Friday, December 23, 2005

Widhiana Laneza : 20 Desember 2005

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epsia@plasa.com


Wir haben, wo wir lieben, ja nur dies :
einander lassen; denn dass wir uns halten,
das fällt uns leicht und ist nicht erst zu lernen.

(Rainer Maria Rilke, 1875–1926
Penyair Jerman)



The MySpace Generation. “Mereka hidup secara online. Mereka berbelanja secara online. Mereka bermain secara online. Kekuatan mereka semakin menguat.” Itulah judul laporan utama majalah bisnis terkemuka, Business Week (12/12/2005).

Anak-anak muda kini hidupnya semakin terintegrasi dengan sarana-sarana teknologi informasi dan layanan yang tersedia. Mereka juga semakin tergantung pada apa yang disebut sebagai jaringan sosial online, termasuk bersaranakan blog, untuk menancapkan identitas sosial mereka.

Situs blog seperti MySpace sampai Xanga.com, adalah tempat nongkrong online yang semakin populer. Dalam lingkar pergaulan seperti itu, virtual community center, pusat komunitas maya, mereka dapat curhat, menemukan tempat untuk mengadu saat patah hati, mendapat teman untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah, dan alamat serta acara pesta Sabtu malam.

Walau pun jaringan semacam ini perkembangannya masih dalam tahap awal, tetapi kalangan ahli memperkirakan bahwa kini telah tercipta suatu bentuk kebiasaan sosial yang baru, yang mengaburkan perbedaan antara interaksi secara online dengan interaksi di dunia nyata.

Artikel itu sungguh mengusik saya.
“Apakah diriku juga sudah terjerumus ke kubangan kebiasaan sosial baru di atas ?”

Seperti juga Anda, saya menulis blog untuk kesenangan. Senang pula bisa mengetahui isi kepala blogger lain, seperti Andrew Sullivan, Caterina Fake, Dan Gillmor, Dave Wiener, Glenn Reynolds, Jeff Jarvis, Jeff Rosen (ini professor sekaligus blogger), Joe Trippi, Mickey Kaus, Nick Denton, Peter Rojas, Robert Scoble sampai si rambut jabrik Xeni Jardin.

Bisa puas lagi bebas mengeluarkan uneg-uneg sampai gagasan dengan gaya personal. Semau kita. Tak ada lagi batasan tirani kolom atau diktator media. Aktivitas yang mengasyikkan, terlebih seperti diungkap oleh Bapak Pencipta Snoopy, Charles Schulz, karena pahalanya justru otomatis ternikmati ketika kita lagi mengerjakannya.

The reward is in the doing.

Bila tulisan mendapatkan komentar dari blogger lain, itu adalah bonus. Termasuk bisa berkenalan dengan teman-teman baru, tempat meminta nasehat dan bimbingan. Konsultan blog saya yang baik hatinya, Tina, tinggal di Ulm, Jerman. Atau sekadar saling bertukar cerita-cerita jenaka.

Bahkan saya punya sahabat online, Lasma Siregar, mengaku sebagai TKI di Melbourne, Australia, yang luar biasa. Dia sudah lebih dari setengah lusin kali membanjiri saya dengan hadiah : buku-buku hebat, decoder (buku unik, bukan alat TV), artikel, kaos, sampai majalah-majalah Playboy edisi era Jurrasic.

Mungkin karena saya sudah berumur 53 tahun, oleh Lasma Siregar sengaja dipilihkan edisi majalahnya Hugh Heffner itu yang khusus memuat artis-artis yang kini pasti sudah jadi nenek-nenek.

Anda tahu artis Indonesia, Ratna Assan, puteri Devi Dja dari kelompok hiburan Dardanella, yang satu jaman dengan Tan Tjeng Bok ? Ratna Assan pernah tampil polos saat ikut membintangi film Papillon bersama Steve McQueen. Di majalah Playboy edisi era brontosaurus :-)) itu Ratna Assan berpose dengan penuh pesona.

Well, dengan menulis di blog, kejutan demi kejutan juga mewarnai hidup saya. Disapa oleh seseorang yang tidak dikenal, ternyata mengaku sama-sama sebagai warga WNA. WoNogiri Asli. Atau oleh sesama mahasiswa seangkatan, tapi beda jurusan, yang dulu justru tidak saling kenal.

Blog bagiku kini juga tiba-tiba ibarat mesin waktu. Hal-hal yang selama ini nampak maya, berjarak, seperti main-main dan tidak serius, ternyata ketika menjadi realitas mampu hadir menggetarkan. Karena blog pula, masa lalu tiba-tiba di ujung Desember 2005 ini merenggutku untuk kembali. Dengan bahasa panggil yang sangat berbeda.

Oleh dia. Oleh sebuah nama.
Widhiana Laneza.

Image hosted by Photobucket.com


Widhiana Laneza

Satu Tahun Lalu : 2004. Kamis, 28 Oktober. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang) Wanita-Wanita Terindah : Jacquline Bisset. Isabelle Adjani. Sherry Bilsig, pramugari dalam Die Hard 2 : Die Harder. Arie Kusmiran. Miduk. Kenil. Cresenthya Hartati. Widhiana Laneza. Dwi Retno “Tutut” Setiarti. Erika "Michiko" Diana Rizanti. (Posting di blog Buka Buka Beha/28 Oktober 2004).


Lima Bulan Lalu : 2005. Senin, 11 Juli. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang Masa Kuliah : 1980-an) ”WTS-WTS” Yang Memesona. Di komplek kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Rawamangun, terdapat taman yang dipayungi rimbun pepohonan yang diisi beberapa kupel dan bangku taman. Di sana-sini mangkal pedagang makanan.

Komplek ini tiap hari kuliah selalu ditaburi sosok-sosok yang mampu melahirkan inspirasi, bukan saja cantik dan jelita, tetapi juga memesona. Mereka itulah yang lajim disebut sebagai para “WTS” : Wanita Taman Sastra.

Misalnya, dari Arkeologi ada Widhiana Laneza. Bercelana jin biru, baju jin biru pula, rambut panjangnya digerai. Mirip penyanyi rock. Kacamatanya frame besar seperti yang dipakai komedian Drew Carrey. Mirip sosok tokoh feminis terkenal, Gloria Steinem. Bagiku, ini pemandangan yang memesona.

Ada pula Deasy Indriati, yang mungil dan gemintang. Dari Ilmu Perpustakaan : Saraswati, Sri Mulungsih, Arlima Mulyono (adik dari pelawak Warkop, almarhum Nanu Mulyono), Poppy sampai Evy yang mengejar-ejar cinta saya.

Dari Sastra Cina, misalnya penyanyi Christine Panjaitan. Teman kentalnya, Prianti Gagarin Singgih, yang seperti cewek bule Amerika. Sosok menawan dari Sastra Inggris antara lain, Siti Rabyah Parvati. Ayahnya dari Padang, ibunya, Ibu Poppy, priyayi dari Solo.

Rumah eyangnya di Solo kini menjadi lokasi berdirinya Balai Sudjatmoko. Intelektual raksasa dan Rektor Universitas PBB di Tokyo tersebut tidak lain adalah oomnya Siti Rabyah Parvati, yang akrab dipanggil Upik ini. Ayah Upik adalah Perdana Menteri Sutan Syahrir. (Posting di blog Esai Epistoholica No. 24/Juli 2005/11 juli 2005).


Tujuh Bulan Lalu : 2005. Selasa, 14 Juni. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang Masa Kuliah : 1980-an). Rayuan Bu Dosen Perancis. Cita rasa saya terhadap wanita yang ada “bau-bau” Perancisnya, tetapi bukan wanita impian yang hanya bergerak-gerak di layar-layar bioskop, saya temui pada diri seorang Anez.

Mahasiswi Sastra Perancis.
Juga arkeologi.

“Namamu pakai huruf z, terasa eksotis”, pujiku. Ia menerangkan bahwa namanya diilhami dari kosa kata bahasa Spanyol.

Nama Spanyol, cinta Perancis. Saking kentalnya Anez dengan Perancis, anjingnya yang kecil dan lucu, juga punya nama dalam bahasa Perancis : Grigri. Artinya, jimat. Saat itu dengan bantuan teman, saya membuat kop surat dengan komputer. Tertulis “Grigri Petshop” lengkap dengan alamat rumahnya, yang disambut Anez dengan tertawa-tawa.

Sayang, bahasa Perancisku tidaklah canggih. Aku pernah ikut dalam mata kuliah Bahasa Sumber di FSUI, kini Fakultas Ilmu Budaya UI. Di sini setiap mahasiswa, baik Arkeologi, Ilmu Perpustakaan (jurusanku) dan Filsafat (jurusannya Dian Sastro kini), Sastra Arab, Sastra Belanda, Sastra Cina, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sastra Jawa, Sastra Jepang, Sastra Jerman, Sastra Perancis, Sastra Rusia dan Sejarah, wajib mengikuti mata kuliah tersebut. Para mahasiswa boleh memilih : bahasa Belanda, Italia atau Perancis.

Aku memilih Perancis. Tetapi karena metode belajarku tidak efektif, selain tuntutan untuk berfokus pada mata kuliah di jurusanku sendiri, membuat mata kuliah Bahasa Perancis ini menjadi kurang membahagiakanku. Apalagi, mungkin ini bisa disebut sebagai ge-er berat, ibu dosen Perancisku yang masih muda dan charmant itu, aku rasa, terlalu berlimpah memberikan perhatian rada khusus pada diriku. Memuat rayuan terselubung. Godaan yang menggairahkan. Mendebarkan dan menggelisahkan.

Teman sekelasku dari jurusan yang berbeda, yaitu cewek-cewek yang radar atau naluri kewanitaannya peka, sering mencandaiku akan hal spesial satu ini. Termasuk pula Upik, anak Sastra Inggris dan putri mantan Perdana Menteri RI Sutan Syahrir, yang sering aku repoti ketika aku sulit mengerjakan PR atau saat tes-tes dadakan Bahasa Perancis.

Semua gunjingan itu membuatku jadi jengah. Aku seperti Benjamin Braddock yang naif di depan Mrs. Robinson yang berpengalaman. Akhirnya, aku melakukan desersi. Hanya ikut kuliah bahasa Perancis itu satu semester. Au Revoir ! Lalu pindah ke mata kuliah Bahasa Belanda.


Kembali ke Anez. Aku belum berani membelai Grigri, anjing kesayangannya itu. Aku merasa kurang yakin bahwa diriku memiliki keramahan alami untuk seekor anjing. Pernah saya bertemu seekor anjing, di mana mulutku tidak berkata apa-apa kepadanya. Hanya sorot mataku ingin berkata : “Hei, kamu anjing jelek”. Kami pun berpapasan dengan damai. Tetapi, sekejap kemudian, saya rasakan sebuah gigitan mencengkeram tumit saya. Anjing itu rupanya memahami bahasa nonverbal saya.

Untung rabies tidak mendera saya.

Grigri dan Anez, sungguh ajaib, menjadi pemicu terbitnya buku kumpulan lelucon satwa, yang saya tulis, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987). Begitulah modal rayuan saya. Perasaan jatuh cinta yang mendalam telah berujung dengan terbitnya sebuah buku.


Kutipan sebagian isinya :

“Apakah Grigri seekor anjing penjaga yang baik, Anis ?” “Yah, lumayan. Kalau mendengar gemerisik di malam hari, aku harus membangunkan dia dan barulah ia menyalak.”

Aku telah menghabiskan waktu 5 bulan untuk melatih anjingku agar menjadi anjing penjaga yang baik dan berani. Istriku juga mengajarinya membawakan keranjang belanjaan dan surat kabar. Suatu hari rumahku didatangi pencuri, dan apa yang terjadi ? Anjing sialan itu memegangi obor dan menerangi pencuri dalam beraksi.

Sebuah perusahaan industri makanan anjing berhasil mengeruk keuntungan yang melimpah lewat produknya yang terbaru. Konon makanan itu cita rasanya persis sama dengan kaki pegawai pengantar pos !


Proses (penulisan buku) yang terjadi memang menggairahkan, mungkin tercampur dengan mabuk, terpagut ekstasi, sekaligus tidak memikirkan apa hasil akhir yang terjadi. Kalau Anda percaya, itulah fenomena menakjubkan yang disebut sebagai flow, mengalir, temuan psikolog Mihaly Csikszentmihalyi dari Universitas Chicago.

Flow adalah kondisi bahagia dan terkonsentrasi yang seakan-akan tidak dibatasi waktu, yang Anda raih ketika pekerjaan tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu sederhana, namun cukup menarik untuk memikat seluruh perhatian Anda. Flow sering bersamaku ketika menulis surat-surat rayuan yang panjang atau bergulat merampungkan tulisan-tulisan yang membahagiakan.

Mengilas balik di antara momen-momen interaksi yang istimewa dan terjadi dengan Anez, adalah ketika saya ikut makan malam dengan ayah dan ibunya. Beliau adalah seorang duta besar di pelbagai negara francophone, negara-negara yang kuat dipengaruhi budaya Perancis, di benua Afrika. Terakhir menjadi duta besar di Kamboja.

Ketika malam itu obrolan bergulir tentang makanan, saya menyinggung kegemaran orang Perancis yang keranjingan makan escargot. Bekicot. Saya memberanikan diri nyeletuk, “Orang Perancis suka makan bekicot, membuat mereka jadi lamban ketika ditagih bayar hutang”.

Pak dutabesar meledak dalam tawa. Tetapi putrinya saat itu tidak antusias untuk ikut tertawa. Sinyal lampu merah tentang masa depan pdkt, pendekatan saya telah menyala. (Cuplikan dari posting di blog Esai Epistoholica No. 21/Juni 2005/Selasa, 14 Juni 2005).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 20 September. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun jam 09.00, nerusin halaman 4 surat untuk Ria, tapi ogah memposinnya segera. Jam 12.00 keluar, innerku bilang, “kalau kamu pas goreh begini, tidak sarapan, pucat begini, kisruh begini...jangan-jangan ntar malah kepergok Anez.” Aku ke kantor pos : dapat 5 wesel dan 1 surat untuk ITSC (Ideas T-Shirt Club) dari tetangganya Ria, sama-sama Tawakal ; memposin surat ke Ria.

Aktivitas baru, nongkrong di shelter : jam 12.15. Innerku benar, di seberang sana, jalan sendirian, di mulut gang bertemu teman-temannya, ada cewek berjean dan baju merah kecoklatan :

Itulah Anez, Widhiana Laneza, cewek Arkeologi 82 yang sejak 1981 telah memenjarakanku dalam impian, “aku itu pengin mencintai dia, tapi jalan pengecutku selama ini, udah 5-6 kontak via surat, tak ada hasilnya”.

Saat itu, kerna perfeksionisku, aku memutuskan untuk off, ke fotokopi. “Hati gundah. Oalah, betapa kerdilnya aku ini” (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 30 September. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun jam 08.00, ke JIP (kampus FSUI). Ke BAP : aku ambil ijazah SIP-ku, hari ini, dan sudah jadi. Ijazahku itu (baru dua tahun kuambil setelah kelulusanku) tak berdampak apa-apa padaku, “kenapa ya ?”. Keluar dari kampus FSUI... Jam 11.30. aku sudah di shelter, nongkrong. Ada bis 38, kukira 39, dan intuisiku berkedip-kedip, “Anez mana ?”

Dari pintu depan tak ada, ketika panning ke pintu belakang, “Ya Tuhan, itu Anez !”, gadis yang selama 4-5 tahun ini hanya hidup di angan-anganku. Hari ini ia berjean lusuh, t-shirt beige (coklat kemerah-merahan) dengan lengan dipotong, rambut tergerai nampak kusut, ia nampak kurus, berjalan tak acuh.

Seluruh badanku terasa beku : aku mau apa saat itu ? Mulutku tak bisa memanggilnya, aku cuman berjalan untuk memandanginya. Anez terus saja melangkah. Tanpa hirau. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 4 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari ini, beberapa menit yang lalu, aku memberanikan diri untuk ketemu dan ngobrol a la kadarnya dengan Anez, Widhiana Laneza, di shelter Sunan Giri (15.30 WIB). Sebelumnya aku emang nunggu di shelter Rawamangun, eh dia malah lewat bersama temennya, acuh tak acuh di depanku, ke timur. “Apa yang harus aku lakukan ?”

Aku lalu membuntuti. Ia berhenti di shelter Sunan Giri : bercelana panjang warna khaki, baju garis-garis kecil warna coklat merah, menenteng tas kulit, saat itu temennya baru naik. Aku lalu berdiri di kirinya. Aku sapa :

“Anez ya ?”

Ia menengok. Aku mengajak salaman. Ia mau dan ramah. Aku bilang : “Aku yang pernah kirim surat kepada Anez” Dia tanya : “Sekarang kerja dimana ?’ Aku jawab, “bukan dimana, tetapi apa. Aku menulis”

Aku bilang, “aku malu, aku kan sulit ngomong, maka aku tulis surat”. Dia bilang, “iseng saja”. Kusahut : “tapi aku serius lho...”. Sambil ngomong itu aku memukul lembut pundaknya. Ia tak ada kesan benci atau menolak atas perlakuanku ini.

Oh ya aku tadi bilang : “Anez sekarang dimana sih ?” Ia nyebut alamat yang aku sudah tahu. “Saya pengin ngobrol atau main. Boleh engga sih ?”

Ia bilang : “boleh” (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Rabu, 12 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Terima kasih, Tuhan, aku telah ketemu lagi sama Anez, di rumahnya. Sepanjang senja dan malam tadi.

Kamar tamu yang sederhana interiornya. Di tembok kiriku ada foto besar, pengangkatan babenya Anez, Taufik Rachman Soedarbo, sebagai duta besar di Senegal (?), 11 Juni 1982. Berfoto bersama Bapak/Ibu Presiden RI. Anez dalam foto itu berkain, nampak langsing, tinggi, di dekat babenya.

Lalu Anez keluar, dikerubuti anjing-anjingnya. Yang hitam bernama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis) dan anjing merah bernama Pancho atau Cakil. Anjing putih yang di luar, galak (yang menyalakku kemarin Sabtu) dia sebut Minggo. Anez saat itu berdress : celana jean biru, baju biru, di kaki ada gelang emas, tangan bergelang, pakai jam tangan seperti di foto opspek.

Anez nampak antusias cerita tentang anjing. Aku berusaha menimpali dengan tanya, “anjingnya Liz Taylor yang bisa dikantongi itu jenis apa ?” sampai cerita humor seputar anjing yang bikin redaksi (koran) kalang kabut. Anez juga cerita tentang kakaknya yang kuliah di Paris, Sekolah Teknik Tinggi dan satunya lagi di komputer. Anez pengin ambil kursus komputer.

Malam itu, hmmm, aku ikut makan malam bersama ayah dan ibunya Anez. “Ini orang Jawa asli”, kata Anez mengenalkanku. Pak Taufik tanya, “Dari mana ? Jawa Timur ?” Aku bilang, Jawa Tengah. Wonogiri. Solo ke selatan. Beliau tidak tahu. “Engga pernah dapat pelajaran ilmu bumi”, kilah beliau.

Bapak dan Ibu Taufik makannya pakai tangan. Muluk. Ketika saya nanya mengenai makanan khas Afrika, cerita Pak Taufik banyak sekali dan aku asyik mendengarkannya. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Kamis, 13 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 19.30 : aku sampai ke rumah Ria. Ngobrol tentang buku humor dokter, juga tentang surat kabar kampus Warta UI (Ria jadi anggota redaksinya). “Kayak baca Suara Karya”, celetukku. Ria bilang, “Makasih Mas Hari”. Sambil ngakak.

Ria bilang (dirinya) udah damai sama papanya. Udah (pula) kursus Perancis. Akhirnya aku buka kartu ke Ria : “aku kini lagi berburu cewek.” Aku suka sama dia engga (ada bumbu) romantisnya, engga ada sexual drive, tapi datar-datar saja. Rasional. Cewek itu anonim bagi Ria. (Kusebut juga) suka Perancis dan aku sebut ia (sebagai) Garuda : terbang sendiri dan mandiri. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 15 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 11.30 berangkat pula jadinya, dan, di shelter Rawamangun terus tergambar Anez di sana. Sampai di JIP-FSUI, temu Ibu Soma (Ketua Jurusan). Hasil revisi skrip (yang aku tulis untuk televisi) diterima.

Engga banyak obrolan. Beliau cuman nawarin ; “mbok kamu belajar komputer, biar komputer ini engga underuse”. Aku jawab ya (dengan hati senang). Pulang. Mampir PO Box : dapat 2 surat ke ITSC, 1 tagihan dari Yani, dan Infokilat PDIN, (isinya antara lain daftar isi ) majalah Discover (September) yang ada artikel arkeologi : “moga-moga Anez bulan ini juga telah menerimanya”. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 29 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Baru saja aku nelpon Anez. “Ada apa ?’, tanya Anez. Aku agak nervous nanya bab seminar Arkeologi Publik, 2-3 Desember 1986. “Sebagai pendengar boleh kok”, katanya.

“Oh ya, kabarnya Grigri ?”, tanyaku. “Baik-baik aja. Sekarang baru mau makan”, jawab Anez. “(Anjing) yang kecil, siapa sih ?”. Anez jawab, “Bobi. Dan makasih untuk fotokopinya. Sudah diterima” Aku : “Yeah, mudah-mudahan ada gunanya” (Anez mengiakan : “ada gunanya, kok”).

“Udahan ya, Anez”
Jawab dia : “Kalau mau nelpon, nelpon aja”
“Yuk. Dadag” (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 2 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 9 sudah tiba di (gedung pertemuan di komplek UI Rawamangun) Sarwahita. Upacara seminar dibuka, aku masuk. Suasana orang-orang Arkeologi FSUI adalah, “yeah, suasana jurusan yang kering, tidak favorit, underdog, tersingkir”, gitu kesanku. Seperti juga jurusanku.

Aku ikut mendengarkan makalah pertama, “Museum dan Arkeologi”, oleh Bambang Soemadio dan penanggap Aristides Katopo. Isunya : bagaimana meningkatkan kesadaran publik tentang museum dan arkeologi.

Jam 12, aku cabut, dipelototi banyak mata. Nampaknya Anez tidak ada di antara mereka. Di pintu temu Paulina, Arkeologi 1986, (sebelumnya aku kenal sebagai) anak Himpunan Astronomi Amatir Jakarta/HAAJ. Ngobrol sebentar. Lalu aku off ke (perpustakaan) PPIA.

Melihat cewek berkaki putih, innerku bilang : “Itu Upik kah ?”. Tapi aku membantah sendiri. Tapi ya, ia bener-bener Upik. Kita (lalu) terlibat ngobrol. Ia belum lulus (Sastra Inggris UI). Daftar artikelku dulu (untuknya) mubazir. Ya udahlah.

Aku berkomentar mengenai surat pembaca (yang ia tulis) di majalah Tempo. “Wah, kayak Cory Aquino”. Ia nampak senang, dengan sikap mau memukul. Komentarku lanjut : “mau jadi golput ya ?”

Upik Syahrir pergi ke rak, aku scanning majalah Scientific American. Nampak ia mau cabut, aku pura-pura tak tahu. Eh, Upik menghampiri kursiku dan bilang, “duluan, ya”.

Perpustakaan PPIA tak lagi menarik. Aku pulang, sambil menyapa “mBak PPIA” (yang kukira udah pindah). Ia bilang, “lama tidak ke sini ya ?” Aku jawab : “sore hari”. Pulang, jam 13.30. Scanning shelter UI (Rawamangun) : tak ada Anez. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Senin, 8 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari ketemu banyak orang : Museum Satria Mandala, aku ikut acara Pengarahan Kursus Perpustakaan Mabes ABRI 86/87. Aku tiba on time, temu banyak ABRI : letnan kolonel. Aku duduk di barisan (dosen-dosen) UI.

Ke PDII, temu mbak Jati dan Suwarto. “Untung deh gue”. Riset majalah Romantika Arkeologia (FSUI) : temu berita bagus : Anez baca makalah tentang perkotaan kuno pra-Islam di acara diskusi. “Hebat juga anak satu ini ; dan aku tidak salah pilih ya ? Ia ilmuwan, aku juga, he..he”

Ini mengkhayal bab Anez : “kurasa dia itu juga cinta ilmu seperti juga aku ; dari luar sederhana tapi isi kepalanya cukup kompleks; dan pendekatanku selama ini kira-kira cocok engga ? Ya, embuhlah.....”

Dari PDII, aku tur ke Redaksi Pelita : ambil honor artikelku (“Terorisme Media”), 4 Nov 1986, “dapat Rp. 30.950,00”. Okay. Mampir American Cultural Center (Wisma Metropolitan 2), melamar jadi anggota. Ketemu bu Is Prayoga (kepala perpustakaannya dan dosenku) : “Buset, kerjaku freelance dikaitkan sama status singleku. Dia bilang aku harus cepat-cepat kawin”. Wah, aku menjawab : “Nasehat ibu saya dengarkan”. He-he, status freelance-ku kok tidak bercitra positif ya ?

Haus fotokopi artikel, eh, ketemu bab “melatih anjing”, aku ingat Anez : 24 halaman. Aku sangsi, jadi atau engga ? Akhirnya, demi cinta, harga segitu kupandang murah atau tak seberapa. Okay, aku fotokopi aja (artikel) “Four Ways To Walk a Dog” dari majalah Atlantic Monthly (April 1986) itu. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 20 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun pagi, tak ada orientasi. Seharian merampungkan desain (t-shirt) ITSC : Reagan – selesai. Pagi : menyalin dan menyalin surat cinta untuk Anez, “tapi gundah lagi, ditunda lagi”. OK.

Mandi sore untuk meredakan gundah dan bara di kepala dan dadaku sehubungan dengan cintaku pada Anez dan kesepian-kesepianku. Belum reda. Malam : box, blong, dan rasa sepi itu makin merujit-rujit. Ya Tuhan, begini hidupku. Escape : makan soto, kenyang, agak adem hati ini. (Buku Harian).


Sembilan Belas Tahun Lalu :1986. Senin, 29 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari bersejarah dalam karirku sebagai penulis. Aku menyerahkan naskah kepada penerbit : naskah sebuah buku, buku kumpulan humor satwa, dengan motivasi : mempersembahkan karya itu bagi orang yang ingin aku cintai, Widhiana Laneza ! Anez, sebutannya. (Buku Harian).

Image hosted by Photobucket.com



Petikan isinya lagi :


”Mengapa engkau menangis, Ani ?”
“Aku sedang sedih karena anjingku mati pagi ini”
“Lho ? Mertuaku juga baru saja mati, tetapi aku tidak bersedih seperti kamu saat ini.”
“Iya, habis kamu tidak membesarkan mertuamu sejak kecil”


”Aku telah menemukan cara terbaru untuk mengusir pinjal dari tubuh anjingku.”
“Bagaimana caranya ?”
”Gampang ! Anjingku kuajak naik pesawat terbang, lalu pilotnya kusuruh untuk berakrobat di udara. Pinjal-pinjal itu menjadi ngeri dan mereka pun berhamburan pergi.”

Seekor ayam babon tua memanggil sekelompok ayam babon muda. “Maukah kalian mendengar nasehatku ?”, tanya si Tua.
“Nasehat apa ?”
“Sehari sebutir telur menjauhkan lehermu dari pisau dapur”


Sembilan Belas Tahun Lalu :1986.Rabu, 31 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Aku nelpon Anez. Ia bilang, fotokopi tentang anjing itu telah ia terima. Juga cerita tentang jadwal ujiannya, awal Januari 1987, dan bahkan ia cerita pengin kerja freelance. “Kerja apa ?”, tanyaku. “Engga tahu. Bapak yang mencarikannya”

“Pada diri Anez apa yang bisa dijual ?”, tanyaku. Bercanda secara otomatis muncul. Terdengar dia tertawa besar. Segar. “Maksudku, skillnya”, jelasku. “Bahasa”, kata Anez.

Anez nanya ; “Apa acara Tahun Baru ?”. “Evaluasi tahun 1986,” kataku, dan “rencana tahun 1987”, Anez menambahkan. Aku bilang : “biasanya semangat tinggi ada di bulan Januari, sesudah itu biasa-biasa lagi” (Buku Harian).


Delapan Belas Tahun Lalu : 1987. Jumat, 9 Januari. Rawamangun, Jakarta Timur. Aku nelpon Anez. Ia cerita anjingnya yang hilang. Si Cakil atau Pancho. Dicuri orang ? Ia cerita tentang pagar rumahnya yang bolong. “Anez nangis engga ?”, godaku. “Engga. Mudah-mudahan dicuri oleh pemiliknya”, kata Anez. “Lalu anjing baru, jenisnya apa ?”, tanyaku. Dan jawabnya : “Biasa. Anjing kampung”

“Jadi semua (anjingmu) serba kampungan ya ?”

Anez tertawa. Aku lalu nanya bab anjing Labrador, Alsatian, dan melucu tentang anjing Dachshund yang bisa dikomersilkan : untuk membersihkan cerobong asap. Anez bilang : “jangan kejam-kejam dong.” Aku me-recall humor tentang cewek yang disukai anjing bukan karena cantiknya, tetapi “she has a good bone structure. Anyway, all the dogs loves her”.

Anez inisiatif buka obrolan lain. Kali ini tentang rencana pertunjukan maestro ballet di Jakarta. “Rudolph Nureyev, kan ?”, sergahku.

Cocok.

“Tapi karcisnya mahal”. Anez menjawab : “Ya. Karcisnya mahal”. Aku usulkan : “lebih baik nonton videonya, lebih murah. Oh ya, Anez, aku sering terkicuh antara Nureyev dengan....”, dan Anez gantian cepat menjawab : “Mikhail Baryshnikov”

Cocok. Nyambung.

Aku nelpon kali ini tanganku yang pegang handle gemetaran. Lapar ? Masih soal Baryshnikov aku berkata : “kan dia kini lagi main film”. Anez kembali cepat menimpali : “White Night”.

Cocok dan nyambung lagi.

“Anez suka film semacam Return To Eden ?” Ia bilang : dulu suka, tapi sesudah melingkar-lingkar, ia bilang tidak mengikuti. “Itulah opera sabun”, kataku, dan kusambung cerita tentang penulis opera sabun versus istri tukang ledeng.

(Konon, ada penulis opera sabun yang pipa ledeng di rumahnya rusak. Ia nelpon tukang ledeng, tetapi yang menerima istrinya. Istri itu surprise setelah tahu yang menelpon itu penulis opera sabun favorit yang sering ia tonton di televisi. Ia lalu tergoda pengin tahu bagaimana kelanjutan kisah si tokoh utama. Katanya, “ kalau saya dibocorin lanjutan kisah si tokoh, saya akan meminta suami saya untuk membantu Anda. Kalau tidak dibocorin, saya akan tutup telepon ini” Si penulis opera sabun itu menyerah.)

Anez terdengar tertawa.

Aku bersiap menutup pembicaraan. Ketika koin keempat jatuh, menit ke 9 -12 mulai, aku bilang : “Tahu engga, bahwa Anez itu menarik ?” Anez tertawa. Surprise. Dapat tembakan rayuan. Tapi dia hendak mengelak : “Engga kok. Tapi engga tahu deh anggapan orang lain”

Saat itu aku hendak nerangin soal Johari Window, tapi tak jadi. Aku bilang lagi : “Bener kok, Anez itu menarik”. Ia tertawa lagi dan dengan cerdas ia berkelit. “Anyway, thank you”, katanya dengan tutur yang luwes. Sambil tertawa gembira. Aku juga.

“Yuk, dadag”, tutup Anez. (Buku Harian).


FAST FORWARD : Hari ini : 2005. Kamis, 22 Desember 2005. Wonogiri, Jawa Tengah. Saya menulis email balasan berikut ini :


Dear Mas Anto,
Terima kasih untuk email Anda, Mas Anto. Salam kenal. Saya mengingat, kalau tak salah ingat, Anez pernah cerita tentang kakaknya yang kuliah di Paris. Di elektro ? Apakah itu Mas Anto ?

Anez bercerita sepintas hal itu di rumah, sambil direcoki oleh Grigri (kata Anez, artinya "jimat" dalam bahasa Perancis) dan si Cakil, keduanya adalah anjing kesayangannya. Gara-gara anjingnya Anez itu sampai saya tergerak menyusun buku kumpulan humor satwa.

Suatu saat di telepon Anez cerita bahwa si Cakil itu pergi. Saya tanya ke Anez, apa jenis anjingnya itu ? Anez bilang, anjing kampung. Lalu saya tanya : semua anjingmu itu kampungan ya ? Anez hanya tertawa kecil.

Pernah juga saya katakan di telepon : "Anez itu menarik" Kalau saya ketemu sekarang, masih akan saya katakan : "Anez itu menarik" Saya yakin kini Tuhan Yang Maha Penyayang juga akan mengatakan bahwa Widhiana Laneza itu menarik, sehingga ia dipanggil lebih cepat untuk menghadapNya.

Saya ikut merasa kehilangan, Mas Anto.

Semoga Mas Anto, suaminya Anez, Ibu dan Bapak Taufik ("saya senang ketika diberi cerita beliau tentang makanan khas Senegal") dan keluarga besar di sini diberi ketabahan dan kekuatan iman.

"Selamat jalan Anez, semoga kau di surga sana mendapat tugas arkeologi yang lebih menantang"

Wassalam.

Hormat saya,
Bambang Haryanto


FAST FORWARD : Hari ini : 2005. Kamis, 22 Desember 2005. Wonogiri, Jawa Tengah. Sebelumnya saya mendapat email tak terduga-duga berikut ini :

Mas Bambang,
Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan situs blog anda "Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list “wanita-wanita terindah” Anda.

Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya.

Salam,
Anto,
kakaknya Anez.


Apa Daya Saya Hanya Manusia. Penyair Jerman Rainer Maria Rilke telah bilang, dalam cinta satu-satunya hal yang harus dipraktekkan adalah : berilah kebebasan bagi orang-orang yang Anda cintai. Kalau ingin membelenggunya, itu perkara mudah, kita tidak usah belajar tentangnya.

Kebebasan Anez, kebebasanku dan kebebasan kami, akhirnya membuat jatuh cintaku kepada Anez kandas. Aku bisa mengerti. Karen Carpenter, penyanyi favoritku yang mati muda di usia 33 tahun dalam “When I Fall In Love” seolah mengabadikan kepedihan itu :

In a restless world like this,
love is ended before it’s begun.

Hal ini pun, Anez, juga bisa aku mengerti.

Tetapi memperoleh kabar bahwa Widhiana Laneza telah dijemput kebebasan puncaknya sebagai manusia untuk kembali keharibaan Tuhan di bulan Desember ini, betapa momen menggetarkan dan penuh misteri dariNya tersebut masih terasa sulit untuk bisa aku mengerti.

Apa daya, saya hanya manusia.


Wonogiri, 22-23 Desember 2005

Wednesday, December 07, 2005

Erman Suparno Menakertrans Baru Kita Adalah “Bapak Ketoprak Humor” : Bisakah Masa Depan Seni Komedi Indonesia Mengharap Banyak Darinya ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Era Ekonomi Kreatif. Michael Jordan pasti tidak tahu siapa itu Erman Suparno. Yang satu adalah maha bintang bola basket Amerika Serikat, sedang satunya adalah lelaki kelahiran 20 Maret 1950 asal Desa Duduwetan, Grabag, Purworejo, Jawa Tengah. Lelaki yang melanjutkan sekolah di STM 1 Yogyakarta (satu kompleks dengan sekolah saya, STM 2 Yogyakarta), kini diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang baru, 5 Desember 2005.

Lalu apa kaitan antara si Erman dengan si Jordan ? Simaklah isi bukunya John Howkins, The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001). Buku ini saya beli 29 Juli 2002, di QB World of Books, Jl. Sunda Jakarta Pusat. Berkat kemenangan menjual gagasan sehingga meraih juara pertama dan hadiah 20 juta di Honda The Power of Dreams Contest 2002.

Pada pengantar, John Howkins menulis : Di tahun 1997 Amerika menghasilkan kekayaan sebesar 414 milyar dollar AS dari penjualan buku, film, musik, acara televisi dan produk-produk hak cipta lainnya. Hak cipta menjadi ekspor nomor satu Amerika, melebihi penjualan pakaian, kimia, mobil, komputer dan pesawat terbang.

Majalah bisnis terkemuka Fortune menghitung bahwa nilai ekonomi pribadi seorang Michael Jordan sebagian besar diperoleh dari penjualan hak cipta dan merchandising yang nilainya melebihi GNP negeri Jordania. Bahkan Naomi Klein, pengarang buku terkenal No Logo (2000), menghitung besaran uang kontrak dari Nike untuk Michael Jordan di tahun 1992 adalah senilai gaji buruh Indonesia sebanyak 30.000 orang sepanjang tahun !

Pak Menakertrans yang baru, dalam wawancara dengan Mohammad Bakir, wartawan harian Kompas (19/2/2002), ketika menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR yang membidangi perhubungan dan prasarana wilayah, berkata : “Kalau boleh memilih, saya sebenarnya suka mengurusi pendidikan. Bidang ini sangat serius, tetapi sekarang masih belum digarap secara serius”

Pak Erman, walau tidak seratus persen harapan Anda di atas terpenuhi, tetapi di bidang ketenagakerjaan dan transmigrasi inilah tentu visi Anda tentang pendidikan dalam arti luas dapat pula diaplikasikan. Perbaikan mutu tenaga kerja kita yang rendah sampai terangkatnya jutaan anak muda dari jeratan pengangguran, menunggu tangan dingin solusi Anda.

Siapa tahu sukses Anda dalam membidani lahirnya Yayasan Samiaji dan Ketoprak Humor (KH) di tengah himpitan krisis berat 1997, menjadi inspirasi yang kuat. Kita sebagai rakyat, hanya bisa berharap.


Manajemen Lawak Modern. Sekadar kilas balik : Ketoprak Humor memang fenomenal saat itu. Majalah Gamma (31/12/2001) dalam sampulnya terpajang wajah pelawak Timbul dan tulisan mencolok, “Menyingkap Industri Humor Ratusan Milyar”. Di dalamnya, antara lain terpajang foto pelawak Leysus, berpakaian sarung. Ia sedang membuka gerbang tinggi dari pagar kayu rumahnya yang menampakkan bagian belakang mobil Mercy. Bernomor polisi B 35 US, yang bisa dibaca sebagai “besus”. Kata itu dalam bahasa Jawa bisa diartikan sebagai “sukses” atau “kaya”.

Kemunculan Ketoprak Humor, konon diawali ketika Erman Suparno mengumpulkan seniman tradisional. Ketika dia belajar dan tinggal di Jepang, ceritanya, dia melihat banyak pertunjukan tradisional yang dikelola secara profesional. Setelah lulus MBA tahun 1993 di Newport University, California, AS, Erman berkeyakinan : agar seniman tradisional bisa bertahan, mereka harus dibantu, khususnya di bidang manajemen, dibarengi peningkatan pengetahuan dan kesejahteraannya.

Seperti dikutip oleh wartawan Kompas Mohammad Bakir, Erman Suparno mengatakan : “Sentuhan yang kami lakukan hanya menyangkut soal manajemen organisasi. Kami melakukan perencanaan produk, evaluasi, keuangan, pengelolaan sumber daya manusia khususnya yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan, serta marketing”.

Menyangkut pertunjukan, dibentuk satu tim lagi, tim pergelaran, yang terdiri dari seniman yang pada Ketoprak Humor dipimpin Timbul. Mereka yang menulis naskah, kostum, setting pemain, tata panggung. Setiap seminggu sekali, tim profesional manajemen dan tim pergelaran yang mengurus produksi ini bertemu.

“Sebagai pembina, saya mengarahkan dua tim itu. Alhamdullilah, dua tim ini bisa berjalan beriringan selama empat tahun. Seniman sudah merasakan manfaat bagaimana sentuhan manajemen modern bisa meningkatkan kesejahteraan mereka”, ujarnya.


Di Mana Ketoprak Humor Sekarang ? Adakah yang terlupa dari gebrakan Pak Erman Suparno saat itu ? Sebagai lulusan MBA, tentu saja dapat dimaklumi bahwa gebrakannya cenderung myopia, terlalu berfokus pada pembenahan manajemen. Aksinya itu melupakan pentingnya asupan informasi dan pengetahuan mengenai konstelasi seni pertunjukan komedi yang bisa terus seirama dengan tuntutan jaman.

Sekadar contoh, pengajar Fakultas Sastra (kini Fakultas Kajian Budaya) Universitas Indonesia, I. Yudhi Soenarto, dalam esainya berjudul “Andai Tessy Belajar Akting”, sudah memberikan caveat, peringatan, terhadap gaya pemanggungan Ketoprak Humor saat itu.

Ia tulis di Gamma pada edisi yang sama : “Yang paling penting bagi kelompok (KH) ini, mungkin juga bagi sebagian penonton, adalah penampilan para pelawak. Timbul, Tessy, dan Tarzan merupakan bintang-bintang ketoprak ini. Sebagai bintang, mereka bertugas memancing tawa penonton dengan citra kepelawakan yang sudah menjadi identitas mereka. Mereka tak peduli pada peran yang mereka bawakan, misalnya sebagai dewa, adipati, atau punakawan. Pokoknya, penonton tertawa, kurang lebih itulah ukuran sukses mereka”

“Saking semangatnya menjadi mesin ketawa, mereka mengacak-acak cerita dan membuatnya menjadi lamban dan bertele-tele. Di samping penampilan fisik yang unik, jurus-jurus lawak standar seperti mengolok, saling mencela, dan saling mengakali menjadi andalan mereka. Mereka juga menjadikan para pemain lain sebagai objek kelucuan....Mereka, dalam konteks seni peran, telah terjebak untuk hanya memerankan satu karakter. Jika ini kunci keberhasilan mereka, ini pulalah yang akan jadi penyebab kegagalan mereka”

Ketoprak Humor kini di mana ? Pamornya telah memudar atau sudah menjadi sejarah itu memang bisa dibedah dari pelbagai pandangan. Saya ingin mengutip pandangan cendekiawan humor, almarhum Arwah Setiawan dalam bukunya Humor Zaman Edan (1997). Pandangan yang sangat relevan untuk juga dicamkan oleh komunitas komedi kita saat ini.

Dalam tulisan berjudul “Lomba penulisan naskah komedi terlucu”, ia jelaskan : “Semua pengelola dan pengamat televisi tentu menyadari sekali bahwa betapa pun pentingnya pelawak atau komediwan untuk menyukseskan suatu pertunjukan komedi, tetapi kalau pertunjukan itu tidak didasarkan pada naskah cerita yang jenaka dan rapi, pertunjukan tersebut niscaya tidak akan dinikmati oleh para pemirsa. Keberhasilan suatu pertunjukan komedi memang bertumpu pada penulisan naskah komedi yang jenaka, rapi dan masuk akal.”

Sudahkah tuntutan itu makin mengeras dewasa ini ? Harian Kompas (4/12/2005) yang menampilkan tulisan wartawati Susi Ivvaty dan M. Clara Wresti berjudul “Kekuatan Naskah dalam Komedi”, antara lain menunjukkan bahwa generasi lawak a la Srimulat yang berjaya lewat kekuatan “tahu sama tahu” dan improvisasi panggung, nampaknya semakin ditinggalkan.

Salah satu pelawak alumnus Srimulat, Tarzan, bahkan mengiakannya. “Improvisasi itu kalau dulu memang gampang, namun sekarang susah karena bersaing dengan pelawak yang berkonsep. Sekarang, saya sendiri memilih yang berkonsep dan bernaskah”, kata Tarzan sambil menambahkan, “Srimulat itu menang karena jam terbang. Tetapi ini juga spekulatif, kadang lucu kadang tidak ha-ha-ha”

Harapan spekulatif pula : bila Menakertrans kita yang baru adalah orang yang pernah dekat dengan dunia komedi Indonesia, bisakah kita mengharapkan sesuatu dorongan pembaruan (lagi) yang signifikan dari dirinya bagi perkembangan seni komedi di Indonesia ?

Saya hanya ingin titip satu pesan. Hallo, Bapak Erman Suparno, seperti contoh dari cerita awal tentang sumber kekayaan pebasket Michael Jordan, kita kini hidup dalam era gagasan. Era kreativitas. Dan di lahan ini, mengutip tesis Menaker AS di era Clinton, Robert B. Reich, pekerja yang tahan uji dalam era kreatif tersebut adalah mereka yang berkecimpung dalam kiprah simbolis-analis. Menulis peranti lunak komputer, menulis buku sampai naskah komedi, pasti juga masuk pula dalam kiprah simbolis-analis ini pula.

Sayangnya, terus terang, sepengetahuan saya, komunitas kreatif komedi kita belum pernah mendapatkan penataran atau up grade seputar comedy writing dan sejenisnya. Walau tayangan-tayangan komedi bernaskah, full script, sudah lalu lalang di televisi kita, jangan mimpi untuk membandingkan dengan kekuatan naskah di balik sitkom “Friends” atau “Everybody Loves Raymond”.

Sekadar ilustrasi : Anda sebagai Menakertrans nanti pasti juga berurusan dengan masalah TKW (Tenaga Kerja Wanita). Indonesia kita ini terkenal sebagai pengekspor babu, pembantu rumah tangga berketerampilan rendah, baik ke Hongkong, Singapura sampai Jeddah. Banyak sekali suka dan terutama duka-duka mereka.

Tetapi, tahukah Pak Erman, untuk cerita komedi seputar kehidupan para babu itu ada stasiun televisi kita justru mengadopsi mentah-mentah kehidupan para pembantu dari sitkom “The Nanny”, produk Amerika Serikat ? Itulah, akibat lemahnya kreator komedi televisi kita, sampai-sampai negeri eksportir babu terbesar di dunia (?) ini ketika membuat sitkom tentang babu pun harus impor dari Amerika Serikat !

Bagaimana kalau sekalian impor dari AS untuk hal satu ini ?

Anda kan pernah berkuliah di California, Amerika Serikat ? Alamat klub komedi seperti Improvisation di Melrose., Los Angeles, Comedy Store atau Laugh Factory di West Hollywood, Comedy Spotlight at Hornblowers di Ventura sampai LA Connection Comedy Theatre di Sherman Oaks, semuanya di California, bukankah bisa Anda kontak (berkoordinasi dengan PaSKI) untuk diajak berdiskusi demi memajukan dunia komedi, khususnya comedy writing, di Indonesia ?

Selamat bertugas, Pak Erman. Silakan tertawa, bila berkenan, setelah membaca tulisan saya ini pula.


Wonogiri, 6 Desember 2005