Sunday, January 27, 2008

Bom API-4, The Long Tail dan Impian Maylaffayza

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



I Have A Dream. Keras, sepi dan bengis. Itulah pendapat aktor dan komedian solo dari Amerika Serikat, Will Ferrer, mengenai komedi tunggal. Hard, lonely and vicious. Karena dalam pertunjukan si komedian tunggal itu ibarat terus-menerus meminta belas kasihan penonton yang merupakan bagian integral dari keseluruhan pementasan. Dirinya pun harus pandai-pandai membaca mood atau pun selera penontonnya, kemudian harus tangkas pula dalam menyesuaikan materi lawakannya.

Semua keterampilan hebat itu belum saya miliki.

Kalau pun ada, jelas belum terasah secara maksimal. Konsekuensinya kemudian, saya salah menempatkan diri dan berakibat fatal. Saya terkena ledakan bomb API-4 saat itu. Jangan kaget dulu, ini merupakan lingo, bahasa prokem dalam sirkuit dunia komedi, untuk menyatakan tentang pemanggungan lawakan yang yang tidak mampu menimbulkan tawa. Saya pun terkapar. Saya tereliminasi sejak awal dalam Audisi Pelawak TPI ke-4 (API-4), Sabtu, 26 Januari 2008, di Gedung Wanitatama, Yogyakarta. Saya ikhlas dan nyaman menerimanya.

Photobucket

Lolos Jakarta. Kelompok lawak Presto asal Semarang yang terdiri Agit, Furry, Muhtohar dan Kurnia, sedang beraksi. Mereka mengirim SMS kepada saya bahwa setelah melewati babak final audisi di Yogya (28/1/08), Presto : The Laughmaker berhasil lolos ke Jakarta. Untuk menyemangati mereka, Anda dapat kontak via email ke : setya_raharja@yahoo.com. Juga ke +628156693505 (Agit) atau ke +6281390967744.

Photobucket

Pebisnis Komedi. Saya bersama Soenarno (tengah) penjual map dan formulir pendaftaran untuk mengikuti audisi API-4. Ia berasal dari Semanggi Solo.


Secara guyon, bencana kegagalan saya itu terjadi mungkin karena saya “berdosa” kepada Maylaffayza. Karena saya melucukan pemain biola cantik dan seksi itu di depan awak televisi TPI, stasiun televisi yang mainstream-nya lagu-lagu dangdut. Atau “berdosa” kepada mantan presiden Soeharto karena melucukan ulah asmara anak dan cucunya. Atau “berdosa” kepada kalangan politisi yang bergaya sebagai selebriti atau selebriti yang merambah kiprah sebagai politisi.

Konsekuensi berpeluang ditimpuki beragam “dosa” itu sudah saya ambil. Karena impian saya memang ingin sebagai komedian solo. Utamanya sebagai headliner alias komedian yang melucukan berita-berita atau isu utama yang mewarnai pemberitaan nasional yang aktual. Oleh karena itu di formulir pendaftaran API-4 ada pertanyaan “gaya melawak Anda,” maka tanda cek saya bubuhkan di kolom “Lain-Lain.” Kemudian saya tambahi nama Jon Stewart serta Conan O’Brien. Seharusnya saya tambahi lagi dengan Andy Borowitz. Mudah-mudahan para juri sudah pernah mendengar nama-nama ini.

Sebagai headliner, saya menulis set atau naskah lawakan yang diilhami artikel “Politisi Selebriti” yang ditulis Eep Saefulloh Fatah di Kompas, 22/1/2008. Lalu pintu masuk yang saya gunakan adalah memanipulasi secara “bergerigi” judul situs blog milik selebriti, yaitu pemain biola cantik, seksi dan intelektual, Maylaffayza Permata Fitri Wiguna. Mengapa dia ? Semata menuruti kata hati. Saya menyukai dia. Sejak tahun 2002.

Pilihan masuk yang salah.

Ide itu berawal ketika secara serendipity saya menemukan blognya Maylaffayza yang terdaftar di direktori blog dalam ranah situs milik Harian Kompas. Tajuk direktori itu Citizen Journalism. Jurnalisme Warga. Menurut saya, setelah melongoki isinya, aneh juga Kompas ini : jurnalisme warga kok yang mengisi sebagian besar warga Indonesia yang tinggal di luar negeri ? Padahal menurut hasil laporan J-Lab : The Institute for Interactive Journalism, jurnalisme warga itu khittah wajibnya adalah jurnalisme hiperlokal !

Ah, lupakan dulu situs Kompas yang rancu itu.
Tetapi jangan lupakan Maylaffayza.

Saya belum melupakannya. Terkait komedi, di tahun 2005-2006 saya melakukan obrolan bolak-balik via email dengan orang dalam istana Republik Mimpi-nya Effendi Gazali. Yaitu Welnady alias Iwel Well. Dampak sampingnya, malah saya bisa “ketemu” dengan Maylaffayza lagi. Karena dia dan Iwel berada dalam lingkup manajemen artis yang sama, yaitu Camelia & Melinda Artist Management.

Saya pernah mengusulkan ke Camelia & Melinda Artist Management agar Iwel, Maylaffayza dan artis lainnya, memiliki situs blog tersendiri. Sehingga dapat menggalang kontak dengan para fans mereka. Bahkan sempat pula saya ceritakan tentang “pentas” bersama saya dengan pemain biola solo cantik itu dalam sebuah acara di Jakarta. Di bawah ini adalah flashback peristiwa berkesan itu, ketika saya bisa “pentas bersama” Maylaffayza di tahun 2002.

Saat itu saya ikut memenangkan The Power of Dreams Contest 2002 yang diadakan oleh PT Honda Prospect Motor. Upacara selebrasinya berlangsung megah, 8 April 2002, di Balairung Hotel Kempinsky Jakarta. Pada acara puncak, para kontestan, juri (Arswendo Atmowiloto, Mien Uno, Riri Riza sampai Susi Susanti), panitia dan eksekutif Honda, naik panggung bersama-sama. Kemudian dipandu oleh violis jelita Maylaffayza dan band pengiringnya, kami semua kompak menyanyikan lagu yang kaya inspirasi, yaitu “I Have A Dream”-nya ABBA.

I have a dream, a song to sing
To help me cope with anything
If you see the wonder of a fairy tale
You can take the future even if you fail

I believe in angels
Something good in everything I see


Saya persis berada di belakang Maylaffayza. Sebagai lelaki, ya jujur saja, saya tergetar menyaksikan perempuan muda penuh pesona itu. Apalagi bidadari dengan tinggi badan 169 cm dan berat 49 kg itu meliuk-liukkan tubuh indahnya seirama gesekan biola, dengan punggung backless-nya yang menggoda. Silakan kaitkan dan berfantasilah secara liar antara lirik ABBA, something good in everything I see, saat itu, dengan judul situs blognya Maylaffayza yang tidak kalah sensualnya : I Play My Violin Like I Make Love. Saya main biola, seperti saya bermain cinta.


Blogger Berburu API. Gagasan saya untuk mengikuti API-4 itu baru muncul sekitar seminggu sebelum D-Day. Sebagai blogger, momen API-4 itu ingin saya gunakan untuk mencari bahan tulisan untuk blog ini. Anda bisa lihat, isi blog saya ini tidak saya perbarui sejak Oktober 2007. Saya kehilangan isu atau pun ide. Biasanya bulan Januari saya tergerak mengulas siapa komedian yang akan memandu acara Oscar. Karena yang terpilih tahun 2008 ini adalah Jon Stewart, dan saya pernah menulisnya di tahun 2005, maka greget untuk kembali menulis tentang dirinya meredup.

Photobucket

Pemimpi Menjadi Komedian. Bertemu teman-teman baru. Dari kiri, Imran Pratama (Magelang), Ari Wibowo dari Kelompok Mur (Magelang), saya, kemudian Trio Burjo dari Yogya yang terdiri dari Dan, Deden dan Ifan, beserta kontestan lainnya.


Pamrih puncak sebagai blogger, syukur-syukur kalau saya bisa mengikuti proses API-4 itu hingga Jakarta. Sehingga bisa berinteraksi secara lebih intensif dengan para comedian wannabe dari pelbagai kota tanah air. Kemudian bisa menuliskannya di sini.

Beberapa hari sebelum berangkat ke Yogya, saya telah mencari bahan awal tulisan dengan mengirim email ke alumnus API, yaitu Isa Wahyu dkk. dari Bajaj, Jakarta dan Jonie Hermanto dkk dari SQL, Surabaya. Saya minta apa tips dan nasehat mereka bagi para calon peserta API-4 hingga dapat menyajikan lawakan yang (lebih) baik. Keduanya sama sekali tidak membalas email saya tersebut. Mungkin “takut” ilmu lawak mereka akan dicuri ? Up date 1/2/08 : Jonie Hermanto dkk. yang konon akan meluncurkan acara Kolusi (Komedi Ilusi), baru membalas tanggal 31 Januari 2008. Thanks, Jonie.

Sementara itu untuk pamrih yang lain lagi, keinginan berinteraksi dengan para kreatif acara komedi yang berkiprah di televisi, saya sedikit-banyak justru sudah mendapatkannya. Bahkan persis sesudah saya beraksi dalam audisi. Yaitu ketika salah satu juri menegur diri saya, dan kita lanjutkan mengobrol sesudah audisi di Yogya itu usai.

Peserta audisi tunggal lainnya, Wawan, yang berambut model Gogon berkomentar bahwa dengan disapa oleh juri, katanya, saya pasti berpeluang untuk lolos ke babak berikutnya. Saya diam dan senyum-senyum saja. Dia kemudian yang lolos, tetapi diminta bergabung dengan peserta lainnya untuk membentuk kelompok baru.


Cantik, Sintal, Intelektual. Dalam mengikuti audisi saya mendapatkan nomor urut AB 042 S. Huruf AB untuk menunjukkan nomor polisi Yogya dan S, singkatan dari solo atau tunggal. Di bawah ini adalah set atau naskah komedi yang saya bawakan :

“Saya main biola, seperti saya bermain cinta.” Kata pemain biola solo yang cantik dan seksi Maylaffayza di situsnya : maylaffayza.multiply.com.

Saya menyukai Maylaffayza. Ia cantik, seksi, berbakat dan intelektual. Tetapi ketika saya ikuti kata-katanya, akibatnya fatal. Saya kesulitan cari posisi enak. Orgasme pun tidak. Biola itu rusak, berantakan semuanya.

Maylaffayza mungkin lupa, kini selebrities adalah trend-setter. Panutan gaya hidup. Bahkan politisi pun bergaya selebrities. Yusril dan Syaifullah Yusuf, mantan menteri, bermain film. Presiden SBY menelorkan album musik. Anggota DPR main video, bersama Maria Eva.

Kini memang era emasnya para pesohor, para selebrities. Pintu-pintu peluang seolah terbuka bagi mereka untuk BISA MASUK kemana saja. Bintang sinetron Rano Karno, MASUK POLITIK, terpilih jadi Wakil Bupati Tangerang. Bintang sinetron Aji Massaid MASUK Partai Demokrat, jadi anggota DPR. Bintang sinetron Roy Martin, MASUK penjara.

Menjadi selebrities juga mampu membuka pintu-pintu istana. Anissa Pohan jadi menantu Presiden SBY. Lulu Tobing jadi cucu menantu mantan Presiden Soeharto. Infotainment mengabarkan artis Revalina Temat kini dekat dengan cucu mantan Presiden Soeharto, Panji Trihatmojo.

Oh, Revalina yang malang. Apa ia tidak tahu kalau Panji Trihatmojo itu sangat membenci selebrities ? Terutama selebrities bernama Mayanksari.

Begitulah, ratusan jam tayangan infotainment setiap minggunya telah membesarkan para selebrities itu. Persaingan antarstasiun yang keras. Begitu kerasnya persaingan, awak TV kini pun mencoba inovasi-inovasi baru : tayangan infotainment dipadu info kedokteran yang canggih, intrik dan perseteruan keluarga yang sengit, dibumbui nuansa-nuansa politik. Ramuan dahsyat ini bakal terjadi bila Halimah Trihatmojo membezoek Pak Harto, ketemu Bambang Trihatmojo yang disertai Mayanksari.

Big news. Big news. Big News.


Menelantarkan Karunia. Jam 13.40 saya keluar dari “ruang neraka” itu. Saya merasa telah diwisuda menjadi komedian tunggal, dengan segala resiko yang ada. Yang penting bagi pribadi saya, kapak untuk membongkar bongkah es itu telah saya ayunkan. Saya telah mengeluarkan kata hati.

Dalam literatur mengenai panduan menjadi komedian tunggal, pertama kali muncul petunjuk semacam ini : bagilah secarik kertas dengan tiga bagian. Masing-masing bagian itu tulislah apa saja yang membuat Anda marah, cemas dan takut. Itulah sumber utama lelucon Anda. Dengan membaca set saya tadi, mungkinkah Anda dapat menentukan seperti apa atmosfir jiwa saya ketika menulis naskah tadi ? Harapan saya, mudah-mudahan set itu telah sesuai arahan penulis komedi terkenal Danny Simon yang bilang, “it doesn’t always have to be funny, it has to be interesting. ” Tidak harus selalu jenaka, tetapi haruslah menarik.

Sakitnya toh tetaplah ada. Saya bukan robot. Manusiawi. Karena saya sekali pun tidak memperoleh tawa. Baik dari ketiga juri, belasan audiens, juga calon kontestan nomor berikutnya yang ikut antri saat itu. Justru mereka semua nampak tegang. Duh. Nilai nol bagi saya untuk komedi. Mungkin dalam situasi semacam itu saya lebih cocok sebagai militer. Karena tidak mampu menciptakan atmosfir santai.

Hanya di bagian akhir, juri paling kanan dan kemudian menegur saya itu nampak senyum-senyum kecil. Saya berkesimpulan, saya telah tamat, gagal, selesai, gepeng, lumat, hancur lebur, karena kejatuhan bomb yang besar di Yogya siang itu. Tetapi saya tidak sendirian. Dari nomor urut yang saya pantau, ada sekitar 100-an peserta audisi saat itu, dan sebagian besar akan tereliminasi, bukan ?

Photobucket

Setelah Tereliminasi, Mau Apa Lagi ? Dari kiri, saya, Imran Pratama dan Mubarok dari Kelompok Mur, sama-sama dari Magelang. Kapan kita bisa bertemu lagi sebagai pelaku dunia komedi ?


Muncul usikan pertanyaan : sesudah tereliminasi, apakah mereka akan tetap menekuni karunia Allah, yaitu bakat-bakat dan keinginan menjadi pelawak, yang telah ada pada setiap diri peserta audisi itu ? Atau lalu menelantarkannya ? Lalu kemana pula mereka yang telah berhasil memasuki GrenPinal API-API sebelumnya, tetapi tak ada kabarnya sama sekali dewasa ini ?

Sambil menunggu empat jam saat akan diumumkan peserta yang lolos ke final, saya tiduran di lantai, emperan gedung sebelah selatan tempat audisi. Membuat catatan. Membaca-baca buku. Sebelumnya, sesekali saya menemui peserta audisi lainnya, bertukar kartu nama. Sayang, sebagian besar mereka belum bersiap untuk “menjual diri,” karena tidak memiliki kartu nama. Kelompok Presto Semarang, memiliki stiker.

Dalam gerombolan calon pelawak itu saya temui beberapa anak muda pria yang berpakaian sebagai banci atau perempuan dengan pakaian seksi. Pemuda dengan tubuh-tubuh gendut. Kelompok lain berpakaian hansip, atau bersarung dengan kopiah menyilang model Kabayan, sampai berkostum pemain sepak bola.


Untuk membunuh waktu, saya meneruskan membaca bukunya Chris Anderson, The Long Tail (2007) yang saya bawa dari rumah. Subjek ini sebelumnya telah saya baca di majalah Wired (2004), majalah gaya hidup Internet yang menjadi favorit sejak tahun 90-an.

Saat membaca-baca itu, sempat terlintas di pikiran : lawakan solo yang bertema politik, cocok kah untuk TPI dan TV-TV lainnya di Indonesia ? Juga, oh, di audisi tadi saya rupanya telah menggigit kaki Goliath. Saya telah melucukan ulah kerabat keluarga Cendana, sementara bukankah TPI itu milik mereka juga ?

Pertanyaan lain muncul : dengan penyelenggaraan API sampai keempat ini, lalu diapakan data para calon pelawak yang telah dihimpun oleh TPI selama ini ? TPI sebagai lembaga komersial, memang sulit diharapkan mereka mau mengurusi masa depan ribuan calon pelawak yang sebagian besar tereliminasi itu. Pendekatan semacam itu juga terungkap dari isi bukunya Chris Anderson (lihat grafis di bawah), di mana TPI hanya berminat berurusan dengan head (kepala, merah) dan membiarkan tail (buntut, kuning) yang panjang itu.

Dalam bahasanya Anderson, TPI melaksanakan API berlandaskan prinsip hit-driven economics, ekonomi pembuat hit, dengan memfokuskan bisnisnya hanya menggarap calon-calon pelawak yang menurut mereka potensial untuk dijual. Ekonomi pembuat hit merupakan kreasi di mana tidak cukup ruang untuk menampung segala hal dan tidak mampu memenuhi kebutuhan setiap orang pula.

Rinciannya : tidak cukup ruang di rak-rak toko untuk mampu menampung semua CD, DVD atau games yang diproduksi. Tidak cukup layar bioskop untuk menayangkan semua film yang ada. Tidak cukup saluran untuk menyiarkan semua acara televisi yang ada. Tidak cukup pula gelombang radio untuk mengudarakan seluruh ciptaan musik yang ada, dan tidak cukup jam setiap harinya bagi kita untuk menyapu semuanya itu di pelbagai slot-slot yang tersedia.

Itulah potret diri dunia kelangkaan, the world of scarcity. Dewasa ini, berkat Internet yang membuka distribusi dan eceran secara online, kita memasuki jaman limpah ruah, a world of abundance. Dan perbedaannya sangatlah dahsyat.

Photobucket

Peluang Besar Terbuka : Berkarier Komedi Secara Indie. Internet membuka jalan baru untuk berkarir sebagai komedian. Kalau TPI membuka pintu hanya di bagian kepala (merah), maka Internet terbuka untuk dieskploitasi secara lebih tak terbatas, di bagian ekor (kuning) yang teramat panjangnya.Beranikah kita ?


Chris Anderson menunjukkan bahwa masa depan dunia bisnis bukan bertumpu pada produk-produk best seller, alias pembuat hit di bagian kepala (head), bagian paling tebal dalam kurva permintaan tradisional. Melainkan pada produk-produk yang sampai belum lama ini dianggap gagal atau sampah, yaitu produk-produk di bagian ekor panjang (the long tail) yang tak ada habisnya, pada kurva yang sama.

Dalam bahasa industri musik, bagian kepala adalah ranahnya major label dan bagian buntut merupakan lahan kiprahnya kaum indie, kaum yang berkarya sesuai kata hati mereka. Dan tidak sedikit dari mereka yang menuai sukses besar pula.

Perbedaan dan gambaran bisnis masa depan itu rupanya masih berada di luar jangkauan TPI. Bisa dimaklumi. Implementasi filosofi ekonomi pembuat hit dalam program komedi yang mereka kukuhi, misalnya jelas dicerminkan dalam formulir pendaftaran API-4. Para calon peserta pagi-pagi digiring untuk memilih gaya lawakan tertentu : apa seperti Warkop, Srimulat, Bagito, Patrio, Cagur, Taufik Savalas, SOS, Bajaj dan Lainnya. Kita ingat, itulah sebagian besar nama-nama kelompok lawak mainstream kita yang mainnya secara keroyokan. Dan jujur saja, bisakah kita membedakan karakter atau comedy signature yang khas antara satu dengan lainnya ?

Pencantuman nama-nama itu semata memudahkan untuk seleksi. Tetapi mungkin dilupakan, hal itu jelas membatasi imajinasi calon peserta audisi. Mereka cenderung mengira, gaya-gaya lawakan kelompok di atas yang dikehendaki oleh juri, lalu mereka mencoba menyesuaikannya. Buntutnya, sikap kompromistis senantiasa membunuh kreativitas, melumpuhkan orisinalitas, dan itu penyakit lama dunia komedi kita selama ini. Dalam API-3 yang lalu ada peserta yang bergaya model Kang Ibing atau Jim Carrey, merupakan bukti kuat akan hal itu.

Sekadar contoh kasus lain. Dalam audisi API-4 di Bandung, Beni, seorang juri mengatakan bahwa masih banyak peserta yang memasukkan guyonan atau lawakan khas Sunda. "Parahnya lawakan tersebut sudah banyak dilakukan oleh para senior mereka dan kami anggap basi," ujarnya. Menurut Beni, pemirsa TPI bukan hanya orang Sunda dan mengerti bahasa Sunda. Oleh karenanya, mereka yang dipilih adalah grup atau peserta yang lawakannya menggunakan bahasa Sunda, tetapi benar-benar masih orisinal.

Photobucket

Menunggu Inovasi TPI. Harris Cinnamon, Eksekutif Produser TPI, sedang memberikan bekal kepada kontestan. Ia antara lain berpesan agar kontestan membuat lawakan yang beda. Maukah TPI melakukan hal yang juga berbeda, mendayagunakan pangkalan data calon komedian yang mereka himpun untuk mendidik mereka ?


Dalam tesisnya Anderson, para pelawak khas Sunda itu, juga ribuan anak muda yang ingin terjun sebagai pelawak dan gagal di API, sebenarnya bakat-bakat dan kemampuan mereka tidak selayaknya ditelantarkan. TPI kini memiliki pangkalan data mereka, dan sangatlah ditunggu eksploitasi positif dari TPI untuk masa depan mereka.

Misalkan membuat newsletter, berisi tips dan panduan berkomedi untuk televisi, untuk mereka. Baik materinya ditulis pengelola acara komedi TPI, alumnus GrenPinal API, atau akademisi dan pemerhati dunia komedi lainnya. Mungkin TPI dapat mengambil sedikit peran yang seharusnya milik PASKI, organisasi profesi kaum komediwan yang lumpuh, loyo dan impoten begitu diresmikan.

Menurut hemat saya, berkat ilham buku hebat di atas, bagi mereka dan Anda yang gagal di audisi tetapi bertekad baja ingin serius ingin berkomedi, seharusnya tidak lalu menjadi putus nyali. Kreasi Anda masih dapat tertampung dan terasah secara indie, dengan terjun ke dalam “buntut panjang”-nya Chris Anderson itu. Buntut itu merupakan dunia melimpah-ruah di Internet, yang mampu menampung kreasi apa saja dari Anda.

Dengan mengelola situs video sharing YouTube, yang gratisan, bermodalkan naskah dan handycam, mereka dapat memproduksi acara komedinya sendiri. Ibarat memiliki sendiri acara televisi yang mandiri, untuk mampu langsung menyapa dunia. Hadirlah dahulu, daripada hilang sama sekali dan sulit dilacak. Sebab bila memang bagus maka dunia televisi tradisional pasti juga suatu saat memperhatikan kreasi komedi Anda. Bukunya Anderson kaya dengan contoh-contoh yang inspiratif mengenai keberhasilan aksi bergaya indie semacam itu yang dapat Anda teladani.

Photobucket

Saya Beraksi, Ditegur Juri. Usai beraksi, saya ditegur oleh juri (membelakangi lensa). Sungguh suatu kejutan, juri itu telah mengenalku dan aku malah belum tahu. Siapakah dia ? Rahasia terbuka setelah audisi usai. Internet masih saja memberikan kejutan padaku.

Sekitar jam 15.03, juri yang menegur saya tadi, menemui saya. “Assalamualaikum,” tegurnya kali ini. Kalau teguran dia sesudah saya beraksi tadi adalah, “Apakah Anda Mas Bambang yang mengelola blog Komedikus Erektus ?” Tentu saya jawab : “Ya.” Lalu saya teruskan. “Dalam komedi, ada ilmu air dan ilmu madu. Ilmu air adalah teori, seperti yang saya tulis di blog saya, dan ilmu madu adalah milik Anda, praktisi dunia komedi. Saya kesini ingin belajar dari Anda.”

Juri yang menegur saya dua kali itu kemudian mengenalkan diri : Ade Tao. Ia memiliki kelompok lawak Decaer Group. Saya terkaget. Ia adalah teman yang saya kenal melalui Internet, melalui blog ini pula. Kita pernah mengobrolkan cita-citanya yang ingin terjun sebagai komedian solo juga. Ade Sofyan Intan, nama lengkapnya, bersama kelompok “69” termasuk 16 besar GrenPinal API I/2005. Satu angkatan dengan SOS dan Bajaj, Ade sudah banyak berpentas dengan pelbagai personil lawak Jakarta lainnya.

Kita hanya sempat mengobrol sebentar. Tetapi saya ingat kata-katanya saat itu bahwa “dunia komedi adalah dunia yang berat” sampai ujaran filosofis bahwa “idealnya kita melawak juga dengan hati.” Terima kasih, Ade. Ia pamitan. Sayang kita tak sempat berfoto bareng, karena Ade harus segera masuk ruang lagi, untuk rapat penjurian. Pertemuan yang aneh, tetapi menyenangkan. Up date 1/2/08 : Ade kirim SMS : “Thanks mas, tulisan Anda membawa perubahan dalam hidup dan karier saya sebagai pelawak.” Saya malah jadi bingung. Moga menjadi lebih baik ya, Ade ?


Jam 15.50 diumumkan 14 kelompok yang masuk final. Pertama lolos, nomor 017, disusul 005, 038, 046. Ketika mencapai nomor enam, mungkin karena saya terlalu GR, dan berharap, sepertinya nomor yang disebut adalah AB 042 S. Itu nomor saya. Saya sudah melakukan selebrasi, dengan melemparkan rompi saya ke udara.

Satu sosok pemuda lagi maju ke depan, menghampiri pembaca pengumuman. Saya juga mendekat, ingin memastikan. Saya dengar seseorang awak TPI yang berbadan tinggi, hitam dan berwajah Timur Tengah, sempat berucap, “tunggal.” Tetapi yang disebutkan untuk lolos kemudian kok justru nomor 052 ?

Saya tanyakan hal kekacauan penyebutan nomor itu ke Ade Tao. Ia angkat tangan. Ia bilang, “yang jadi juri enam orang.” Aku mengerti. Aku bukan hendak memprotes bahwa ia mengenal diriku dan harus memenangkanku, tetapi untuk mencari tahu kejelasan nomor kontestan yang lolos. Saat itu mungkin Ade juga tidak begitu memperhatikan bunyi pengumuman itu. Aku dari rumah sebenarnya bawa tape recorder, tetapi tidak saya hidupkan untuk merekam momen itu. Sori, Ade.

Pemuda yang mendekat tadi saya tanya nomornya. Ia menyebut 062. Lalu saya mencoba merekonstruksi : kalau ia dan saya merasa nomornya lolos, bukankah karena penyebutan lafal angka “EM-pat” (nomor saya) dan “EN-am” (nomor dia) hampir sama terdengar di telinga kita ? Bukankah berbeda jauh dengan lafal penyebutan “LI-ma” yang merupakan nomor yang kemudian ditentukan panitia untuk lolos ke final ?

Dunia tak bisa diputar kembali.

Yogya sore itu segera terguyur hujan deras. Ini kotaku ketika di tahun 1970-an aku pernah bersekolah di sini. Sebelum kembali ke Wonogiri, saya memutuskan pergi ke mushola, masih di komplek yang sama, untuk sholat Ashar. Aku bersyukur, karena telah menjalani salah satu hari yang terbaik dalam hidupku, di tengah proses merintis cita-cita sebagai komedian.

Apa pun hasilnya.

SMS yang aku terima kemudian juga ikut memberikan peneguhan. Di atas bis Sedya Mulya yang membawa saya kembali ke Solo, saya memperoleh SMS itu. Dari Niz, yang kedua hari ini. Mantan tercinta saya itu baru beberapa hari tiba dari rumahnya di London Tenggara dan kini berada di Aceh.

Di bumi Serambi Mekkah itu ia hendak meresmikan sekaligus menyerahkan proyek sosialnya kepada masyarakat Aceh korban tsunami. Tahun lalu, ia memberi saya oleh-oleh inspiratif, CD komedian kelahiran Mesir yang besar di California, Ahmed Ahmed, yang berjudul “I Believe I Can’t Fly.” Lawakannya antara lain mengenai perilaku diskriminatif AS terhadap warga Arab, juga Islam, pasca 11 September.

SMS Niz itu merupakan kado yang indah. Berbunyi : Im sorry you’ve lost, but never mindlah. Some other time, don’t give up. Saya ikut sedih karena kau gagal, tetapi jangan kecil hati. Kau akan berhasil suatu saat nanti, jangan menyerah.

Terima kasih, Niz.

Lirik lagu “I Have A Dream”-nya ABBA yang enam tahun lalu dinyanyikan Maylaffayza ikut menggema kembali di tengah derasnya hujan. If you see the wonder of a fairy tale, you can take the future even if you fail. Bila kau melihat keajaiban sebuah dongeng, kau akan mampu meraih masa depan, sungguh pun kau terantuk oleh kegagalan.

Sebuah pesan yang juga menawan. Optimistis. Menguatkan tekad kita semua dalam berjuang mengejar impian. Utamanya yang ingin berkiprah di ranah komedi tunggal yang medan perangnya berkarakter khas :

Bengis.
Sepi.
Keras.




Wonogiri, 26-29 Januari 2008.


ke