintahan Bush justru merayakan kemenangan setelah menjatuhkan bom nuklir di Iran, juga menculik presiden Mahmud Ahmadinejad, sehingga Bush dapat membintangi film dokumentasinya yang terbaru, berjudul : An Inconvenient Idiot.


Telepon Ellen Kepada Tuhan. Malam Oscar tersebut telah merambah kemana-mana, termasuk mengangkat isu tentang Bush yang kontroversial. Juga Al Gore. Demikian pula sebenarnya tentang diri Ellen DeGeneres sendiri.

Ellen saya kenal pertama kali 13 Februari 2002. Di stasiun kereta api Gondangdia, Jakarta Pusat. Dari buku The Comedy Bible (2001)-nya Judy Carter. Saat itu buku tersebut baru saya ambil dari toko buku QB World of Books, Jalan Sunda, setelah sebulan sebelumnya saya memesannya dari Amerika Serikat.

Dalam buku itu Ellen DeGeneres dijadikan contoh proses kreatif seorang komedian. Lelucon, demikian kata Judy Carter, harus dimulai dari gagasan dan semua orang punya gagasan jenaka. Sebagai contoh, “Ellen DeGeneres mampu mengubah tragedi menjadi komedi. Ketika (saat itu Ellen berumur 19 tahun) teman perempuannya meninggal dunia, ia sendirian dan terganggu oleh kutu, memunculkan gagasannya untuk menulis rutin atau naskah lelucon yang berjudul : Bertelepon Kepada Tuhan.”


”Hallo, Tuhan, ini Ellen....Begini, Tuhan, ada kepastian di dunia ini. Tetapi saya tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Bukan, bukan tentang Fabio. Bukan. Tetapi hal yang pasti, maksud saya, Jesus Kristus. Bukan, bukan ia yang saya maksudkan. Ia sosok yang agung. Kita masih sering membicarakannya. Tetapi tidak kali ini, saya lagi berpikir mengenai serangga. Bukan lebah. Mereka hebat. Madunya. Serangga cerdas.

Terima kasih, Tuhan. Saya berpikir tentang kutu.. yang menurut saya tidak ada manfaatnya....(menunggu). Tidak, saya tidak menyadari betapa banyak orang yang bekerja di bidang industri kutu di kerah baju...belum lagi tentang obat semprot. Baiklah, aku pikir kau yang benar. Tentu saja kau selalu benar.....”


Demikianlah, gara-gara kutu, diimbuhi perhatian, kejelian dalam melakukan observasi, dan kemudian menuliskannya, akhirnya mampu melambungkan seorang Ellen menjadi komedian ternama. ”You’ve probably been thinking up ideas for many, many years. Well, now it’s time to write them down.”, begitu nasehat Judy Carter. Manfaat mengobservasi dan catat-mencatat juga berlaku untuk bidang lain. Sebagai seorang epistoholik, saya telah menulis surat pembaca di bawah ini :


Bloknotmania !
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Jumat, 12 Agustus 2005


Apa yang terjadi bila satu bus penuh turis Jepang dibajak teroris ? Polisi akan memperoleh 50 foto diri teroris dari pelbagai sudut. Lelucon ini menunjukkan kegetolan turis Jepang yang kemana-mana memotret obyek wisata yang mereka kunjungi. Ternyata kebiasaan hebat turis Jepang bukan hanya itu.

Menurut Harry Davis, Wakil Direktur Program MBA di Sekolah Bisnis Universitas Chicago, Amerika Serikat, turis-turis Jepang itu juga membawa-bawa bloknot. Mereka mencatat hal-hal khusus yang dapat mereka amati dari pelbagai penjuru dunia yang mereka kunjungi. Mereka melakukan tindak intelijen secara legal, mereka mengumpulkan data. Pelbagai data itu diolah dan dijadikan pertimbangan dalam menghasilkan produk yang diekspor Jepang ke seluruh dunia. Itulah cara Jepang menguasai ekonomi dunia.

Menurut Harry Davis, kebiasaan model turis Jepang itu harus dimiliki oleh setiap insan yang produktif, utamanya dalam mengembangkan dan mengasah keterampilan melakukan observasi. Kepada mahasiswa MBA-nya, seperti dikutip koran USA Today (12/2/1992), ia anjurkan untuk membawa-bawa bloknot sepanjang waktu. Dengan demikian mereka setiap saat dapat menulis dan mengawetkan hasil observasi dan ide-ide seputarnya, yang sangat bermanfaat bagi pekerjaan atau pun kehidupan pribadinya.


BAMBANG HARYANTO
Warga Epistoholik Indonesia
Jl.Kajen Timur 72
Wonogiri 57612


Dekat Dengan Tuhan ? Ellen DeGeneres rupanyai dikaruniai untuk “akrab” secara kontroversial dengan Tuhan. Tahun kemarin, 2006, ia membintangi film daur ulangnya komedian panjang umur George Burns di tahun 1977, berjudul Oh, God. Ellen berperan sebagai Tuhan.

Photobucket - Video and Image Hosting

Ketika dirinya (foto di atas) terpilih sebagai salah satu dari 100 tokoh Majalah TIME (artis dan penghibur lainnya : George Clooney, Dixie Chicks, Ang Lee, Will Smith, Meryl Streep, Reese Witherspoon sampai komedian Stephen Colbert), Bob Newhart, juga komedian, penulis buku I Shouldn't Even Be Doing This (2006) dalam artikelnya di majalah TIME (8/5/2006) menyebut Ellen DeGeneres sebagai “Komedian Perempuan Paling Berani dan Paling Jujur Dalam Dunia Hiburan.”

Pujian Bob Newhart itu merujuk penampilan Ellen dalam acara sitkomnya, juga berjudul Ellen (1994-1998) di televisi ABC, ketika di tahun 1997 ia secara terus terang mengatakan dirinya sebagai lesbian. “Pengakuan tersebut dapat beresiko menamatkan kariernya, sebagaimana Ellen sendiri juga menyadarinya, tetapi ia telah berlaku sejujurnya. Terima kasih Tuhan, untuk Ellen DeGeneres. Dan ini bukan hal yang sering terjadi ketika menemukan nama seorang lesbian dan Tuhan berada dalam satu kalimat dewasa ini,” kata Bob Newhart.

Di malam Oscar 2007, sambil merujuk keragaman audiens dan hadirnya 177 nominator, ia tak lupa meledek status orientasi seksnya tersebut. “Apabila tidak ada orang-orang berkulit hitam, Yahudi dan lesbian,” di tengah pikuk keramaian sambutan ia menegaskan, “maka akan tidak ada anugerah Oscar.”

Kejujuran seorang komedian, seperti telah ditunjukkan Ellen DeGeneres secara berani dan setulus hati itu, sungguh mengharukan dan mengesankan untuk bisa dijadikan sebagai cermin renungan. Oleh kita, bagi kita semua, baik mereka yang terlibat dalam dunia komedi Indonesia, atau pun dalam bidang-bidang kehidupan lainnya.

I love you, Ellen.


Wonogiri, 27/2-7/3/2007


ke