Wednesday, October 17, 2007

Don't Try To Be Funny !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Otak yang luka. Ketikkan sekarang “comedy writing” di mesin pencari Google. Semoga Anda masih beruntung menemukan artikel berjudul The “Seven Laws of Comedy Writing” oleh David Evans. Artikel yang menurut saya, sungguh bernas dan menarik.

Saking bersemangatnya saya untuk bisa ikut memberi andil bagi perbaikan kualitas dunia komedi Indonesia, artikel itu pernah saya kirimkan kepada warga komunitas komedi Indonesia. Tidak kepada Miing Bagito. Tidak kepada Aming atau Tora Sudiro. Tidak kepada Indro Warkop DKI. Tidak pula kepada Tukul Arwana. Apalagi Gogon atau pun Basuki. Bukan bermaksud meremehkan mereka, tetapi karena saya memang tidak memiliki data email mereka.

Saya kirimkan artikel itu kepada Effendi Gazali. Juga kepada Denny Chandra. Keduanya tidak membalas. Apalagi berkomentar tentangnya. Saya pikir, hal itu terjadi karena mereka memang sudah memiliki artikel bersangkutan. Kalau itu yang terjadi, saya bersyukur.

Dalam artikel tersebut David Evans antara lain menceritakan sosok komedian keturunan Latin, bernama Chris Fonseca. Ia kurang beruntung, karena menderita penyakit yang disebut sebagai cerebral palsy, adanya luka di otaknya. Penyakit itu pula yang membuatnya sulit berbicara dan tidak mampu meninggalkan kursi roda.

Tetapi di atas kursi roda itulah Chris Fonseca memanggungkan lawakannya. Sebagian besar leluconnya, menurut Evans, merupakan ungkapan sisi-sisi komedis hidup Chris Fonseca yang terkungkung dan tertelikung oleh jeruji keterbatasan fisiknya.

“He is wonderfully funny, because his comedy grows directly out of his own real life,” tandas David Evans bernada tulus dan sarat pujian. Chris Fonseca yang menurutnya memang bener-bener lucu abis., karena sajian komedinya tumbuh langsung dari kehidupan nyata dirinya pribadi.


Panggung pembantaian. Artikel David Evans dan kisah Chris Fonseca serasa tertayang kembali di benak saya, ketika menguping acara Seni dan Budaya Radio BBC Siaran Indonesia, Minggu Sore, 14 Oktober 2007 yang lalu. Dengan dipandu oleh reporternya, Donny Maulana, disajikan perbincangan menarik berkisar peranan klub komedi dalam sumbangsihnya terhadap perkembangan dunia komedi Indonesia. Topik satu ini seingat saya belum pernah muncul dalam perbincangan di pelbagai media mainstream Indonesia. Di harian Suara Merdeka, 19 Februari 2007, saya telah menulis topik bersangkutan.

Nara sumber yang sempat dikontak Donny Maulana untuk berbicara meliputi Ramon P. Tommybens, Dodik Hamster, Apung dan Bambang Haryanto. Sebagai orang kampung dalam belantara komedi Indonesia, saya merasa beruntung. Kalau menurut Gene Perret, penulis komedi untuk Bob Hope, saya selama ini ibaratnya mengenal dunia komedi baru terbatas sebagai “ilmu air,” hal-hal yang bersifat teori. Malam itu saya mendapatkan padanannya.

Pernyataan saya yang dikutip dalam liputan BBC itu berfokus pada topik manfaat klub komedi. Menurut saya., klub komedi merupakan fenomena urban yang selain sebagai outlet alternatif bagi penggemar komedi berkelas, terutama bagi mereka yang bosan atau muak dengan tayangan-tayangan komedi yang ada di televisi, juga sebagai wahana asah diri bagi calon-calon komedian solo Indonesia.

Kita tahu, kalau dalam tayangan komedi di televisi terlalu banyak unsur kepalsuan dan rekayasa dalam mengundang tawa, maka dalam klub komedi para komedian terjun langsung sendirian, secara head to head dengan audiens. Di pentas itu dirinya akan merasakan panasnya sambutan atau pun cemoohan penonton, dan itulah penggemblengan sejati bagi mereka. Tak ayal ini merupakan arena pembantaian yang mengerikan. Dan mungkin karena hal itulah karier komedi solo tidak nampak diminati oleh komedian Indonesia, karena mereka lebih merasa aman untuk tampil secara keroyokan.

Mungkin itulah akibat terlalu banyaknya warga komunitas komedi Indonesia yang tidak tahu kata mutiara dari seorang Judy Carter, mentor komedi terkenal. Ia bilang, komedi solo merupakan bentuk padat, intisarinya komedi. Kalau Anda faham mengenai prinsip-prinsip dasar lelucon, maka Anda akan mampu menerjemahkan keterampilan itu dalam pelbagai ranah yang beragam, apakah dalam penulisan naskah komedi, pementasan, sampai kepada pemasarannya. Karena semuanya itu terpusat pada upaya untuk menghadirkan gelak tawa.

Sokurlah, “ilmu air” saya di atas tentang komedi itu diperkaya dengan nara sumber lainnya yang mengenal “ilmu madu” dari komedi Indonesia. Karena mereka mengenalnya secara nyata. Dalam pergulatan hidupnya. Terutama untuk sosok seorang Ramon P. Tommybens.

Ia selain menulis naskah komedi untuk tayangan televisi dan pementasan, tercatat bersama Harry de Fretes mendirikan PT HdF Corporation yang di antaranya membawahi Grup Lenong Rumpi, Tegar Cipta Paramuda Film, Boim Cafe, dll Ketika itulah ia mulai membina banyak artis muda untuk produksi serial komedi yang di produserinya seperti Lenong Rumpi, Hari Harry Gila (Anteve), Hari Harry Mau (Anteve), F-2 (TPI), dll.

Bersama aktor Tio Pakusadewo dan Ryan Hidayat, Ramon juga membuat beberapa produksi sinetron dan juga menjadi pemain (aktor). Selain mencari bakat baru, melatih dan membimbing, Ramon P Tommybens juga banyak bekerja sama dalam produksi program komedinya dengan beberapa artis yang di kemudian hari menjadi terkenal seperti Tukul Arwana, Becky Tumewu, Indra Safera, Jodi, Tenny, Trio OIO, Ade Juwita, Ade Namnung, Dilla Dil, dan lain-lainnya.



Malam itu Ramon didaulat oleh BBC Siaran Indonesia terutama karena sejak tahun 1997 ia menciptakan konsep unik comedy cafe a la Indonesia dengan mendirikan Comedy Cafe Indonesia untuk pertama kalinya di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Sejak 1 Februari 2006 Comedy Cafe beroperasi di lokasi Ground Floor 06 Pasar Festival Jl. HR Rasuna Said Kuningan Jakarta.

Dodik Hamster, stage manager Comedy Café, menjelaskan bahwa kafenya disebutnya baru menciptakan suasana yang komedis untuk para pengunjungnya, termasuk juga para pengelolanya. Tetapi bila dibandingkan dengan klub komedi di AS, yang mampu melahirkan komedian solo atau stand up comedian seperti Bill Cosby, Robin Williams sampai Jim Carrey, Dodik Hamster mengakui bahwa hal itu masih terbatas sebagai cita-cita besarnya. Walau kafenya sudah berjalan selama sepuluh tahun, ia mengatakan masih menunggu-nunggu, sambil terus belajar, hingga munculnya komedian solo di Indonesia.


Tidak ada rambut Gogon. Pemilik Comedy Café, Ramon P. Tommybens, bahkan menegaskan bahwa sejumlah pelawak terkenal yang alumnus kafe atau hasil didikannya, belum bisa disebut sebagai seorang stand up comedian. Karena memang sulit menemukannya di Indonesia. “Kenapa sulit sekali di Indonesia memiliki stand up comedian walau banyak sekali yang berusaha ?,” tanyanya.

Ia menjawabnya dengan memberi ilustrasi seputar perjuangan seorang Taufik Savalas almarhum. “Dia itu minjam DVD, koleksi buku, (juga) belajar teorinya dari saya. Beberapa tahun lalu saya dengar ada Iwel (Well) yang nyoba di Gedung Kesenian tampil sendirian. Nah masalahnya, ada kesalahan. Kesalahan belajar,” tutur Ramon P. Tommybens. Menurut pendapatnya, pelawak solo Indonesia bisa segera muncul, kalau mereka belajarnya benar. Dalam rinciannya terdapat lima syarat :

1. Don’t try to be funny.
2. Don’t tell a jokes.
3. Don’t tell a story.
4. Be serious.
5. Relax.


Sebelumnya Ramon menyebut bahwa bahannya, yaitu si pelawak atau orangnya, harus pintar Cerdas. Dalam wawancara melalui telepon terkait persyaratan satu ini, kepada Donny Maulana saya memberi ilustrasi mengenai seberapa cerdas sosok komedian solo di AS. Yaitu Conan O’Brien dan Andy Borowitz. Sekadar Anda tahu saja, keduanya sama-sama lulusan magna cum laude dari Universitas Harvard.

Ramon kemudian merinci sebagian dari kelima syarat di atas dengan ilustrasi menarik. Misalnya, ketika merujuk syarat yang pertama, mungkin terasa sangat antagonistik. Ia katakan, “padahal mau menjadi pelawak tetapi (kok) tidak boleh melucu ? Bahkan jangan coba-coba menjadi lucu !” Mungkin memang tidak mudah bagi kita untuk mencerna penjelasannya yang provokatif ini.

Kita simak, ketika ia mengilustrasikannya dengan merujuk sosok pelawak solo di luar negeri. Mereka itu, menurutnya, tampil seperti businessman. Hadir dengan jas rapi, memakai jam emas, pakai berlian, gayanya mewah. “Tak ada lagi yang memakai dasi pendek, celananya diangkat, kumisnya kecil atau rambutnya diapain. Engga ada lagi yang rambutnya kayak Gogon gitu,” tandasnya.


Siapa mendengar kritik Ramon ? Beberapa hari sebelum acara di radio BBC Siaran Indonesia diudarakan, saya telah menulis email ke Ramon P. Tommybens. Juga saya tembuskan kepada beberapa individu warga komunitas komedi dan pelaku industri komedi di Indonesia. Semoga mereka mendengar kritikan Ramon di atas. Saya ragu.

Karena walau pun mendengar, saya terlanjur pesimistis bahwa mereka mampu memahami rumus-rumus yang dipaparkan oleh Ramon P. Tommybens di atas. Lebih pesimistis lagi bila mampu memberinya inspirasi untuk mau belajar dan memicunya untuk berubah. Karena pemahaman komunitas komedi di Indonesia terhadap sajian komedi sepertinya sudah mengakar sebagai pertunjukan bergaya keroyokan, tidak menganggap penting otensitas diri tiap individu pelawak, dan terutama mereka baru mampu berjalan di tempat dengan prinsip selalu tampil untuk berusaha lucu.

Tayangan Republik Mimpi di MetroTV misalnya, yang diolah otak-otak terdidik dari jurusan pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, juga masih terjebak sangat tendensius ingin melucu dan melucu. Pemberian nama-nama tokohnya, seperti Jarwo Kuwat (JK) untuk memparodikan sosok Jusuf Kalla, Gus Pur untuk Gus Dur, sampai Megakarti untuk Megawati, adalah impuls kelucuan yang teramat tipis, hanya mengapung di permukaan saja.

Begitulah, lelucon atau komedi di Indonesia memang masih sibuk menggaruk-garuk impuls-impuls dangkal yang mampu memicu tawa. Juga hanya menerbitkan tawa yang dangkal pula. Suka atau tidak suka, modus operandi atau formula semacam ini yang justru merajai tayangan-tayangan komedi di layar-layar televisi kita selama ini.


Selamat tinggal televisi ! Kita kembali ke David Evans. Obat atau antidote bagi nafsu mencoba melucu dan tampil lucu, barangkali bisa kita temukan pada pernyataannya berikut ini : “Saya percaya adanya kekuatan dahsyat ketika Anda memiliki kejujuran dalam visi komedi Anda, yang dipadukan dengan inspirasi komedi yang bersumberkan pada diri individu Anda.”

Inspirasi komedi itu bisa hadir secara wadag, misalnya kekurangan fisik seorang Chris Fonseca. Tetapi bisa juga lebih halus keberadaannya. Bagi saya, kejujuran seperti yang ia syaratkan masih hal langka bagi komedian Indonesia dalam mengkonstruksi lawakan-lawakan mereka.

Speak your truth. You can say what you think an audience wants to hear, and they may think you're funny, but you won't pioneer anything new unless you use that one thing that makes you different, your own personality.

Talk about your own fears and faults. By presenting what is most personal for yourself, you actually touch a common chord among more people. You can illuminate what it means to be human, and bring more humanity out of yourself and others. And that's what great stand-up is all about.


Kuncinya, sekali lagi, tengoklah diri Anda sendiri. Lalu perhatikan orang-orang di sekitar hidup Anda. Orang-orang, absurditas dan kebodohan dari kehidupan nyata merupakan sumber inspirasi komedi yang paling kaya. Mengingat tingginya nilai keaslian, ia anjurkan kepada para calon komedian untuk tidak menonton televisi. Tegas David Evans : “Jangan berbelanja inspirasi atau model komedi Anda dari televisi !”

Sebagai calon komedian, mungkin sudah saatnya Anda mau menyiksa diri dengan mengoreksi secara total kesalahan belajar komedi Anda selama ini. Termasuk untuk berkata dan bertindak : Selamat tinggal Empat Mata. Selamat tinggal, Republik Mimpi. Selamat tinggal, ExtraVaganza. Kalau tidak, mungkin Anda sebenarnya sudah mengidap cerebral palsy, tanpa Anda sadari.

Dalam konteks seperti ini mungkin saya, yang tinggal di kampung ini, agak-agak boleh disebut sebagai beruntung. Karena saya memang tidak memiliki pesawat televisi.



Wonogiri, 14-17 Oktober 2007


ke