Monday, May 29, 2006

Sepuluh Perintah Kitab Suci Komedi dan Artikel Yusuf Maulana : “Komedian : Kalahkan Politisi !” (Kompas, Sabtu, 27 Mei 2006)

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Akhir tahun 2001, saya terkena PHK. Pekerjaan saya sebagai direktur komunikasi sebuah perusahaan Internet di Jakarta, yang model bisnisnya merupakan agregator opini konsumen, harus rela saya lepaskan. Tentu, muncul amarah, kekecewaan, ingin membalas dendam, dan bahkan perasaan putus asa.

Saya kemudian ingat rumus DABDA. Menurut kajian kalangan psikologi, ketika seseorang mengalami kejadian yang paling kritis, terminal, dirinya pasti akan mengalami fenomena dari akronim DABDA itu : denial, anger, bargaining, depression, acceptance. Ingkar, marah, tawar-menawar, depresi dan akhirnya pasrah.

Sokurlah, hanya dalam hitungan hari, saya sudah mampu mencapai tahapan pasrah. Saya menerima konsekuensi yang terjadi. Pekerjaan boleh hilang atau pergi, tetapi saya harus bersyukur bahwa diri saya masih utuh.

Saya harus mencoba melihat masa depan, dengan melongoki modal-modal apa saja yang selama ini ada dalam diri sendiri.Saya harus merintis cita-cita baru. Saya kemudian bersandar kepada sesuatu harta karun pribadi yang selama ini agak terbengkalai.

Humor.
Selera humor.

Itulah harta karun saya. Saya ingin merealisasikan impian lama, yang sering muncul dan tenggelam, yaitu ingin menjadi komedian. Langkah pertama yang saya putuskan adalah berusaha me-recharge aki pengetahuan saya tentang humor. Saya harus kembali dari nol lagi. Belajar lagi.

Ada beberapa buku menarik yang saya temukan di perpustakaan British Council. Tetapi setelah keliling beberapa toko buku terkenal di Jakarta saya tidak menemukan buku yang saya maksud. Di tahun 1997-an, saya pernah menemukan beberapa buku kumpulan lelucon dari Gene Perret di Times Bookshop di Indonesia Plaza. Ketika ditengok lagi, tentu saja, sudah tidak ada lagi.

Setelah meriset di Internet, mau tak mau, saya harus membelinya dari luar negeri. Melalui bantuan toko buku QB World of Books-nya Richard Oh, Jl. Sunda, Jakarta Pusat, akgirnya saya bisa memperoleh buku-buku itu. Pertama, bukunya Judy Carter, The Comedy Bible : From Stand-Up to Sitcom – The Comedy Writer’s Ultimate How-To Guide (2001). Kedua, bukunya Gene Perret, Comedy Writing Step By Step : How to Write and Sell Your Sense of Humor (1990). Ada beberapa judul buku lainnya yang ingin saya beli dan pelajari apabila rencana saya untuk bermukim di Inggris, menemani Niniz dalam beberapa bulan kemudian, menjadi kenyataan.

Buku yang pertama benar-benar mampu membuat gempa bumi pemahaman saya mengenai komedi. Ibarat gempa bumi, ia berkekuatan 10 pada skala Richter. Kiamat. Belasan buku kumpulan lelucon yang saya himpun sejak berkuliah di Universitas Indonesia, sejak 1980, seolah tak ada lagi gunanya.

Pemahaman kuno saya bahwa menjadi komedian itu sekadar menceritakan lelucon orang lain, dan karya orang lain, ternyata menurut Judy Carter hal itu sebagai kekeliruan yang sangat besar. Fundamental. Karena setiap komedian dituntut orisinalitasnya. Dirinya dituntut mampu menceritakan sisi-sisi gelap diri pribadinya SENDIRI, juga ketakutan sampai cacat cela dirinya pula, di muka dunia. Comedy...Be Afraid, Be Very Afraid !, tandas Judy Carter.


Kejujuran memang menakutkan. Saya benar-benar shock ketika menyimaki ajarannya Judy Carter itu. Apalagi ketika ia menjajar isi sepuluh perintah, ten commandments, dari kitab suci komedinya itu. Perintah pertamanya adalah : Anda jangan mencuri materi lelucon milik orang lain.

When you rip off somebody else’s material, you are not only robbing them ; you’re also stealing from yourself because you’re not pursuing your own creative process...You’ll cheat yourself from developing your own unique perspective.


Artikel Komedi Yang Menerbitkan Sangsi. Ajaran Judy Carter itu hari ini kembali muncul di benak ketika saya membaca artikel di halaman Teroka-Humaniora harian Kompas (Sabtu, 27 Mei 2006 : Hal. 14). Saya sendiri pernah menulis di kolom ini pula, juga artikel berjudul “Benturan Peradaban : Promo Islam Lewat Lelucon.” (Harian Kompas, Jumat, 18 November 2005). Saya mengisahkan pergulatan komedian muslim di Amerika Serikat dalam upaya mencari cara menghindari benturan peradaban antara Barat vs Islam pasca kejadian 11 September.

Artikel di harian Kompas (Sabtu, 27 Mei 2006 : Hal. 14) yang menarik perhatian saya itu berjudul “Komedian : Kalahkan Politisi !” Ditulis oleh Yusuf Maulana. Keterangan dirinya adalah bekerja pada Institut Analis Propaganda.

Sebagai pemerhati dunia komedi, tentu tulisan semacam sangat saya harapkan agar semakin sering bermunculan. Apalagi terbetik niatan saya untuk semakin aktif menggalang silaturahmi dan networking dengan para teoritikus sampai praktisi dunia komedi di Indonesia. Tentu saja, termasuk Sdr. Yusuf Maulana tersebut pula.

Tetapi begitu mencermati apa yang ia tulis, saya seperti mengalami apa yang lajim dikenal sebagai deja vu. Pada alinea tertentu dari artikel Yusuf Maulana itu sepertinya pernah saya tulis dalam blog saya ini pula !

Mari kita telusuri. Dalam artikel yang saya tulis tertanggal 23 Februari 2006 berjudul Dick Cheney, Humor Politik, dan Posisi Tiarap Komedian Indonesia, telah saya tulis alinea seperti di bawah ini :

Menyerang Penguasa. Komedian terkenal di Amerika Serikat seperti Conan O’Brien, Craig Kilborn, David Letterman, Jay Leno, Jimmy Kimmel, Jon Stewart, sampai comedienne Tina Fey, pekerjaan pokoknya memang membulan-bulani para penguasa dengan lelucon. Sasaran tembak nomor satu mereka, pastilah presiden Amerika Serikat.

Melucukan penguasa merupakan salah satu ciri khas bangsa Amerika, yang memiliki gaya hidup getol memperolok diri, membuat satir, sebagai bagian dari budaya masyarakat mereka. Humor politik menjadi makanan sehari-hari mereka.

Gene Perret, kepala penulis lawakannya Bob Hope, pemenang tiga kali Emmy Award, ketika meringkas kaidah-kaidah terpenting dalam menyajikan lawakan antara lain ia sebutkan : lawakan harus merefleksikan kebenaran, melonggarkan tensi atau tekanan, mengejutkan, menyerang otoritas atau penguasa, melibatkan penonton dan menyajikannya secara jenaka.



Apa yang Sdr. Yusuf Maulana tulis dalam artikelnya ? Antara lain sebagai berikut :

Hal ini persis dengan salah satu resep yang diberikan Gene Perret, kepala penulis lawakan Bob Hope, pemenang tiga kali Emmy Award. Dalam kaidah-kaidah penting menyajikan lawakan, menurut Perret, lawakan berisikan serangan kepada otoritas atau penguasa, selain harus merefleksikan kebenaran, melonggarkan tekanan, mengejutkan, melibatkan penonton, juga mesti disajikan secara jenaka.

Pada alinea lain ia tulis pula :

Komedian AS, seperti Conan O’Brien, Craig Kilborn, David Letterman, Jay leno, Jimmy Kimmel, Jon Stewart, atau Tina Fey, “pekerjaan pokok”-nya memang membulan-bulani para penguasa dengan lelucon. Sasaran nomor satu mereka : Presiden Amerika Serikat, toh sejauh ini mereka juga masih hidup !


Apakah Sdr. Yusuf Maulana telah mengutip sebagian isi artikel saya dalam blog saya tersebut ? Silakan Anda sendiri yang menilai.

Bagi saya : saya sih punya sangka baik bahwa Yusuf Maulana kebetulan juga memiliki informasi atau bukunya Gene Perret, sehingga dirinya mampu menulis artikel sebagaimana yang dimuat di harian Kompas tersebut. Saya sebagai blogger atau penulis blog, yang juga menyukai prinsip yang disebut sebagai Creative Commons, senang-senang saja apabila buah pikiran saya dikutip oleh orang lain dan bisa bermanfaat bagi orang lain. Walau untuk kelajiman dan demi penegakan etika dalam penulisan, nama penulis asli dan asal tulisan seharusnya juga dicantumkan.

Biarkanlah hal itu kini terjadi. Sdr. Yusuf Maulana, sejauh yang tangkap, sepertinya seorang penulis artikel biasa. Dirinya pun nampak pula tidak memiliki cita-cita sebagai seorang komedian sebagaimana diri saya. Mungkin karena hal itu pula dirinya, sepertinya, boleh-boleh saja tidak perlu hirau untuk mencoba memahami masing-masing ajaran dari sepuluh perintah kitab suci pelaku komedi yang telah digariskan oleh guru saya, Judy Carter, seperti yang saya tulis di atas tadi.

Dirinya toh bukan komedian. Bukan pula praktisi atau tenaga kreatif dunia komedi pula. Dalam konteks isi blog ini, juga konteks sumbangan gagasan untuk dunia komedi di Indonesia, dirinya tidak punya harga cukup tinggi untuk terus dibicarakan.


Baiklah. Di tahun 2001 saya terkena PHK dan humor adalah tempat saya bersandar untuk menjaga kewarasan diri. Menghadapi kasus tulisan Yusuf Maulana di atas, saya juga akan kembali ke humor untuk menstabilkan diri. Dengan melucukan kekurangan diri saya sendiri.

Artikel terakhir saya dalam blog ini saya tulis tertanggal akhir Maret 2006. Hampir dua bulan, karena sedang jatuh cinta terhadap Ninizku yang menawan, saya tidak mampu menulis isu-isu baru dari ranah komedi. Terlebih lagi, senyatanya dibanding blog-blog saya lainnnya, menulis artikel bertopik komedi memang selalu tidak mudah bagi saya. Sulit. Karena begitu sulitnya, sehingga kalau ada penulis lain me-rip off sebagian isi tulisan komedi, apakah hal itu berarti masih bisa terus dimaklumi ?

Anda punya pendapat tentang preseden semacam ini ?



Wonogiri, 29 Mei 2006



ke