Monday, December 15, 2008

Menggugat Masa Depan Neo Srimulat

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Aneh itu lucu. Mayat hidup itu terus mengancam. Berjubah putih dengan bercak darah di sana-sini. Walau geraknya lamban, ia terus memburu sasaran. Di tengak sorak-sorai penonton, pelawak Basuki terus berusaha menyelamatkan diri dari kejarannya. Toh akhirnya ia harus menyerah.

Itulah puncak dari tontonan Anekaria Srimulat malam itu di Taman Ria Senayan, Jakarta. Saya menontonnya saat diajak teman kuliah di UI, Bakhuri Jamaluddin, di tahun 1980-an. Adegan klimaks itu terasa membekas, selain penampilan tak terduga di awal acara malam itu. Kali ini dari sosok pria kurus yang bersurjan Jawa. Wajahnya dilumuri bedak tebal seperti pemain pantomim. Ia berdiri di pinggiran panggung di depan mik. Sejurus kemudian dari mulutnya mengalun lagu hitnya Tommy Bennet, “I Left My Heart in San Francisco” yang indah itu.

Adegan segar serupa rupanya juga membuat terpana intelektual humor Indonesia, almarhum Arwah Setiawan. Dalam buku berjudul Teguh Srimulat Berpacu dalam Komedi dan Melodi tulisan Herry Gendut Janarto, Arwah mencatat penampilan seorang peraga Srimulat, yaitu Budi SR, yang mampu memporakporandakan daya asosiasinya. Budi satu ini tampil di panggung sebagai tukang pijat, lengkap dengan tongkat putih dan bunyi crek...crek. Tetapi kemudian ia melantunkan lagu “And I Love You So”-nya Perry Como dengan artikulasi yang benar dan suara merdu.

Aksi Budi SR itu merupakan salah satu pengejawantahan filosofi atau resep yang ditinggalkan Teguh Srimulat bahwa "yang aneh itu lucu" dan telah melambungkan kelompok lucu Srimulat ini pada puncak kejayaannya, antara tahun 1970-1990-an awal. Kelompok humor ini mampu menyedot penonton hingga memenuhi kapasitas 800 penonton di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Bahkan mereka pun, seperti tertulis di awal tulisan ini, mampu membuka franchise panggungnya yang juga laris di Jakarta dan Solo pula.

Lanskap dunia lawak Indonesia kemudian mengenal nama-nama terkenal antara lain seperti Asmuni, Bambang Gentolet, Basuki, Bendot, Djudjuk, Eko DJ, Gepeng, Gogon, Kadir, Mamiek, Nunung, Nurbuat, Subur, Tarzan, Tessy, Timbul, Triman, Vera, dan masih banyak lagi. Majalah GAMMA (31/12/2001-6/1/2002) menulis kiprah para alumnus Srimulat sebagai penggerak industri humor di televisi bernilai milyaran rupiah (foto) saat itu. Sebagian dari mereka kini sudah almarhum, sementara sebagian kecil alumnus Srimulat itu masih sesekali terlihat di televisi. Aura Srimulat pun nampaknya semakin memudar. Apakah benar-benar sama sekali telah memudar ?


Neo Srimulat ? Rupanya belum. Di perpustakaan umum Wonogiri saya menemukan iklan menarik tentangnya. Muncul di koran Jawa Pos (11/12/2008 : 19) tertulis iklan “Srimulat Manggung Keliling : Jawa Pos dan Srimulat Mencari Neo Srimulat 2009.”

Iklan ini mengundang kelompok calon pengocok perut a la Srimulat untuk mengikuti audisi tanggal 10-11 Januari 2008. Hadiah total 126 juta rupiah. Pendaftaran dibuka 5 – 31 Desember 2008 dengan mengisi formulir dalam iklan tersebut. Juga menyertakan kwitansi langganan koran Jawa Pos terbaru. Setiap kelompok maksimal beranggotakan 5 (lima) orang personel.

Pengumuman Grup Neo Srimulat yang lolos audisi dilakukan pada tanggal 14 Januari 2009. Informasi lebih lanjut dapat mengontak panitia di Graha Pena, Lt. 5, Jl. A. Yani 88 Surabaya, Sdr Deny : 031-8202230. (Data yang saya tulis ini bisa salah, karena cetakan dalam iklan itu, bagi saya, terlalu kecil.-BH).

Ikhtiar untuk memajukan dunia lawak di Indonesia, seperti yang digagas dan dilaksanakan oleh koran Jawa Pos di atas, merupakan upaya yang sangat terpuji. Hari-hari mendatang mungkin kita bisa mengikuti berita yang riuh dan heboh, atau dibuat riuh dan heboh, dari korannya Pak Dahlan Iskan ini mengenai antusias masyarakat kita untuk menjadi pelawak Neo Srimulat itu.


Pelawak meja makan. Kita halal menerka-nerka kini : seperti apa kira-kira manifestasi dari proklamasi slogan “neo” untuk genrekelompok lawak lama tersebut ? Untuk mencoba ikut mencari jawab, saya akan merujuk dulu kepada tulisan wartawan Kompas, Frans Sartono, yang berjudul “Melawak di Tengah Perubahan Zaman” (24/1/2005). Tulisan semacam ini termasuk langka di media massa kita, mungkin untuk menunjukkan betapa dunia komedi kita akhir-akhir ini tidak memiliki daya tarik cukup sebagai wacana intelektual yang berarti. Tulisan tentang komedi Indonesia yang sesekali muncul kebanyakan hanya berupa obituari.

Tulisan Frans Sartono yang menarik itu dihadirkan nampak semata membarengi acara Musyawarah Seniman Komedi Indonesia I di Jakarta. Musyawarah itu akhirnya mengukuhkan berdirinya Persatuan Seniman Komedi Indonesia (Paski), juga memilih Indrojoyo Kusumonegoro (46) alias Indro Warkop sebagai Ketua Umum Paski. Dedi “Miing” Gumelar terpilih sebagai Sekretaris Jenderal, sedangkan Tarzan dan Eko Patrio menjabat sebagai wakil Ketua I dan II.

Begitulah seniman komedi Indonesia membentuk organisasi untuk membenahi profesi mereka di dunia lawak yang saat ini telah menjadi bagian penting dari industri hiburan di Indonesia. Miing Bagito bersama Tarzan dan kawan-kawan, seperti ungkap Frans Sartono, menggagas musyawarah tersebut sebagai upaya agar lawak diperlakukan sebagai pekerjaan profesional layaknya profesi lain di jagat hiburan.

Benang merahnya, selain membenahi kesejahteraan hidup pelawak, Paski juga akan membenahi sumber daya para pelawak. “Kami ini kan engga ada sekolah untuk meningkatkan skill dan knowledge (keterampilan dan pengetahuan). Organisasi ini nantinya diharapkan menjadi fasilitator untuk meningkatkan sumber daya pelawak,” kata Miing.

Sementara Indro mengatakan, Paski nantinya akan memberi pengetahuan seputar manajemen, asuransi, selain juga kemampuan seni peran. Bahkan Indro mempunyai gagasan, menurut saya lucu, terkait niatnya memberi pengetahuan seputar tata karma di meja makan, table manner, kepada pelawak. “Selain bisa menjadi bekal mereka dalam pergaulan sosial, table manner, itu kan bisa jadi bahan lawakan,” kata Indro.

Ide table manner itu kemudian ditangkap secara jeli oleh Frans Sartono sebagai penanda perubahan jaman : dari suguhan lawakan berlatar belakang masyarakat agraris menuju transformasi materi lawakan yang sesuai untuk masyarakat industri modern yang lebih kompleks. Ilustrasinya : dagelan seputar cap jae, atau cap jay yang sering terdengar di pentas Srimulat itu, harus disesuaikan dengan kelas masyarakat pemilik kultur table manner, yaitu generasi baru konsumen hiburan di Indonesia.

Mereka itu adalah generasi yang tidak mengenal Basiyo, Kwartet Jaya-nya Bing Slamet (bersama Eddi Sud, Ateng dan Iskak), Bagyo dan Srimulat. Mereka menyerap beragam format komedi mulai dari lawakan stand-up comedian, tampilan komedian tunggal, hingga sitcom, komedi situasi.

Implikasi dari perubahan itu, katanya, pelawak kita harus berbicara dengan bahasa lawak yang baru. Harus menyesuaikan dengan manajemen modern yang berlaku dalam industri hiburan yang menuntut kecepatan produksi. Dituntut lebih sigap tampil di berbagai format tampilan di depan penonton yang berbeda. Juga mampu tetap lucu di segala situasi. Untuk itu, telah dirujuk pendapat Us Us dari D’Bodor yang mengatakan : untuk menghadapi industri hiburan yang terus berkembang, pelawak harus mau belajar soal ilmu pemanggungan.

Spontanitas tetap diperlukan, kata Us Us, tetapi “pelawak juga perlu naskah. Kami memerlukan script writer, penulis naskah, agar tidak stagnan dan terhindar dari pengulangan materi. Kita gabungkan naskah dengan kemampuan improvisasi.” Us Us memberi contoh Bob Hope yang memanfaatkan kekuatan naskah dan improvisasi spontan.

Warkop, juga Bagito, kemudian disebut sebagai contoh oleh Frans Sartono sebagai grup lawak yang mulai tanggap dengan perkembangan atau pergeseran pasar. Mereka mulai menggunakan naskah dan berpakaian jas. Walau, menurutnya, materi lawakannya sebagian masih menyisakan bau agraris warisan generasi Srimulat.


Manusia licik. Kembali ke realitas: kedua contoh di atas, sayangnya, kini tinggal sejarah. Warkop, sepeninggal Dono dan Kasino, praktis tiada lagi sekarang ini. Bagito sudah pula bubar karena habis. “Tinggalkan dunia lawak,” demikian judul berita koran Suara Merdeka (4/11/2008 : 16). Bahkan disebutkan, “meninggalkan dunia lawak seratus persen.” Itu cerita tentang diri Miing Bagito, Sekretaris Jenderal Paski, yang kini sebagai caleg DPR RI suatu partai untuk daerah pemilihan Banten.

Ilustrasi kecil terakhir ini dan gambaran besar lanskap dunia lawak di Indonesia yang diungkap oleh Frans Sartono, semoga dapat menjadi masukan bagi penggagas acara audisi Neo Srimulat tadi. Juga, tentunya, bagi para peserta. Termasuk memperhatikan secara seksama impian Us Us dari D’Bodor mengenai pentingnya para penulis naskah komedi di balik panggung lawakan mereka.

Fihak Jawa Pos dapat pula belajar dari penyelenggaraan dan hasil akhir pelbagai audisi calon pelawak yang pernah diselenggarakan oleh stasiun televisi kita selama ini. Acara yang begitu mahal itu ternyata boleh dibilang gagal menelorkan kelompok-kelompok lawak baru yang andal. Penyebabnya, mereka terutama mengingkari apa yang pernah diungkap oleh Arwah Setiawan dalam bukunya Humor Zaman Edan (Jakarta : Grasindo, 1997 : hal 379) : “betapa pun pentingnya pelawak atau komediwan untuk menyukseskan suatu pertunjukan komedi, tetapi kalau pertunjukan itu tidak didasarkan pada naskah cerita yang jenaka dan rapi, pertunjukan tersebut niscaya tidak akan dinikmati oleh para pemirsa….Keberhasilan suatu pertunjukan komedi memang bertumpu pada penulisan naskah komedi yang jenaka, rapi dan masuk akal…Untuk itu perlu diadakan lomba penulisan naskah komedi.”

Sekadar mengilas balik, kiranya masih sangat lekat dalam ingatan kita bahwa pemenang API-4/2008 di stasiun televisi TPI adalah kelompok Abioso dari Pasuruan. Pemanggungan mereka tidak lain sebuah replika seratus persen dari pentas ketoprak dan, tentu saja, bergaya Srimulat juga.

Jadi roh “mayat hidup” Srimulat memang belum mati. Jadi kita boleh berandai-andai : apakah pemanggungan peserta audisi Neo Srimulat nanti masih dimulai dengan lagu instrumentalia “Whiskey & Soda”-nya Roberto Delgado, mengiringi adegan batur, pembantu rumah tangga, dengan serbet terselempang di pundak dan melakukan monolog ngrasani, membicarakan di balik punggung sang majikan ?

Atau mengeksploitasi adegan mayat hidup, atau drakula, yang terus mengejar-ejar korbannya ? Kalau dugaan itu nanti benar, oh, betapa di dunia yang telah berubah itu ternyata mind set pendukung-pendukung baru, neo, dunia komedi kita rupanya tetap tidak berubah. Jalan di tempat.

Bila memang itu nanti yang terjadi, hemat saya, sebaiknya semua pelaku dunia komedi Indonesia mengikuti jejak Miing Bagito atau Eko Patrio saja. Untuk ramai-ramai menjadi anggota legislatif. Menjadi politikus. Karena senyatanya menjadi pelawak yang bener dan andal dewasa ini memang tidak mudah. Jay Sankey dalam bukunya Zen and The Art of Stand-Up Comedy (1998) menyajikan kutipan inspiratif :

“Tidak seorang pun sengaja memilih menjalani hidup sebagai komedian. Jalan hidup satu ini begitu sulit dan saat ini juga tidak setimpal penghargaannya. Sehingga hanya mereka saja yang sengaja menerjuninya, yaitu mereka yang tidak hanya semata-mata ingin terjun ke dalamnya tetapi dilatarbelakangi alasan dirinya harus menerjuninya.”

Menerjuni komedi demi memenuhi panggilan menegakkan kebenaran. Untuk bergelut dalam penderitaan. Sebab “comedy is truth and pain,” demikian imbuh kesimpulan dari John Vorhaus dalam bukunya The Comic Toolbox (1994).

Sedang politikus ? Walter Williams menegaskan betapa maling dinilainya lebih bermoral dibanding anggota legislatif. Sebab bila ia mencuri uang Anda, maka si maling itu tidak menuntut Anda untuk mengucapkan terima kasih kepadanya. Novelis Skotlandia, Robert Louis Stevenson (1850–1894), mengatakan bahwa politik boleh jadi merupakan satu-satunya profesi dimana persiapan olah pikir tidak diperlukan. Sementara ahli kamus, kritikus dan penyair Inggris, Samuel Johnson (1709–1784) memberikan definisi untuk politikus sebagai a man of artifice. Orang licik.

Tidak aneh bila sebuah lelucon klasik Amerika memberikan ilustrasi yang sungguh tajam dan jitu khusus untuk menggambarkan betapa destruktifnya mereka.

Pertanyaan : Seberapa banyak jenderal atau politikus yang diperlukan untuk mengganti sebuah bola lampu ?

Jawab : Sebanyak 1.000.001. Satu orang bertugas menggantikan bola lampu dan 1.000.000 sisanya membangun kembali peradaban manusia sampai mereka membutuhkan bola lampu berikutnya !


Wonogiri, 14-15/12/2008


ke

Monday, December 01, 2008

Idea Driven Jokes, Anjing Pavlov dan Bangsa Pelupa

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Humor Hillary. Pilpres AS 2008 sangat kaya sebagai ladang humor. Tina Daunt dalam artikelnya berjudul “Candidates show they can take a joke” di Los Angeles Times (11/4/ 2008) bahkan menulis, “Inilah pilpres dimana politik sebagai lelucon. Atau barangkali kampanye dimana politik menemukan selera humornya.”

Realitasnya, humor memang tidak hanya menjadi hiburan semata. Humor bahkan menjadi senjata utama dalam pemenangan pilpres 2008 ini pula. Tina Daunt menyebutkan, jarang ada waktu lowong tiap minggunya bagi kandidat yang bertarung untuk tidak muncul dalam salah satu acara komedi di jaringan televisi atau televisi kabel di Amerika Serikat.

Sekedar contoh adalah Hillary Clinton. Kandidat kuat dari Partai Demokrat yang ternyata kemudian dikalahkan oleh Barack Obama, kita tahu, pernah mengaku berbohong tentang peristiwa kunjungannya ke bandara Sarajevo. Saat itu ia mengaku dirinya harus merunduk dan berlari demi menghindari tembakan para penembak jitu.

Ketika hadir dalam acara The Tonight Show with Jay Leno, istri mantan presiden AS itu berujar : “Saya bersyukur mampu sampai di studio ini.” Senator Demokrat dari New York itu ketika tiba di studionya Jay Leno di Burbank, Los Angeles awal April 2008 lalu menambahkan, “Anda tahu, saya kuatir tidak bisa sampai di sini. Karena diri saya terancam para penembak jitu.” Jay Leno menimpali : “Kalau di Los Angeles sini, hal itu memang benar-benar bisa terjadi.”

Ah, Hillary. Seorang politikus ulung yang mampu meledeki dirinya sendiri. Termasuk ketika posisinya terpojok, terlindas popularitasnya Obama. Pada acara debat di St Anselm’s College (5/1/2008) dirinya dicecar pertanyaan, “mengapa orang-orang tampaknya lebih menyukai Obama ?” Hillary menjawab, “itu menyakiti perasaan saya.” Jawaban jujur itu mampu mengundang riuh tawa. Lanjutnya, “Tetapi saya tetap terus maju. Dia (Obama) memang mudah disukai. Namun saya kira, saya tidak terlalu buruk.”

Semangatnya untuk terus maju, mantan ibu negara yang belasan kali juga diolok barisan komedian AS karena getolnya ia berpantalon, kemudian jadi bulan-bulanan komedian Andy Borowitz. Konon, Hillary akan terus bertahan selama ratusan tahun dan milyaran tahun, untuk memenangkan kursi presiden AS. Bahkan untuk meraih kemenangan dalam kampanyenya, Hillary Clinton telah mengeluarkan peranti lunak baru berlabel Hillary 8.0.

Dalam kampanye di Chicago, peranti lunak itu ia katakan sebagai penanda kemenangannya di tahun 08. “Peranti lunak ini akan menampilkan Hillary yang terbaik dari segala apa pun yang Anda harapkan darinya,” tutur ibu dari Chelses Clinton itu. Peranti lunak yang kompatibel untuk PC dan Mac itu memungkinkan pendukungnya merancang sosok Hillary Clinton berdasar versi tiap-tiap pengguna. Karena memang telah tersedia 57.000 posisi Hillary yang terkait beragam program atau isu, dari masalah kesehatan, masalah imigrasi sampai topik perang di Irak.

Sayangnya, peranti lunak itu tidak sepi dari cacat teknis. Ketika diinstal, banyak komputer mengalami crash.. Macet. Kebanyakan karena komputer-komputer itu tidak cukup memori untuk memuat semua posisi Hillary tersebut. Walau pun demikian, pembantu dekat nyonya Clinton ini menyatakan bahwa gangguan teknis itu tetap bermanfaat bagi Hillary. “Rata-rata orang Amerika memang tidak memiliki memori cukup, dan itulah yang sebenarnya diandalkan Hillary meraih kemenangan.”


Menggertak otak. Bagaimana lelucon tentang Obama ? Naiknya warga kulit hitam pertama AS yang juga pernah bersekolah di Jakarta sebagai presiden baru negara adi daya itu, anehnya, tidak semua kalangan menyukainya. Fihak pertama yang meratapi naiknya Obama justru datang dari kalangan komedian Amerika Serikat.

“Jujur saja, sebagai komedian saya merasa kehilangan besar dengan lengsernya Bush,” keluh komedian Jay Leno. “Sebab Barack Obama tidak mudah dijadikan bulan-bulanan lelucon. Ia tidak membuka peluang bagi kita untuk melucukannya. Terima kasih Tuhan, kau anugerahkan sekarang pengganti Bush : seorang Joe Biden bagi kita semua.”

Iklan besar-besaran sebagai senjata pamungkas Obama menjelang pilpres juga jadi sasaran olok-olokan komedian Bill Maher. Tetapi arah tembakannya ke sasaran lain. “Berapa banyak Anda telah menyaksikan iklan televisi besar-besaran Obama minggu ini ? Iklannya tertayang di tujuh stasiun televisi sehingga kita tak bisa menghindarinya. Yang paling menarik, pada iklan sepanjang setengah jam itu Obama sama sekali tidak menyebut nama McCain, tak pernah menyebut nama Palin, tidak pernah menyebut nama George Bush. Atau dalam bahasa Shakespeare : histori, komedi, dan tragedi !”

McCain yang tua, disebut histori. Sarah Palin yang sering melakukan blunder itu didaulat dengan label komedi. George W. Bush yang merusak Amerika dan dunia dijuluki secara tepat sebagai biang tragedi.

Saya suka lelucon cerdas Bill Maher yang satu ini. Kalau saja saya tidak diberi hadiah buku-buku komedi dari Danny Septriadi, saya tidak tahu adanya penggolongan terhadap lelucon a la Jay Leno, Andy Borowitz dan Bill Maher semacam ini. Dalam buku berjudul Zen and the Art of Stand-Up Comedy (1998), Jay Sankey membedah perbedaan antara lelucon berbasis ide dan lelucon lainnya yang berbasis pengalaman.

“Lelucon mengenai pemikiran yang asing, yang menyeruak di kepala Anda, merupakan idea driven, lelucon berbasis ide atau gagasan. Lelucon ini mengharuskan audiens memeras imajinasi mereka. Sementara itu lelucon menceritakan pengalaman Anda pergi ke bioskop atau menghadiri hajat penganten, merupakan experience driven, lelucon berbasis pengalaman. Dalam lelucon ini mensyaratkan audiens merujuk pengalaman diri mereka sendiri, yaitu pengalaman pribadinya terhadap peristiwa yang sama,” jelas Jay Sankey. Lelucon jenis yang kedua lebih mudah memicu tawa ketimbang lelucon jenis yang pertama.

Ranjau salah medan. Untuk mendalami seluk-beluk lelucon jenis pertama, saya akan mengutip pendapat seorang blogger “dEHA” yang menulis komentar di blog saya ini pula : “Saya penggemar stand-up comedy berbagai rupa, yang intelek maupun yang cuma jorok-jorok. Pertama kali saya kenal stand-up adalah waktu nonton video lamanya Eddie Murphy (yang termasuk kategori jorok2 itu tadi hehe) waktu saya di Australia.

Setelah itu sempet nonton beberapa show di tivi sana, dan ngerasa ini style komedi intelek banget, nggak cuma kelakuan minus kayak Tukul atau dasi pendek seperti yang Anda sebut. Salut banget bisa membahas komedi dengan sangat serius, jangan patah semangat karena 'gagal' di API, toh kalau nongol di tivi penontonnya nggak akan ngerti karena segmen yang nonton masih lebih suka lihat slapstick dan komedi keroyokan yang biasa kita lihat.”

Sebelumnya, di blognya ia menulis : "Komedikus Erektus blog (komedian.blogspot.com) is by a guy very seriously wanting to lift Indonesian comedy by introducing standup comedy, complete with his theoretical analysis of great comedians and even Judy Carter writings. He even attempted performing his own act for a comedian competition, although failing really badly (not because he was not funny, but because the judges don't get his solo act, ouch). Mas Bambang, I salute you!"

Terima kasih, “dEHA.” Pelajaran dari Jay Sankey dan tuturan “dEHA” tadi membuka mata saya untuk makin jelas dalam berintrospeksi. Utamanya ketika mengais latar belakang sampai alasan mengapa saya gagal dalam audisi di API-4 yang lalu itu.

Saat itu saya melucukan judul blognya pemain biola cantik Maylaffaiza, heboh asmara Bambang Tri-Halimah-Mayangsari, sakitnya Pak Harto, juga terkait fenomena topik selebritas-politikus versus politikus-selebritas di Indonesia saat itu. Ranjau salah medan telah mem-bom diri saya habis-habisan. Di bawah ini adalah set atau naskah komedi yang saya bawakan saat itu :

“Saya main biola, seperti saya bermain cinta.” Kata pemain biola solo yang cantik dan seksi Maylaffayza di situsnya : maylaffayza.multiply.com.

Saya menyukai Maylaffayza. Ia cantik, seksi, berbakat dan intelektual. Tetapi ketika saya ikuti kata-katanya, akibatnya fatal. Saya kesulitan cari posisi enak. Orgasme pun tidak. Biola itu rusak, berantakan semuanya.

Maylaffayza mungkin lupa, kini selebritis adalah trend-setter. Panutan gaya hidup. Bahkan politisi pun bergaya selebritis. Yusril dan Syaifullah Yusuf, mantan menteri, bermain film. Presiden SBY menelorkan album musik. Anggota DPR main video, bersama Maria Eva.

Kini memang era emasnya para pesohor, para selebritis. Pintu-pintu peluang seolah terbuka bagi mereka untuk BISA MASUK kemana saja. Bintang sinetron Rano Karno, MASUK POLITIK, terpilih jadi Wakil Bupati Tangerang. Bintang sinetron Aji Massaid MASUK Partai Demokrat, jadi anggota DPR. Bintang sinetron Roy Martin, MASUK penjara.

Menjadi selebritis juga mampu membuka pintu-pintu istana. Anissa Pohan jadi menantu Presiden SBY. Lulu Tobing jadi cucu menantu mantan Presiden Soeharto Infotainment mengabarkan artis Revalina Temat kini dekat dengan cucu mantan Presiden Soeharto, Panji Trihatmojo.

Oh, Revalina yang malang. Apa ia tidak tahu kalau Panji Trihatmojo itu sangat membenci selebritis ? Terutama selebritis bernama Mayanksari.

Begitulah, ratusan jam tayangan infotainment setiap minggunya telah membesarkan para selebrities itu. Persaingan antarstasiun yang keras. Begitu kerasnya persaingan, awak TV kini pun mencoba inovasi-inovasi baru : tayangan infotainment dipadu info kedokteran yang canggih, intrik dan perseteruan keluarga yang sengit, dibumbui nuansa-nuansa politik.

Ramuan dahsyat ini bakal terjadi bila Halimah Trihatmojo membezoek Pak Harto, ketemu Bambang Trihatmojo yang disertai Mayangsari. Big news. Big news. Big News.


Bukan untuk TPI. Terkait penampilan saya itu, salah satu dari tiga juri seleksi yang menghakimi saya, Ali Mahmudin (produser API-1 dan API-2) telah berbaik hati menulis komentar di blog saya ini : “Barang kali saya adalah salah satu juri yang tidak meloloskan Mas Bambang di audisi API-4. Terus terang lawakan Mas Bambang bukan berarti tidak berkualitas, tetapi memang saat dibawakan waktu itu tidak lucu (versi kami).

Namun ketika Mas Bambang tampil dihadapan kami (aku berusaha untuk mengerti semua isi lawakan Mas Bambang) ternyata aku secara pribadi melihat isi materi tersebut penuh satir. Dan menurut saya lawakan yang semacam itu memang bukan untuk kalangan penonton TPI.

Itulah sebabnya kami belum bisa merekomendasikan lolos untuk masuk babak berikutnya. Akan tetapi saya pribadi sangat hormat dengan ketajaman Mas Bambang melihat kekinian menjadi topik lawakan Audisi API-4.”

Terima kasih, Mas Ali. Terima kasih Harris dan juga Isman untuk komentar Anda.

Senjata buat Tamara. Masih tentang acara komedi di stasiun televisi lainnya, saya juga gagal sebelumnya. Yaitu ketika diundang untuk tampil di Republik Mimpi, September 2006. Saat itu kreator NewsDotcom-Republik Mimpi, Effendi Gazali, meminta saya untuk menjadi peserta acaranya itu secara in absentia. Tidak tampil di depan kamera, tetapi hadir lewat suara, melalui kontak telepon. Ia telah menetapkan topik mengenai layanan publik. Saya pun kemudian mengirimkan materi yang ia minta sebagai berikut :

“Layanan publik adalah layanan yang diberikan negara untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya, berlandaskan alasan moral bahwa kebutuhan universal mereka harus terpenuhi, bahkan sering dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia mereka. Misalnya penyediaan air bersih.

Layanan publik di negara modern meliputi pendidikan, layanan air bersih, kesehatan, transportasi, listrik dan gas (kayaknya mau naik lagi TDL-nya), penyiaran dan komunikasi, manajemen pengolahan limbah (di negara tetangga baru saja terjadi tragedi di Bantargebang), pemadam kebakaran (di negara tetangga, mereka tak berdaya di Sumatera dan Kalimantan), sampai layanan keamanan yang diemban oleh polisi (di negara tetangga, polisi lagi pusing gara-gara ditemukannya 9 karung senjata di jalan tol Kapuk).

Belum ada negara yang kreatif memenuhi kebutuhan warganya di luar tuntutan hak-hak asasi manusia. Misalnya, jasa pengeritingan rambut atau jasa rebounding yang disediakan negara. Atau jasa tato tubuh oleh negara. Maukah para mahasiswa di sini, tubuhnya ditato dengan gambar burung...Garuda Pancasila ?

Bagaimana potret kualitas layanan publik di negeri tetangga ? Kalau saya boleh bilang, sudah sangat-sangat bagus sekali. Dalam arti, PERTAMA : para rakyat kecil telah bagus sekali memberikan pelayanan kepada penguasa dan kemauan para pengusaha.

Tragedi dan bencana lumpur panas di Porong telah diterima oleh rakyat kecil dengan sabar, hingga hampir empat bulan kemudian baru pemerintah turun tangan. Ada yang bilang, kalau proyek pemboran itu milik orang kecil, pasti sudah ditutup sejak dini oleh pemerintah. Saya bilang, kalau orang kecil ya pasti tidak mampu memiliki usaha pemboran !

Contoh orang kecil tanpa pamrih melayani penguasa, juga pemerintah, dapat diteladani dari sosok Pak Wasa. Anda tahu, Pak Wasa ? Dia adalah pemulung yang menemukan 12 senjata api, belasan magazen dan ribuan amunisi di tepi sungai Tanjungan, pinggir jalan tol Kapuk KM 27 (arah Bandara Soekarno Hatta) RW 02, Kapuk Muara, Jakarta Utara, Rabu (8/9) sore. Pak Wasa, melaporkan temuannya ini kepada polisi. (Dari topik ini dapat dikreasi belasan lelucon, di bawah ini saya sertakan beberapa di antaranya-BH).

Bayangkan bila Pak Wasa itu bukan warga negara yang jujur. Bagaimana kalau senjata-senjata itu ia ambil ? Lalu ia tenteng-tenteng ? Wow, seorang pemulung kemana-mana membawa-bawa AK-47 atau pistol Smith & Wesson ?

Bagaimana pula kalau senjata-senjata itu ia serahkan kepada Hambali ? :-) Engga mungkin ya, pemulung kok bisa naik pesawat hingga sampai di Guantanamo, Kuba.

Bagaimana kalau senjata-senjata itu diserahkan kepada pelawak Parto Patrio ?:-) (Catatan BH : Moga-moga audiens “ngeh” dan masih ingat insiden Parto Patrio yang pernah meletuskan senjata ketika diuber-uber kru infotainment). Siapa tahu, Parto berniat meng-update koleksi senjatanya.

Ikhtiar saya ikut mengisi acara parodi politik secara in absentia itu gagal. Karena slot waktunya, menurut Effendi Gazali, terpaksa terpakai untuk menampung uneg-uneg para pamong praja dari seluruh Indonesia, dipimpin Sudir Santoso, yang saat itu berjumlah ribuan orang sedang berdemo, mengadukan nasibnya di Depdagri di Jakarta. Saya bisa mengerti.


Idea driven jokes. Walau pun menuai gagal dan gagal, seperti cerita kecil di atas, aktivitas mengkreasi lelucon berbasis ide itu tetap saja mengusik pikiran saya setiap saat. Satu persatu, bila ia muncul, saya dokumentasikan di bloknot atau di katalog. Siapa tahu kelak bisa saya munculkan di situs YouTube ?

Yang pasti, lelucon semacam ini memang tidak mudah dikreasi. Juga tidak mudah difahami. Membujuk, mengantar atau sampai memaksa audiens untuk merentangkan imajinasi mereka, bukan persoalan mudah. Itulah alasan mengapa Presiden SBY pernah marah sampai dua kali karena audiensnya ngobrol sendiri atau malah tertidur ketika ia sedang berpidato.

Kalau Anda agak jeli mengikuti tayangan beragam parodi politik di televisi, dari Republik Mimpi, Negeri Impian, Democrazy sampai Kabaret, materi yang diluncurkan untuk sengaja memancing tawa seringkali justru TIDAK TERKAIT dengan materi utama pembicaraan. Lelucon-lelucon yang disambut tawa di layar tivi itu merupakan lelucon biasa-biasa saja. Bahkan klise. Mudah ditebak. Padahal ”no surprise, no laughter !,” ini rumus lawakan universal yang diungkapkan Danny Septriadi.

Acara itu akhirnya sering nyaris jadi adegan badut-badutan semata. Lawakannya, menurut Stevie Ray dalam bukunya Stevie Ray’s Medium-Sized Book of Comedy (1999), berada pada tingkat keenam atau ketujuh. Alias kasta paling rendah dalam kiprah kreativitas mengundang tawa.


Anjing Pavlov dan kita. Acara-acara parodi itu, juga acara komedi sketsa lainnya, menjadi terdengar dan terlihat riuh rendah semata karena gelontoran eksesif saus tawa kalengan, canned laughter atau laugh track, yang dimanipulasikan si kreator acara. Itulah excuse atau justru senjata pamungkas para kreator komedi kita yang belum mampu merentang imajinasi pemirsanya. Bahkan manipulasi itu sampai-sampai mengancam tergerusnya akal sehat dan nurani, suara hati bangsa.

Terus terang, saya bukan penonton setia acara beragam komedi di tivi yang dibintangi Effendi Gazali, Iwel Well dan Kelik Sumaryoto, Butet Kartaredjasa dan awak Teater Koma sampai Tukul Arwana itu. Sehingga saya terperanjat menyimaki isi surat pembaca yang ditulis Ali Farkan (Semarang) yang dimuat di Suara Merdeka, 28/11/2008 : M.

Ia menceritakan hadirnya bintang tamu dalam salah satu acara bernuansa komedi populer di televisi. Bintang tamu itu mengaku sebagai mantan pembunuh bayaran yang sudah insaf. Ketika menceritakan bahwa dirinya pernah membunuh sampai 7 orang, spontan ia mendapatkan tepuk tangan dari penonton. “Bagaimana kualitas penonton untuk memahami mana prestasi baik dan buruk ?,” gugat Ali Farkan. Itulah Indonesia. Itulah tayangan televisi kita. Itulah potret wajah tanpa nurani dari bangsa Indonesia.

Buraian tawa-tawa kalengan di televisi kita itu mudah mengingatkan tesis mengenai anjing-anjing Pavlov. Sebutan itu diambil dari nama dokter Rusia, Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936), yang terkenal sebagai pelopor kajian mengenal refleks yang terkondisikan. Percobaannya yang melegenda melibatkan anjing-anjing yang kelaparan. Kepada satwa-satwa itu diperlihatkan makanan dan pada saat yang sama dibunyikan bel. Anjing-anjing itu mengeluarkan air liurnya.

Percobaan dilakukan berulang kali, sehingga akhirnya terbukti bahwa satwa tersebut ternyata tetap mengeluarkan air liur ketika bel dibunyikan, walau kepada mereka tanpa disodorkan makanan sama sekali. Alhasil, kita bisa bercermin : apakah penonton komedi di televisi kita, berdasar keluhan Ali Farkan di atas, telah berperilaku tak ubahnya satwa-satwa yang menjadi kajian Pavlov tadi ? Apa pun isi omongan si komedian atau nara sumber, tanpa dikaji benar atau salah secara moral, refleksi otomatis penonton komedi kita harus selalu tertawa dan bertepuk tangan ? Absurd. Televisi memang menumpulkan.

”Television brought the brutality of war into the comfort of the living room.”, imbuh nabi media, Marshall Mc Luhan (1911-1980). Televisi menyajikan brutalitas peperangan ke dalam ruang tamu keluarga yang nyaman. Itu pendapatnya ketika berkecamuknya Perang Vietnam. Kenyamanan itu bisa berakibat menumpulkan nurani, di mana kebrutalan perang dan korban-korban yang tewas cenderung diperkerdil hanya sebagai objek hiburan belaka.

Di Indonesia, mungkin lebih mengerikan lagi. Brutalitas bahkan juga tersaji dalam acara komedi. Adegan makan kodok hidup-hidup dijadikan sebagai hiburan. Atau menampilkan seorang kanibal dan pembunuh bayaran sebagai hero. Semuanya ditujukan semata untuk mengundang tawa. Pantas saja, mengapa rentetan kejadian pembunuhan dengan mutilasi, kini semakin sering terjadi. Mungkin pelakunya sambil tertawa-tawa ketika sedang menjalankan aksi sadisnya.

Akar tunjangnya, barangkali, karena di Indonesia ini orang langka memiliki tradisi menulis. Termasuk di kalangan komunitas komedi kita. Akhirnya bangsa ini menjadi sangat mudah lupa. Orang-orang Indonesia menjadi sangat pendek ingatannya. Padahal kita tahu, bangsa yang memorinya buruk menjadi makanan empuk bagi politikus busuk.


Mereka yang pernah korupsi uang rakyat dalam jumlah gila-gilaan, membunuhi rakyat, menembaki dan menculik mahasiswa, meracun aktivis HAM, atau bahkan mengebom orang, justru di televisi mereka-mereka itu kita beri tepuk tangan. Kita elu-elukan. Bahkan ada yang sampai dijadikan sebagai vote getter dengan melabelinya sebagai bapak bangsa, sebagai pahlawan.

Indonesia kini dalam bahasa Shakespeare adalah : tragedi, tragedi dan tragedi !


Wonogiri, 20-30/11/2008


ke