Sunday, November 27, 2005

Benturan Peradaban : Promo Islam Lewat Lelucon

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


-------------

Catatan Bambang Haryanto :
Artikel ini telah dimuat di Rubrik Teroka/Humaniora, Harian Kompas, Jumat, 18 November 2005, Halaman : 14. Kini juga tertayang di situs web Kompas Cybermedia.

Pengasuh rubrik Teroka, sastrawan Radhar Panca Dahana, dalam mengantar tulisan ini antara lain mengatakan :

Masih banyak kita bisa temukan kisah, puncak-puncak sejarah, peradaban, kekuasaan, bahkan pemaknaan manusia berakhir dalam lelucon dan komedi. Satu ‘realitas’ yang jika kita bisa berada di luarnya, terlihat menggelikan.

Maka jika komedi menjadi bahasa yang (bisa jadi, paling) universal, karena memang tak satu pun manusia sehat yang tak menghendakinya. Lantaran di situlah kita kerap menemukan diri sendiri, mengalami katarsis, puncak pencerahan spiritual.

Esai “teroka” kali ini, memberi contoh yang sangat menarik. Satu hal yang tertindas, dicurigai, dinegasi, disudutkan, akan mendapat makna baru dan diterima melalui satu cara : lelucon. Maka, tak berbahagialah Anda yang tak bisa menikmatinya.

Cobalah uji dengan esai dari penulis “baru” kita kali ini”

--------------

Garin Nugroho kepada BBC Siaran Indonesia mengenai keikutsertaan filmnya, Rindu Kami Pada-Mu, ke Festival Film London 2005 mengatakan bahwa dirinya ingin mengembuskan citra yang berbeda mengenai umat Islam di forum kebudayaan internasional.

Kalau selama ini citra Islam selalu digambarkan media massa Barat sebagai umat yang selalu tampil dengan wajah marah, maka filmnya menampilkan kehidupan umat Islam yang bersahaja, ramah dan juga berwarna humor.

Memang, sejak serangan teroris 11 September 2001, prasangka buruk Barat terhadap Islam juga sebaliknya mencapai puncaknya. Presiden Bush dalam upaya melindungi kaum Muslim Amerika sampai mengatakan bahwa teroris itu bukanlah warga Muslim, melainkan pembunuh yang memakai agama Islam untuk melegitimasi tujuan politiknya.

Upaya ini bersambut, misalnya kajian bertahun-tahun yang dilakukan Irfan Omar profesor teologi dari Universitas Marquette dan koleganya, yang mendelegitimasi tindak kaum teroris dengan membedah isi Al Quran yang menentang aksi-aksi kekerasan. Tetapi, ikhtiar mulia semacam tetap tersembunyi, kurang menonjol, karena tidak ada saluran menuju aliran budaya yang utama. Bagaimana agar proyek penting untuk mengelakkan “benturan peradaban” tersebut bisa merasuk dalam kesadaran masyarakat? Jawabnya adalah melalui lelucon!

Sejumlah komedian Muslim Amerika segera tampil ke depan, menggunakan kekuatan komedi sebagai sarana mendefinisikan kembali apa makna sebagai kaum Muslim yang sekaligus warga negara Amerika. Inilah wajah “benturan peradaban” baru itu.

Sesosok pria berjubah, berjenggot lebat, memakai kopiah hitam, mirip pejuang Taliban, menaiki panggung. Ia lalu memberi salam : “Assalamualaikum!” Tidak ada tanggapan atau salam balik yang berarti. Pria tambun itu segera menimpali, “Bagi Anda yang tidak memahami arti salam saya tadi, akan saya beri tahu. Artinya adalah : Saya akan membunuh Anda semua!”

Penonton meledak dalam tawa.

Pejuang Islam bersenjatakan lawakan tadi adalah Azhar Usman (28). Komedian merangkap pengacara dan aktivis itu adalah lulusan ilmu komunikasi dari University of Illinois dan juris doctorate (cum-laude) dari University of Minnesota Law School. Variasi lain lawakannya yang menjurus, seperti : “Apa kesamaan teroris dan komedian Muslim? Keduanya sama-sama mem-bom!”.

Azhar, keturunan India kelahiran Chicago, mengaku, “Saya Muslim Amerika. Ya shalat, tetapi juga makan hamburger”, candanya. “Saya keponakan Osama Bin Laden. Mereka menyebut saya sebagai Bin Laughin” (Bin Ngakak).

Menanggapi sikap hipokrit yang melekat pada masyarakat AS dalam memersepsikan dunia Islam, Azhar menjelaskan bahwa di beberapa negara Islam memang diperintah oleh raja. “Tapi, apakah kita hidup di abad ke-15? Saya tak bisa membayangkan hidup di negara di mana rakyat memilih presiden berdasar siapa dulu ayahnya!”

Audiens kembali tergelak. Mereka tahu bahwa kini George W Bush yang kena tembak. Lawakan Azhar Usman tidak pernah menyinggung materi-materi biru atau porno. Satirnya merambah ke sistem peradilan kriminal. Ia katakan, “Warga kulit hitam di AS tidak pernah merasa diadili secara fair. Tetapi kami, warga keturunan Arab dan warga Muslim bahkan tidak pernah sekalipun memperoleh peradilan!”

Ia pun melucukan terorisme, sensasi di kalangan media, tata cara ibadah, politik internasional sampai prasangka rasial. “Saya berharap, lawakan saya adalah lawakan cerdas. Ini adalah cara untuk memanusiawikan apa yang tersembunyi di balik pintu. Saya pikir, bagi kalangan non-Muslim, masjid merupakan bangunan yang sangat –sangat misterius. Saya kira mereka sangat-sangat terganggu karena menara-menara masjid menyerupai rudal.”


Azhar Usman adalah bagian dari munculnya genre baru dunia komedi muslim di dunia Barat. Nama lain termasuk Ahmed Ahmed asal California yang kelahiran Mesir, Bryant Reginald Moss (Preacher Moss), warga Amerika keturunan Afrika, Maysoon Zayid berasal dari Palestina yang lahir di New Jersey, juga komedian wanita Tissa Hami keturunan Iran.

Sulayman S Nyang, profesor kajian Afrika dari Universitas Howard dan cendekiawan Muslim Amerika, seperti dikutip Caryle Murphy dari Washington Post (25/4/04), menjelaskan bahwa pemunculan komedian Muslim-Amerika merupakan pertanda bahwa komunitas Muslim telah berasimilasi dengan gaya hidup Amerika dalam hal memperolok diri, membuat satir, yang merupakan bagian dari budaya masyarakatnya.

Seperti pendahulunya, pelawak berketurunan Yahudi, Irlandia, dan Afrika, komedian Muslim juga menyuguhkan humor etnis. Tujuannya tidak hanya untuk memancing gelak, tetapi juga untuk mempromosikan penerimaan Islam ke dalam mainstream masyarakat Amerika. Melalui media hiburan, komedian Muslim yakin mampu mengikis pandangan diskriminatif berdasarkan stereotip di kalangan non-Muslim. Juga diharapkan mampu memberikan penyadaran kepada kalangan Muslim sendiri mengenai jati diri, termasuk perilaku merusak diri sendiri dan kekurangannya.


“Misi saya sebagai komedian adalah membuat penonton tertawa. Tetapi kalau saya mampu membuat mereka berpikir, hal itu merupakan bonus tambahan”, tutur Tissa Hami. “Saya ingin menunjukkan bahwa umat Islam bukanlah teroris, tidak semuanya fanatik. Juga tidak semua wanita Muslim itu tertindas dan terbungkam”, lanjut master kajian internasional yang kini bekerja di Kennedy School, Universitas Harvard.


Komedi berorientasi Muslim di AS sedang naik daun. Terjadi peningkatan permintaan, baik oleh komunitas Muslim ataupun kelompok non-Muslim. Bulan Mei 2004 misalnya, digelar tur komedi baru, Allah Made Me Funny : The Official Muslim Comedy Tour. Penggagasnya adalah Preacher Moss, sebelumnya sohor sebagai penulis Saturday Night Live yang didukung komedian Azeem dan Azhar Usman.

“Ide tur ini adalah menyediakan wahana di mana kaum Muslim dan non-Muslim dapat saling merasa nyaman, relevan dan inklusif dalam pengalaman bersama ketika humor yang terjadi mampu menjembatani jurang-jurang bias, sikap tidak toleran dan penyakit sosial lainnya”, tutur Moss kepada Hannah K Strange dari UPI (8 Juni 2004).

Ia katakan, sebelum 11 September 2001, isu yang dominan dalam komunitas Muslim AS adalah isolasionisme. “Kita berada di tengah budaya Amerika tetapi kurang progresif dalam menyatakan diri. Kini seluruh komunitas Muslim harus memperbaiki diri, tumbuh, dan kita menginginkan menjadi bagian dari proses.” Komedi, menurutnya, “sarana untuk menenangkan, melucuti senjata, dan membangun jembatan melalui humor.”


Apakah lawakan diperbolehkan dalam Islam ? Menurut Azhar Usman, Nabi Muhammad adalah pribadi yang suka tersenyum dan bercanda. Dalam cerita sufi, juga terdapat tokoh Nasarudin Hoja yang termasyhur dengan lawakannya yang cerdas.

Menjadi komedian, menurutnya, juga diperbolehkan oleh syariah Islam. Pedoman bagi dirinya adalah melawak untuk membuat orang tertawa dan dilandasi niat mulia. Walau ia juga tahu, ada kelompok-kelompok konservatif Islam yang tidak menyetujui ia terjun sebagai komedian Muslim.

Mungkin itulah bedanya, simpul Azhar, dirinya sebagai Muslim Amerika merasa nyaman untuk menertawai diri sendiri dan bahkan umat Muslim lainnya di dunia. Katanya, “Momen paling mengerikan sebagai Muslim di AS adalah saat berwudlu, tertangkap basah oleh bos ketika kita sedang mencelupkan kaki di wastafel.”

Bagaimana dunia lawak Muslim di Indonesia? Kiranya Gus Dur, Mustofa Bisri atau Cak Nun sebagai intelektual Muslim, sumber inspirasi dan pencetus lawakan cerdas, kini tak boleh lagi hanya sendirian. Sangat dinantikan Nasarudin-Nasarudin Hoja baru atau komedian Muslim lahir segera di Indonesia.

Dengan meneladani Azhar Usman dan kawan-kawan, akan mampu membuka perspektif dan wajah segar baru tentang Islam. Apalagi akhir-akhir ini sebagian umat Islam seperti justru senang bersikap reaktif, daripada proaktif, dengan tampil menjadi polisi moral dalam menyikapi sebagian karya-karya kreatif anak bangsa.

Bambang Haryanto, penulis Dua Buku Kumpulan Humor, Tinggal di Wonogiri

Friday, November 25, 2005

Dicari : Komedian Indonesia Yang Marah Dan Frustrasi !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


It's such a dirty old shame
When you got to take the blame for a love song
Because the best love songs are written
With a broken heart

(Carpenters, “All You Get From Love Is A Love Song”)


Lagu Lagi Patah Hati. Phoebe Buffay yang dimainkan oleh Lisa Kudrow adalah tokoh dalam sitkom “Friends” yang paling saya sukai. Karakternya jujur, kadang suka menipu, tidak jaim dan suka berterus terang. Karakter yang dalam khasanah comedy writing disebut sebagai outrageous character, karakter nyeleneh, dan urakan. Tetapi justru kehadirannya merupakan formula penting hidupnya suatu komedi situasi.

Sekadar ilustrasi : Phoebe pernah bertamu guna menemui orang tua pacarnya, Mike Hanigan, yang berasal dari golongan elite. Saat ditanya, ia enak saja mengenalkan diri. Katanya, dia pernah mengidap sakit hepatitis gara-gara seorang mucikari meludahi mulutnya. Ibunya ia katakan, terus terang, tewas akibat bunuh diri. Kalau dipuji bahwa dirinya cantik, ia akan polos mengaku, “ya, saya memang cantik”

Ketika Mike, di kesempatan lain, memutuskan bahwa dia tidak ingin menikah akibat trauma dengan kegagalan perkawinannya yang pertama, membuat hubungan Phoebe-Mike merenggang. Phoebe, sebagai wanita pada umumnya, tentu saja ingin menikah.

Tetapi Mike tetap menolak.

Dengan hati hancur, Phoebe mengadu pada Monica. Antara lain, ia mengaku dirinya sampai kesulitan menggubah perasaan galau dan deraan patah hati itu untuk menjadi sebuah lagu !

Bagi Anda yang setia menonton sitkom garapan produser eksekutif David Crane, Marta Kauffman dan Kevin S. Bright (ia kenal sama Artika Sari Devi yang Putri Indonesia), pengakuan sok gaya model Phoebe ini pastilah memicu bahak tawa. Karena senyatanya Phoebe adalah penyanyi dan gitaris yang hanya bermodal nekad.

Coba cerna, kalau judul-judul lagu yang ia ciptakan seperti “Shut Up and Go Home” sampai “The Pervert Parade” ? Nyanyian dan petikan gitarnya jelas kalah kualitas dan jauh dari enak didengar bila dibandingkan, misalnya, dengan para pengamen yang piawai menyanyikan (juga oleh Carpenters) “Ticket To Ride” atau “I Saw You Standing There”-nya The Beatles di Stasiun KRL Bogor.

Phoebe Buffay memang tidak seperti Karen Carpenter yang menyatakan bahwa “lagu cinta terindah justru tercipta ketika seseorang sedang patah hati.” Bahkan mampu pula membuktikannya saat menampilkan lanskap suasana hati khas Carpenters, di mana patah hati pun terasa indah :

“Air mata di mataku selalu membutakanku / masa depan yang terhampar di hadapanku tak mampu kulihat / walau kutahu esok hari matahari kan bersinar / menerangi dunia untuk siapa pun, tetapi bukanlah untuk diriku”


Anjing Hitam Lord Byron. Suasana hati yang kelabu, tidak semata bisa dipicu oleh patah hati. Melainkan juga, misalnya, oleh depresi. Novelis Kanada, Robertson Davies (1913-1995) pernah mengatakan bahwa depresi itu disebut sebagai anjing hitam oleh penyair Inggris legendaris, penulis satir Don Juan, yaitu Lord Byron (1788–1824).

Seperti diungkap Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Berani Berekspresi : Buku Meditasi Untuk Para Penulis ( 2004), betapa depresi itu sering dirasakan oleh para penulis.

Tetapi mereka terus menulis di tengah depresi. Depresi bisa melumpuhkan, tetapi jika Anda dengan disiplin yang kuat, mampu mengalahkannya dan tetap bertahan di tempat Anda menulis, Anda akan tercengang melihat kualitas karya Anda.

Robertson Davies menimpali, “Saya belum pernah tahu atau mendengar ada seorang penulis yang tidak kenal dengan Anjing Hitam itu. Tetapi bagaimana pun, buku itu akhirnya berhasil ditulis, dan kadang-kadang bagian yang ditulis saat Anjing Hitam itu sedang buas-buasnya, merupakan bagian yang terbaik”


Butir Pasir Yang Menyakitkan ! Patah hati, depresi sampai frustrasi, bagi kalangan komedian merupakan bahan mentah yang berharga sebagai materi lawakannya.

Sekadar cerita : tanggal 13/9/2005 saya mendengarkan siaran radio Voice of America (VoA) seksi Indonesia. Siaran jam 18.45 itu mengudarakan Kennedy Muslim sedang menceritakan kelompok musik Switchfoot asal San Diego. Kelompok ini baru-baru ini (13 September) merilis sebuah album baru berjudul "Nothing is Sound" yang diluncurkan di AS.

Kennedy Muslim saat itu mengutip pendapat vokalis Switchfoot, Jon Foreman, bahwa dalam album terbaru mereka menggubah pengalaman hidupnya dengan memakai metafora yang indah.

Yaitu, tentang sebutir pasir yang masuk dalam cangkang kerang. Tentu saja pasir, benda asing itu, sangat menyakitkan bagi kerang bersangkutan. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu membuat hal-hal yang semula menyakitkan tersebut justru mampu mereka olah sehingga akhirnya berubah menjadi mutiara.

Metafora indah itu yang membuat saya tergerak memberanikan diri, mengirimkan email kepada Kennedy Muslim di kantor VoA, di Independence Avenue, Washington D.C., Amerika Serikat. Kennedy Muslim, dan sebelumnya juga penyiar VoA lainnya yaitu Ni Made Yoni, berbeda dari respons yang biasa saya peroleh dari pekerja media, mereka justru bermurah hati. Mereka membalas email saya, juga memberikan cerita sana-sini, yang membuat saya merasa tersanjung dan terhormat.

Butir pasir di cangkang kerang.

Kita semua, baik warga biasa atau pun para komedian pastilah sama-sama pernah mengalami penderitaan atau kesengsaraan. Tetapi yang membedakan antara orang biasa dan komedian adalah bahwa kemarahan sampai penderitaan yang dialami itu, oleh seorang komedian, mampu mereka ubah dan mereka gubah menjadi sebuah hiburan. Di atas panggung, para komedian itu mengusung penderitaan, obsesi kesedihan, nasib buruk, ketakutan sampai bencana, sengaja mereka bedah guna mengguncang tawa audiensnya.

Patah hati mampu menelorkan lagu cinta yang terindah, begitu senandung Karen Carpenter. Lalu kondisi macam apa yang mampu melahirkan seorang komedian ? Steve Silberberg, moderator newsgroup alt.comedy.standup, mengatakan :

“But just as pressure and heat transform coal into diamonds, it's that frustration, social pressure and the heat of anger that transforms us into comedians”.

“Sebagaimana gencetan dan panasnya api mampu mengubah arang menjadi intan, maka frustrasi, tekanan sosial dan panasnya api kemarahan mampu pula mengubah diri kita menjadi seorang komedian”

Apakah hal serupa juga terjadi di kalangan komedian di Indonesia ?

Sayang, di Indonesia dewasa ini, sepertinya hal tersebut tidak terjadi. Sekadar ilustrasi aktual : kenaikan harga BBM yang benar-benar mencekik leher rakyat banyak, tim perekonomian SBY-Kalla yang gagal total, merebaknya wacana penghidupan kembali komando teritorial yang mengancam embrio kehidupan berdemokrasi yang mulai mekar sampai ledakan bom Bali 2, justru tidak nampak memicu empati, kemarahan sampai rasa frustrasi kalangan komedian Indonesia untuk tampil menyuarakan nurani dan akal sehatnya. Lelucon-lelucon mereka tidak pernah memihak kepada rakyat.

Mungkin mereka memang tidak punya nyali. Atau sudah tuli ? Atau sudah tidak pula punya nurani ? Apa pendapat Anda ?


Wonogiri, 3/9 – 18/10/2005

Thursday, November 03, 2005

Komedian Itu Hadir Untuk Menjual Gagasan, Bukan Hanya Lawakan !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Kena Marah Ibu Mien Uno. Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, 8 April 2002. Hari penganugerahan bagi pemenang Honda : The Power of Dream Contest 2002. Di acara penutup, para kontestan, juri, panitia dan eksekutif PT Honda Prospect Motor, naik panggung. Dipandu violis jelita Maylaffayza Permata Fitri Wiguna dan ben pengiringnya, kami ramai-ramai menyanyikan lagu “I Have A Dream”-nya ABBA.

Sebelumnya kami dan ratusan tamu bersantap siang, dengan menu seperti grilled chicken salad with field greens and walnut oil vinaigrette, pumpkin bisque with red curry and coriander sampai pan fried seabass on creamed spinach and potato with mushroom salsa.

Saya adalah salah satu dari enam pemenang kontes meraih impian yang diadakan oleh pabrikan mobil Honda di Indonesia tersebut. Sebelum resepsi dimulai, saya sibuk menemui para juri. Minta tanda tangan kenangan. Antara lain dari Susi Susanti, peraih medali emas bulutangkis Olimpiade Barcelona, sampai Satoshi Okamoto yang Vice President PT Honda Prospect Motor. Ia menuliskan kata-kata berhuruf kanji, yang terjemahannya “Semua Kawan”.

Sutradara film Riri Riza menuliskan pesan dan tanda tangan di buku yang khusus saya beli, Ada Apa Dengan Cinta ? : Skenario Jujur Prananto (2002) di mana Riri bersama Mira Lesmana adalah produser film laris ini. Ketua juri, Arswendo Atmowiloto, menuliskan hal yang sama di bukunya yang rada sulit saya temukan, yaitu Menghitung Hari (1996). Sementara tokoh pendidik Mien Uno dengan senang hati pula membubuhkan pesan dan tanda tangan di buku Menjadi Wanita Indonesia yang merupakan buku biografi beliau yang disusun oleh Herry Gendut Janarto.

Ibu Mien Uno sebelum membubuhkan tanda tangan, sempat meminta kartu namaku. Sejurus saya ambil segepok kartu yang seukuran kartu nama, polos, lalu saya tulis dengan bolpoin nama dan alamatku. Ternyata Ibu Mien Uno tak begitu berkenan dengan kartu nama “manual” itu. Beliau memberiku nasehat agar aku membuat kartu nama yang tercetak. Nasehat beliau itu aku camkan.

Sebenarnya kartu-kartu polos yang aku bawa-bawa itu, selain sebagai kartu nama darurat, juga saya gunakan untuk mendokumentasikan lelucon. Dari pengamatan terhadap corat-coret di dinding sampai menguping perbincangan orang, bila kuanggap lucu, akan segera aku tuliskan di kartu. Tetapi tidak jarang, upayaku ini memunculkan kesalahpahaman.

Seseorang yang mengetahui bahwa saya sedang menghimpun lelucon, sering dirinya tiba-tiba antusias untuk mengeluarkan koleksi lelucon yang ia miliki. Sebagian besar merupakan lelucon yang bukan berdasar pengalamannya sendiri. Segian besar lelucon itu dihafalkan dari sumber lain. Keadaan yang lajim kita temui tersebut mengingatkan saya “sinyal lampu merah” untuk para komedian dan calon komedian yang dilansir oleh seorang instruktur komedi yang terkenal, Judy Carter seperti berikut ini :

”We funny people are not normal. In my workshops, the normal ones are not the funny ones. We think differently. Normal people express their sense of humor by memorizing jokes ; comics transform their life experiences into punchlines and write their own jokes”

“Kita para jenakawan bukanlah pribadi normal. Dalam workshop komedian yang saya adakan, orang-orang normal bukan jenakawan. Kita berpikir secara berbeda. Orang-orang normal mengekspresikan selera humornya dengan menghafalkan lelucon, sementara komedian mentransformasikan pengalaman hidupnya menjadi bahan lawakan dan menulis lelucon-leluconnya sendiri”


Menghumori Diri Sendiri. Rumusan Judy Carter itu segera mengingatkan saya akan sosok stand-up comedian yang tergolong sebagai legenda, Rodney Dangerfileld (81), yang meninggal tahun lalu. Seperti diwartakan Solopos (11/5/2003), begitu keluar dari rumah sakit UCLA Los Angeles selama dua minggu, ia sudah mendagel tentang dirinya. Menanggapi operasi otaknya, di acara konferensi pers Rodney ringan saja bilang : “Jika kamu ingin mengurangi berat badan, lakukan apa yang saya lakukan : diet untuk operasi otak”

Pelawak Indonesia yang tidak sungkan menertawai kekurangan dirinya adalah almarhum Ateng Suripto. Ia meninggal pada usia 61 tahun, 6 Mei 2003 di Jakarta. Pengamat lawak Herry Gendut Janarto yang dikutip Kompas (7/5/2003) mengatakan bahwa Ateng adalah tipe humoris, bukan joker. Ia mampu menertawakan diri sendiri, dan mungkin itu yang membuatnya awet.

Kalau Anda nonton lawak di televisi, lalu untuk memancing tawa antara mereka saling berolok mengenai kekurangan masing-masing, terutama fisik, jelaslah mereka hanyalah kumpulan para joker semata. Lihatlah, ketika manggung, mereka suka berpakaian sebagai badut-badut. Pelawak laki-laki tetapi memakai baju perempuan. Memakai rambut palsu warna-warni. Memakai pakaian yang tidak lajim. Mereka suka sekali menyembunyikan diri mereka sebenarnya. Oleh karena itu, mereka senyatanya belum berkaliber sebagai humoris atau pun komedian.

Para joker tersebut memang sering tampil ramai-ramai. Minimal bertiga. Kwartet Jaya. Jayakarta. Warkop Dono Kasino Indro (DKI). Bagito. Patrio. Cagur. Saya tidak tahu mengapa sajian lawakan di Indonesia selalu tampil dengan gaya Srimulatan, yang beramai-ramai itu. Mungkinkah ini cerminan dari budaya gotong royong bangsa Indonesia, sebagai ciri masyarakat yang agraris ? Silakan berspekulasi.

Hal yang praktis, ramai-ramai tampil di panggung memang mengurangi tekanan bagi sang pelaku bersangkutan. Tetapi pada saat yang sama, demi menjaga harmoni pemanggungan, seseorang dari mereka tidak “diijinkan” untuk tampil lebih menonjol, lebih bersinar, dibanding yang lainnya. Konstruksi pemanggungan lawakan di Indonesia semacam itu membuat tiap individu komedian tidak memiliki saluran untuk mentransformasikan pengalaman hidupnya menjadi bahan lawakan mereka !

Akhirnya tak dapat dielakkan : kerumunan itu memang telah meniadakan atau membunuh pribadi. Akibatnya, sampai akhir hayat rata-rata para pelawak Indonesia tidak banyak yang mewariskan pengetahuan sampai kenangan tentang jati diri atau kepribadian tertentu yang menjadi ciri khasnya sebagai humoris atau komedian. Jarang dari mereka mampu atau bisa dikenang sebagai persona, tetapi kebanyakan akan hanya disebut-sebut sebagai sosok joker belaka.

Apa yang bisa dilakukan untuk mengoreksi “kekeliruan fatal” semacam ini ? Orang luar tidak bisa melakukan apa-apa. Para joker yang lalu-lalang di layar-layar televisi kita selama ini tentu tidak pula merasakan tuntutan untuk berubah. Dengan situasi yang ada selama ini toh mereka sudah merasa sukses, merasa diuntungkan, lalu mengapa ada yang harus berubah ?

Baiklah. Biarkanlah mereka. Tetapi hemat saya, pentas lawakan di Indonesia membutuhkan darah-darah segar yang baru. Cakrawala baru. Dunia sinema kita, dan dunia kepengarangan kita, telah menghadirkan wajah-wajah dan potensi-potensi baru. Dunia komedi kita, tidak. Walau ada reality show oleh pelbagai stasiun televisi swasta yang bertujuan untuk merekrut pelawak-pelawak baru, seperti Audisi Pelawak TPI (TPI) sampai Meteor Kampus (antv), tetapi fondasi pemikirannya masih berurat pada pola-pola lama belaka.

Judy Carter berpesan untuk para komedian dan calon komedian : ”You must go on stage with a passionate desire and the intent to communicate your thought and feelings, not just to make people laugh”

“Anda harus tampil di panggung dengan hasrat yang membara dan niat untuk mengomunikasikan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan Anda, dan bukan hanya untuk membuat para penonton tertawa”

Pekerjaan rumah bagi Anda, para komedian dan calon komedian Indonesia !




Wonogiri, 1-3 November 2005