Wednesday, November 19, 2008

Kodok Beracun dan Hari-Hari Komedi Indonesia Mati

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Kodok beracun. “Ada nasib baik, juga ada nasib buruk,” demikian jawab peramal kepada seekor kodok yang ingin mengetahui masa depannya. “Nasib baiknya, kau akan bertemu gadis-gadis SMA.” Hati kodok pun menjadi berbunga-bunga. Lalu apa nasib buruknya ?

Sang peramal pun meneruskan dengan berbisik : “Gadis-gadis itu menemuimu di lab biologi sekolahnya.”

Katak yang malang. Mungkin bisa disebut bernasib kurang beruntung. Atau ia justru lebih beruntung bila dibandingkan nasib katak yang mati secara mengerikan dalam acara talk-show komedi Empat Mata, Rabu 29 Oktober 2008 di stasiun televisi Trans 7 yang lalu itu.

Merujuk cerita AS Ode di Suara Merdeka (2/11/2008 : 32), saat itu Tukul Arwana menghadirkan Sumanto dan Lina. Hadir pula ibu dan guru mengajinya Sumanto, pendamping Lina, serta kriminolog Adrianus Meliala untuk mengomentari kasus mutilasi, yang menurutnya merupakan cantolan berita yang tidak nyambung dengan kasus Sumanto, sang pemakan mayat, yang menghebohkan dulu itu.

Adegan mengerikan terjadi ketika kamera dengan polos mensyut Lina, sang pemakan binatang hidup, menangkap katak dalam toples lalu memakannya hidup-hidup. Tak hanya penonton yang menunjukkan rasa ngeri dan lebih dari itu jijik (hingga ada yang mau muntah), tapi juga Tukul.

Buntut dari tayangan ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menghentikan sementara program Empat Mata sejak surat itu dikeluarkan, 4/11/2008. KPI menilai adegan makan kodok dalam acara itu sudah kelewat batas. Juga melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) yang antara lain melarang tayangan yang mengandung adegan sadistis, mengagungkan kekerasan dan adegan penyiksaan terhadap binatang.

Dikutip dari Kompas (9/11/2008 : 22) tersaji data bahwa tayangan Empat Mata sebelumnya sudah menerima tiga surat teguran tertulis dari KPI, yakni 5 Mei 2007, 27 September 2007 dan 25 Agustus 2008. Surat-surat teguran itu dilayangkan karena Empat Mata beberapa kali menampilkan adegan dan lelucon berbau seks secara eksplisit.

“Sejak awal memang sudah diramalkan, Empat Mata yang hanya mengandalkan kelucuan-kelucuan artifisial bakal kalah jauh dari talk show lain semacam Kick Andy yang lebih bertumpu pada isi,” catat AS Ode lagi. Sehingga, menurutnya, persaingan yang sengit dalam upaya mempertahankan rating di antara tontonan televisi yang ada telah mendorong tim kreatif Empat Mata malah “terlalu kreatif.”

Beberapa waktu lalu mereka mendandani Tukul berikut Pepi dan kru yang lain dengan pakaian yang aneh-aneh. Mereka membuat latar dengan aksesori yang aneh-aneh juga. Tak berbeda dari cara pelawak “tradisional” menarik perhatian penonton berpakaian mencolok, bahkan kalau perlu di luar kelaziman. Upaya yang ternyata kian menegaskan, demikian simpul AS Ode, bahwa Empat Mata memang tak menyuguhkan isi, tapi cuma wadah.


Perempuan berjanggut. Saya bukan penonton setia tayangan Empat Mata. Pada awal pemunculannya, yang mendapat liputan menggebu dari media, saya pernah menyaksikan ketika menghadirkan bintang tamu pencipta lagu dan penyanyi Melly Guslaw. Saya hanya mampu mengingat untuk menafsirkan senyum-senyum kecil Melly, yang nampak agak terpaksa karena tuntutan sopan santun belaka, ketika Tukul melontarkan lawakan-lawakannya. “Kasihan deh lawakan-lawakan lu.” Hanya kalimat itu yang tergores di benak saya saat itu.

Terkait adegan makan kodok itu, kini menyusul kalimat lain. Dari Susan Shaughnessy. Ia menuliskannya dalam buku Walking on Alligators : A Book of Meditation for Writers (1993). Buku menarik ini telah diterjemahkan menjadi Berani Berekspresi atau Aku Bisa Menulis : Buku Meditasi Untuk Para Penulis (MLC, 2004).

“Anak sapi berkepala dua dan wanita-wanita berjanggut merupakan bahan untuk karnaval dan tabloid di supermarket. Tidak ada salahnya tertarik pada yang luar biasa. Tetapi yang luar biasa itu, anehnya, tidak bertahan lama. Kita tidak membaca tentang itu atau menonton pertunjukan seperti itu setiap hari. Sebentar saja dia sudah membosankan dan kehilangan daya tariknya,” tutur Susan Shaughnessy.

Hal yang biasa, lanjut Susan, menarik minat kita lebih lama. Kehidupan sehari-hari yang biasa, yang kita tahu benar-benar terjadi, merupakan bahan tulisan yang lebih menarik, yang tidak akan membuat kita bosan. Anak-anak pembangkang, kekasih yang dikecewakan, niat terbaik, harapan dan kekecewaan, hal-hal inilah yang diketahui dan dipedulikan pembaca.

Dalam ranah komedi, menurut Gene Perret, topik-topik biasa di atas mencocoki salah satu rumus universal komedi : karena beragam persoalan tersebut relevan bagi kita semua. Semua komedi memang harus relevan. Apa yang mereka sajikan kita dapat memiliki kaitan dengannya.

Atau dalam bahasa Garin Nugroho, dikutip Kompas (16/4/2001 : 28), sambil merujuk komedi situasi Cheers yang ia sebut “ada harunya, ada persahabatan dalam pertentangan yang hebat. Juga ada penerimaan yang tulus ketika mengetahui satu teman dekat kita memiliki preferensi seksual yang berbeda, sehingga dalam tontonan itu kita mendapat suatu hubungan yang bersahaja, tetapi mampu menggerakan indera kita.”

Kreator komedi Indonesia, dengan mengambil contoh tayangan makan kodok dalam Empat Mata itu, menunjukkan mereka masih mengalami kesulitan besar untuk mengolah hal-hal yang biasa, hal-hal yang bersahaja itu. Mereka justru tergoda untuk mengaduk-aduk hal-hal yang artifisial, aneh-aneh, merekayasa segala bentuk kepalsuan, ketidakwajaran, dan segala hal yang bertentangan dengan akal sehat.

“Pikiran picik hanya tertarik pada hal-hal yang luar biasa, pikiran cerdas tertarik pada hal-hal yang biasa,” demikian ucap penulis Amerika Elbert Hubbard (1859–1915) yang juga dikutip oleh Susan Shaughnessy Ucapan itu kiranya paling cocok untuk menggambarkan pola pikir para kreator komedi Indonesia dewasa ini.

Pikiran picik dapat pula diumpamakan sebagai katak dalam peribahasa Jepang, yang selama hidupnya selalu berada di kubangan sehingga dirinya tidak tahu apa-apa tentang lautan luas. Katak dalam tempurung.

Hemat saya, momentum dari tragedi tayangan makan kodok di Trans 7 dan hukuman keras KPI itu, seharusnya mampu mendorong komunitas kreator komedi di televisi-televisi kita untuk mawas diri. Syukur-syukur ikut juga menggandeng PASKI yang mati suri, untuk sama-sama berani keluar dari kubangan ignoransi yang mengungkungnya selama ini.

Tanpa adanya niat untuk melakukan revolusi pola pikir pada diri mereka, maka tidak ada salah kiranya bila tanggal penayangan Empat Mata edisi kelewat batas itu, 29 Oktober 2008, dapat kita daulat sebagai hari puncak dari hari-hari panjang kematian komedi Indonesia !


Wonogiri, 18/11/2008


ke

Saturday, November 01, 2008

Humor Fakta - Fakta Humor

Oleh : Danny Septriadi dan Darminto M. Sudarmo


Pengantar : Dua kepala lebih bagus daripada satu kepala. Dalam dunia komedi dikenal istilah comedy buddy, mitra komedi untuk berbagi gagasan dan umpan balik dalam membangun dan merampungkan naskah-naskah lawakan yang lebih bertenaga memancing tawa.

Saya beruntung memiliki mitra baru seperti itu, namanya Danny Septriadi (foto), dalam berbagi gagasan dan informasi yang bertujuan ikut memajukan dunia komedi Indonesia. Berikut adalah tulisan yang pernah ia buat tahun 2002/2003 mengenai humor bersama Darminto M.Sudarmo, nama tokoh pemerhati dan penulis komedi terkenal di Indonesia. Apakah Anda juga memiliki niat mulia seperti dirinya ? Saya dengan senang hati bersedia memajang sumbangsih Anda di blog saya ini. Saya tunggu. Selamat menikmati ! (BH)


Rasa humor (sense of humor) sedikitnya menuntut tiga prasyarat kecakapan penikmatnya; yakni, kecakapan untuk melihat, mengakui dan menerima fakta sebagaimana adanya. Memiliki rasa humor dapat menjernihkan pikiran dan memberikan kebebasan untuk menyikapi fakta yang ada. Kecakapan tersebut dapat digunakan untuk mermbantu pengambilan keputusan yang dapat diterima oleh akal sehat. (Gene Perret, Business Humor: Jokes & How to Deliver Them).

SEBUAH berita yang tak jelas porsi fakta dan opininya, dapat membuat orang bingung dan sesat persepsi. Tetapi humor, lain. Humor boleh lahir dari fakta – disebut humor tak sengaja; dapat pula lahir dari opini (kreasi) – disebut humor sengaja. Mana yang lebih berharga, humor fakta atau humor opini? Keduanya sama-sama punya kans untuk berbobot atau tidak berbobot. Tergantung pada muatan nilai atau substansi yang ada di masing-masing humor atau lelucon tersebut. Lagi pula, visi dari berita dan humor sama sekali berbeda.

Sebagai contoh peristiwa yang pernah dituturkan orang dari mulut ke mulut dan konon benar-benar terjadi di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, tahun 1980-an; yakni tentang seorang bupati yang menjadi inspektur upacara pada peringatan hari besar tertentu, saat membaca teks Pancasila di atas podium, tiba-tiba terhenti beberapa saat di tengah jalan, gara-garanya sang ajudan salah memberi stof map. Seharusnya stof map berisi naskah Pancasila tetapi yang diberikan kepada sang bupati ternyata adalah lembaran daftar hadir.

Akibatnya bisa diduga, sang bupati berhenti di tengah jalan karena beliau tidak begitu hafal lima butir Pancasila yang sangat disakralkan itu. Bagi seorang pejabat tidak hafal Pancasila adalah persoalan serius. Apalagi di zaman rezim Orde Baru. Untunglah, pada saat yang kritis itu, protokol upacara segera menyadari situasi, ia segera berinisiatif menyambung kelanjutan bunyi teks Pancasila lewat pengeras suara secara runtut dan selamatlah upacara yang nyaris menggelincirkan citra sang bupati itu.


***

SYAHDAN, terkait dengan tema humor fakta atau fakta humor sebagaimana disebutkan di atas, Jaya Suprana pernah melontarkan humor yang konon berbasis pada fakta yang ada di lingkungan istana. Khususnya yang terkait dengan wartawan istana di era kepemimpinan Pak Harto dan Gus Dur.
Secara jenaka digambarkan, keadaan kontradiktif berkaitan dengan “sesajen” dan “uba rampe” yang diterima para wartawan istana kala itu. Yang pertama digambarkan sangat “meriah”, sedangkan yang kedua sangat “sepi” dari sesajen dan uba rampe.

Menurut pengakuan Jaya, lelucon ini cukup membuat para peserta yang hadir dalam acara peringatan Hari Pers Nasional yang diadakan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) ketawa tergelak-gelak, kendati ada sebagian wartawan/pemimpin redaksi yang menyambut lelucon itu dengan ketawa kecut. Buntutnya, setelah berita tentang acara tersebut dirilis harian ibukota, ada seorang wartawan TV yang menulis surat pembaca di koran ibukota tersebut dengan nada marah dan menganggap lelucon Jaya itu bernilai rendah.

***

Menurut penulis, munculnya persepsi seperti rekan wartawan TV itu sah-sah saja. Mungkin ia “dibakar” teman diskusinya. Mungkin ia tersinggung kok berani-beraninya membuat lelucon tentang wartawan yang sebenarnya rentan risiko. Mungkin ia belum pernah mendengar ungkapan bahwa besar kecilnya jiwa seseorang tergantung bagaimana ketika ia merespon sebuah kritik; khususnya kritik yang menyangkut dirinya, baik secara pribadi atau kolektif.

Tapi dalam pikiran saya, kemungkinan besar Jaya sudah terlalu jauh dan over estimated tentang wartawan kita. Dianggapnya semua wartawan Indonesia sudah berjiwa besar dan hanya ketawa ketika kepada mereka dilontarkan sebuah kritik yang rada-rada khas: berkaitan dengan amplop, misalnya. Jadi? Itu satu lagi fakta yang tak sengaja juga bernilai lelucon atau humor, di luar lelucon Jaya tentang fakta tadi.

Nilai humor? Emang ada humor bernilai selain ia sebagai hiburan semata? Nah, ngomong-ngomong soal humor mungkin menarik menyimak uraian Melvin Helitzer, pengarang buku Comedy Writing Secrets. Menurutnya, banyak orang yang salah kaprah tentang humor. Orang-orang beranggapan: humor harus lucu, menghibur dan menyenangkan.

Tapi bagi Helitzer, tidak selalu; persepsi kita secara naluri akan mengatakan bahwa humor itu sesuatu yang menyenangkan. Ternyata tidak. Humor adalah suatu kecaman atau kritik, yang terselubung sebagai hiburan, dan diarahkan kepada target yang spesifik. Ia berpendapat humor harus terdiri dari kebenaran (realism) dan sesuatu yang dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan (exaggeration).

Humor adalah upaya untuk mempertahankan suatu konsep yang tetap sehingga targetnya menguatkan kembali ide-ide, perilaku ataupun prasangka sekelompok orang. Jadi baginya, humor itu tidak adil. Humor akan mengambil sudut pandang yang berprasangka atau berat sebelah . Tidak ada ruang bagi humor untuk argumentasi balasan atau penjelasan. Seperti diuraikan H.L Mencken, “My business is diagnosis, not therapeutics.”

Robin Hemley di dalam bukunya How to Write Funny menguraikan bahwa rasa humor seseorang ditentukan oleh banyak faktor: umur, latar belakang sosial ekonomi, dan budaya. Seorang humoris yang baik memiliki kepekaan terhadap kekurangan dan kelemahan moral dari manusia. Apa yang dirasakan lucu oleh satu orang dapat membuat orang lain menjadi gusar.

George Bernard Shaw pernah menulis, jika kamu ingin mengatakan suatu kebenaran kepada seseorang, buat dia tertawa atau jika tidak, dia akan membunuh kamu. “Hampir semua lelucon yang baik menyatakan kebenaran yang tidak mengenakkan,” kata Larry Gelbart. Sid Caesar kemudian menambahkan bahwa komedi adalah suatu kebenaran yang dibelokkan. Di lain pihak, derajat dari fakta yang ada serta kesimpulannya dibesar-besarkan untuk menarik perhatian.

David Boichier, seorang penulis humor menambahkan bahwa kebenaran itu menyakitkan, dan dengan sangat mudah humoris dipersalahkan karena mengangkat masalah yang tidak diperkenankan tentang perbedaan ras, umur, jenis kelamin, berat badan dan lain sebagainya. Orang-orang menulis kepada saya setiap minggu dan berkomentar, “Betapa beraninya Anda membuat lelucon tentang supir taxi -- atau kolektor barang antik, atau tukang kebun, atau orang yang lebih tua, atau siapa saja.. Saya selalu menjawab dengan sopan bahwa saya tidak sedang berusaha untuk memperolok-olokkan mereka, tetapi hanya menunjukkan adanya suatu fakta yang tidak menyenangkan,” kisah David Boichier lebih lanjut.

Ya, itu semua kan pendapat mereka, para humoris atau intelektual humor dari barat. Karena humor itu medan kajiannya sangat luas tak terbatas, Anda juga berhak untuk membuat penelitian sendiri dan menemukan kesimpulannya berdasarkan fakta-fakta yang ada di negeri ini. Indonesia yang demikian beragam dan kaya kebuadayaan, bisa jadi punya cakupan persepsi yang khas tentang humor atau lelucon tersebut.

Tapi soal lelucon wartawan atau profesi pada umumnya, ada lho, lelucon mengenai profesi, dan sudah disebarkan secara luas melalui internet seperti yang ada di bawah ini. Tetapi tidak pernah ada yang melakukan komplain karena “There is no room in one joke for a balanced argument or explanation”.

Berikut contoh lelucon tentang seorang lawyer yang sangat sukses mengendarai mobil terbarunya yang sangat mewah -- malah untuk profesi ini ada pepatah “Maju tak gentar membela yang bayar”. Pada saat lawyer tersebut keluar dari mobilnya, tiba-tiba pintu mobil ditabrak oleh truk sehingga terlempar beberapa meter. Dengan cepat lawyer tersebut meminta bantuan polisi. Polisi kemudian datang guna memberikan bantuan dan menemukan lawyer tersebut sedang menangisi mobil mewahnya yang hancur.

Polisi itu kemudian berkata, “Sungguh serakah sekali Anda, sampai tidak menyadari salah satu tangan Anda putus saat ditabrak truk tadi.” Kemudian lawyer tersebut menangis lebih keras lagi dan berteriak: “Jam Rolex saya !!!???”

ke