Friday, July 30, 2010

Aura Yogya, Humor Becak dan Mindset Komedian Kita

Catatan Samping Mengikuti Jagongan Media Rakyat 2010 Yogyakarta


Oleh : Bambang Haryanto
Email: humorliner (at) yahoo.com


"Komedi di Indonesia tidaklah mencerdaskan."
Ini bukan kata saya. Melainkan kata orang Turen, Malang, teman yang tahun 1978 saya kenal di Solo. Alumnus UGM. Namanya, Veven Sp Wardhana. Tahun 2009.

"Komedian Indonesia Tidak Cerdas."
Juga bukan kata saya. Tetapi kata Ramon Tommy Bens. Tahun 2010. Ia pernah bersama saya menjadi narasumber tentang komedi saat diwawancarai Radio BBC Siaran Indonesia. Disiarkan, 14 Oktober 2007. Ia tambahkan, pelawak-pelawak Indonesia pada umumnya tidak memiliki intelegensia yang tinggi. Alias kurang cerdas.

"Lawak Indonesia tidak cerdas."
Bukan kata saya lagi. Melainkan kesimpulan penggiat komedi di Jawa Barat saat mereka membentuk Paguyuban Pelawak Sunda. Tahun 2010. Selain untuk bersilaturahmi, juga untuk memacu kreativitas baru dalam menciptakan lawakan-lawakan yang segar, cerdas, dan menghibur.

"Dunia lawak semakin suram."
Sekali lagi, bukan kesimpulan saya. Melainkan kata mBah Guno, alias KRT Susanto Gunoprawiro, ikon lawak Yogyakarta. Ia yang kini memasuki usia 83 tahun itu telah dinobatkan sebagai figur inspiratif oleh harian Kompas. Kesuraman dunia lawak kita itu, menurutnya, karena "pelawak yang ada cenderung suka meniru lawakan yang sudah ada sebelumnya" (Kompas, 14/6/2010).

Matur nuwun, Eyang Guno.

Selisih orbit dengan mBah Guno. Saya baru saja kembali dari Yogya. Mewakili komunitas saya, Epistoholik Indonesia, saya diundang mengisi acara talkshow tentang kiprah kaum epistoholik dalam acara pasar media rakyat bertajuk Jagongan Media Rakyat 2010, yang digerakkan oleh Combine Resource Institution Yogyakarta.

Berlangsung tanggal 22-25 Juli 2010 di Jogja National Museum (bekas kampus ASRI) Gampingan, saya kebagian manggung di pendopo, Jumat malam, 23 Juli 2010. Terjun saya dalam acara itu saya gambarkan ibarat anak kecil diceburkan di tengah-tengah toko permen. Kehadiran beragam stan dan reli jagongan dengan beragam topik menarik, membuat saya benar-benar tak ada kesempatan untuk keluar dari "kampus" itu pula.

Jadi keinginan terpendam ingin mengunjungi Bank Sampah Gemah Ripah yang dipelopori oleh Bambang Suwerda di Dusun Badegan, Trirenggo, Bantul, tidak kesampaian.

Apalagi bisa mengunjungi rekan-rekan satu sekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta, di mana pada tahun 1969-1971 saya menjadi murid di sekolah Jetis ini. Atau sanjang ke pelbagai kerabat trah saya yang banyak tinggal di Kota Gudeg ini pula. Juga urung niat bersilaturahmi dengan mBah Guno yang tinggal di Jeron Beteng, Keraton Yogyakarta.

Kilas balik ke belakang, pada tahun-tahun saya bersekolah di Yogya ini sebenarnya mBah Guno mengorbit di kawasan Jetis juga. Beliau mengajar STM Negeri Jetis pula, tahun 1952-1987. Tetapi walau sama-sama dalam kompleks bangunan yang sama, beliau mengajarnya di STM Negeri I yang memiliki jurusan kimia, sedang saya bersekolah di STM Negeri 2 yang memiliki jurusan listrik dan mesin.

Saat itu kecenderungan minat saya terhadap humor dan lawakan tersalur dalam bentuk menulis lelucon-lelucon pendek yang saya kirimkan ke majalah Aktuil dan Varianada dan memperoleh honor. Juga kebanggaan.

Sehingga ketika di malam perpisahan STM Negeri 2 kami dihibur lawak D2S (Djunaidi sering diledek karena gigi mrongos-nya, Djadi dan Sardju) di Gedung PPBI, sebelah timur Alun-Alun Utara Yogya, sampai saat ini saya belum pernah menonton atau mendengar lawakan mBah Guno. Itulah, mungkin sudah dasar nasib saya yang super-apes (gorila ?) karena tidak memiliki kesempatan sejarah untuk mengenal, juga berinteraksi dengannya.


[Tulisan belum selesai. Mohon sabar menanti kelanjutannya.]


Wonogiri, 29-30/7/2010