Sunday, June 05, 2011

Hehehe, Wkwkwk dan Komedi Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


“Manusia Indonesia gemar bercanda, itu jelas. Begitu gemar sehingga satu celetukan menjadi amat disukai : ‘Kok serius amat sih’.

Canda kita sehari-hari cuman sentilan, olokan dan ejekan lepas-lepas. Dan supaya tawanya sering, banyak olokan cuma dibuat-buat saja, tanpa ditopang akal pikir atau renungan.

Biar saja kalau tak ada sangkut-pautnya dengan pokok pembicaraan. Pokoknya semua ketawa. Tiap olokan kita tidak pernah bisa berkembang. Setelah 2-3 kalimat rusak, habis sudah ceritanya. Makanya orang suka berdangkal-dangkal saja.

Tetapi begitu orang Indonesia diminta koran dan majalah mengirim lelucon pendek yang cuma beberapa kalimat pendek saja, ketahuanlah kelemahan kita. Nyaris semua joke itu hambar, tidak lucu sama sekali, malah anti lucu. Maunya penulis, misalnya kita ini ketawa sebab dia menulis ‘he-he-he’ atau ‘Grrr.’ Jadi menulis lelucon pendek saja kita tidak mampu. Ya, tidak ada yang bisa dihimpun menjadi buku bernilai serius.

Itulah penggalan dari pengantar yang ditulis almarhum Prof. Dr. Sudjoko dari ITB untuk bukunya almarhum Arwah Setiawan, yang berjudul Humor Zaman Edan (Jakarta : Grasindo, 1997). Buku ini saya temui di Perpustakaan Umum Wonogiri.

Dengan menuliskan “hehehe” atau “wkwkwk” dan sejenisnya, mungkin sang penulis berharap pembacanya kemudian akan ikut juga tertawa. Apakah Anda akan ikut tertawa ?

Sindrom berjualan trik “hehehe” seperti itu baru saja saya temui dalam bukunya Andrias Harefa, Seni Memengaruhi Orang Dengan Tawa Huahahaha (Gramedia, 2010). Di buku ini, yang sempat membuat saya heran, kok ya untuk sosok penulis laris sekaliber beliau masih saja ada lelucon tentang upil, kencing dan juga kentut (“Go Science With Kentut,” hal. 306-311). Komedian manca negara menjuluki topik seperti ini dengan sebutan hack. Itu mirip dengan bunyi orang membuang dahak.

Buku lain yang juga gencar menjual “hehehe” adalah Pak Beye dan Politiknya (Kompas, 2010). Buku setebal 432 halaman karya wartawan Kompas, Wisnu Nugroho, semula berasal dari blognya di Kompasiana. Beberapa hari yang lalu, saat melongoki blognya tersaji data menarik tentang subjek tulisan dan jumlahnya. Tersaji data : Buku (1), Humor (1), Sosbud (15), Umum (122) dan Politik (347).

Bagi saya data ini aneh. Ketika memasuki kampanye Pilpres 2004 sosok Pak Beye digambarkan memiliki selera tinggi terhadap buku, ternyata dalam catatan Wisnu Nugroho topik buku hanya satu tulisan saja.

Demikian pula, topik “humor” hanya satu tulisan juga. Bagi saya, hal satu ini tidak begitu aneh. Karena Pak SBY bukan sosok yang mencitrakan suka humor. Kalau dia terpaksa berhumor, akan diterima lain oleh warga republiknya. Ingat dia ketika berhumor tentang gajinya yang tak pernah naik ? Huru-hara menyelimuti negeri ini.

Humor dalam blog ini Cuma semata bercerita tentang kemiripan sosok Pak SBY dengan bapaknya Nobita, tokoh kartun dalam film Dora Emon. Di blognya itu Wisnu Nugroho menulis (aslinya memang tidak menggunakan huruf kapital, mungkin agar seperti puisinya e.e. cummins-BH) sebagai berikut :

“berikut saya kutipkan paparan dari wikipedia tentang tokoh yang mewarnai masa remaja saya dari layar kaca. rcti menyumbang masa-masa indah remaja saya. heheheh. terimakasih karenanya.

saya posting dua foto dan kisah ini karena sebelumnya dibuat tertawa geli seorang teman yang dulu juga wartawan di istana tentang kemiripan pak beye dengan tokoh yang mewarnai masa remaja saya. saya coba lihat-lihat dan membandingkannya, ternyata mirip juga. hehehe.”

Silakan menikmati lanjutannya dalam tautan ini, semoga Anda bisa ikut tertawa.

Menulis atau melaporkan tentang lelucon atau pagelaran lelucon, atau pengin dianggap lucu, tidak sedikit dari kita yang tergoda untuk selalu mengobral “hehehe” atau “wkwkwk” dalam tulisan kita. Status-satus di Facebook, riuh dengan hal itu. Kalau saja ungkapan tersebut dijadikan air, kita se-Indonesia ini sudah lama tenggelam karenanya.

Bumbu penjelasan lainnya, adalah keterangan. Misalnya, seperti “penonton dipaksa tertawa tanpa henti,” “sampai perut mereka mulas,” sampai “si A itu memang pelawak jempolan,” dan sejenisnya.

Tulisan semacam itu, hemat saya, belumlah lengkap daya gelitiknya Ia hanya mengatakan. Sebaiknya diperkaya dengan penunjukan. Misalnya, komedian AnuAnu ketika melucukan sosok SBY dan kemelut Partai Demokrat saat ini, telah memiripkannya dengan era sarat kebohongan yang dilakukan oleh Presiden Richard Nixon (lihat kartunnya saat ia ditemani berkarung-karung dollar) dengan skandal Watergatenya.

Ia katakan : “Setiap kali anggota Partai Demokrat melakukan kebohongan, pasti sebagian royaltinya akan masuk ke kantong XXX :-).”


Wonogiri, 6/6/2011