Friday, September 26, 2008

Era Ekonomi Kreatif dan Wajah SDM Komedi Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner(at) yahoo.com



Komedikus interuptus. Pasuruan dan zakat lagi jadi berita hangat. Kejadian tragis dengan tewasnya 21 calon penerima zakat menjelang lebaran di rumah seorang pengusaha kaya di Pasuruan, memunculkan usikan : apa ada yang salah dari Islam ? Maksudnya, apa ada yang salah pada umat Islam dalam menerapkan ajaran-ajaran Islam ? Lebih sempit lagi : mengapa niat-niat mulia itu kemudian justru menjadi bencana ?

Antara niat dan implementasi tidaklah otomatis berimpit. Niat baik belum tentu dapat diimplementasikan secara baik pula. Antar keduanya ada jarak. Umat Islam kiranya harus berkaca, betapa implementasi masih belum menjadi keterampilan alami mereka.

Barangkali itulah mengapa, seperti diwartakan Radio BBC (26/9/08) yang mengutip hasil kajian LSI, yang menyimpulkan betapa partai-partai Islam yang ribut berdebat melulu mengenai konsep jati diri tak pernah laku keras. Bahkan cenderung terus menurun, di mata konstituen sejak Pemilu 1955. Pemilih cenderung memilih partai-partai sekuler yang menjual program-program konkrit yang mampu menyejahterakan mereka.

Hasil riset tadi, hemat saya, mudah-mudahan didengar oleh mereka yang ngotot untuk menggolkan Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang kontroversial itu menjadi undang-undang. Juga belajarlah dari kasus Pasuruan, di mana betapa ajaran mulia dan niat-niat mulia, kemudian justru membuahkan bencana.

Ketika warga Bali menyuarakan penentangan hebat atas RUU APP ini, dan mengancam akan melakukan pembangkangan sipil, civil disobedience, mungkin kita dapat memperkirakan apa yang bakal terjadi bagi Indonesia di masa depan. Indonesia yang terancam gosong dan tercerai-berai ?


Misi lucu dan luhur. Syukurlah, kabar dari Pasuruan tidaklah selalu jelek melulu. Dalam ranah dunia komedi, tanah ini telah melahirkan kelompok lucu Abioso yang memenangkan kontes Audisi Pelawak TPI (API)-4 di awal tahun ini. Kalau Anda sempat menengok situs blog mereka, lalu membaca-baca secara teliti prestasi panggung mereka, mungkin Anda akan terheran.

Kelompok yang diotaki Ahmad Aminuddin (Aam, 25), Muhammad Ali Mufadhol (Ali, 25) dan Muhammad Ghufron (GeGe, 23), adalah anak-anak jebolan Pondok Pesantren Ngalah Purwosari Pasuruan. Tetapi mereka pernah manggung lawak di SMP-SMA Advent Purwodadi dan Gereja Katolik Pasuruan. Mengingatkan saya akan petualangan lucu bermisi luhur dari komedian muslim keturunan Mesir, Ahmed Ahmed bersama rabbi Yahudi yang jenaka, Bob Alper, ketika keduanya meluncurkan tur komedi “One Muslim, One Jew, One Stage : Two Very Funny Guys” di AS pasca serangan teroris 11 September 2001.

Ketika saya mengunjungi blog Abioso itu, saya pun menulis pesan. Selain berkenalan, saya ingin memperoleh cerita-cerita apa saja yang pernah mereka reguk selama menjalani API-4 tersebut. Mereka juga saya rujuk untuk membaca isi sidebar, kolom samping blog ini, yang terpasang sejak 20 Juni 2008. Dengan isi mengundang mereka, selain langsung melalui email, kepada mereka yang memiliki minat memajukan dunia komedi Indonesia.

Baik bagi sobat Effendi Gazali dkk (sebagai juri API-4), sobat Harris Cinnamon (Produser Eksekutif API-4) dan kawan-kawan di TPI, terutama para peserta audisi yang sukses menembus 12 Besar di Jakarta. Ada data yang mungkin menarik tentang profil mereka : sebagian besar personelnya lulusan setingkat SMA, 21 orang. Satu orang D-2 dan seorang mengaku mahasiswa. Hanya ada 4 orang yang mengenyam pendidikan setingkat S-1. Ada 10 orang yang tidak mencantumkan sama sekali data pendidikannya.

Seperti tertuang di blog ini, undangan obrolan tentang API-4 itu terbuka pula bagi peminat komedi lainnya. Untuk berbagi cerita, wawasan sampai harapan kepada sesama pendukung dunia komedi Indonesia. Sayang sekali bukan, bila kegiatan yang mahal itu akhirnya sama sekali tidak meninggalkan jejak di dunia maya sebagai rujukan di masa depan.

Sayang, undangan saya untuk Abioso, tak ada sambutan. Juga nama-nama terkenal di atas, mereka tidak terusik ajakan dan permohonan saya. Terima kasih, desis saya. Maka kolom samping itu, setelah terpajang selama empat bulan, akan segera saya non-aktifkan. Komedikus interuptus. Kontak-kontak komedi yang harus terputus.

Sebagai simbol lainnya, seperti Anda lihat di awal tulisan ini, nampak logo API-4 yang gosong. Untuk menggambarkan betapa harapan saya bahwa seiring peristiwa sebesar API-4 memiliki momen bagi pencinta seni komedi di Indonesia untuk bisa saling ngobrol dan berbagi info, kini rupanya harapan itu mungkin tinggal berupa abu belaka.


Mencontek turis Jepang. Aneh juga. Saya yang memiliki nomor peserta “AB 042S” (ikut audisi API-4 di Yogya, nomor urut 42, dan membawakan komedi single/tunggal) yang gagal di langkah pertama, memang kecewa. Tetapi mereka yang lebih sukses dibanding saya, mengapa mereka enggan diajak untuk berbagi cerita ?

Kegagalan itu, bagi saya, tetap merupakan berkah. Tragedi seiring berjalannya waktu adalah komedi. Gagal itu kini justru menerbitkan kenangan menawan, banyak memicu ide cerita dan pikiran-pikiran lanjutan yang kiranya bisa disumbangkan untuk komedi Indonesia. Hulu dari semua itu, tentu saja adalah kecintaan. Kecintaan untuk dunia komedi. Suka menulis. Suka mengobservasi. Suka mencatat hal-hal yang kiranya menarik dari sekitar.

Terkait hal itu ada cerita menarik tentang perilaku turis-turis Jepang. Penutur ceritanya adalah Harry Davis, Wakil Direktur Program MBA di Sekolah Bisnis Universitas Chicago, Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa turis-turis Jepang selalu membawa-bawa bloknot ketika keliling dunia. Mereka mencatat hal-hal khusus yang dapat mereka amati dari pelbagai penjuru dunia yang mereka kunjungi. Mereka melakukan tindak intelijen secara legal, mengumpulkan data. Pelbagai data itu diolah dan dijadikan pertimbangan dalam menghasilkan produk yang diekspor Jepang ke seluruh dunia. Itulah cara Jepang menguasai ekonomi dunia.

Menurut Harry Davis, kebiasaan model turis Jepang itu harus dimiliki setiap insan yang produktif, utamanya dalam mengembangkan dan mengasah keterampilan melakukan observasi. Kepada mahasiswa MBA-nya, seperti dikutip koran USA Today (12/2/1992), ia anjurkan untuk membawa-bawa bloknot sepanjang waktu. Dengan demikian mereka setiap saat dapat menulis dan mengawetkan hasil observasi dan ide-ide seputarnya, yang sangat bermanfaat bagi pekerjaan atau pun kehidupan pribadinya.

Apa kebiasaan serupa juga berlaku untuk kalangan komedian ? “Get yourself a notebook that you keep by your bed and another, smaller one that can fit in your pocket...write down all ideas within a few minutes of thinking about them,” tegas Judy Carter, mentor komedi terkenal. Antena atau radar seorang komedian sebagai penghuni dunia kreatif memang harus dalam mode on selama dua puluh empat jam seharinya !


Dunia otak kanan. Dari ulah otak-atik materi lawakan itu, kalau ngomong dalam gambar yang lebih besar, sebenarnya dapat menjadi salah satu rel bangsa ini untuk menuju era baru, era konseptual. Seperti diungkap oleh Daniel H. Pink bahwa era pertanian dan industri telah lewat, sementara era informasi sedang menuju uzur, maka sektor-sektor yang dikembangkan oleh negara-negara maju dan sulit ditiru oleh bangsa lain adalah sektor yang lebih banyak melibatkan otak kanan manusia.

Dalam bukunya A Whole New Mind : Why Right-Brainers Will Rule the Future (2006), ia katakan bahwa dalam era konseptual yang melibatkan kreativitas, keahlian dan bakat itu mayoritas pekerjaan di masa depan (era ekonomi kreatif) akan dikuasai mereka yang menciptakan sesuatu atau mereka yang mampu berempati kepada orang lain. Sebagian besar pekerjaan itu mensyaratkan ketelatenan, rasa humor , imajinasi, orisinalitas, naluri, kegembiraan, kedekatan pribadi dan kelenturan sosial.

Gambaran kemilau tentang masa depan di era konseptual itu mungkin dapat digambarkan dari perjalanan karier seorang Rowan “Mr. Bean” Atkinson. Ia lahir tanggal 6 Januari 1955 di Consett, County Durham, Inggris. Ia seorang sarjana elektro lulusan dari Newcastle University dan meraih gelar MSc di Oxford (Queen's College). Di kampus inilah, ketika main komedi untuk klub di kampusnya, ia bertemu penulis Richard Curtis dan komposer Howard Goodall, trio kompak yang bekerjasama dalam pengembangan karier Mr. Bean berikutnya.

Bila saja Rowan Atkinson tetap berprofesi sebagai “tukang insinyur” yang banyak berkutat dengan otak kiri yang linear dan mekanistik, kita mungkin tidak akan mengenalnya. Tetapi ketika ia lebih senang memilih mengejar karier berdasarkan bakat yang ia miliki, mengembangkan secara optimal kreativitas dari ranah otak kanannya, dunia pun kini mengenalnya.

Indonesia memiliki potensi besar dalam ekonomi kreatif. Demikian simpul artikel yang berjudul “Era Creative Economy dan SDM Berkarakter” yang ditulis Gunawan di koran Seputar Indonesia (21/3/2008). “Industri kreatif saat ini bagian penting dari perekonomian Indonesia,” bunyi pembuka berita mengenai kuliah umum Memperdag Mari Elka Pangestu di Universitas Multimedia Nusantara Jakarta (Kompas, 6/9/2008).

Sayang, lanjut Gunawan, praktik pembelajaran di sekolah (kita) menghambat kreativitas anak-anak. Merujuk pendapat ahli psikologi Universitas Harvard, Howard Gardner, sistem yang salah itu akan membunuh kreativitas anak tinggal 10 persen dari potensinya ketika mencapai usia 8 tahun. Dan bila berlangsung sampai umur 12 tahun maka potensi kreativitasnya hanya tinggal 2 persen saja. Di sekolah-sekolah Indonesia, tiap tahun berapa juta embrio calon-calon Einstein (“Imajinasi lebih hebat dibanding pengetahuan,” katanya), Picasso, Charlie Chaplin, sampai Robin Williams masa depan yang telah terbantai di dalamnya ?

Tumbuh kembangnya ekonomi kreatif juga tidak hanya terancam terjegal akibat sistem yang salah di sekolah. Novelis Ayu Utami dalam kolomnya berjudul “Bangkitnya Kelas Kreatif” (Seputar Indonesia, 14/9/2008) mengutip Richard Florida bahwa kelas (pendukung ekonomi) kreatif itu hanya bisa tumbuh bersama sikap tertentu di sebuah masyarakat. Richard Florida dalam bukunya The Rise of Creative Class (2002) kemudian mensyaratkan adanya 3 T : teknologi, talenta dan toleransi.

Menurut Ayu Utami, T yang terakhir itulah yang menyurut di negara kita akhir-akhir ini. Terutama toleransi kepada kaum minoritas. “Lihat saja bahasa kekerasan dan bahasa kebencian yang kerap disebarkan dalam dasawarsa belakangan ini,” keluhnya. Boleh jadi kita semakin khawatir : apakah api kekerasan dan kebencian yang lebih besar akan semakin menjadi-jadi kobarnya bila saja RUU Pornografi dan Pornoaksi itu akan diundangkan di negeri ini ?

Impian mengenai mekarnya ekonomi kreatif di negeri ini mungkin menjadi gosong. Tinggal hanya abu kenangan. Pasti ikut juga hangus di dalamnya ide-ide cemerlang komedi dimana melucukan dan melecehkan sering tipis batasnya, yang sebenarnya mampu mendewasakan kita sebagai bangsa.



Wonogiri, 26/9-23/10/2008


ke