Monday, January 25, 2010

Balsem Cap Mario Teguh

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


“Otak saya ?
Merupakan organ favorit saya yang kedua.”

Saya suka humornya Woody Allen. Ia penulis, aktor, dan juga sutradara film kaliber Oscar. Dialog di atas itu muncul dalam filmnya yang berjudul Sleeper (1973).

Humor seksnya yang senada juga muncul dalam filmnya Bullet Over Broadway (1994) yang dibintangi John Cusack. Anda sudah nonton film 2012 ? Pak Cusack ini menjadi bintang utama film yang di Indonesia bikin heboh karena menggambarkan kiamat itu.

Humor Allen dalam Bullet Over Broadway terucap dari tokoh Rita (Stacey Nelkin) yang bilang : “Bagi saya, cinta itu sangat-sangat dalam, sementara seks hanya menembus beberapa inci saja.”

Anda ingin tahu lebih banyak tentang humor cerdasnya Woody Allen ? Silakan mencarinya sendiri melalui Google. Saya kali ini berminat mengobrolkan tentang “organ favoritnya yang kedua.”

Otak. Milik Anda.
Milik saya. Milik kita semua.

Tentang otak itu, ada humornya pula. Kali ini terlontar dari penyair kesayangan Presiden John F. Kennedy, yaitu Robert Frost (1874–1963). Ia bilang, “otak itu organ yang ajaib. Ia mulai aktif sejak Anda bangun di pagi hari, dan terus saja bekerja tanpa henti sampai saat Anda tiba di kantor.”

Juga saat tiba sekolah. Di bangku kuliah. Juga saat menonton acara The Golden Ways-nya Mario Teguh. Ucapan terakhir ini bukan dari Robert Frost. Tetapi dari saya pribadi. Tentu saja ini penilaian subjektif. Oleh karena itu, bila perlu, Anda dapat dan juga saya undang untuk menulis bantahan.

The Goofy Ways. Kalau Anda menonton acaranya Mario Teguh di Metro TV, dapatkah Anda menilai seberapa tinggi tingkat pendidikan mereka yang hadir di studio itu ? SLTA ? Sarjana ? Pascasarjana ?

Dari melihat aktivitas audiens saat berlangsungnya acara, saya malah berpendapat mereka itu mungkin layak berpendidikan di bawah tingkat SLTA. Karena jarang, jarang sekali terlihat, ada yang serius melakukan aktivitas mencatat semburan demi semburan kata-kata mutiara dari Mario Teguh saat itu. Semua mendengarkan saja. Terlongo. Bahkan sering terlambat menyambar humor Pak Mario yang super itu.

Tanpa dicatat, begitu acara selesai dan kita keluar ruangan, sebagian besar ajaran Mario Teguh itu akan hilang. Dua hari kemudian, semuanya benar-benar tidak berbekas.

Aktivitas mencatat itu bukan hal remeh. Majalah Reader’s Digest pernah menulis lelucon : “Apa yang terjadi bila satu bus penuh turis Jepang dibajak teroris ? Polisi akan memperoleh 50 foto diri teroris dari pelbagai sudut. “

Lelucon ini menunjukkan kegetolan turis Jepang yang kemana-mana memotret obyek wisata yang mereka kunjungi. Ternyata kebiasaan hebat turis Jepang bukan hanya itu.

Harry Davis, Wakil Direktur Program MBA di Sekolah Bisnis Universitas Chicago, Amerika Serikat, mengatakan bahwa turis-turis Jepang itu juga membawa-bawa bloknot. Mereka mencatat hal-hal khusus yang dapat mereka amati dari pelbagai penjuru dunia yang mereka kunjungi.

Mereka melakukan tindak intelijen secara legal, mereka mengumpulkan data. Pelbagai data itu diolah dan dijadikan pertimbangan dalam menghasilkan produk yang diekspor Jepang ke seluruh dunia. Itulah cara Jepang menguasai ekonomi dunia.

Menurut Harry Davis, kebiasaan model turis Jepang itu harus dimiliki oleh setiap insan yang produktif, utamanya dalam mengembangkan dan mengasah keterampilan melakukan observasi. Kepada mahasiswa MBA-nya, seperti dikutip koran USA Today (12/2/1992), ia anjurkan untuk selalu membawa-bawa bloknot sepanjang waktu.

Dengan demikian mereka setiap saat dapat menulis dan mengawetkan hasil observasi dan ide-ide seputarnya, yang sangat bermanfaat bagi pekerjaan atau pun kehidupan pribadinya. Judy Carter, mentor komedi asal Amerika Serikat (foto) juga bilang, bahwa setiap calon komedian harus membawa-bawa bloknot dan bolpoin, setiap saat. Bahkan kedua sarana itu harus berada di dekat bantal tempat tidur mereka !


Bukan hanya mencatat. Agar kekayaan yang ditumpahkan oleh Mario Teguh itu mampu menjadi milik kita sendiri, pengetahuan itu harus dituliskan. Bisa di buku harian, surat, artikel, sampai blog. Pengetahuan bersangkutan berpeluang abadi menjadi milik kita pribadi apabila kita dengan cinta bersedia membagikannya kepada orang lain. Bahkan sebaiknya pula harus secara publik.

Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo, mengatakan : seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka memiliki pemahaman secara lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik.

Terima kasih, Rebbeca.

Masukan-masukan bernas Mario Teguh tanpa upaya dan tanpa ikhtiar lebih lanjut seperti ditulis di atas, hanya ibarat olesan balsem belaka. Saya ingat kata-kata seorang (mantan ?) petinju kita, Pino Bahari, saat menjadi komentator dalam suatu siaran tinju di televisi.

Ia bilang, nasehat atau masukan pelatih untuk petinju hanya berumur beberapa detik saja. Begitu masuk ring untuk melanjutkan ronde sisanya, petinju bersangkutan akan bertarung dengan pola berdasar cetak biru (lama), orang Jawa bilang sebagai gawan bayen, karakter yang sudah menyatu dengan dirinya.

Akhirnya, terkait kata-kata mutiara Mario Teguh itu saya pernah tiba-tiba memperoleh banjir SMS. Dari kenalan lama tetapi kemudian menjadi teman baru di Facebook. Antara lain berbunyi :

“Kekayaan yang bisa ditambang dari sumber emas dan berlian di bumi, tidak bisa mengalahkan ukuran kekayaan yang ditambang dari penggunaan pikiran Anda.”

Saya setuju. Terima kasih, Pak Mario.

Tetapi ujung dari banjir kata-kata motivasi tersebut adalah, bahwa dirinya nampak ingin merekrut diri saya sebagai downline dari bisnis MLM-nya. Bagi saya, aksi ini ibarat dirinya memanfaatkan ajaran telemotivator itu bukan hanya sebagai balsem untuk dioleskan kulit, tetapi balsem itu juga ia telan di perut.

Mungkin agar perutnya, juga isi tubuhnya bisa menjadi lebih nyaman, lebih kuat. Tetapi bukankah malah berpeluang menjadi racun ? Sebuah pepatah dari abad keenam belas boleh jadi menegaskan hal itu :

One man's meat is another man's poison.

Anda setuju ?
Apa pendapat Anda ?


Wonogiri, 26 Januari 2010


ke