Sunday, July 27, 2008

Boneka Rusia, Ogilvy dan Effendi Gazali

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com




Tikus The Circus. George Smiley tak bisa lama-lama menikmati masa pensiunnya. Baru setahun ia pensiun dari dinas rahasia Inggris, teman kerja lamanya sudah nongkrong di ruang tamu. Tamu itu membawa kabar penting dan gawat dari Perdana Menteri Inggris bahwa pada badan intelijen tersebut telah disusupi oleh agen Rusia. Tidak tanggung-tanggung, bahwa si tikus Rusia itu berpangkat tinggi di lingkungan badan intelijen Inggris. Smiley memperoleh tugas untuk membongkar siapa agen itu sebenarnya.

Itulah plot film seri Tinker, Tailor, Soldier, Spy (1979). Diadaptasi dari novel yang berjudul sama karya John le Carre, yang pertama kali diterbitkan tahun 1974. Saya menontonnya di Rawamangun, Jakarta, di layar hitam putih TVRI awal tahun 1980-an. Film ini asyik, menegangkan, mengajak penonton sibuk berpikir dan menduga-duga, walau sajiannya lebih banyak bicara dan bicara. Bukan aksi seperti film spionase model Ian Fleming dengan James Bond-nya. Didukung oleh oleh maha bintang Sir Alec Guinnes yang memerankan sebagai George Smiley.

Adonan misteri dan teka-teki yang merampok rasa penasaran penonton itu diawali dengan adegan pembuka yang menawan. Yaitu tampilan boneka Rusia, yang dikenal sebagai matryoshka. Terdapat empat boneka Rusia yang muncul berturutan, dimana boneka yang keempat tidak memiliki wajah. Tayangan visual tersebut memberikan pesan bahwa boneka yang terakhir tersebut merupakan agen rahasia yang masih misterius, yang justru berada dalam lingkaran terdalam dari badan rahasia Inggris yang disusupinya.


Boneka politik. Boneka matryoshka merupakan satu set boneka yang seringkali terdiri atas lima atau enam boneka yang saling bertumpuk satu sama lain. Ketika boneka pertama diangkat, didalamnya terdapat boneka lain dengan ukuran lebih kecil, dan demikian boneka-boneka berikutnya. Nama matryoshka menurut Wikipedia merupakan turunan dari matryona, nama pertama wanita Rusia, yang sering diasosiasikan sebagai perempuan yang berbadan gemuk.


Ketika masa Perang Dingin masih berkecamuk, di dunia barat sering muncul ejekan bahwa semua perempuan Rusia itu memiliki tubuh seperti bis. Syukurlah, perang dingin itu kini jadi telah sejarah, dan kita bisa menikmati realita bahwa perempuan Rusia ada juga yang sosoknya indah, jelita dan penuh pesona, seperti Anna Kournikova atau Maria Sharapova.

Di masa perestroika, boneka-boneka Rusia itu sering menampilkan tokoh-tokoh pimpinan negaranya. Dimulai dari boneka yang terbesar, Mikhail Gorbachev, disusul Leonid Brezhnev, lalu Nikita Khrushchev, Josef Stalin dan akhirnya boneka yang terkecil adalah Vladimir Lenin. Versi yang baru menampilkan Vladimir Putin sebagai boneka terbesar, kemudian Boris Yeltsin, Mikhail Gorbachev, Joseph Stalin dan terakhir Vladimir Lenin.

Mari kita berandai-andai dalam kacamata jenaka. Apabila boneka-boneka Rusia itu diproduksi di Indonesia, dengan tokoh-tokoh para presiden kita, boneka siapakah yang wajarnya paling besar ? Misalnya kita pilih urutan menurut sejarah : Soekarno, disusul Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Kira-kira relakah SBY bila ia dihadirkan sebagai boneka yang paling kecil dengan segala multi-tafsirnya ? Bila ia tidak suka, bukankah dirinya mengingkari sejarah ? Kalau dibuat terbalik, dengan SBY sebagai boneka terbesar dan Soekarno sebagai boneka terkecil, apa kira-kita kata dunia ?

Skenario lain. Misalnya kita memproduksi boneka matryoshka dengan setting yang berbeda : diurutkan berdasar tingkah laku korupsi yang dilakukan oleh para presiden, atau yang marak terjadi ketika presiden-presiden bersangkutan memerintah. Bukankah keenam presiden kita itu justru akan menghindari terpilih sebagai boneka yang terbesar, dan suka memilih untuk ditampilkan sebagai boneka yang terkecil ?

Boneka matryoshka memang kaya dengan metafora. Di era Perang Dingin ada yang menggambarkan bahwa boneka itu merupakan cerminan jiwa Rusia. Setiap kali kulitnya dilepas, selalu saja ada jiwa Rusia dengan faham komunismenya tertinggal di sana.

Ada juga yang melukiskan bahwa tampilan boneka itu merupakan replika dari bawang merah, yang mencerminkan perjalanan hidup manusia. Setiap lapisan adalah tahun-tahun yang kita jalani. Ia mengelupas satu demi satu dan akhirnya hanya berupa ketiadaan. Kesia-siaan.

Melestarikan kekerdilan. David Ogilvy, jenius periklanan, juga punya cerita menarik tentang boneka Rusia. Saya membacanya dari artikel berjudul “Memos From an Advertising Man” di Reader’s Digest (11/1987). Petikannya :

“Kalau Anda merekrut karyawan dari luar, adalah sangat penting untuk memperhatikan bagaimana perekrutan itu dilangsungkan. Dalam pertemuan dengan dewan direksi, pada setiap anggotanya menghadap satu set boneka-boneka Rusia.

Saya berkata : ‘Boneka-boneka itu Anda. Bukalah.”

Mereka kemudian membukanya, untuk menemukan boneka yang lebih kecil di dalamnya. Setiap kali membuka, akan mereka temui boneka yang lebih kecil dan lebih kecil lagi ukurannya. Akhirnya di dalam tubuh boneka yang paling kecil akan mereka temukan sebuah kertas kecil. Saya tuliskan di kertas itu sebuah motto. Tertulis :

‘Apabila Anda senantiasa merekrut karyawan yang lebih kecil dibanding diri Anda, maka perusahaan kita akhirnya akan hanya menjadi perusahaan orang-orang kerdil. Sebaliknya, bila Anda memperkerjakan karyawan yang lebih besar dibanding Anda, maka kita akan menjadi perusahaan raksasa.’


Terkubur lumpur Lapindo. Ucapan Ogilvy di atas melintas di benak ketika via Google saya menemukan berita agak mutakhir tentang Effendi Gazali. Di sms saya menyebutnya dengan “boss.” Ia pun membalas, mungkin dengan bayangan saya adalah warga Wonogiri yang terasing, terpencil, dan pantas masuk konservasi selayak warga suku Indian, maka ia sebut saya dengan sebutan “chief.”

Satu hal yang paling tidak saya sukai darinya adalah, ia agak gaptek rupanya. Ia malas untuk menulis email. Pernah saya berbusa-busa setelah ia meminta saya mengomentari situs webnya, setelah itu tak ada komentar balik darinya. Padahal ketika “marah,” saat ia saya provokasi ketika Republik BBM-nya melakukan debutnya, ia mampu menulis SMS lembar demi lembar.

Berita di Internet itu menyebutkan ia dan timnya dari Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia mundur dari tayangan parodi politik Sidang Kabinet Republik Mimpi dari TVOne. Konon penyebabnya, karena materi tentang bencana lumpur panas Lapindo ditolak oleh fihak televisi. Komentar yang muncul bahwa masa represi model Orde Baru terhadap kebebasan media kini muncul kembali. Entah itu berita serius atau hanya gimmick pemasaran, yang nyata bahwa hari-hari ini dunia komedi Indonesia pun kehilangan sosok Effendi Gazali.

Tetapi toh ia mampu meninggalkan jejak dan warisan berharga. Lanskap dunia komedi menjadi diperkaya dengan kreasinya. Baik tayangan parodi politik berupa copy cat yang tayang di MetroTV atau pun di TVOne, jejak Effendi Gazali masih kental di sana. Tetapi bila metafora boneka Rusia dari David Ogilvy itu diterapkan kepada dirinya dan para “Brutus”-nya, bagaimana pendapat Anda tentangnya ?

Berita tentang dirinya di Internet yang terbaru, lebih membahagiakan. Ia kini tak bisa lagi memperolok dirinya sebagai seorang jomblo, dengan label an eligible bachelor yang prestisius itu. Ia pernah kirim sms, “saya lagi di Padang nih, mencari jodoh.” Toh nasib mempertemukan belahan jiwanya bukan di Padang, tetapi di Depok, di kampus Universitas Indonesia. Ia dikabarkan mempersunting mahasiswi cantik yang bernama Ima.

Selamat menempuh hidup baru, boss EG.
Selamat berbahagia.


Wonogiri, 27-28 Juli 2008

ke