Thursday, February 23, 2006

Dick Cheney, Humor Politik, dan Posisi Tiarap Komedian Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Brokeback Mountain. Burung puyuh kini sedang menertawai Amerika. Jelasnya, menertawai tindakan ceroboh dan bodoh Dick Cheney, sang Wakil Presiden AS. Semua itu terjadi akibat kekonyolan melakukan salah tembak saat berburu burung puyuh yang dilakukan orang terkuat kedua Amerika Serikat tersebut.

Guyonan tentang dirinya pun meledak.

Komedian Jimmy Kimmel, nyeletuk : “Dengan menyingkirkan segala lelucon dan ketika kita harus adil menilai Dick Cheney, nampaknya setiap lima tahun sekali ia harus menumpahkan darah orang tak berdosa atau dia mencederai perjanjian dirinya dengan setan”

Sementara itu David Letterman, pembawa acara humor di televisi yang terkenal, meledek insiden itu sebagai upaya Wapres AS ikut serta menghentikan penyebaran wabah flu burung. Lelucon lain khas Letterman lalu ganas main sikut sana-sini.

Misalnya dari kondisi Cheney yang jantungnya lemah, ia memiliki anak perempuan yang lesbian, menyangkut kisah percintaan sesama lelaki oleh para koboi dalam film unggulan Oscar, Brokeback Mountain (“Habis, dia mau mencoba ‘koboi gay’ pada diri saya”), sampai isu senjata pemusnah massal Irak yang selama ini tidak pernah ditemukan oleh Amerika Serikat. Celetuk Letterman untuk isu yang satu ini :

“Berita bagus, para hadirin. Akhirnya kita mampu menemukan lokasi senjata pemusnah massal. Pada diri Dick Cheney !”

Mari kita tinggalkan David Letterman.

Kini kita simak obrolan yang sarat sindiran tajam Jon Stewart, seorang stand up comedian terkenal dan pembawa acara “The Daily Show,” ketika melakukan dialog dengan Rob Corddry. Inilah transkripnya :

Jon Stewart (JS) : “Saya sekarang bersama Robb Coddry, analis peristiwa salah tembak yang dilakukan oleh Wakil Presiden kita. Rob, ini nyata-nyata situasi yang sial. Bagaimana Wakil Presiden kita mengatasainya ?”

Robb Coddry (RC) : Jon, semalam Wakil Presiden tetap kukuh pada pendiriannya untuk menembak Harry Whittington. Berdasarkan analisis intelijen terbaik, terdapat burung puyuh di semak tersebut. Semua orang percaya saat itu memang terdapat burung puyuh di semak bersangkutan.

“Dan ketika burung puyuh itu berubah menjadi pria berusia 78 tahun, kita tahu kemudian, Mr. Cheney tetap bersiteguh menembak Mr. Whittington pada bagian wajahnya. Ia percaya bahwa dunia akan menjadi lebih baik bila ia menebarkan peluru
ke seluruh wilayah wajah Mr. Whittington”

JS : “Tetapi mengapa, Rob ? Apabila dia tahu bahwa Mr. Whittington bukan seekor burung, mengapa ia tetap saja menembak dirinya ?”

RC : “Jon, pasca 11 September, bangsa Amerika mengharapkan pemimpinnya bertindak tegas. Dengan tidak melakukan penembakan terhadap seorang teman tepat pada wajahnya akan mengirimkan pesan kepada burung-burung puyuh bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang lemah”

JS : “Sangat mengerikan”

RC : “Lihat, fakta bahwa bagaimana Wakil Presiden kita berkendara dengan sahabat-sahabatnya yang orang kaya menaiki mobil untuk menembaki burung puyuh, burung yang tak punya sayap kuat dan hidup di peternakan, adalah memberi isyarat kepada buruh puyuh itu ‘bagaimana’ kita memburu mereka. Saya yakin, saat ini burung-burung itu sedang menertawakan kita di tengah-tengah kawanan mereka”

JS : “Saya tidak yakin burung-burung itu bisa tertawa, Rob”

RC : “Ya, apa pun yang mereka lakukan, coo (menirukan suara burung), mereka kini sedang meledeki kita, Jon. Sebab kita di sini sedang berbicara blak-blakan tentang rencana kita untuk memburu mereka. Sudah tak ada harapan lagi. Skornya : Buruh Puyuh satu, Amerika nol !”


Library of Congress. Sebelum dialog yang sarat sindiran cerdas di atas, ketika membuka perbincangan Jon Stewart lebih dulu melemparkan guyonan sebagai berikut :

“Wapres AS Dick Cheney secara tidak sengaja menembak seseorang ketika berburu burung puyuh...membuat Harry Whittington sebagai orang pertama ditembak wakil presiden AS sejak Alexander Hamilton. Hamilton terlibat tembak-menembak dengan Aaron Burr demi mempertahankan kehormatan, integritas dan manuver politik. Whittington ? Tertembak karena dikira seekor burung !”

Lelucon Stewart yang satu ini menarik. Terutama karena peristiwa duel antara Hamilton (1755-1804) vs Burr (1756-1836) itu sudah terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Tetapi peristiwa tersebut masih hidup dalam ingatan bangsa Amerika. Masih juga relevan untuk bahan guyonan. Mengapa ?

Hal ini bisa terjadi, karena harus diakui, Amerika Serikat adalah bangsa yang maju budaya baca dan tulisnya. Sekadar contoh : mereka memiliki Library of Congress, perpustakaan yang terbesar di dunia. Didirikan pada tahun 1800, alias 25 tahun sebelum meletus Perang Diponegoro di negeri kita ini.

Mereka cermat mencatat kejadian bersejarah. Bahkan juga mendokumentasikan hal-hal yang kelihatan remeh-temeh, trivia, juga rewel mendiskusikannya. Tradisi intelektual ini tentu membuat bangsa Amerika tidak mudah melupakan prestasi atau aib seseorang tokoh, ketika mereka hendak menjatuhkan sesuatu pilihan politik.


Seorang komedian, idealnya, juga dituntut untuk memiliki tradisi pendokumentasian yang kuat. Jay Sankey dalam bukunya Zen and The Art of Stand-Up Comedian (1998) menyebutkan bahwa seorang komedian adalah seorang pengamat.

Tidak ayal Judy Carter, mentor dan guru pelawak yang terkenal di Amerika Serikat, dalam salah satu ajarannya mewajibkan muridnya memiliki bloknot kecil dan pena. Dua benda “keramat” ini harus selalu dibawa kemana-mana. Lebih bagus lagi, disertai pula sebuah tape recorder kecil.

Antara lain Judy Carter mengutip pendapat komedian George Wallace yang bilang, “Saya menulis lelucon saya dari hal-hal atau kejadian bodoh. Misalnya tanda lalu lintas berbunyi ‘DILARANG BERISIK DI ZONA RUMAH SAKIT.’ Memang tidak ada kejadian yang menimbulkan berisik, sampai suatu saat mobil ambulans muncul dengan sirine yang menggaung..”

Richard Lewis, komedian yang konon telah menciptakan lebih dari 250.000 lawakan, bilang bahwa dirinya selalu membawa bloknot kemana saja. “Bila ada sesuatu yang lucu, saya segera menuliskannya. Beberapa bulan kemudian saya memiliki ribuan premis lawakan, saya beri lingkaran untuk premis-premis yang mampu membuat saya tertawa, dan saya membayangkan bagaimana menyajikannya di panggung”


Menyerang Penguasa. Komedian terkenal di Amerika Serikat seperti Conan O’Brien, Craig Kilborn, David Letterman, Jay Leno, Jimmy Kimmel, Jon Stewart, sampai comedienne Tina Fey, pekerjaan pokoknya memang membulan-bulani para penguasa dengan lelucon. Sasaran tembak nomor satu mereka, pastilah presiden Amerika Serikat.

Melucukan penguasa merupakan salah satu ciri khas bangsa Amerika, yang memiliki gaya hidup getol memperolok diri, membuat satir, sebagai bagian dari budaya masyarakat mereka. Humor politik menjadi makanan sehari-hari mereka.

Gene Perret, kepala penulis lawakannya Bob Hope, pemenang tiga kali Emmy Award, ketika meringkas kaidah-kaidah terpenting dalam menyajikan lawakan antara lain ia sebutkan : lawakan harus merefleksikan kebenaran, melonggarkan tensi atau tekanan, mengejutkan, menyerang otoritas atau penguasa, melibatkan penonton dan menyajikannya secara jenaka.

Bagaimana pelawak Indonesia dalam mengaplikasikan kaidah-kaidah di atas ? Saya kali ini tertarik membahas masalah kaidah bahwa lawakan memang harus menyerang otoritas atau penguasa. Peran yang menantang dan merangsang.

Apalagi lawakan dalam hal ini ikut hadir sebagai mekanisme checks and balances, kontrol terhadap kebijaksanaan pemerintah. Dengan disajikan secara jenaka, sehingga yang mendapat semprotan tidak perlu bermerah muka. Dalam dunia pewayangan kita sudah mengenal para panakawan seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, yang lawakannya berfungsi sebagai kritik yang mengingatkan para penguasa.

Para penguasa memang pantas menjadi sasaran lawakan, antara lain karena baik dirinya atau kebijakan yang ia ambil, jelas akan diketahui dan mempengaruhi hidup orang banyak. Pemahaman secara bersama oleh masyarakat luas, atau oleh banyak orang, bagi seorang komedian yang cerdas adalah ibarat dirinya berdiri di depan lautan bensin.

Dengan celetukan atau lawakan kecil yang oleh Perret disebut harus merefleksikan kebenaran, juga harus melibatkan penonton, komedian ibarat melemparkan api ke tengahnya. Kobaran tawa dijamin muncul menggelegar dari sana.

Sayang, sepertinya kini tidak banyak, atau justru tidak ada, komedian kita yang berani bermain humor politik saat ini. Mungkin karena mereka telah merasa berkecukupan, lalu berusaha hanya mempertahankan status quo dengan main aman, lebih suka tiarap, apolitik, sehingga membuat peran luhurnya sebagai panakawan yang bertugas mengritik para penguasa sudah musnah entah di mana.

Bagi saya, pantas saja lelucon-lelucon mereka tidak banyak lagi yang lucu. Karena lawakan mereka memang semakin jauh dari greget merefleksikan kebenaran, sekaligus juga tidak melibatkan suara hati kita sebagai rakyat sebagai audiens mereka.

Burung-burung puyuh kini sedang menertawai Amerika. Tetapi di Indonesia, burung-burung menjadi terdakwa karena membuat semakin banyak korban-korban berjatuhan dan meninggal. Akibat flu mereka !



Wonogiri, 24 Februari 2006

Thursday, February 09, 2006

Bruce Willis, Khadaffy, dan Formula Lawakan TeamLo Solo

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


Parody is an ideavirus
(Seth Godin, Unleashing The IdeaVirus, 2001)



Wanita Terindah. Film aktor macho Bruce Willis terakhir apa yang telah Anda tonton ? Die Hard ? Atau Armageddon ? Melalui televisi, beberapa waktu lalu, saya nonton The Day of the Jackal.

Ia berakting sebagai pembunuh bayaran mafia Rusia yang bersemboyan “kalian tak bisa melindungi wanita-wanitamu”, karena yang hendak dijadikan sasaran muntahan peluru senapan mesin raksasa otomatis itu adalah Ibu Negara Amerika Serikat.

Film ini, dalam versinya yang asli, pernah saya tonton di tahun 1970-an. Cerita yang diambil dari novel Frederick Forsyth (kalau tak salah) tersebut berkisah tentang pembunuh bayaran asal Inggris (dibintangi Edward Fox), yang diorder kelompok politik di Perancis yang tidak menyetujui kemerdekaan Aljazair. Sasaran pembunuhan dengan peluru bermuatan merkuri itu adalah Presiden Perancis Charles De Gaulle. Momennya : saat peringatan Revolusi Perancis, 14 Juli.

Sebelumnya, beberapa tahun lalu, Bruce Willis telah memperkenalkan diri saya dengan salah satu wanita terindah : Sherry Bilsig. Saat itu Sherry ini tampil dengan rambut di-braided dan tiba-tiba seperti membunyikan bunyi “klik” di benak saya.

Saya menyukainya.

Sherry adalah nama pemain pembantu yang berperan sebagai pramugari dalam film Die Hard 2 : Die Harder yang dibintangi oleh mantan suami aktris Demi Moore itu.

Selain Sherry Bilsig, daftar wanita-wanita terindah itu meliputi : Jacquline Bisset. Isabelle Adjani. Arie Kusmiran. Miduk. Kenil. Cresenthya Hartati. Widhiana “Anez” Laneza. Dwi Retno “Tutut” Setiarti. Erika “Michiko” Diana Rizanti.

Bruce Willis juga saya tonton saat ia bermain dalam film Armageddon. Film ini berkisah tentang ancaman asteroid (menurut ensiklopedi, asteroid atau minor planet itu yang terbesar bernama Ceres, berdiameter 1003 km, ditemukan oleh Piazzi pada tahun 1801) yang hendak menabrak, mengancam bumi menjadi kiamat.

Terkait film ini pernah muncul komentar : “sungguh beruntung Liv Tyler. Ia main film, beradegan main cinta sambil diiringi lagu hit yang dinyanyikan oleh ayahnya sendiri.” Ayah Liv Tyler adalah Steve Tyler, vokalis Aerosmith.

Anda tahu judul lagu terkenal yang dinyanyikan oleh Aerosmith dan menjadi salah satu lagu indah dari film Armageddon ini ? Tentu saja : “I Don't Want To Miss A Thing”. Mari kita nyanyikan bait yang pertama :


I could stay awake just to hear you breathing
Watch you smile while you are sleeping
While you're far away dreaming
I could spend my life in this sweet surrender
I could stay lost in this moment forever
Every moment spent with you
is a moment I treasure


Dalam film yang sama juga terselip lagu lain yang juga tidak kalah indahnya. Bagaimana kalau saya ajak Anda menyanyikan liriknya di bawah ini :

All my bags are packed, I'm ready to go,
I'm standing here outside the door
I hate to wake you up to say goodbye.

But the dawn is breakin', it's early morn',
The Taxi's waitin', he's blowin' his horn.
Already I'm so lonesome I could die.


Kemudian untuk refrein, mari kita nyanyikan yang di bawah ini :

So kiss me and smile for me,
Call my folks in Tripoli,
Tell them that Khadafi made me go.

I'm a Libyan on a jet plane,
Don't know if I'll be back again.
Moammar, I hate to go.


Meniru Untuk Mengejek. Adakah sesuatu hal yang aneh, mungkin lucu, telah Anda rasakan ketika menyanyikan refrein ini ? Lirik itu diilhami serangan pesawat-pesawat jet AS pada tahun 1986 yang menjatuhkan bom-bom di Tripoli. Peristiwa pemboman AS itu menyusul peledakan pesawat PanAm di atas Lockerbie, Skotlandia, oleh teroris Lybia. Lybia harus dihukum karena dituding dunia menjadi sarang teroris saat itu.

Lirik itu menceritakan keengganan seorang pilot Lybia untuk terbang dan berperang melawan pesawat-pesawat tempur AS yang jauh lebih canggih. Tetapi ia harus melakukannya karena dipaksa presiden yang diktator, Moammar Khadaffy.

Judul lagunya : “Lybian on a jet plane ”

Dari judul dan liriknya, kita segera tahu bahwa lagu itu tidak lain merupakan parodi dari lagu “Leaving on a jet plane.” yang aslinya diciptakan oleh penyanyi country John Denver. Kalau Anda mampu tersenyum, atau mungkin terbahak, maka parodi itu berhasil.

Anda masih ingat saat menonton monologis Butet Kertaredjasa menirukan suara mantan Presiden Soeharto, Harmoko atau Susilo Bambang Yudhoyono ? Di dalamnya tidak ada sama sekali ucapan Soeharto, Harmoko atau pun SBY yang bernilai lucu, tetapi Anda sudah tergerak untuk tersenyum simpul ? Bila memang demikian halnya, maka parodinya, atau ulah meniru untuk mengejek yang ia lakukan itu, boleh dibilang berhasil pula.

Demikian pula bila Anda melalui layar televisi menyimak penampilan kelompok musik humor TeamLo yang vokalisnya bernyanyi dengan gaya mengedut-ngedutkan paha. Kalau Anda segera mengingat gaya Freddy Mercury dari kelompok Queen, maka parodi kelompok musik humor asal Solo itu pun bisa dibilang berhasil.

Mari kita bicara khusus tentang TeamLo.

Seperti ditulis oleh wartawan Frans Sartono (Kompas, 17/7/2005), mengutip ucapan vokalis TeamLo bahwa, “musik kami full parodi, jarang main penuh, kecuali ada permintaan.” Maka muncul plesetan dalam lagu dan lirik mereka. Intro lagu “Billie Jean” dari Michael Jackson misalnya, digunakan untuk masuk ke lagu dangdut “Bang Toyib”.

TeamLo yang paham benar kekuatan visual televisi kemudian juga menggarap aspek visual sebagai bahan lawakan, seperti memarodikan sosok artis terkenal. Seperti diungkap lebih lanjut oleh Frans Sartono, Wawan (vokalis Teamlo), pernah tampil dalam sosok dan mimik mirip Chrisye. Jurus ini terbukti berhasil mengundang tawa penonton.

Jurus tersebut kemudian dieksploitasi lebih lanjut oleh TeamLo. Sehingga dalam pentas khususnya di TPI 27/1/2006 yang lalu, mereka mampu memarodikan 23 penyanyi top Indonesia. Sebagai “korban” antara lain Ariel Peter Pan, Arman Maulana, Beby Romeo, Gombloh sampai Koes Plus. Prestasi Wawan Bakwan, vokalis TeamLo itu, membuatnya tercatat dalam MURI (Museum Rekor Indonesia).


Rumus Ampuh Perret. Gene Perret, penulis kepala untuk lawakannya Bob Hope dan pemenang tiga kali Emmy Award, pernah mengungkap resep baku dalam menulis lawakan.

Antara lain telah Perret katakan : It must relate to the audience. Harus relevan dan mempunyai kaitan dengan penonton. Pentas parodi yang dilakoni oleh TeamLo jelas bersandar pada formula ini, bukan ?

Kalau saja TeamLo nekad menyanyikan lagu, katakanlah “Me and Bobby McGee”, mungkin yang tertawa tidak ada. Kecuali hanya Gus Dur saja. Lagu yang isinya inspiratif bagi pejuang demokrasi ini, dinyanyikan oleh Janis Joplin, merupakan lagu kesayangan mantan presiden RI yang humoris itu.

TeamLo tentu lebih memilih lagu dan aksi panggung yang akrab dengan penonton. Kemudian kita merasakannya, bagaimana penonton bereaksi saat menonton suguhan parodi TeamLo itu. Mereka tergerak atau berebutan saling memberitahu. Atau saling menebak karakter yang muncul dari ulah metamorfosis aksi dan lagu yang dibawakan Wawan Bakwan tersebut. Penonton merasa punya kaitan dengan setiap aksi TeamLo.

Dalam pentas lawakan yang bukan parodi, penonton sebenarnya juga merindukan interaksi yang sama. Mereka ingin digelitik dan aktif diajak ikut berperanserta dalam proses identifikasi. Tak ayal seorang pakar pemasaran Seth Godin, menyebut bahwa “parodi adalah virus gagasan.” Maksudnya, parodi merupakan topik atau isu yang mampu menarik dan memancing pembicaraan orang. Dengan dibicarakan, maka ide itu pun kemudian mudah pula menyebar.

Kita lihat dampaknya : ketika penonton mampu mengenali tokoh atau situasi parodi yang muncul dalam benaknya, dan ia nilai lucu, mereka pun akan rela tertawa. Apalagi kalau dalam benaknya yang muncul ternyata dirinya pribadi, maka ia akan terpicu untuk tertawa lebih keras lagi. Tentu saja, mereka kemudian tergerak untuk menceritakannya pula.

Sayang, dalam sajian lawakan yang muncul di televisi-televisi kita, formula Perret yang ampuh dilakoni oleh TeamLo itu seperti tidak berlaku. Lihatlah, di panggung televisi kita inflasi pemunculan pelawak pria dengan berbusana perempuan. Bergaya sebagai waria. Atau muncul sosok-sosok berpakaian aneh, baik pria atau pun perempuan. Mereka dengan tampil memakai wig warna-warni. Bahkan muncul dengan sosok sebagai setan.

Apakah karakter-karakter aneh semacam itu mereka mampu menjadi relevan dan terkait dengan mayoritas penonton ? Saya kira tidak sama sekali. Kalau pun terkait, kebanyakan tidak dalam suguhan cita rasa lawakan yang cerdas. Apalagi elegan. Karena lawakan di televisi kita seolah tak pernah jauh bergeser dari melucukan bau ketiak, cipratan ludah, bunyi dan bau kentut, serta seks yang vulgar.


Formula mendasar. Dunia lawak Indonesia, hemat saya, seyogyanya sudi menyelisik untuk meneladani formula lucu yang amat mendasar dari TeamLo ini. Mula-mula mereka mengajak para penonton untuk mengenali suguhannya, kemudian tiba-tiba membelokkannya secara tidak terduga. Sehingga muncul adalah kelucuan-kelucuan yang eksplosif.

“Hide the joke whenever possible. Get some surprise into the punchline. Don’t let the audience see it coming”, tutur Gene Perret lagi.

Hadirkanlah selalu kejutan. Persis seperti situasi yang telah diulas oleh Frans Sartono tentang ulah TeamLo yang urakan, ketika menjutaksposisikan lagu “Billie Jean” dengan lagu dangdut “Bang Thoyib.”

Proses metamorfosis yang terjadi berupa aksi plesetan, mula-mula berangkat dari lirik lagu yang berbunyi “Billie Jean is not my lover” lalu tiba-tiba menjadi dangdut, kini dengan lirik “Bang Toyib is not my lover”

Baiklah. Sebagai penutup, bagaimana kalau kita lanjutkan menyanyikan lagu “Lybian on a jet plane” tadi ?

Aircraft carrier J.F.K.
Come to blow our chemical plant away,
But we keep telling them it's
just pharmaceutical.

So kiss me and smile for me,
Call my folks in Tripoli,
Tell them that Khadafi made me go.

I'm a Libyan on a jet plane,
Don't know if I'll be back again.
Moammar, I hate to go.



Wonogiri, 6 Februari 2006