Monday, August 21, 2006

Republik Mimpi di MetroTV : Seleksi Topik, Kasta Plesetan dan Humor Crafting Yang Perlu Diasah Lagi

Wonogiri, 22 Agustus 2006


Yth. Bos Effendi Gazali,


Salam sejahtera. Seperti isi obrolan saya via SMS yang lalu, saya ingin memberikan usul-usil untuk tayangan Republik Mimpi kreasi Anda. BTW, Anda sudah atau belum, membaca email saya sebelumnya ?

Di situ saya katakan bahwa saya telah mengutip pendapat Anda (“Dono dan Tolak Politisi Busuk”, Kompas, 30/12/2003) untuk menangkis pendapat Aming ExtraVaganza yang mengatakan penonton komedi kita belum cerdas, masih suka lelucon yang slapstick.
Kutipan pendapat Anda itu telah saya pajang dalam artikel mengenai lawakan dan pendapat Aming ExtraVaganza di blog Komedikus Erektus ! ini pula.

Humor memang merupakan seni yang subyektif. Merujuk hal tersebut, maka kalau ramuan tayangan Republik Mimpi (RM) yang ada selama dua tayangan ini sudah Anda anggap baik dan OK, itu memang privilege Anda. Ijinkanlah saya ingin sedikit menambah dengan memberikan usul-usil berikut ini :


MEMILIH TOPIK YANG HOT DAN RELEVAN :

All comedy must be relevant. People like Erma Bombeck and Bill Cosby are realistic. They talk about things we can relate,” itu rumus dari Gene Perret, kepala penulis lawakan untuk Bob Hope.

Dalam ajang Oscar, bertahun-tahun Bruce Villanch (penulis lawakan) dkk. harus mengamati ribuan adegan-adegan film Hollywood yang monumental, yang memorable, sepanjang tahun. Mereka kemudian menggubahnya, membelokkannya menjadi lelucon, lalu mengoleksikannya. Ketika menjelang malam penobatan Oscar, mereka tinggal mendiskusikannya bersama host acara, termasuk dengan Jon Stewart bersama timnya untuk Malam Oscar 2006 yang lalu.

Redaksi News.com/RM punya tugas serupa, yaitu memilih topik-topik berita tertentu seminggu terakhir dimana sebagian besar penonton mampu terkait dengan topik tayangan RM. Dalam dua tayangan RM, topik-topik news-nya, menurut saya, terlalu banyak. Mungkin karena topik-topik itu Anda pandang dapat dijadikan sebagai premis lawakan ?

Topik “tsunami” dan “Sumanto,” menurut saya juga sudah sangat “tipis” di benak masyarakat untuk dijadikan sebagai papan loncat atau premis lawakan. Dapat dikatakan sebagai kurang relevan lagi.

Topik kemarin yang rada hot sebenarnya adalah “how to lie with statistics” dalam pidatonya Presiden RI. Kalau presiden SBY mengungkapkan data bahwa angka kemiskinan berkurang, mengapa tidak dibelokkan secara humor, “karena penduduk miskin Indonesia memang berkurang. Sebab mereka itu MATI akibat kelaparan sebagai dampak kenaikan BBM, busung lapar, kena flu burung, kena tsunami dan bahkan gempa bumi.”



HUMOR/JOKE CRAFTING : FORMULA DELAPAN

Kalau satu-dua topik relevan itu sudah ditetapkan, maka ia bisa diaduk, diselami atau direntang kesana-kemari untuk bisa dijadikan bahan ledekan/lawakan dan parodi.

Saya kutipkan dari Wikipedia : “parody can occur when whole elements of one work are lifted out of their context and reused... and parody can also occur when characters or settings belonging to one work are used in a humorous or ironic way in another.” Parodi terjadi ketika seluruh elemen suatu karya dicerabut dari konteksnya dan digunakan kembali (dalam karya lain...)... dan parodi juga dapat hadir ketika tokoh-tokoh atau setting suatu karya digunakan secara humor atau secara ironi dalam karya-karya yang lainnya.

Parodi dalam Republik Mimpi (21/8/2006) kemarin, saat Butet melakukan adegan mimicking pidato SBY-RI, menurut saya kok tidak lucu. Beda kalau ia menirukan Soeharto. Mungkin karena sosok SBY-RI itu terlalu “santun” untuk dijadikan lelucon. Dirinya kurang “bergerigi” dibanding JK yang sering mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial.

Tetapi hal ini bisa ditambal bila tim RM memiliki skill dalam hal humor crafting yang standar, sehingga mampu membengkak-bengkokkan isi atau sambutan SBY/Butet itu sehingga menjadi lucu.

Tetapi upaya bengkak-bengkok model Ucup Kelik yang melulu berkutat seputar akronim, plesetan, dan apalagi asosiatif yang menjurus ke lelucon seks, menurut saya (seperti saya kirim via SMS lalu) tetap merupakan the lowest form of wit, bentuk atau kasta terendah humor.

Gene Perret bilang, “humor itu grafis.” Lelucon itu mampu memunculkan gambar di kepala atau benak pemirsa. Bila gambar itu lucu, mereka tertawa. Bila gambar lucu itu ternyata “dirinya,” mereka akan terbahak lebih keras lagi. Menurut saya, hukum dasar humor crafting yang satu ini belum banyak diketahui oleh para kreator lawakan di Indonesia.

Ronald Wolfe dalam Writing Comedy (1992) antara lain menyebut formula humor crafting itu meliputi : pembelokan hal normal (reversal), perbandingan, melebih-lebihkan, pemindahan (switching), pemindahan /pembelokan peran (role reversal), kejutan, kembali ke masa lalu dan melompat ke masa depan.

Dono Warkop pernah bilang, menulis lawakan itu setengah mati. Ia benar. Karena dia sepertinya belum pernah mempelajari teknik humor crafting yang baku. Kalau skill satu ini sudah ia kuasai, semua peristiwa yang TIDAK SERTA MERTA NAMPAK LUCU, dapat diubah menjadi lucu. Semua berita di media massa dapat menjadi berita lucu. Tetapi untuk memperoleh efek tawa yang paling monumental, dibutuhkan seleksi topik-topik tertentu yang paling terkait dengan mayoritas audiens.


Sekian dulu usul-usil saya. Semoga bermanfaat.
Sukses selalu untuk tayangan Republik Mimpi.


Hormat saya,


Bambang Haryanto


PS : Bung Effendi, saya punya teman baru (kenalnya via baca blog saya ini), Budianto Hamuddin yang kini sedang belajar di Fakultas Sastra dan Linguistik University Malaya, Kuala Lumpur. Dia sedang meneliti karakteristik lelucon/lawakan pelbagai etnis di Indonesia. Dia saya rujuk antara lain untuk mencoba mengontak Dr. James Danandjaja, ahli folklor di Jurusan Antropologi FISI-UI dan juga pada Anda. Bersediakah bung Effendi, bila mungkin menjadi nara sumber dia ? Terima kasih sebelumnya.


ke
.

Thursday, August 17, 2006

Wapres Jusuf Kalla Sebagai Sumber Lawakan Jenaka : Surat Untuk republikmimpi.com

Wonogiri, 15 Agustus 2006



Yth. Bung Effendi Gazali

Salam humor. Selamat untuk pemunculan kreasi acara komedi cerdas Anda di MetroTV semalam. Oh ya, saya sebelumnya telah mengutip pendapat Anda (“Dono dan Tolak Politisi Busuk”, Kompas, 30/12/2003) untuk menangkis pendapat Aming ExtraVaganza yang mengatakan penonton komedi kita belum cerdas, masih suka lelucon yang slapstick. Kutipan pendapat Anda itu telah saya pajang di blog saya, Komedikus Erektus ! (http://komedian.blogspot.com).

Untuk ikut urun rembug demi memajukan acara Anda, saya berpendapat bahwa memparodikan Jusuf Kalla mengingatkan saya betapa wapres-wapres di AS, seperti Dan Quayle sampai Dick Cheney, merupakan objek empuk untuk jadi bulan-bulanan komedi.

Menurut saya, komunitas komedi Indonesia sungguh beruntung, karena wapres kita saat ini adalah Jusuf Kalla, pribadi unik yang secara natural merupakan sumber tak kering untuk kita jadikan bulan-bulanan lelucon cerdas. Ide JK yang membolehkan kawin kontrak para imigran Arab di Puncak, hingga diperoleh keturunan yang pantas untuk main sinetron, merupakan bahan lelucon yang kaya.

Masalahnya, tentu terpulang kepada kita sebagai kreator lelucon, mampu tidak untuk mengeksploitasi bahan-bahan mentah yang tersedia secara melimpah pada diri Pak JK itu ?

Usul saya, Bung Effendi, isu dominan dalam acara Anda itu sebaiknya yang terkait dengan sepak terjang Jusuf Kalla. Bukankah sosok Ucup Kelik merupakan tokoh jangkar, sentral, untuk memparodikan sosok JK ? Ucup Kelik Anda gagas sebagai “deformed mirror” dari Wapres kita yang hiperaktif itu, bukan ?

Seperti kata bertuah dari komedian Will Rogers bahwa dirinya tidak melucu tetapi hanya mewartakan apa-apa yang dikerjakan oleh pemerintah, maka menirukan ucapan JK saja sudah berpotensi mengguncang tawa.

Apalagi, kata Gene Perret, kepala penulis lawakan Bob Hope, semua lawakan itu harus memiliki kaitan dengan penonton (baca : rakyat Indonesia), maka ucapan apa pun dari Wapres JK, sebagai RI-2, pasti memenuhi kriteria untuk mampu mengundang kaitan dan sekaligus memicu tawa tersebut.

Bagaimana membangun kaitan tersebut ? Contoh : JK pernah berkata, setiap rumah yang rusak akibat gempa bumi di Yogya/Klaten akan diganti dengan uang sebesar 30 juta. Usul saya : hadirkan 1-2 penduduk korban gempa ke studio. Silakan mereka Anda interview seputar “janji sorga JK” itu. Saya yakin, apa pun jawaban polos para korban gempa itu akan mengundang tawa. Juga, ini tak kalah penting, penuturan mereka itu sekaligus menyampaikan pesan betapa implementasi sebuah kebijakan tak seperti yang mudah atau enteng ducapkan oleh pejabat publik !

Contoh lain : mengundang penduduk yang rumahnya terendam lumpur panas di Sidoarjo ke studio, sudah merupakan parodi tersendiri. Jauh lebih lucu dibanding menyebut Sidoarjo sebagai “Kuala Lumpur,” sampai mengundang mahasiswa-mahasiswa Makassar yang suka tawuran untuk mengetahui apa yang terjadi dalam mind mereka.

Mengundang para korban flu burung, tetapi tetap sensitif terhadap korban-korban yang meninggal dunia, karena sasaran tembak kita adalah pemerintah, pasti mampu menjadi sajian tontonan dan tuntunan (kata-kata a la Harmoko) yang menarik. Mengundang tokoh anonim, karena wajahnya tertutup sorban, yakni mereka-mereka yang ingin berjihad ke Lebanon, bisa menjadi bahan lelucon tersendiri.

Begitulah, asal-usul-usil saya.

Saya masih menyimpan gagasan lain, bagaimana audiens yang mahasiswa itu menjadi partisipan yang lebih aktif, tidak sekadar sebagai pihak yang tertawa dalam acara Anda itu. Idenya masih dalam taraf inkubasi.


Sukses untuk Anda.


Hormat saya,


Bambang Haryanto
+6281329306300

---------------------


BANGGA PUNYA MAFIA
Surat Pembaca – Harian Kompas Jawa Tengah
Dimuat : Sabtu, 8 Oktober 2005


Komedian AS terkenal Will Rogers (1879–1935) pernah bilang, dirinya tidak melucu tetapi hanya mewartakan apa-apa yang dikerjakan oleh pemerintah. Begitulah kiranya sebaiknya sikap kita dewasa ini. Daripada stres memikirkan kehidupan yang semakin sulit pasca kenaikan BBM dan segala produk dan jasa, lebih baik bersikap mirip Rogers tersebut tadi. Ramai-ramai, tidak memberontak, melainkan menertawakan pemerintah.

Salah satu amunisi untuk melucukan mereka adalah perkataan Ronald Reagan, bahwa di pemerintahan itu tidak ada orang-orang yang cerdas. Karena bila cerdas, mereka sudah disabet oleh fihak swasta. Pemerintahan kita saat ini tampak juga seperti itu. Mereka ibarat hanya memiliki sebuah palu sehingga semua masalah selalu cenderung dianggap sebagai paku. Pukul, pukul dan pukul.

Pemerintah tidak kreatif menggali sumber-sumber dana alternatif yang tidak membebani rakyat. Pemerintah hanya punya satu resep, naikkan harga dan nasib rakyat kebanyakan, silakan berserah diri saja pada Tuhan. Tidak aneh bila saat kenaikan harga elpiji yang lalu, tanpa memiliki seulas empati dengan enak seorang Menko Perekonomian bilang, “kalau tak mampu beli gas ya tak usah pakai gas”. Ucapan itu bisa diperluas : “kalau tak mampu beli beras atau minyak tanah ya tak usah makan pakai beras dan tak usah memakai minyak tanah !”

Kehidupan kita jelas makin sulit. Mungkin hari-hari ini kita terpaksa harus mau belajar dari rakyat bekas Uni Soviet saat diperintah rejim komunis yang represif dengan kehidupan perekonomian yang sulit dan morat-marit. Mereka mampu bertahan antara lain dengan humor, termasuk menghumori pemerintah dan pejabat-pejabatnya.

Salah satu lelucon paling lucu saat itu adalah ketika mereka, dalam kemelaratan dan ketertindasannya, tetapi tidak mau kalah gengsi atau kalah bersaing melawan negara seterunya saat itu, Amerika Serikat. Orang dari negeri Beruang Merah itu berkata dengan bangga : “Orang Amerika boleh bangga memiliki Mafia. Kami juga memilikinya. Namanya, prikaziwat. Pemerintah !”


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Situs Blog Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com).
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612


ke