Thursday, May 10, 2007

Indonesian Jokes Are Not Funny

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Skeptisnya Aida. “Lelucon Indonesia itu tidak lucu. Baiklah, saya jelaskan kembali dengan cara lain : lelucon Indonesia, yang disampaikan dalam bahasa Indonesia, tidaklah lucu. Tentu saja, saya mampu berbicara dan memahami bahasa Indonesia secara baik, tetapi tetap saja saya tidak berpendapat bahwa lelucon Indonesia itu menghibur, ” demikian simpul Aida.

Mampuslah dunia komedi Indonesia.

Apakah Anda mengenal Aida ? Dia adalah lulusan Fakultas Teknik Kehutanan UGM, pernah tinggal dan belajar di pelbagai negara di Eropa, dan kini bekerja di bidang industri kehutanan. Menikah dengan ekspatriat, tinggal di Kemang, Jakarta, adalah juga sosok penulis artikel berbahasa Inggris bertopik gaya hidup, lingkungan dan gastronomi untuk media berbahasa Inggris di Indonesia dan mancanegara. Judul tulisan ini saya ambil dari kalimat pertama dalam artikelnya yang berjudul “Comedy in Blanket,” yang isinya sungguh menarik dan menggelitik.

Cerita Aida berlanjut. “Kemarin saya meriset di Internet untuk menemukan lelucon Indonesia. Saya tidak menemukan lelucon sebiji pun yang mampu menggerakkan saya untuk tertawa atau terkikik-kikik tanpa henti dengan air mata berleleran. Memang betul ada merebak air mata di mata saya, tetapi itu merupakan reaksi akibat ungkapan patetik yang saya baca di layar komputer.

Mengapa begitu sulit menemukan lelucon–lelucon lokal yang hebat ? Yang saya maksudkan adalah humor segar yang dihasilkan orang dari pelbagai lapisan masyarakat yang mencerminkan pengalaman hidup mereka sehari-hari, kata-kata cerdas yang mampu membebaskan mereka sejenak dari realitas hidup yang berat di tengah masa krisis ekonomi yang berkepanjangan ini.“

Semakin menarik ketika Aida menggolongkan empat kategori humor di Indonesia, yaitu : (1) lelucon kasar atau slapstick, (2) lelucon rasialis, (3) permainan kata dan, (4) lelucon intelektual.

Lelucon slapstick, menurutnya, sering muncul di TV lokal. Dalam tayangan komedi Bajaj Bajuri, sebagai contoh, munculnya adegan orang terjengkang dari kursi atau bayi yang muntah dianggap sebagai lelucon paling lucu. Lelucon rasialis merupakan tipe favorit kedua di Indonesia, di mana sering memunculkan orang Indonesia bukan keturunan etnis Cina tetapi berdandan pakaian tradisional Cina dengan bahasa beraksen Cina yang berlebihan. Atau orang non-Batak menyerocos dengan kata-kata yang kental beraksen Batak. Juga sering muncul di televisi dan mengudara lewat radio, permainan kata-kata dari etnis tertentu tetapi tidak ditujukan sebagai lelucon rasialis, melainkan digunakan untuk propaganda demi menjaga keutuhan integrasi bangsa. Sementara itu lelucon intelektual, menurutnya, merupakan lelucon yang paling sedikit eksistensinya di Indonesia.


Low comedy. Paparan Aida yang menarik di atas dan kita tidak usah menjadi seorang intelektual humor sekaliber almarhum Arwah Setiawan, kita segera menyetujui pendapat Aida betapa lanskap dunia lelucon Indonesia didominasi oleh apa yang disebut Encyclopedia Brittanica sebagai low comedy, komedi kelas rendah. Yaitu hiburan berwujud drama atau literasi yang tidak ada tujuan pokok kecuali hanya untuk menimbulkan tawa dengan bualan, lelucon hiruk-pikuk, mabuk-mabukan, pertengkaran, badut-badutan dan aksi-aksi gaduh lainnya.

Mungkin memang lelucon low comedy semacam itulah yang dibutuhkan oleh sebagian besar kita. Sebagai ilustrasi, adalah artikel menarik dari Aulia Muhammad, wartawan harian Suara Merdeka, ketika meresensi acara talkshow Empat Mata-nya Tukul Arwana. Ia menyoroti antara lain tentang “tipikalitas” Tukul yang nyaris terjebak dalam rutinitas.

“Gestur, umpatan, salah ucap (dari Tukul) semua jadi terasa memesona, dan menjual. Dan memang begitulah pada mulanya. Seluruh tipikalitas Tukul itu memang membuat perut berguncang. Tapi, ketika Empat Mata tayang nyaris setiap malam, kelucuan rutin itu menjadi terasa ‘menyedihkan,’”demikian tulis Aulia.

Sebabnya satu, Tukul terpancang pada idiomatikal itu-itu saja. Yang lahir kemudian hanya semacam perulangan dari adegan di malam-malam sebelumnya. Nyaris tak ada kreasi, bahkan ketika yang hadir adalah tamu dengan karakter yang sangat berbeda. Tukul tak mampu bermetamorfosa Semesta gelak yang kemudian lahir tak lebih tawa yang kering, tawa dari kelucuan yang sudah menjadi semacam hapalan.“

Akhirnya Aulia Muhammad yang blogger dan pemimpin redaksi Suara Merdeka Cyber itu menyimpulkan, “Tukul mungkin lupa, setiap orang tidak akan pernah puas jika hanya mendapatkan hal yang sama. Kerutinan pasti melahirkan kebosanan. Pemirsa tak pernah bisa setia. Dan jika kemasan Empat Mata tidak berubah, Tukul masih selalu memakai idiom yang nyaris jadi hapalan, kepopulerannya tinggal menghitung masa. Karena tanpa disadari, Tukul mengubah kekuatannya menjadi titik terlemahnya: selalu tampil apa adanya, bermodal kelucuan yang itu-itu saja.“



Tak Hanya Tukul. Tayangan Empat Mata sebagai low comedy kiranya semakin kental ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan surat tertanda No.480/K/KPI/10/06 menurut Dyah Pitaloka (Suara Merdeka, 3/5/2007), telah menegur tayangan Empat Mata karena memuat lelucon cabul dan merendahkan perempuan sebagai obyek seks.

Preseden serupa telah terjadi sebelumnya ketika KPI Pusat dalam siaran pers No.: 30/K/KPI/SP/07/06 dengan tegas meminta merombak suatu tayangan komedi di televisi dengan alasan pertimbangan serupa. KPI Pusat pada 12 Juli 2006 meminta stasiun TV Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) untuk segera membenahi secara mendasar program-program komedi yang bermuatan mesum, menonjolkan kecabulan, mengeksploitasi sensualitas, melecehkan perempuan menjadi objek seks, tidak mengindahkan nilai agama, serta mengabaikan keberagaman budaya dalam masyarakat Indonesia.

Hasil pemantauan yang dilakukan oleh KPIP April-Juni 2006 menunjukkan setidaknya terdapat dua program komedi yang bermasalah. Ada pun program tersebut adalah Ngelaba (ngelawak lewat banyolan) dan Chatting (canda itu penting) yang masing-masing disiarkan dua kali dalam seminggu.

Kedua program tersebut sangat lazim menyajikan candaan ataupun gerakan lelucon yang berasosiasi mesum dan cabul. Muatan semacam itu jelas sangat tidak layak disiarkan oleh stasiun televisi nasional yang menjangkau puluhan juta penonton di seluruh Indonesia serta menggunakan frekuensi siaran yang merupakan milik publik. Juga perlu diingat bahwa meski ditayangkan hampir larut malam, isi acara seperti itu tetap tidak layak disiarkan oleh TPI yang siarannya menjangkau daerah-daerah yang memiliki kebudayaan dan standar nilai yang beragam.

Dalam siaran pers yang ditandatangani S. Sinansari ecip ditandaskan, “KPI akan menjadikan hasil pengamatan ini sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam proses pemberian Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) bagi TPI. KPI juga mengingatkan, bahwa bila peringatan ini tidak diindahkan, KPI akan membawa bukti-bukti rekaman ini ke jalur hukum sesuai dengan UU Penyiaran No. 32/2002.”

William K. Zinserr pernah bilang, ”What I want to do is make people laugh so that they’ll see things seriously. Dengan membuat orang-orang menjadi tertawa ia mengharapkan mereka tersebut mampu melihat obyek candanya secara serius. Apakah bagi komunitas komedi Indonesia tuntutan untuk mempromosikan misi mulia tersebut memang terasa berat sekali ? Apakah komunitas komedi Indonesia benar-benar tidak tergerak untuk mulai mengasah “gergaji”-nya demi hadirnya lelucon-lelucon yang lebih bernas kadar intelektualitasnya ?

Kalau ya, saya yakin Aida bakal tidak tertarik menulis lagi tentang topik lelucon atau pun komedi Indonesia. Karena dipastikan dirinya akan hanya kembali mengulang-ulang pernyataannya, bahwa : Indonesian jokes are not funny !


Wonogiri, 10-11 Mei 2007


ke


3 comments:

  1. Pada dasarnya saya setuju dengan tulisan Anda. Saya beranggapan mutu lawakan berbanding lurus dengan tingkat pedidikan, pelawaknya dan juga penikmatnya. Apakah kondisi bangsa yg serba multi juga berpengaruh? Seorang Bob Hope kalau asli orang Indonesia, mungkinkah 'hanya' akan menjadi seorang Eko Patrio, dan jg sebaliknya?

    Mas BH, untuk mengisi boks bengok "sense of humor" Anda, saya sebenarnya mempunyai banyak kata2 untuk mengisinya dari hasil berpikir, tapi saya masih butuh 'sense' yang lain untuk mempublikasikannya. Menurut saya lucu, tapi bisakah membuat orang lain tersenyum?

    Seorang pelawak jelas harus beradaptasi dengan kondisi audiensnya. Misalkan dia membawakan sebuah lawakan tingkat tinggi, dan tak satupun yang tertawa, tapi dia bisa membuat orang2 ter-pingkal2 di tempat lain. Lawakan yg universal? Its slapstick. Bila Tukul dan Robin Williams suatu hari dikirim ke sebuah negara di Afrika untuk melawak, mereka akan melakukan jenis lawakan yang sama, adl slapstick.

    Saya masih belum mengerti lawakan yang bagus itu patokannya apa? Rating, jumlah penonton, banyak show, best seller, atau yang hanya bisa membuat seorang Aida tertawa? Atau ini masalah selera?

    ReplyDelete
  2. Pelawak dan Pencinta Dunia Lawak Kita : Ibarat Katak-Katak Yang Terus Merasa Enak Dalam Tempurung Kawak ?


    Bill Cosby adalah seorang doktor kependidikan. Steve Martin, doktor ilmu filsafat. Komedian Azhar Usman, lulusan master hukum di AS. Komedian wanita muslim asal Pakistan yang terkenal di Inggris, Shazia Mirza, belajar biokimia di Universitas Manchester. Bruce Vilanch yang tiap tahun mengkreasi lelucon pembawa acara penganugerahan Oscar, semula wartawan hiburan. Gene Perett, penulis lawakan Bob Hope dan pemenang 3 kali Emmy Award, adalah insinyur komputer. Almarhum Wahyu Sardono, lulusan FISIP UI. Effendy Gazali, FISIP UI dan doktor dari Cornell University. Miing Bagito dan Doyok, lulusan STM. Kelik Pelipur Lara, saya tidak tahu.

    Dunia komedi adalah dunia ekspresi kreatif yang terbuka untuk semua insan, tanpa memandang asal-usul pendidikan mereka. Pelbagai latar belakang tersebut justru membuat khasanah dunia komedi menjadi sangat kaya warna dengan keanekaraman topik sampai gaya.

    Merujuk realitas tersebut, maka ide Mohamad Fahmi mengenai pendirian semacam universitas humor di Indonesia (Kompas Jawa Tengah, 21/6/2005), adalah berlebihan. Ide serupa, tetapi berbentuk Institut Seni Lawak Indonesia, pernah pula diusulkan oleh Darminto M. Sudarmo (Suara Merdeka, 5/9/2004). Yang lebih menyedihkan, bahkan Mohammad Fahmi itu mengklaim bahwa bila terbentuk maka universitas tersebut merupakan perguruan tinggi yang melakukan kajian tentang dunia lawak yang pertama di dunia. Ia pun menyebut, ilmu lawak Srimulat sampai Bing Slamet, akan menjadi semacam “babon” ilmu lawak kelas dunia.

    Katak dalam tempurung. Padahal Sigmund Freud dengan artikel berjudul “Jokes and Their Relation to the Unconscious” ia tulis tahun 1905 dan Arthur Koestler menulis humor sebagai salah satu kreasi ilmu pengetahuan, selain sains dan agama, dalam bukunya The Act of Creations, terbit tahun 1964.

    Ilustrasi di atas boleh jadi dapat dipakai sebagai contoh kasar betapa pelaku dunia komedi kita, juga apresiatornya, belum banyak yang mau dan mampu meluaskan cakrawala pemahamannya tentang dunia komedi yang ada di dunia.

    Memang, tidak dipungkiri, seperti halnya selera maka humor dan komedi, bersifat subjektif. Orang halal dan sah menentukan selera humornya masing-masing. Orang berpendidikan pada jurusan dan fakultas yang sama, sama-sama bersamaan diwisuda, sangat mungkin memiliki selera humor yang berbeda. Apalagi bila dibedakan oleh etnis atau pun suku bangsa.

    Tetapi toh ada rumus yang bisa dipakai agar humor itu berlaku “universal,” mampu meledakkan tawa. Patokan itu menurut Gene Perret antara lain : “all comedy must be relevant” dan “it must relate to the audience.” Kalau di depan audiens dokter, sebaiknya lelucon yang dilontarkan harus ngeklik dengan dunia dokter, dan bukan tentang pendaki gunung. Rumus lain yang juga penting adalah, “it must in good taste.” Lelucon seks OK, tetapi kan bisa dikemas secara tidak vulgar dan tidak melecehkan kaum perempuan ?

    Itulah sekadar patokan mengenai lawakan yang bagus. Tambahan pribadi dari saya, bila lawakan itu tidak sekadar mampu membuat saya tertawa, tetapi juga mampu mengajak berpikir, sokur-sokur mampu membuat saya menangis. Kalau Anda menonton dramanya Arifin C.Noer, dari “Mega-Mega” sampai “Kapai-Kapai,” Anda dijamin terbahak-bahak sepanjang pertunjukan. Tetapi ketika pulang, lalu mau memikirkannya, saya merasa kesedihan yang mendalam.

    Selera humor kita dapat terasah, apalagi, kalau bukan melalui “pendidikan” diri kita sendiri. Bukan selalu di sekolah, tetapi dengan banyak bergaul, membaca atau menonton tayangan komedi (dari DVD misalnya) dan silakan berpikir bagaimana tayangan komedi itu bisa ditayangkan sampai 6 tahun atau bahkan sepuluh tahun secara berturutan ? Silakan coba tonton serial sitkom Friends sampai Everybody Loves Raymond.

    Mengenai penerimaan orang lain terhadap karya lelucon kita, dengan merujuk keraguan/kekuatiran Agung (“menurut saya lucu, tapi bisakah membuat orang lain tersenyum?”) dalam mengisi untuk boks bengok “Sense of Humor” di blog ini, saya bisa memaklumi keraguannya.

    Tetapi karya itu harus dilontarkan dulu. Kalau hanya disimpan, apa setiap orang mampu kita harapkan jadi mind reader isi kepala kita ? Mustahil, bukan ? Itulah menariknya dan sekaligus merupakan resiko besar yang dihadapi oleh seorang kreator humor : leluconnya dapat “killed” (meledakkan tawa) atau “bombed” (dicemooh) penonton. Tetapi dengan patokan rumus “universal” dari Gene Perret di atas, ditambah rumus “it should be hidden” (sebelum punchline), maka kemungkinan besar lelucon itu mampu meledakkan tawa.

    Usul untuk Agung : berhubung kotak boks bengok blog ini kan terbatas, bagaimana kalau Agung meluncurkan blog komedi atau humormu sendiri ? Agung bisa menulis esai, satir atau lelucon-lelucon lepas, dan seperti saya  akan banyak punya teman dan juga “fans” kan ya ? Istilahnya sebagai “microstar” menurut pakar ekonomi atensi Michael H. Goldhaber.

    Siapa tahu, dengan cara sederhana dan senang-senang tersebut (saya bikin blog ini juga untuk senang-senang lho) kita ibaratnya mampu menyumbang usaha dalam melubangi atap tempurung dunia komedi kita. Sokur-sokur bila kita mampu menyingkirkan tempurung bersangkutan. Harapan ini juga tertuju kepada pencinta dunia humor lainnya. Saya tunggu ! (Wonogiri, 15 Mei 2007).

    ReplyDelete
  3. Mas BH, menarik membaca 4 kategori humor Aida. Dalam komedi Asmuni/Srimulat, keempat kategori tersebut mungkin terwakili semua. Di balik slaptstick, racial jokes, dan permainan katanya (e.g. hil yang mustahal), komedi Asmuni sangat kental dengan konsep-konsep ekonomi. Well, at least for us economists. (Please see our obituary of Asmuni at our blog).

    ReplyDelete