Tuesday, February 26, 2008

Bila Butet (Berani) Bermain Komedi

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Haiku komedi. Saya seorang aktor dan bukan seorang komedian. Demikian pernyataan Butet Kartaredjasa, aktor monolog terkenal kita, terkait keterlibatannya dalam acara parodi politik Republik Mimpi-nya Effendi Gazali yang ditayangkan di televisi swasta, MetroTV. Saya agak menyesali pernyataan Butet itu.

Andai saja Butet berani mengatakan diri juga sebagai seorang komedian, kita boleh berharap dunia komedi kita mampu merambah cakrawala baru yang menjanjikan. Juga diharapkan mampu memperkokoh bangunan perjalanan sejarah komedi kita ke masa depan. Cakrawala baru itu adalah hadirnya genre pementasan komedi cerdas, yaitu komedi tunggal atau stand-up comedy di Indonesia.

Sekadar mengingatkan, komedi tunggal merupakan haiku-nya komedi. Patisari atau intisarinya komedi. Demikian penegasan Judy Carter, seorang mentor komedi terkenal di AS. Menurutnya, kalau Anda faham prinsip-prinsip dasar komedi tunggal, Anda berpeluang mampu menerjemahkan keterampilan itu dalam pelbagai ranah yang beragam.

Apakah itu dalam penulisan naskah sketsa komedi, komedi situasi, pementasan, sampai kepada pemasarannya. Karena semuanya itu terpusat pada upaya untuk menghadirkan gelak tawa. Sayang, komedi tunggal belum (atau sulit ?) populer di Indonesia. Sehingga ibarat bangunan, komedi di Indonesia tidak memiliki fondasi yang kokoh untuk menunjang perkembangannya lebih lanjut.

Pementasan komedi tunggal sekilas mirip dengan pementasan monolognya Butet selama ini. Utamanya, karena sama-sama pelaku tampil sendirian di panggung. Walau pun demikian terdapat perbedaan prinsip antara keduanya. Komedi tunggal dipanggungkan dengan tujuan semata-mata mengundang tawa audiens. Sementara itu monolognya Butet tersebut, kalau menurut Judy Carter, disebut sebagai one person show, tidak lain merupakan pementasan drama yang dimainkan oleh seorang aktor.


Pertunjukan one person show itu memiliki alur cerita, sementara komedi solo alur dan topiknya meloncat-loncat. Dalam one person show tidak dituntut mampu menggelitik audiens agar terus-menerus tertawa sepanjang waktu pertunjukan. Juga tidak melibatkan penonton. Dalam aktingnya si aktor menirukan pelbagai karakter dan penontonnya pun relatif lebih sabaran.

Komedi lebih berat. Dihitung-hitung dari perbedaan yang ada tersebut, senyatanya komedi tunggal lebih berat tuntutan mau pun resikonya. Sekadar ilustrasi, Edmund Gwenn, aktor komedi Hollywood era 1940-an saat menjelang ajalnya berbisik kepada aktor Hollywood terkenal lainnya, Jack Lemmon, bahwa menuju kematian itu menyakitkan, tetapi tidak sebegitu menyakitkan dibandingkan berpentas sebagai komedian.

Aktor dan komedian solo dari AS, Will Ferrel, menyebut komedi tunggal sebagai seni yang keras, sepi dan bengis. Begitulah, karena komedi tunggal memang lebih sulit untuk dipelajari. Dalam pertunjukan, si komedian ibaratnya terus-menerus meminta belas kasihan penonton yang merupakan bagian integral dari keseluruhan pementasannya. Dirinya harus pandai-pandai membaca mood atau pun selera penontonnya, kemudian harus tangkas pula dalam menyesuaikan materi lawakannya.

Itu tuntutan di panggung. Sementara tuntutan menyangkut mindset, pola pikir, kiranya jauh lebih berat lagi. Lagi-lagi menurut Judy Carter, bahwa setiap komedian tunggal dituntut orisinalitasnya. Dirinya harus berani dan jujur dalam membeberkan otobiografi mereka masing-masing.

We funny people are not normal”, tegas Judy Carter. Katanya, orang-orang normal mengekspresikan selera humornya dengan menghafal lelucon sana-sini, lalu menceritakannya, sementara komedian sejati mentransformasikan hidupnya menjadi lelucon itu sendiri. Ia menulis lelucon tentang hidupnya sendiri. Lebih mengerikan lagi, imbuh Judy Carter, kalau sebagian besar orang cenderung menyembunyikan cacat atau cela dirinya, para komedian sejati justru sengaja mempertontonkannya semua itu kepada dunia.

Comedy...be afraid, be very afraid ! ”, tandas lanjutnya. Keterusterangan dan kejujuran memang menakutkan. Tetapi semakin dalam Anda menyelami riwayat hidup komedian seperti George Burns, Richard Pryor, Rodney Dangerfield, Joan Rivers sampai Jon Stewart yang memandu acara Oscar 2006 dan 2008, kita akan menaruh hormat atas kejujuran mereka sebagai manusia. Para komedian sejati itu senantiasa mampu menemukan humor dalam momen yang serius, juga tragedi hidupnya, dan bahkan pada momen yang paling gelap dan paling pribadi sekali pun. Mereka memiliki totalitas.

Mungkin dapat diibaratkan sebagai seseorang yang berupaya memperoleh kekayaan hingga dirinya berani membuat “perjanjian” dengan setan. Para komedian sejati ikhlas menggadaikan kehidupannya dalam perjanjian itu guna merelakan kekurangan dirinya sebagai manusia untuk dibedah, ditonjolkan dan semuanya dijajakan sebagai bahan tertawaan.

Komedian dan pemenang Oscar, Robin Williams, pernah berujar : “Saya menggunakan komedi untuk menetralisir rasa takut yang lumrah ada pada diri setiap orang. Saya berkata bahwa saya juga punya rasa takut seperti Anda, tetapi saya mempunyai pandangan menarik, sehingga saya berpikir kita akan mampu mengalahkan rasa takut itu secara bersama-sama.”

Kita bisa bercermin : pada sepanjang sejarah dunia lawak Indonesia, adakah kita mampu menemukan komedian yang memiliki totalitas pengabdian dan pola pikir luhur seperti yang digambarkan di atas ? Mungkin kita akan kesulitan. Hal itu terjadi karena kita memiliki tradisi pertunjukan lawak yang berbeda.

Dengan merujuk pementasan Srimulat sebagai contoh kasus, pentas lawak kita merupakan pentas keroyokan. Dalam kerumunan semacam itu relatif sempit peluang seseorang komedian menunjukkan kepribadiannya yang unik sebagai persona. Pola lawak keroyokan model Srimulatan itu masih kental sampai kini, termasuk dalam upaya perekrutan bibit-bibit pelawak baru melalui acara reality show yang diadakan salah satu stasiun televisi swasta kita selama ini.

Dalam status dunia komedi kita yang boleh dibilang mandek itu, kiranya komunitas komedi Indonesia dapat menengok sepak terjang seorang Butet Kartaredjasa selama ini. Ia seorang diri, yang ditopang penulis naskah yang mumpuni, seperti ditulis oleh Achmad Munif di Kompas Jawa Tengah (2/1/2008), Butet Kartaredjasa telah tampil monumental di kancah pentas monolog nasional.

Komunitas komedi kita dapat mengambil hikmah dari kiprah dia dan tim kreatifnya, bahwa seiring upaya perekrutan komedian-komedian baru juga, ini imperatif, harus dibarengi pula dengan penggemblengan para penulis komedi yang andal. Teriakan semacam ini telah lama disuarakan oleh almarhum Arwah Setiawan dan tak bosan-bosannya saya berlaku seperti beo untuk setiap kali mengulangi tuntutan yang sama, lagi dan lagi.

Akhirnya, dengan niat ingin ikut memajukan dunia komedi kita, saya punya harapan iseng-iseng serius untuk Butet Kartaredjasa. Dengan semua modal besar yang telah ia miliki, beranikah ia menyeberang sesekali untuk menjadi motor penggerak dunia komedi tunggal di Indonesia kini ? Sehingga kelak ia pun mampu berkata : “Saya seorang aktor dan juga seorang komedian !”


Monggo, Mas Butet.



Wonogiri, 27/2/2008

ke