Thursday, May 31, 2007

Dunia Canda Kita, Dunia Tanpa Cendekia

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Naskah Srimulat Yang Hilang. Tukul Arwana jangan dibandingkan dengan Richard Lewis. Tukul baru saja meluncurkan biografinya, yang ditulis oleh Ahmad Bahar. Mengapa tidak Tukul sendiri yang menulisnya ? Realitas ini menunjukkan betapa dunia komedi kita kekurangan sumber kreatif yang utama, yaitu komediwan yang juga penulis. Simak cerita terkait dengan Richard Lewis, komediwan yang juga penulis.

Komediwan Richard Lewis pernah stres berat. Seperti diwartakan US News & World Report (12/9/1988), ia stres akibat provokasi temannya yang bertanya : apa yang ia kerjakan apabila harta karun yang ia miliki, naskah-naskah lelucon yang ia tulis selama 16 tahun terakhir, terbakar bersama rumahnya ? Dengan dibumbui paranoid Lewis segera bergegas menuju kantor bank terdekat di Beverly Hills. Ia kemudian menyewa safe deposit box untuk mengamankan lebih dari 250.000 judul lelucon karyanya.

Tidak setiap komediwan seperti Richard Lewis yang memiliki perhatian tinggi terhadap karya-karya tertulis komedinya. Di Indonesia pernah terbetik kabar bahwa naskah pemanggungan lawakan Srimulat yang ditulis almarhum Teguh Srimulat, telah hilang. Bahkan kabar angin yang berhembus kemudian mewartakan bahwa ada kelompok lawak tertentu, yang saat itu lagi ngetop di televisi, diduga menjiplak naskah milik kelompok lawak Srimulat yang hilang tersebut. Kontroversi ini sepertinya belum tuntas sampai saat ini, tetapi fakta tersebut menandakan bahwa naskah komedi merupakan komoditas yang tetap saja langka, sekaligus terbengkalai di negeri kita selama ini.


Pelakon Nomor Satu ! Seorang budayawan almarhum Dr. Sudjoko dari ITB pernah menorehkan catatan tajam tentang potret dunia tulis-menulis yang terkait dengan dunia komedi kita. Pendapatnya ia tulis ketika mengantar buku karya Arwah Setiawan, Humor Jaman Edan (Jakarta : Grasindo, 1977). Menurut Sudjoko, untuk memajukan dunia komedi Indonesia yang paling utama harus digenjot kreativitasnya adalah para penulis lakon. Jelas itu merupakan tantangan berat.

Karena selama ini penulis, seperti halnya sosok almarhum Arwah Setiawan, tidak pernah masuk pikiran dan bayangan bangsa kita tentang komediwan. Semua yang kita kenal sebagai pelawak, badut, bodor, klontangan, ludruk dan sebagainya adalah sosok-sosok pelakon, orang-orang panggung, orang tontonan. Mereka itu bukan penulis, bukan pula sastrawan. Dalang juga bukan penulis. Semua mereka itu tidak mampu menulis.


Sambil merujuk tingginya ketidakmampuan menulis dan tingginya budaya mohbaca (istilah unik Dr. Sudjoko yang juga seorang munsyi, ahli bahasa) bangsa Indonesia, sebagai akibatnya canda bangsa ini sehari-hari dikatakannya cuman sentilan, olokan dan ejekan lepas-lepas. Agar frekuensi tawanya menjadi lebih sering, banyak olokan cuma dibuat-buat saja, tanpa ditopang oleh akal pikiran atau pun renungan. Lihatlah acara-acara lawakan di televisi kita saat ini dan betapa kritikan Sudjoko sejak sepuluh tahun lalu itu tetap tajam dan relevan. Dunia komedi kita hanya berjalan di tempat.


Arwah Setiawan (1997) ikut pula menimpali terkait pemanggungan lawakan di televisi. Ia katakan, pengelola dan pengamat televisi menyadari betapa pun pentingnya pelawak atau komediwan untuk menyukseskan suatu pertunjukan komedi, tetapi kalau pertunjukannya tidak didasarkan pada naskah cerita yang jenaka dan rapi, pertunjukan tersebut niscaya tidak akan dinikmati para pemirsa. Keberhasilan pertunjukan komedi, menurut keyakinannya, haruslah bertumpu pada penulisan naskah komedi yang jenaka, rapi dan masuk akal.

Siapa yang masih mau mendengar pesan kedua tokoh tersebut ? Nyatanya para pengelola televisi kita selalu lebih memilih mencari pelawak-pelawak dulu. Kita jadi saksi bahwa acara reality show seperti Audisi Pelawak TPI (API) oleh stasiun televisi swasta TPI dan Meteor Kampus oleh AnTV, jelas merujuk pemahaman yang sedikit banyak melecehkan arti penting naskah komedi sebagai nyawa pemanggungan lawakan. Impian luhur dan cerdas seorang Arwah Setiawan mengenai pentingnya lomba penulisan naskah komedi, terkubur entah ada di mana.


Me Too Product. Blunder besar pengelola televisi itu bisa dimaklumi karena acara seperti API tidak lain merupakan program me too, membebek keberhasilan reality show yang lebih dulu terkenal seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) atau pun Indonesia Idol-nya RCTI. Kedua program kontes untuk menemukan bintang-bintang baru tarik suara tersebut hanya dicontek mentah-mentah oleh para konseptor acara kontes lawakan. Mereka hanya mengganti pelakunya, yang semula calon penyanyi digantikan para calon pelawak. Mereka melupakan bahwa sebenarnya bernyanyi dengan melawak terdapat perbedaan mencolok, walau pun keduanya dapat sama–sama dipanggungkan di layar televisi.

Senyatanya dunia komedi tidak sama dengan dunia tarik suara. Dunia komedi memiliki tuntutan jauh lebih keras. Sebab dalam dunia tarik suara sebuah lagu dapat dan halal secara mudah diulang-ulang, dinyanyikan beragam penyanyi, dalam pelbagai kesempatan. Dalam dunia menyanyi, bakal tidak ada penonton yang berteriak melarang seseorang menyanyikan sesuatu lagu karena lagu tersebut pernah didengarnya. Tetapi dalam lawakan, pengulangan adalah pantangan. Kalau Anda di panggung melucukan sesuatu yang penonton sudah tahu, Anda terancam diteriaki tanpa ampun. Dan itu jelas bencana !

Realitas kejam ini menandakan bahwa tuntutan orisinalitas yang tinggi terhadap materi lawakan, membuatnya terasa semakin langka dalam peredaran. Apalagi materi lawakan baru begitu tampil di media akan langsung menjadi usang. Faktanya, tidak hanya materi lawakan spesifik tersebut, juga premisnya, bahkan semua lawakan yang mirip juga ikut menjadi usang karenanya. Tuntutan orisinalitas yang tinggi terhadap materi lawakan tersebut membuat banyak sekali kelompok lawak kita tidak punya nafas panjang.

Contoh aktual : ada di mana sebagian besar komediwan muda kita yang dulu pernah tampil hiruk-pikuk di ajang Audisi Pelawak TPI (API) yang baru saja merampungkan sesi ketiganya ? Sebagian besar hilang begitu cepat dan segera pula lenyap terkubur oleh waktu.

“Membuat lucuan yang benar-benar lucu saja setengah mati. Kondisi lawak di Indonesia saat ini : ia adalah pemikir, penulis, penampil, sekaligus pengurus keuangan....Bagaimana mau selalu prima ?”, cetus almarhum Dono Warkop (Kompas, 22/3/1996) ketika mengeluhkan tiadanya penulis–penulis naskah komedi yang dapat meringankan bebannya. Keluhan kronis almarhun Dono yang bisa dimaklumi. Apalagi karena komedi memang seni yang rumit. Edmund Gwenn, aktor komedi Hollywood era 1940-an saat menjelang ajalnya berbisik kepada aktor Hollywood terkenal lainnya, Jack Lemmon, bahwa menuju kematian itu menyakitkan, tetapi tidak sebegitu menyakitkan dibandingkan berpentas sebagai komedian.


Komedi Ibarat Jazz ! Sementara itu Gene Perret (foto), pemenang tiga Emmy Award dalam penulisan naskah komedi yang sekaligus penulis lawakan komediwan sohor Bob Hope yang terkenal, menyatakan bahwa penulisan naskah komedi ibarat jazz dalam musik. Selain harus inovatif, sarat pemberontakan, ketimbang berlaku normal. Bahkan cenderung menghancurkan tradisi yang ada ketimbang membebeknya. Walau pun demikian, imbuh Perret, penulisan naskah komedi dapat dipelajari. Menjadi komediwan juga dapat dipelajari. Kalau kita sudi melebarkan wawasan terhadap dunia komedi di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, tidak sedikit ditemui pelbagai workshop untuk calon komedian dan workshop pelatihan bagi penulis naskah-naskah komedi.


Untuk perkembangan masa depan dunia komedi kita, apalagi setelah hadirnya organisasi PASKI (Persatuan Artis Seni Komedi Indionesia), diharapkan kontes semacam API haruslah dibarengi dengan kegiatan yang bermenukan intelektualitas. Misalnya dengan menyelenggarakan workshop penulisan naskah komedi sampai kiat-kiat menjadi komediwan dengan nara sumber dari manca negara.


Terlebih lagi, di antara pelaku dunia kreativitas dan hiburan, dunia lawak kita yang paling seret atau macet memperoleh aliran darah segar dibanding dunia sineas, sulap, penulis naskah sinetron, pemusik, komik sampai kreator video klip. Di kancah tersebut telah muncul pekerja-pekerja kreatif baru, bahkan lulusan perguruan tinggi luar negeri dan memiliki komunitas dengan bangunan tradisi olah intelektual yang memadai.

Upaya pembelajaran yang lebih serius dan komprehensif dalam komunitas dunia komedi kita yang selama ini sangat terbengkalai, bahkan selama puluhan tahun ini, menunggu segera untuk direalisasikan ! (Catatan : Artikel ini pernah dimuat di majalah Gong (Yogyakarta), edisi No. 90/VIII/2007. Foto).



Wonogiri, 1 Juni 2007

ke

Thursday, May 10, 2007

Indonesian Jokes Are Not Funny

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Skeptisnya Aida. “Lelucon Indonesia itu tidak lucu. Baiklah, saya jelaskan kembali dengan cara lain : lelucon Indonesia, yang disampaikan dalam bahasa Indonesia, tidaklah lucu. Tentu saja, saya mampu berbicara dan memahami bahasa Indonesia secara baik, tetapi tetap saja saya tidak berpendapat bahwa lelucon Indonesia itu menghibur, ” demikian simpul Aida.

Mampuslah dunia komedi Indonesia.

Apakah Anda mengenal Aida ? Dia adalah lulusan Fakultas Teknik Kehutanan UGM, pernah tinggal dan belajar di pelbagai negara di Eropa, dan kini bekerja di bidang industri kehutanan. Menikah dengan ekspatriat, tinggal di Kemang, Jakarta, adalah juga sosok penulis artikel berbahasa Inggris bertopik gaya hidup, lingkungan dan gastronomi untuk media berbahasa Inggris di Indonesia dan mancanegara. Judul tulisan ini saya ambil dari kalimat pertama dalam artikelnya yang berjudul “Comedy in Blanket,” yang isinya sungguh menarik dan menggelitik.

Cerita Aida berlanjut. “Kemarin saya meriset di Internet untuk menemukan lelucon Indonesia. Saya tidak menemukan lelucon sebiji pun yang mampu menggerakkan saya untuk tertawa atau terkikik-kikik tanpa henti dengan air mata berleleran. Memang betul ada merebak air mata di mata saya, tetapi itu merupakan reaksi akibat ungkapan patetik yang saya baca di layar komputer.

Mengapa begitu sulit menemukan lelucon–lelucon lokal yang hebat ? Yang saya maksudkan adalah humor segar yang dihasilkan orang dari pelbagai lapisan masyarakat yang mencerminkan pengalaman hidup mereka sehari-hari, kata-kata cerdas yang mampu membebaskan mereka sejenak dari realitas hidup yang berat di tengah masa krisis ekonomi yang berkepanjangan ini.“

Semakin menarik ketika Aida menggolongkan empat kategori humor di Indonesia, yaitu : (1) lelucon kasar atau slapstick, (2) lelucon rasialis, (3) permainan kata dan, (4) lelucon intelektual.

Lelucon slapstick, menurutnya, sering muncul di TV lokal. Dalam tayangan komedi Bajaj Bajuri, sebagai contoh, munculnya adegan orang terjengkang dari kursi atau bayi yang muntah dianggap sebagai lelucon paling lucu. Lelucon rasialis merupakan tipe favorit kedua di Indonesia, di mana sering memunculkan orang Indonesia bukan keturunan etnis Cina tetapi berdandan pakaian tradisional Cina dengan bahasa beraksen Cina yang berlebihan. Atau orang non-Batak menyerocos dengan kata-kata yang kental beraksen Batak. Juga sering muncul di televisi dan mengudara lewat radio, permainan kata-kata dari etnis tertentu tetapi tidak ditujukan sebagai lelucon rasialis, melainkan digunakan untuk propaganda demi menjaga keutuhan integrasi bangsa. Sementara itu lelucon intelektual, menurutnya, merupakan lelucon yang paling sedikit eksistensinya di Indonesia.


Low comedy. Paparan Aida yang menarik di atas dan kita tidak usah menjadi seorang intelektual humor sekaliber almarhum Arwah Setiawan, kita segera menyetujui pendapat Aida betapa lanskap dunia lelucon Indonesia didominasi oleh apa yang disebut Encyclopedia Brittanica sebagai low comedy, komedi kelas rendah. Yaitu hiburan berwujud drama atau literasi yang tidak ada tujuan pokok kecuali hanya untuk menimbulkan tawa dengan bualan, lelucon hiruk-pikuk, mabuk-mabukan, pertengkaran, badut-badutan dan aksi-aksi gaduh lainnya.

Mungkin memang lelucon low comedy semacam itulah yang dibutuhkan oleh sebagian besar kita. Sebagai ilustrasi, adalah artikel menarik dari Aulia Muhammad, wartawan harian Suara Merdeka, ketika meresensi acara talkshow Empat Mata-nya Tukul Arwana. Ia menyoroti antara lain tentang “tipikalitas” Tukul yang nyaris terjebak dalam rutinitas.

“Gestur, umpatan, salah ucap (dari Tukul) semua jadi terasa memesona, dan menjual. Dan memang begitulah pada mulanya. Seluruh tipikalitas Tukul itu memang membuat perut berguncang. Tapi, ketika Empat Mata tayang nyaris setiap malam, kelucuan rutin itu menjadi terasa ‘menyedihkan,’”demikian tulis Aulia.

Sebabnya satu, Tukul terpancang pada idiomatikal itu-itu saja. Yang lahir kemudian hanya semacam perulangan dari adegan di malam-malam sebelumnya. Nyaris tak ada kreasi, bahkan ketika yang hadir adalah tamu dengan karakter yang sangat berbeda. Tukul tak mampu bermetamorfosa Semesta gelak yang kemudian lahir tak lebih tawa yang kering, tawa dari kelucuan yang sudah menjadi semacam hapalan.“

Akhirnya Aulia Muhammad yang blogger dan pemimpin redaksi Suara Merdeka Cyber itu menyimpulkan, “Tukul mungkin lupa, setiap orang tidak akan pernah puas jika hanya mendapatkan hal yang sama. Kerutinan pasti melahirkan kebosanan. Pemirsa tak pernah bisa setia. Dan jika kemasan Empat Mata tidak berubah, Tukul masih selalu memakai idiom yang nyaris jadi hapalan, kepopulerannya tinggal menghitung masa. Karena tanpa disadari, Tukul mengubah kekuatannya menjadi titik terlemahnya: selalu tampil apa adanya, bermodal kelucuan yang itu-itu saja.“



Tak Hanya Tukul. Tayangan Empat Mata sebagai low comedy kiranya semakin kental ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan surat tertanda No.480/K/KPI/10/06 menurut Dyah Pitaloka (Suara Merdeka, 3/5/2007), telah menegur tayangan Empat Mata karena memuat lelucon cabul dan merendahkan perempuan sebagai obyek seks.

Preseden serupa telah terjadi sebelumnya ketika KPI Pusat dalam siaran pers No.: 30/K/KPI/SP/07/06 dengan tegas meminta merombak suatu tayangan komedi di televisi dengan alasan pertimbangan serupa. KPI Pusat pada 12 Juli 2006 meminta stasiun TV Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) untuk segera membenahi secara mendasar program-program komedi yang bermuatan mesum, menonjolkan kecabulan, mengeksploitasi sensualitas, melecehkan perempuan menjadi objek seks, tidak mengindahkan nilai agama, serta mengabaikan keberagaman budaya dalam masyarakat Indonesia.

Hasil pemantauan yang dilakukan oleh KPIP April-Juni 2006 menunjukkan setidaknya terdapat dua program komedi yang bermasalah. Ada pun program tersebut adalah Ngelaba (ngelawak lewat banyolan) dan Chatting (canda itu penting) yang masing-masing disiarkan dua kali dalam seminggu.

Kedua program tersebut sangat lazim menyajikan candaan ataupun gerakan lelucon yang berasosiasi mesum dan cabul. Muatan semacam itu jelas sangat tidak layak disiarkan oleh stasiun televisi nasional yang menjangkau puluhan juta penonton di seluruh Indonesia serta menggunakan frekuensi siaran yang merupakan milik publik. Juga perlu diingat bahwa meski ditayangkan hampir larut malam, isi acara seperti itu tetap tidak layak disiarkan oleh TPI yang siarannya menjangkau daerah-daerah yang memiliki kebudayaan dan standar nilai yang beragam.

Dalam siaran pers yang ditandatangani S. Sinansari ecip ditandaskan, “KPI akan menjadikan hasil pengamatan ini sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam proses pemberian Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) bagi TPI. KPI juga mengingatkan, bahwa bila peringatan ini tidak diindahkan, KPI akan membawa bukti-bukti rekaman ini ke jalur hukum sesuai dengan UU Penyiaran No. 32/2002.”

William K. Zinserr pernah bilang, ”What I want to do is make people laugh so that they’ll see things seriously. Dengan membuat orang-orang menjadi tertawa ia mengharapkan mereka tersebut mampu melihat obyek candanya secara serius. Apakah bagi komunitas komedi Indonesia tuntutan untuk mempromosikan misi mulia tersebut memang terasa berat sekali ? Apakah komunitas komedi Indonesia benar-benar tidak tergerak untuk mulai mengasah “gergaji”-nya demi hadirnya lelucon-lelucon yang lebih bernas kadar intelektualitasnya ?

Kalau ya, saya yakin Aida bakal tidak tertarik menulis lagi tentang topik lelucon atau pun komedi Indonesia. Karena dipastikan dirinya akan hanya kembali mengulang-ulang pernyataannya, bahwa : Indonesian jokes are not funny !


Wonogiri, 10-11 Mei 2007


ke