Thursday, February 25, 2010

Jaya Suprana, Lawakan Idiot Olga dan Low Comedy

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Sarkas Jaya Suprana. Bangsat merupakan parasit yang kosmopolit. Dirinya mudah ditemui di mana saja, di tempat manusia biasa berada.

Ia menggunakan taktik gerilya dalam beroperasi.

Bersembunyi di waktu siang hari, menyerang di waktu malam. Sesudah puas menghisap darah manusia targetnya, ia lalu mundur ke tempat persembunyian, guna mencerna santapannya itu dalam beberapa hari.

Bangsat adalah kutu busuk. Encyclopedia Britannica menyebutnya sebagai bed bug. Kutu ranjang. Serangga malam ini termasuk dalam keluarga Cimicidae. Tetapi di Indonesia, baru-baru ini, kutu busuk itu “masuk” sebagai keluarga seorang wakil rakyat.

Gara-garanya, kata bangsat itu menjadi ramai diperbincangkan masyarakat. Utamanya setelah muncul sebagai umpatan yang dilontarkan anggota DPR dari Partai Demokrat, Ruhut Poltak Sitompul, dalam kesempatan suatu rapat Pansus DPR terkait kasus Bank Century.

“Di luar negeri, kata-kata yang lebih jorok lebih sering dimunculkan di lembaga-lembaga wakil rakyat,” cetus budayawan, kolumnis, kelirumolog, penguasaha, Jaya Suprana. Ia hadir sebagai panelis dalam acara Mata Najwa di MetroTV beberapa saat yang lalu. Acara bincang-bincang itu juga dihadiri pengamat ekonomi Faisal Basri, Hendri Saparini, artis yang mau jadi calon wakil bupati Sukabumi Ayu Azhari, dan juga si pelontar kata bangsat itu sendiri, Ruhut Sitompul.

Audiens bertepuk tangan. Tetapi segera Jaya Suprana memperingatkan mereka.“Jangan buru-buru tepuk tangan. Karena terdapat juga sarkas dalam pernyataan saya.”

Saya tersenyum. Umpama saat itu Jaya Suprana melakonkan diri sebagai komedian tunggal, nampaknya ia telah melakukan kesalahan fatal. Karena ia berambisi untuk menjelas-jelaskan makna dari materi lawakannya. Tetapi syukurlah, ia tidak sedang tampil sebagai komedian. Selebihnya, memang nampak betapa audiens yang sebagian besar mahasiswa itu tidak ngeh dalam mencerna lawakan sarkas tingkat tinggi model Jaya Suprana.

Lawakan kasar. Momen semacam itu, ketika para cendekiawan muda kita nampak telmi dalam mengikuti lawakan-lawakan yang cerdas, apakah seringkali ditemui dalam pelbagai acara-acara televisi ?

Mungkin pembaca dapat berbagi informasi kepada saya. Maafkan saya, saya bukan penonton televisi Indonesia yang taat dan baik. Hiruk-pikuk komentar pembaca terhadap mutu tayangan televisi hanya bisa saya ikuti lewat media massa. Itu pun hanya dari 4 koran, yaitu Kompas, JawaPos, Solopos dan Suara Merdeka, yang saya baca-baca di Perpustakaan Umum Wonogiri.

Sebagai seorang epistoholik, saya telah membaca surat pembaca yang ditulis Leonardo Paskah (Grogol, Jakarta). Judulnya “Lawakan Berbau Anarkis” di Kompas (9/2/2010 :7). Ia tulis bahwa dalam acara Oh My God dan Segerr Benerr di ANTV, dengan pembawa acara Olga Syahputra, sebagai tayangan lelucon anarkis dan kasar. “Olok-olokan kasar, jambakan rambut, memukul dan menghantamkan barang yang tiba-tiba dari belakang,” begitu antara lain tulisnya.

Soraya Perucha, pejabat humas dari ANTV di kolom yang sama (15/2/2009) kemudian memberikan jawaban. “Kami merasa masukan yang disampaikan cukup positif. Itu menjadi perhatian kami untuk memperbaiki kualitas tayangan. Kami senantiasa melakukan evaluasi untuk setiap program agar dapat dinikmati dan bermanfaat bagi keluarga Indonesia.” Anda percaya dengan kata-kata klise kehumasan semacam ini ?

Surat pembaca kedua, lebih dramatis. Dengan judul “Siaran Televisi Mengepung Relung Hati dan Pikiran” (Kompas, 13/2/2010 : 7) warga Kemang Pratama, Bekasi, Bambang Sudiono menulis keluhan berat. Antara lain tentang bagaimana humor menjelma menjadi tontonan kebodohan di pelbagai televisi-televisi kita.

“Kebodohan dipamerkan dengan penuh suka cita lewat acara yang disebut ‘humor.’ Humor sesungguhnya, yaitu menertawakan kelemahan dan kebodohan diri sendiri, dimaknai oleh para ‘pelawak’ dan produser televisi dengan menghina orang, melecehkan orang, mengejek orang lain, bahkan dengan melakukan kekerasan fisik terhadap orang lain.

Pada saat seseorang diperlakukan secara tidak sopan dan kemudian merintih-rintih, penonton tertawa. Itu yang disebut ‘humor’ oleh televisi kita : menghina dan menyakiti orang lain ? “

Kasta terendah. Kritik pedas Bambang Sudiono di atas belum ada yang menjawab dari fihak televisi. Orang-orang televisi mungkin menganggap keluhan semacam itu pantas untuk dibaca, kemudian segera untuk dilupakan.

Saya juga meminta seorang networker yang memiliki LSM dengan inti kiprah dalam bidang humor untuk mem-posting kritik di atas pada akun Facebook-nya, nampaknya hanya “ya” tetapi tidak ia lakukan. Mungkin permintaan semacam ini harus disertai pengucuran dana, suatu langgam yang mungkin biasa bagi organisasi yang berfilfasafat no money, no project itu.

Yang pasti, nampaknya upaya melakukan peningkatan, up grade terhadap diri sendiri, merupakan hal yang teramat sulit untuk dilakukan. Apalagi meningkatkan diri di bidang kiprah kreatif yang begitu elusive seperti komedi, yang mungkin secara ekstrim dan guyon hanya dapat dilakukan bila terjadi melalui cara operasi cangkok pada otak mereka sendiri.

Orang-orang televisi tidak mau repot. Apalagi orang-orang komedi. Mereka alergi untuk merenung. Tak mau berkontemplasi. Mereka seperti bajing di kandang, sibuk berlari di atas treadmill mereka sendiri. Demi memenuhi kejar tayang.

Meminjam sinyalemen Stevie Ray dalam bukunya Stevie Ray’s Medium-Sized Book of Comedy : What We Laugh At…And Why ( 1999), bahwa “Ketidakmampuan dalam mencerna bagaimana rumus lelucon dapat berhasil, membuat para penampil komedi lebih suka melakukan cara awur-awuran, trial and error, dengan berharap bahwa waktu dan pengalamanlah yang akan mampu menempa naluri mereka agar selamat melewati padang penuh ranjau sajian komedi yang tidak menghasilkan tawa. Dengan sikap mental semacam ini maka tidak aneh bila profesi komedi menjadi begitu sulit dan penuh ketidakpastian.”

Akibatnya, fatal.

Komedi-komedi yang dominan hadir di televisi kita, masih menurut Stevie Ray tadi, adalah komedi-komedi fisik semata. Seperti yang kental diwakili sajian komedi pada diri Olga itu. Kita simak urutan kasta dalam komedi menurut Stevie Ray : komedi fisik, komedi porno, cerita, bahasa, imitasi, kontradiksi karakter dan satir.

Komedi fisik berada pada tingkat kasta yang terendah. Ia termasuk dalam kategori low comedy, “karena membutuhkan intelektual yang minim untuk memahami lelucon yang muncul. [Sementara] semakin tinggi kadar intelektual seseorang, akan semakin luas rentang pengalaman-pengalaman komedi yang dapat mereka nikmati.”

Sebagian pebisnis televisi di Indonesia nampak memahami adanya tuntutan semacam itu. Di masyarakat kita terdapat segmen penonton yang menginginkan tontonan komedi alternatif. Maka tidak ayal, bila sejak 26 Januari 2010 telah diluncurkan saluran Vision Comedy, tayangan berbayar yang menyanyikan tayangan-tayangan komedi 24 jam.

Kita dapat bernostalgia mendengarkan lagunya Bob James, “Angela” dalam film seri komedi “Taxi” yang dibintangi Judd Hirsch dan Danny deVito, “Lucy Show,” “Growing Pains,” sampai “Suddenly Susan.”

Siapa tahu tayangan itu mampu menjadi arena belajar yang baik bagi para pemangku kepentingan yang ingin memajukan dunia komedi Indonesia. Kalau tetap tak mau belajar, apa mungkin bisa katakan kepada mereka ucapan ini : bangsat ?


Wonogiri, 26/2/2010

ke