Sunday, March 25, 2007

Robin Williams dan Tes Kecerdasan Komedi Anda

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




When all you have is a hammer, everything looks like a nail. Apabila yang Anda miliki hanya sebuah palu, maka semua hal selalu terlihat sebagai paku. Pepatah akhir abad 20 ini manjur sekali ketika rezim Orde Baru berkuasa. Ketika militer begitu kuat, maka semua masalah senantiasa mereka selesaikan dengan kekuatan. Kekerasan. Tindakan represif.

Mengapa bencana lumpur panas di Sidoarjo tidak meledak di era Orde Baru, barangkali karena lumpur-lumpur panas tersebut sudah takut duluan dengan Pak Harto dan anak-anak buahnya. Lumpur panas tersebut kini muncul, karena mungkin mereka tahu pemimpin negeri ini adalah tokoh yang selalu berselimutkan pendekatan “akan” dan “akan,” sarat rasa bimbang dan penuh keraguan.

Baiklah. Pepatah tentang palu dan paku di atas juga berlaku bagi saya di tahun 80-an. Bunyinya berubah. Ketika jatuh cinta sama Tutut, maka semua perempuan cantik akan terlihat mirip seperti Tutut. Maaf, Tutut yang satu ini bukan putrinya Pak Harto. Ia mantan pramugari, lalu keluar untuk melanjutkan kuliah di Sastra Indonesia, FSUI, di Rawamangun. Saya pernah memotretnya, saat tak sengaja ketemu di perpustakaan. Sayang, karena mabuk cinta, saat motret yang spontan itu tidak mempertimbangkan sinar yang back lighted, sehingga hasilnya tidak memuaskan.

Salah satu korban fanatisme saya terhadap Tututisme saat itu adalah Pam Dawber. Saat itu saya tinggal di Jl. Balai Pustaka Timur 24 B, Rawamangun (kini sudah jadi ruko), dimana melalui tayangan hitam putih TVRI, kalau tak salah setiap Sabtu sore, saya bisa melihat sosoknya. Saya suka rambutnya yang poni itu. Ketika di layar muncul Pam Dawber, langsung saja yang hadir di kepala saya adalah Tutut.

Pam Dawber. Tutut.
Pam Dawber. Tutut.
Pam Dawber. Tutut.

Pam Dawber (foto) saat itu tampil membintangi serial komedi situasi yang bercampur fiksi ilmiah, Mork & Mindy. Pam Dawber, kelahiran 18 Oktober 1951 di Farmington Hills, Michigan, memerankan tokoh Mindy McConnell. Lawan mainnya (lihat foto) adalah aktor pemenang Oscar dan komedian ternama, Robin Williams.

Film seri produksi stasiun televisi ABC (1978 – 1982) tersebut melambungkan nama Robin Williams. Keduanya menjadi sangat terkenal karena ditopang kemampuan Robin Williams yang jenial dalam hal improvisasi bakat komedinya. Sampai-sampai dikisahkan bahwa dalam pelbagai adegan nampak Pam Dawber terlihat menggigit bibirnya. Ia terpaksa melakukan hal itu agar dirinya tidak ikut-ikutan tertawa yang bila ia lakukan pasti merusak adegan sitkomnya tersebut.

Tahun pun berlalu. Saat ini, saya tidak mengikuti cerita kariernya Pam Dawber lagi. Juga tidak tahu tentang diri Tutut saat ini. Tetapi tidak demikian halnya dengan Robin Williams. Ketika membongkar-bongkar tumpukan majalah lama, saya bisa kembali menemukan dirinya lagi.

Banyak hal yang menarik dari sosok komedian yang sahabat sejati Christopher Reeve, almarhum yang pemeran Superman, kolektor sepeda dan teman dari pembalap sepeda legendaris asal AS Lance Armstrong ini, terutama tentang keakraban tingkat tinggi diri Robin Williams dengan teknologi informasi. Juga, tentu saja, terkait kiprah kreatifnya yang mengagumkan dalam dunia komedi.


Mentalitus Komedikus. Judy Carter dalam bukunya The Comedy Bible (2001) telah mengajukan kuis berisikan 16 pertanyaan untuk mengungkap apakah seseorang atau Anda sendiri punya kecenderungan sebagai komedian. Salah satu pertanyaan tersebut adalah : Apakah Anda suka menirukan tingkah laku keluarga Anda, di belakang punggungnya ?

Kalau jawaban Anda “ya,” oleh Judy Carter dikatakan bahwa Anda sedang mempraktekkan act-outs, salah satu mata rantai penting dalam konstruksi lawakan. John Culhane di majalah Reader’s Digest (12/1988) secara menarik telah menceritakan teknik act-outs itu ketika dipanggungkan oleh seorang Robin Williams.

Suatu hari, Robin Williams hendak pergi keluar rumah, meninggalkan putranya Zachary yang baru berumur dua tahun bersama pengasuhnya. Ketika menstarter mobilnya, Robin menengok ke jendela rumahnya. Ia lihat Zachary menempelkan wajahnya di kaca, dengan air mata berlelehan. Setahun kemudian ketika melakukan tur 23 kota di AS, Robin William di atas panggung Metropolitan Opera House di New York berkisah tentang momen mengharukan itu.

“Ketika Anda melangkah keluar dari rumah,” tuturnya, “pemandangan terakhir yang Anda lihat adalah seraut wajah mungil yang menekan dinding kaca, dan..,” Robin mengangkat kedua telapak tangan di atas telinganya seperti ketika sedang menekan dinding kaca, memencongkan bibir untuk menunjukkan tangisan keras anak kecil, tetapi Anda tidak dapat mendengarkannya karena terhalang oleh jendela.

Para orang tua yang menonton pertunjukan segera meledak dalam tawa. Mereka merasakan syok, sekaligus kegembiraan, ketika diingatkan kembali terhadap momen yang akrab bagi kehidupan sehari-hari mereka. Mereka tergelak karena melihat diri mereka sendiri dalam sajian lawakan itu. Robin Williams berhasil menggabungkan unsur lawakan berupa kata-kata dan pantomim untuk menggambarkan tangisan seorang anak kepada penontonnya.

Tidak hanya tentang anak kecil. Dalam satu seri lawakan atau pun obrolan, diri Robin Williams mampu tampil dalam pelbagai peran yang mengalir, berubah-ubah, dan selalu mengejutkan. Dengan julukan sebagai robinwacky, beragam suara yang terdapat dalam dirinya bila dikumpulkan, menurut John Culhane, akan setebal buku telepon kota kecil.

Ia dapat hadir sebagai ahli ramalan cuaca, seks terapis berkulit hitam, bayi dalam kandungan (“Enak. Kecuali bila ibu berdansa”), kritikus restoran, desainer pakaian Vietnam, dan lebih banyak lagi. “Pantat lagi, pantat lagi !,” begitu keluhnya ketika ia memosisikan dirinya sebagai sebuah kursi.

Seperti didemonstrasikan oleh seorang Robin Williams di atas, menjadi pelawak menurut Judy Carter adalah masalah sikap mental. ”Mentalitus komedikus,” demikian istilah saya untuk itu. Bagaimana kita berpikir, bagaimana kita memandang dunia, bagaimana sikap kita terhadap pelbagai absurditas yang terpapar di hadapan kita, dan tentu saja, bagaimana kita membuat semua itu hingga mampu membuat orang menjadi tertawa.

Lanjut Judy Carter, Anda dapat bekerja sebagai seorang akuntan tetapi jalan berpikir Anda dapat saja seperti sebagaimana seorang komedian. Apa manfaat besar bagi kita, yang orang kebanyakan ini, ketika mampu berpikir sebagai seorang komedian ?

Silakan camkan kata-kata David Ogilvy (1911–1999), tokoh kelahiran Inggris dan pemikir raksasa, sosok begawan dalam dunia periklanan. Ia pernah bersabda : The best ideas come from jokes. Make your thinking as funny as possible. Pandanglah dunia ini dari kacamata humor. Lihatlah dunia dari sudut pandang atau perspektif yang berbeda, yang mampu menerbitkan tawa. Semua itu akan mampu membuat diri Anda sebagai pribadi yang berbeda pula.

Menjadi lebih baik.


Menurun dari ibu. Kita tidak hanya dapat belajar banyak dari teknik melucunya Robin Williams. Kita juga dapat menengok masa lalunya, betapa bakat komedi itu bisa terasah dari rumah. Sejak ia kecil.

Robin adalah anak tunggal dari perkawinan yang kedua dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Robert Williams, eksekutif perusahaan mobil Ford Motor Company, yang tinggal di kawasan keluarga terpandang di Lake Forest, di luar Chicago, kemudian pindah dan Bloomfiled Hills, dekat Detroit. Di kota terakhir ini ia menempuh pendidikan di Detroit Country Day School, di mana alumnusnya termasuk Steve Ballmer, tokoh kunci raksasa piranti lunak Microsoft dan Courtney Vance, bintang film seri Law and Order: Criminal Intent.

Robin Williams memperoleh gagasan mengenai komedi dari ibunya, Laurie. Ibunya adalah mantan model, kelahiran New Orleans, keturunan Perancis. “Komedi merupakan jenis komunikasi untuk ibu dan saya. Ia selalu menceritakan lelucon-lelucon yang dapat membuat ayah malu tetapi membuat saya tertawa,” katanya.

Tetapi sejatinya Robin kecil seorang penyendiri, suka bermain sendiri, berfantasi membangun dunianya dengan boneka-boneka serdadunya. Ia sangat menyukai buku, menonton film kartun, dan mengidolakan komedian Jonathan Winters yang muncul dalam acara The Jack Paar Show di televisi. Ia terinspirasi keterampilan Winter dalam berimprovisasi dan mimikri.

Robin yang pemalu itu pecah pamornya ketika bermain drama di SMA Marin Country, San Francisco. “Saya memainkan tokoh gila dan saya memperoleh sambutan tawa,” katanya. Saat itu dirinya tidak dan belum sadar bahwa ada jiwa komedi dalam dirinya sedang berontak untuk keluar. Walau pun demikian, di sekolah yang sama ia memperoleh penghargaan sebagai “Siswa Yang Paling Tidak Memiliki Sukses Di Masa Depan.”

Setelah lulus, ia menetapkan berkuliah di Claremont Men’s College, Los Angeles, mengambil jurusan politik dan ekonomi. Juga ikut kursus improvisasi karena gurunya cantik, dan ia baru sadar bahwa seluruh kelasnya tertawa melihat aksis-aksi spontannya. Ia tidak lama di kampus ini, Robin lalu pindah ke College of Marin untuk belajar akting. Kemudian berebut 20 tempat dari dua ribu calon untuk bisa berkuliah di sekolah akting terkenal, Juilliard di New York. Ia lulus dalam audisi berbarengan dengan Christopher Reeve, almarhum pemeran Superman yang terkenal. Keduanya menjalin persahabatan sejati yang kental.


Na-no-na-no ! Di tahun 1978 kreator acara televisi Happy Days melakukan audisi untuk Robin Williams agar memerankan sebagai mahluk angkasa luar. Ia diminta untuk duduk dengan gaya mahluk angkasa luar. Segera Robin melompat ke kursi dan memposisikan badannya dengan kepala di bawah.

Itulah adegan orisinal Robin Williams dari film seri televisi hitnya, Mork & Mindy. Sambutan penonton atas tayangan episode tersebut begitu antusias, padahal adegan yang terjadi tidak terencana, semua mengalir keluar begitu saja dari diri seorang Robin Williams. Termasuk ucapan salam halo atau selamat tinggal dari makhluk angkasa luar khas kreasinya, yaitu na-no-na-no, kemudian menjadi ucapan yang sangat populer saat itu. Sejak film seri itu ia seperti menemukan kesejatian dari keaktoran dan komedinya : dirinya dapat berbicara sebagai pria, malaikat, binatang, sayuran dan juga sebagai mineral.

Ia menyabet Oscar pada tahun 1997 sebagai aktor pembantu terbaik dalam film Good Will Hunting. Juga mengesankan ketika bermain sebagai guru John Keating yang menyuntikkan perspektif baru dalam pemikiran murid-muridnya dalam film Dead Poets Society (1989). Di balik keberhasilannya, ia juga pernah memiliki sejarah hitam : kecanduan alkohol dan narkotika. Menyangkut hal buruk itu Robin pernah meledeki dirinya, bahwa “Narkotik merupakan cara Tuhan memperingatkan dirimu bahwa kau terlalu banyak menghasilkan uang !.”

Robin Williams adalah seorang gamer sejati dan ia melek terhadap teknologi informasi. Ketika majalah Yahoo Internet Life (2/1997) menanyakan apakah dirinya menggunakan email, simak jawabannya : “Ya, dan email itu menggaumkan. Email membawa kita untuk kembali mengalami seni menulis surat…. Dalam surat kita dapat mengekspresikan diri kita pribadi secara mendalam dan penuh makna. Surat merupakan perpanjangan dari filosofi Anda.”

“Apakah kami yang pertama mengatakan bahwa pikiran Anda bekerja seperti Internet, hyperlinking untuk menuju tempat atau situs yang paling tidak terduga-duga ?,” tanya David Sheff dari Yahoo Internet Life.

“Itulah realitas diri saya,” jawab Robin Williams. “Itulah pula realitas dunia komedi. Inilah hiperkomedi yang nampaknya persis sama dengan hiperteks. Saya merujuk ke sesuatu hal dan lalu diri saya memuntir, memelintir, untuk mengubah menuju ke arah yang baru. Ketika pertama kali saya melihat hiperteks, saya langsung memahaminya. Inilah ujud asosiasi bebas.”

Asosiasi bebas itulah yang membuat dunia komedi terbuka luas, menarik dan menantang untuk dijelajahi. Tanpa batas. Di padang luas itulah kita dapat menggali atau mengeksplorasi ide-ide baru, baik untuk kemaslahatan dunia komedi sendiri mau pun untuk dunia kemanusiaan yang lebih luas lagi. Ingat sekali lagi kata-kata David Ogilvy di atas, bahwa “Ide-ide terbaik muncul dari lelucon. Jadikanlah modus berpikir Anda selucu mungkin. “

Merujuk tesis nabi periklanan tersebut, ijinkanlah saya melakukan tes sederhana untuk dunia pemikiran Anda, pembaca blog saya yang budiman, terkait dengan realitas dunia komedi kita yang Anda alami dan rasakan selama ini. Ada dua pendapat dua komedian mengenai apa makna komedi dan sajian komedinya bagi pribadinya sendiri dan bagi orang lain.

Ada seorang komedian berpendapat, “Orang kan senang kalau disanjung-sanjung. Kalau saya sih lebih senang njelek-njelekin diri sendiri. Soalnya dari situ saya dapat duit. Kalau tidak dapat duit ya percuma.”

Lainnya berpendapat : “Saya menggunakan komedi untuk menetralisir rasa takut yang lumrah ada pada diri setiap orang. Saya bisa berkata pada mereka bahwa saya juga punya rasa takut seperti Anda, tetapi saya mempunyai pandangan menarik, sehingga saya berpikir bahwa kita akan mampu mengalahkan rasa takut itu secara bersama-sama.”

Kuis saya untuk Anda : pandangan mana yang paling tepat untuk menggambarkan sosok komedian dari Indonesia ? Mengapa Anda berpendapat demikian ? Saya tunggu !


Wonogiri, 26/3-17/4/2007

ke