Thursday, July 26, 2007

Melawak Menari Bersama Tengkorak

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com





Anti Siksa Neraka. Banyak orang Indonesia suka ngomong, tetapi benci menulis. Bisa dimaklumi, karena jarak antara otak dengan mulut lebih pendek dibanding jarak otak dengan jari-jemari yang mampu bergerak untuk menulis.

Menulis memang sulit.

Tidak ayal bila seorang Jessamyn West, seperti dikutip Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang diterjemahkan dengan judul Berani Berekspresi (MLC, 2004), menegaskan bahwa, “menulis itu begitu sulit sehingga saya sering merasa bahwa para penulis, karena sudah merasakan neraka dunia, akan terbebas dari semua siksa di akhirat nanti.”

Simpati diri para penulis di atas memang boleh disebut berlebihan. Tetapi menulis memang sulit. Apalagi menulis lawakan. Saya suka mengutip berkali-kali perkataan almarhum Dono Warkop (Kompas, 22/3/1996) ketika mengeluhkan tiadanya penulis–penulis naskah komedi yang dapat meringankan bebannya.

“Membuat lucuan yang benar-benar lucu saja setengah mati. Kondisi lawak di Indonesia saat ini : ia adalah pemikir, penulis, penampil, sekaligus pengurus keuangan....Bagaimana mau selalu prima ?” cetusnya. Padahal kita tahu, Dono adalah juga seorang kolumnis dan novelis.

Merujuk realitas di atas, dan untuk mencoba ikut serta mengatasi keluhan yang diutarakan Dono di atas, saya pernah kirim surat kepada sobatnya yang sama-sama di Warkop DKI, Indro, yang saat itu baru terpilih sebagai Ketua Umum PASKI. Saya usulkan agar dalam program kerja PASKI itu diadakan pelatihan menulis komedi, comedy writing, sokur-sokur bila mampu mendatangkan mentor dari luar negeri. Mungkin surat saya itu tidak sampai, karena tak ada balasan dari Ketua Umum PASKI itu. Atau memang organisasi ini kini sudah bangkrut, mati suri, jadi tak mampu membeli kertas dan perangko balasan.


Monumen Komedian. Mengobrolkan tentang pentingnya comedy writing, tentu komunitas komedi Indonesia tidak bisa melupakan kiprah sosok Arwah Setiawan. Bagi saya, beliau adalah seorang thinker dan doer raksasa bagi dunia komedi Indonesia yang sampai sekarang sulit dicarikan penggantinya.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

BALAI BUDAYA, JAKARTA. Dalam pameran kartun karya anak-anak Brigade Kelompok Kecil dari Wonogiri asuhan Mayor Haristanto di Balai Budaya Jakarta, 2 September 1982, mempertemukan aktivis dan pencinta dunia komedi Indonesia. Dari kanan, Jaya Suprana, Tris Sakeh (kartunis), Suyadi Pak Raden, tak dikenal, Arwah Setiawan dan Bambang Haryanto.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

BERSAMA PAK RADEN. Kartunis cilik asal Wonogiri, Basnendar Heriprilosadoso, bersama Suyadi yang terkenal sebagai Pak Raden, mengamati kartun karyanya yang ikut dipamerkan.


Sebagai sedikit pengakuan pribadi, ketika Arwah Setiawan masih hidup, kok saya merasa belum ketiban pulung atau wangsit, terpanggil untuk bisa dekat-dekat dengan beliau sehingga mampu menyerap khasanah ilmu komedinya yang kaya, ketika Mas Arwah Setiawan berkiprah dalam Lembaga Humor Indonesia. Untunglah, antara lain lewat bukunya yang berjudul Humor Jaman Edan (Grasindo, 1977), saya masih bisa mendapatkan warisannya. Tepat kiranya ungkap Thomas Fuller (1654–1734), seorang dokter dan penulis Inggris, yang berujar bahwa monumen yang abadi adalah monumen yang terbuat dari kertas. Alias berwujud buku, yang isinya mampu diwariskan dari generasi ke generasi.


Tetapi bagaimana dengan almarhum Taufik Savalas atau Toto Asmuni, yang baru saja meninggalkan kita ? Keduanya meninggalkan kita, sepertinya belum sempat mewariskan catatan-catatan pribadinya berisi pengetahuan selama berkarier sebagai komedian. Semoga nanti akan ada penulis yang tergerak untuk melakukannya. Isman H. Suryaman, pemilik blog The Fool dan penulis buku Bertanya atau Mati, dalam emailnya (21/7/2007) kepada saya menulis :

“Kepergian almarhum Taufik Savalas yang tiba-tiba saya rasa merupakan kerugian besar bagi dunia komedi kita. Walaupun tidak berhasil dengan baik, rintisan dia sebagai komedi solo itu seharusnya menghasilkan pengetahuan, lessons learnt, tentang mengapa Comedy Club (acara Taufik Savalas berkomedi solo di TransTV) itu gagal. Itu dikombinasikan dengan pengalaman beliau dalam tampil di depan umum dapat menjadi kontribusi yang sangat penting bagi (calon) komedian solo berikutnya. Sayang sekali pengetahuan itu hilang tiba-tiba. Salah satu kekurangan komedi Indonesia mungkin memang di manajemen pengetahuannya, Mas.”

(Thanks, saya setuju, Isman).


IdeaVirus ! Istilah manajemen pengetahuan atau knowledge management dalam dunia komedi kita pasti terasa sebagai istilah asing. Saya mendengar pertama kali istilah itu dari Tika Bisono dan Mas Ito (Sarlito Wirawan Sarwono) tatkala mengikuti Mandom Resolution Award 2004 di Jakarta. Keduanya, ditambah Maria Hartiningsih yang wartawan senior Kompas, menjadi juri saat saya sebagai peserta kontes menjual gagasan blog sebagai sarana kaum epistoholik dalam mendokumentasikan dan berbagi wawasan, kearifan dan ilmu pengetahuan untuk menjadi salah satu pilar kehidupan berdemokrasi.

Melissie Clemmons Rumizen, Ph.D., Knowledge Strategist dari Buckman Labs dalam bukunya The Complete Idiot's Guide to Knowledge Management (Penguin Putnam, 2001), ringkasnya membeberkan aplikasi manajemen ilmu pengetahuan yang antara lain berupa kiat-kiat berbagi informasi antarkolega sehingga perusahaan tempat mereka bekerja mampu meraih keberhasilan. Manajemen ilmu pengetahuan, salah satu intinya memang berbagi.

Sayangnya, mungkin saya keliru, saling berbagi itulah yang justru nampak disingkiri oleh warga komunitas komedi kita selama ini. Karena kebanyakan mereka, mungkin kecuali Butet Kertarajasa, Kelik Pelipur Lara atau pun Effendi Gazali, memang tidak hidup dalam tradisi budaya menulis. Saya sebenarnya menaruh harapan kepada Tamara Geraldine, bukan Ulfa Dwiyati, sebagai komediene. Karena Tamara terbiasa menulis dan tidak segan-segan di panggung ketika sebagai pembawa acara sering mengejutkan ketika meledeki dirinya sendiri.

Selebihnya, mayoritas warga komunitas komedi kita berbagi informasi secara lisan. “Taufik memberi banyak ilmu bagaimana tetap bertahan dan stabil, tak kehabisan ide,” tutur artis Melly Zamri yang belajar bagaimana bisa survive dalam dunia entertainment dari Taufik Savalas seperti dikutip Kompas (13/7/2007).

Ilmu yang dibagikan Taufik Savalas di atas bersifat pribadi. Mirip ilmu dukun. Memiliki jangkauan diseminasi yang terbatas. Apalagi bila dibandingkan dengan aksi berbagi informasi di media maya, seperti melalui blog ini, yang berpotensi menjadi ideavirus (“makasih, Seth Godin !”) karena mudahnya untuk dibagi dan disebarluaskan secara instan ke seluruh dunia.


Intel Melayu Lawakan. Ada ilustrasi lain yang menarik tentang potret dunia komedi kita. Adalah tulisan H. Sujiwo Tejo dan Efix Mulyadi yang menurut saya merupakan wartawan terbaik Kompas dalam membahas dunia komedi, dalam artikel berjudul “Jiplak-menjiplak Dalam Lawakan” (Kompas, 30/10/1994). Sekarang, tak mudah ditemui tulisan dalam koran yang sama yang memiliki frekuensi, variasi dan kedalaman minat dalam mengupas pernak-pernik dunia komedi kita dewasa ini.


Artikel tersebut, yang juga bisa sebagai nostalgia bagi kita untuk mengenang lawakan tempo dulu, antara lain mengangkat tuduhan jiplak-menjiplak antarkelompok lawak di Indonesia. Misalnya, Warkop DKI (Warung Kopi Dono Kasino Indro) menurut Darto Helm dari eks kelompok Bagio CS, pernah meniru lawakan mereka tentang marga orang Batak.

“Waktu itu kami pentas di Taman Ismail Marzuki. Karena di Teater Terbuka, hawanya dingin. Diran bilang, wah, hawanya Siregar. Saya sahut, rasanya jadi berjalan di Tobing-Tobing. Sol Saleh menyahut, hati-hati, jangan sampai celana sobek, nanti ke Panjahitan,” kata Darto Helm. Diran dan Sol Saleh anggota Bagio CS. Kata Darto, almarhum Nanu dari Warkop telah meminta maaf untuk itu. Sebaliknya, Dono Warkop DKI yang mengatakan bahwa sulit bagi pelawak mengklaim sebagai yang pertama mengangkat suatu lawakan, juga sering diambil gaya lawakannya.

Misalnya Us Us mengaku pernah mengambil gaya Warkop DKI, yakni dalam hal pembelokan logika berpidato. Qomar dari Empat Sekawan malah mengaku sebagai “fotokopi yang baik dari Bagio CS dan Srimulat,” terutama pada awal kariernya bersama Tom Tam. Deddy (Mi’ing) Gumelar dari Bagito dituding oleh beberapa pihak sebagai peniru Srimulat, terutama pad acara rutin televisinya Ba-sho. “Mungkin secara kebetulan saja, karena Unang (anggota Bagito) sering berpakaian Jawa,” kata Mi’ing.

Silang-sengkarut tentang jiplak-menjiplak itu sampai membuat Dono dalam kehidupan sehari-hari di luar panggung, memilih tidak melawak. Mi’ing juga serius di luar panggung. Qomar kadang-kadang melucu, meski pun menurut consensus Empat sekawan, tidak boleh membawakan rencana lawakan panggung dalam pergaulan sehari-hari.

“Saya kalau lagi manggung dan melihat ada pelawak menonton, langsung mengambil langkah pencegahan. Yaitu tidak mengeluarkan lawakan yang hebat. Saya tahu mereka datang untuk ‘berbelanja’, menghafal penampilan, bahkan ada yang merekam dengan kaset,” kata Darto Helm. Kadang-kadang bukan pelawak yang datang. Meminjam istilah Qomar, yang datang adalah “intel-intel” pelawak yang biasanya wajahnya tidak asing bagi pelawak.


Memandang keruwetan dalam dunia lawak ini, akhirnya Dono dan Mi’ing sependapat bahwa biarlah lawakan dijiplak oleh pelawak lain. Biar saja, toh cara pembawaan seperti irama dan muatan pesannya pasti berbeda.

Keputusan yang bijak, terutama karena sistem manajemen ilmu pengetahuan kita, termasuk karya-karya lawakan, katakanlah belum secanggih di Amerika Serikat. Di AS ada lembaga yang disebut The Writers Guild yang bertugas mengarsip dan melindungi karya cipta seseorang, meliputi skrip, sinopsis, treatment, outline, sampai gagasan tertulis yang khusus sebagai materi produksi untuk radio, televisi, teater, film, video dan media interaktif.


Dampak Komedi Keroyokan. Artikel Kompas 13 tahun lalu itu menghadirkan potret betapa dunia lawak kita adalah dunia keroyokan. Apa pun nama kelompok mereka, sepertinya sulit dicari apa yang mampu membedakan karakter lawakan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Dalam kerumunan sulit memunculkan kepribadian. Lawakan pria dengan berdandan sebagai perempuan, bukankah sudah ada sejak Mama Henky, Esther, dan terus saja lestari dipanggungkan kelompok Tora Sudiro dkk yang hura-hura di ExtraVaganza dewasa ini ?

Pelawak-pelawak “tanpa kepribadian” itu boleh jadi terjun berprofesi sebagai pelawak mungkin akibat kebetulan. Karena dikejar-kejar harimau luar, yang menurut istilah sastrawan dan dramawan Putu Wijaya, adalah kebutuhan perut. Tataran paling bawah dari hirarki kebutuhan manusia menurut piramidanya Abraham Maslow. Bukan dikejar oleh harimau dalam, yaitu dorongan tertinggi manusia untuk aktualisasi diri.

Mereka masuk begitu saja, tanpa didahului oleh semacam soul searching, perjalanan ke dalam untuk melongok dirinya sendiri, guna menemukan jati diri, persona, yang istimewa dan unik di tengah dunia ini.

Padahal kita tahu, keharusan melakukan self-assesment di atas itu berlaku untuk semua profesi. Kalau Anda pernah menempuh kuliah di Amerika Serikat, Anda mau tak mau “diharuskan” membaca bukunya Richard Nelson Bolles sebelum memutuskan berburu pekerjaan selepas wisuda. Dalam buku berjudul What Color Is Your Parachute ? : A Practical Manual for Job-Hunters & Career Changers (Ten Speed Press, Tahunan) ini, Anda akan di-drill dengan sejumlah tes dan pertanyaan guna menguak keterampilan apa saja yang Anda miliki dan juga menyenangkan bagi Anda ketika menggunakannya.

Dalam Anda menjawab, Anda harus menuliskannya !

Dalam dunia komedian, ketahuilah bahwa jago improvisasi sekaliber Robin Wiliams pun pertama kali harus pula menulis leluconnya sendiri. Kalau Anda masih bingung bagaimana memperoleh materi lelucon itu, jawabannya tergantung dari jenis komedi yang hendak Anda terjuni. Tetapi langkah universal yang utama adalah : longokilah dalam diri pribadi Anda sendiri.

Kembali mengutip isi buku menariknya Susan Shaughnessy yang kali ini memajang ucapan Carolyn MacKenzie. Ia berkata, kalau Anda punya kerangka manusia di dalam lemari Anda, keluarkanlah, dan menarilah bersamanya. Begitulah, penulis dan juga pelawak sejati, berani menari bersama tulang kerangka, kerangka mereka sendiri.

Kerangka manusia tersebut adalah hal yang paling Anda hindari untuk dituliskan atau diceritakan, seperti rasa malu yang membuat Anda bergidik dan menciut. Tetapi pada akhirnya hal itu akan muncul juga dalam tulisan dan juga dalam lawakan Anda. Mengapa ? Karena di sanalah energi jiwa Anda tertimbun. Dengan menuliskannya, Anda meratakannya. Energi itu akan mengalir dalam tulisan dan lawakan Anda, dan membuatnya hidup.

Anda pernah menonton tayangan talkshownya Oprah Winfrey ? Setiap tamu yang hadir senantiasa membawa tulang kerangkanya sendiri. Mereka rela dan berani mengeluarkannya dari dalam peti atau almarinya pribadi, kemudian mereka ajak tengkoraknya itu untuk menari dan berdansa di muka dunia.

Tawa yang hadir dari sana, atau lelehan air mata, semata membuat diri kita merasa sebagai manusia. Bukan robot atau useful idiot yang patuh terhadap komando untuk tertawa-tawa kosong dan hampa, dalam acara komedi atau talkshow dengan host orang-orang yang sok lucu di pelbagai televisi kita.


Wonogiri, 26/7/2007


ke





Tuesday, July 03, 2007

Joker, Writer, Blogger !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Komedian Meniti Bahaya. Diskusi tentang lawak itu terkirim dari Salzburg, Austria, akhir Mei 2007. Pengirimnya Agung Pramono, warga Wonogiri yang kini tinggal di Jakarta dan biasa keliling dunia. Beberapa bulan lalu ia kirim lelucon dari Pattaya, Thailand. Juga cerita tentang acara komedi Gags sampai Just for Laugh yang sering ia tonton dari tayangan televisi di Kanada.

Obrolan dari Salzburg itu langsung mengingatkan saya akan nomor Musical Joke, karya komposer jenius kelahiran Salzburg. Ia sering disebut sebagai darling of the world, yang tidak lain adalah Wolfgang Amadeus Mozart. Dalam film Amadeus (1984) yang menyabet 8 Oscar garapan Milos Forman, Mozart digambarkan memiliki selera humor cabul dan vulgar.

”Forgive me, Majesty. I am a vulgar man! But I assure you, my music is not,” begitu akunya kepada Kaisar Josef II. Pada nomor karyanya Musical Joke itu kita dapat membuktikan ucapannya

Pada awalnya Anda akan dibelai oleh harmoni dua french horn berpadu dengan empat alat musik gesek yang indah. Tetapi kemudian tiba-tiba Anda digerojok alunan musik liar, edan-edanan, chaotic, yang menggelitik kita untuk tertawa.

Karya Mozart yang tanggal lahirnya sama dengan Jaya Suprana, 27 Januari, dan sama pula dengan Hari Epistoholik Indonesia yang saya deklarasikan dua tahun lalu di acara HUT MURI ke-15 di Semarang, harus saya dengarkan berkali-kali. Terus terang, mencoba menikmati lelucon dari musik klasik, ternyata memang tidak mudah. Sama halnya, kita semua tahu, bahwa mengkreasi lelucon yang bermutu juga tidak mudah.

Agung Pramono, alumnus ITB, dalam emailnya itu menyatakan apriori terhadap perkembangan lawak di Indonesia. Menurutnya, isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) merupakan musuh dari kreatifitas pelawak. Belum lagi isu SAMPAH (Sex, Anatomi, Moral, Partai, Adat dan Humanisme), menurutnya lagi, adalah pula mimpi buruk bila kaum lucu itu bertindak “kebablasan” dalam meledakkan lawakan-lawakan mereka.

Saya bisa memahami kerisauannya. Kelompok lawak Bagito, sebagai contoh, pernah terperosok ke dalam tong SAMPAH ketika mereka melucukan kekurangan yang bersifat “anatomi” dari seorang Gus Dur. Gus Durnya sendiri, sebagai humoris sejati (“siapa yang punya rekaman acara Kongkow Bareng Gus Dur, Radio 68H, 24 Juni 2007 yang bertopik lawakan vs keberingasan dalam Islam ?”), tidak apa-apa. Tetapi para pendukungnya, yang tidak memiliki selera humor setinggi Gus Dur, saat itu langsung menjadi berang beramai-ramai.

Mungkin saya salah, tetapi sejak insiden “lelucon anatomi” itu meletup pamor Bagito pun meredup. Mereka mungkin trauma, lalu melakukan sensor diri sendiri, sehingga ketajamanan leluconnya yang lain pun pelan tetapi pasti tergerus habis daya ledaknya. Sementara itu lelucon yang menjurus ke seks dan diskriminasi jender seperti saya tulis sebelumnya, telah membuat tayangan Chatting di TPI dan Empat Mata-nya Tukul Arwana di Trans7 mendapat somasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

Begitulah, melucukan dan melecehkan kadang batasnya memang tipis sekali. Justru itu, menurut saya, di situlah tantangan yang menarik dan sangat unik bagi seorang komedian. Mereka ibarat atlet akrobat yang berani meniti tali di atas ketinggian. Atau berjalan dan menari di atas sisi keping tajam pisau silet raksasa. Humor always plays very close to the hot fire of truth. Hidup komedian selalu dalam bahaya. Tetapi sebagaimana ciri komedian sejati yang memiliki kejujuran dan keberanian, terutama dalam mengolok kekurangan dirinya sendiri, pengalaman dan tantangan semacam itu bahkan kemudian ibarat candu bagi mereka.


Komedian Itu Komando. Billy Crystal pernah menegaskan bahwa sebagian besar komedian adalah sosok orang-orang pemalu yang menggunakan panggung untuk mengalahkan rasa takutnya terhadap orang lain. Komedian solo perempuan terkenal Joan Rivers bertutur, “My routines come out of total unhappiness. My audiences are my group therapy.”

Dengan melawak Joan Rivers mengharapkan rasa tidak bahagianya yang kronis itu menjadi tersembuhkan ketika dirinya berbaur di tengah penontonnya. Louie Anderson memberi garis bawah : “Komedi sejati adalah kemampuan dan keberanian Anda untuk membuka diri sehingga audiens dapat melongoki isinya dan percaya mereka tidak akan mencoba menyakiti Anda.”

Komedian seperti Joan Rivers atau Louie Anderson, memang ibarat anggota pasukan komando. Dirinya berani berperang sendirian. Selain untuk menaklukkan rasa takut pada dirinya sendiri, sekaligus berjuang mengalahkan hujan bom dan berusaha membunuh belasan sampai ratusan pengunjung pentasnya.

Anda jangan merasa serem dulu. Harap Anda maklum, istilah bom dalam dunia komedi adalah slang untuk cemoohan penonton yang tidak puas terhadap lawakannya. Sementara membunuh adalah lawakan yang mampu mengundang gelegar tawa.

Mungkin seperti sosok Arnold Schwarzenegger dalam film Commando, komedian dituntut memiliki amunisi dan trik yang banyak, juga selalu baru, dalam melawak. Dan sebagaimana anjuran dari para pelawak terkenal dan mentor pelawak yang mumpuni, kepemilikan amunisi dan trik-trik lawakan itu harus dimulai dari aktivitas menulis. Komedian Jerry Seinfeld memberi nasehat : “Menulislah (lelucon) hingga tanganmu terasa sakit !”


Mengapa menulis ? Karena menurut Mark Rutherford, dalam diri setiap orang ada sebuah mata air yang terus menyemburkan kehidupan, energi, cinta, apa pun sebutan yang Anda berikan padanya. Mata air apa yang menyembur dari dalam diri Anda ? Menulis merupakan cara yang baik untuk menyalurkannya.

Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang diterjemahkan (“menurut saya menjadi lebih jelek”) dengan judul Berani Berekspresi (MLC, 2004), menegaskan bahwa dengan menulis penulis (mampu) menangkap hal-hal yang tidak teramati oleh orang lain. Penulis menangkap kebenaran-kebenaran yang tersembunyi.

Penulis kemudian menariknya dari sudut remang-remang tempat kebenaran itu suka bersembunyi, membawanya ke tempat terang, menangkapnya ketika mereka sedang mengawang terbang. Di bagian lain juga ia tegaskan, “jika Anda punya kejujuran diri yang mendasar, Anda kemudian akan menulis. Anda akan melaksanakan kegiatan yang Anda kaitkan dengan jati diri Anda yang paling dalam.”

Pelawak juga memiliki landasan eksistensi yang sama : dirinya melawak untuk mengekspresikan sisi relung terdalam dari dirinya sebagai manusia. Ia pun memiliki misi mulia seperti halnya penulis, untuk berani mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang tersembunyi.

Sekadar contoh, simak ledekan Jay Leno berikut ini : “Walikota New York Michael Bloomberg memutuskan keluar dari Partai Republik dan menjadi independen. Ia bilang tidak memiliki rencana untuk jadi presiden. Sekarang jangan campur adukkan perkataan dia dengan Presiden Bush, yaitu seseorang yang tidak memiliki rencana sebagai presiden.”

Ketika Bush diam-diam berkunjung ke Baghdad, David Letterman berkomentar : “Saya pikir ini menarik sebagai perbandingan. Presiden Bush secara diam-diam mengendap ke Baghdad dan tidak seorang pun tahu. Sebaliknya Bill Clinton, ketika ia mengendap pegawai magang Gedung Putih (Monica Lewinsky-BH), semua orang justru tahu tentangnya.”

Lengsernya Tony Blair juga menjadi bahan olok-olokan komedian Conan O’Brien : “Perdana Menteri Tony Blair dari Inggris baru saja mengumumkan diri akan lengser dalam waktu dekat, yang berarti Presiden Bush akan kehilangan sekutu terdekatnya dalam urusan luar negeri. Bush merasa sedih dan berkata, ‘Kini pemimpin asing yang saya percayai adalah Arnold Schwarzenegger.’”

Masih tentang Bush, Bill Maher mengolok kualitasnya yang terkenal sebagai presiden “dungu” : “Majalah TIME baru saja menerbitkan Daftar 100 Orang Paling Berpengaruh Di Dunia dan Presiden Bush tidak masuk di dalamnya. Ia pun marah. Ia menghentikan langganan dan berhenti dari kursus privat membaca.”

Lalu adakah hubungan antara politikus dan kriminalitas ?

“Kelompok lembaga konsumen menegaskan harus tersedianya kolom isian dalam kartu suara untuk memastikan bahwa pajak yang tersalur digunakan untuk memerangi kriminalitas dan bukan mengalir ke kantong para calon presiden. Saya pikir ini ide hebat. Yang saya maksudkan, setiap kali Anda menarik uang Anda dari kantong politikus, berarti Anda memerangi kriminalitas, bukan ?,” kata Jay Leno.


Sekolah Lawak di Indonesia. Selain email dari Salzburg di atas, diskusi mengenai lanskap komedi Indonesia dewasa ini juga dipicu oleh email yang saya terima dari Tri Agus S. Siswowiharjo (17/6/2007) dari Depok. Sebagai aktivis LSM, penulis lepas dan kegemarannya terhadap humor, ia telah menghasilkan buku antara lain Mati Ketawa Cara Timor Leste (2001) dengan kata pengantar Xanana Gusmao, GAM: Gerr Aceh Merdeka (2003), Humor Pemilu 2004 (2004), dan Senyum Dikulum, Tsunami (2005).

Prestasi yang hebat. Saya balas emailnya, antara lain : “saya salut untuk telah terbitnya beberapa buku kumpulan humor Anda. Melihat topik dan judulnya, sungguh bikin iri (bukan dengki) karena Anda telah mengetahui jeroan orang Aceh sampai Timor Timur dalam bingkai humor. Kalau Clemence Dane pernah bilang bahwa “make us laugh and you can pick all pockets,” maka bayangkan betapa banyak kantong orang Aceh dan Timor Timur yang berpotensi untuk bebas Anda “gogohi” selama ini ?

Diskusi email Depok-Wonogiri ini meningkat ke topik menarik. Yaitu tentang cita-cita Tri Agus dan juga cita-cita tokoh pemerhati dan penulis humor Darminto M. Soedarmo, di mana keduanya sama-sama ingin mendirikan sekolah atau kursus pelawak. Ungkapnya, “Dia (Darminto M. Soedarmo) bilang semuanya sudah siap. Cuma ada gak orang gila (investor) yang mau membiayai. Saya bilang, tak perlu harus gila, cukup setengah gila untuk mewujudkan gagasan itu. Mengapa banyak kursus menyanyi, presenter, kepribadian dan lain-lain bisa eksis, sementara komedi/lawak tak ?”

Cita-cita bagus itu tentu saja saya dukung. “Terima kasih untuk obrolan tentang cita-cita Anda dan Mas Darminto untuk membangun kursus lawak. Tetapi ketika mendengar harus ada uang milyaran, waduh, saya ikut keder. Apa engga modal dengkul saja, yaitu reputasi Anda, lalu kerjasama menyewa ruko atau rumah dengan bagi hasil, lalu berdirilah kursus itu. Simpel tapi mungkin gak simpel ya ? Sori, ini logika made in Wonogiri.

Hal lain, boleh dianggap serius atau guyon : kalau saya jadi pengelola kursus, semua siswa saya harus menjadi blogger dulu. Karena semua komedian, menurut saya, harus menjadi penulis dulu. Persyaratan semacam ini yang mungkin akan membuat banyak dari mereka pikir-pikir atau bahkan mundur ya ?”

Obrolan dengan topik yang sama, sebelumnya telah pula saya kirimkan kepada Agung Pramono. Antara lain saya tuliskan : “Email Agung dari Salzburg itu, terkait aspirasi tentang dunia komedi, mengingatkan saya cerita dari bukunya Aribowo Prijosaksono dan Marlan Mardianto, Self-Management : 12 Langkah Manajemen Diri : Guru Terbaik Sekaligus Musuh Terbesar Manusia (Elex Media Komputindo, 2002).

Aribowo itu kakaknya musikus Piyu/Padi. Aribowo menceritakan seorang temannya, sama-sama alumnus IPB, tetapi si teman itu kini sudah jadi doktor dengan spesialisasi keuangan. Si doktor ini punya cita-cita terpendam, yaitu ingin jadi : komedian solo, alias stand up comedian !

Karena di tv kita sampai saat ini belum ada kabar adanya komedian solo yang bergelar doktor, maka sampai kini ya kayaknya dirinya masih saja memendam ambisinya itu. Mungkin cita-cita itu sudah ia lupakan.

Cerita kecil itu mengingatkan bahwa mungkin harus ada sesuatu pulung tertentu untuk menjadi komedian. Mungkin paduan antara keberanian, kenekadan, lalu luck juga. Seperti temanmu yang manajer PT Johnson Indonesia itu, bila saja ia ketiban pulung dan jadi pelawak, mungkin ia akan menjawab lain bila mendapat pertanyaan yang sama dengan yang Agung sms-kan itu. Mungkin lho.

Sang doktor yang teman Aribowo sampai manajer PT Johnson Indonesia itu, juga bagi Agung sendiri, bila pun kini terbuka peluang untuk terjun ke dunia lawak dan prospeknya gilang-gemilang, apakah mereka dan Agung berani menerjuni “hutan belantara” yang satu ini, sekarang ini ? Mungkin itu pertanyaan berat ya ?

Yang tidak berat, dan bisa kita nikmati, bahwa apa pun profesi kita, maka pulung itu, yaitu sense of humor, merupakan aset yang berharga untuk setiap pribadi. Sokur-sokur kalau humornya itu bukan yang mengejek orang lain, tetapi mengejek (a la Gus Dur) dirinya sendiri. Dengan humor kita sukarela menunjukkan sisi-sisi rawan, vulnerable, dari diri kita sendiri. Hal ini justru berdampak magical. Orang menjadi tersentuh, dan mau mendekat kepada kita. Beda dengan lawakan jahilnya Komeng bin Spontan. Orang akan cenderung memilih menjauh, karena takut dijahilinya.

Terakhir, harta karun sense of humor kita memang tidak selalu hanya pantas diaktualisasikan semata menjadi aksi komedian solo yang tampil di panggung. Gene Perret dapat Emmy Award karena menulis naskah. Kita kan juga bisa menjadi kritikus komedi ? Menjadi sutradara, seperti Teguh Srimulat ? Menjadi pendidik calon pelawak ? Menjadi manajer ?

Yang paling saya harapkan segera, ya segera, dari Agung : luncurkan blog komedimu. Segera. Dua emailmu kepada saya, itu sudah menjadi bahan awal tulisan yang menarik. Pengalamanmu nonton sajian komedi di tv Kanada atau bahkan tv Austria, tak ada yang menyamaimu di Indonesia, kan ? Maka, PD aja, Gung, ayo tuliskan saja – apa pun pendapatmu, ungkapkan menurutmu yang terbaik tentang komedi-komedi yang telah kau tonton itu. OK ?

Kalau Agung benar-benar menyukai komedi dan Agung ingin memberikan andil perbaikan kepada komedi di Indonesia, maka bloglah yang bisa kau garap – mulai hari ini. Bukankah ini tidak menyita pekerjaan dan gajimu, bukan ? Entah, kalau hari ini kau malah telah bulat-bulat memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanmu, lalu terjun 100 persen ke dunia komedi ?”

Moga obrolan ini bermanfaat.

Salam dari anak buah mBok Bende
(sama-sama Wonogirinya),

Bambang Haryanto


Email terakhir saya ini, mengenai tuntutan saya bahwa seorang komedian harus juga seorang blogger, baik yang saya kirimkan kepada Agung Pramono mau pun Tri Agus S. Siswowiharjo, sampai saat ini belum mendapat balasan.


Wonogiri, 29/6 - 3/7/2007


ke