Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Sensor Porno Di Internet. Komedian senang mencari gagasan leluconnya dari para pejabat. Komedian dan aktor terkenal, Will Rogers (1879–1935), punya kredo yang juga terkenal : I don’t make jokes; I just watch the government and report the facts . Dirinya berujar, bahwa ia tidak membuat lelucon, tetapi hanya menyimak tingkah laku atau kinerja pemerintah dan kemudian melaporkan segala fakta yang ada.
Yang dimaksud pemerintah itu, tentu saja, diwakili oleh para pejabatnya. Maka di negara liberal seperti Amerika Serikat misalnya, para pejabat itu senantiasa menjadi bulan-bulanan para komedian. Bahkan hampir tiap malam. Terlebih-lebih bila pejabat bersangkutan melakukan tindakan yang konyol, atau hipokrit, ia ibarat menjadi bonus besar bagi para komedian untuk ramai-ramai mengulitinya hidup-hidup. Komedian pun ikut aktif pula menjadi pilar penegakan demokrasi.
Bagaimana bila hal yang sama juga terjadi di Indonesia ? Dengan mengkhayalkan kecerdasan komedian kita dan atmosfir kehidupan berdemokrasi kita di Indonesia sudah seperti di AS, hari-hari ini saya ingin mendengar banyak lelucon tentang kebijakan Menkominfo kita, Prof. Dr. Ir. Muhammad Noeh, DEA, yang berambisi menyensor situs-situs porno di Internet.
Sokurlah saya memperoleh lelucon cerdas itu dari komentar “Yahya Kurniawan,” “gagahput3ra” dan “Intox” di situsnya Wimar Witoelar ketika memperbincangkan sensor situs porno di Internet. Menyikapi disahkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maka “Intox” (#42) tersebut mengaum :
Aaaaand we're back to stone age, ladies and gentlemen. Seriously, this bill is as ambiguous as it can get. The next thing you know we might as well frankensteined Soeharto back from the grave.
Menurutnya, dengan UU ITE itu, Indonesia kembali ke jaman batu. UU itu menurutnya ambigu, kabur, bila diterapkan kelak. Bahkan ia menguatirkan betapa tindak represif model era Soeharto akan bangkit dari kubur untuk kembali hadir menghantui kita semua. Lucu ga, bila kita tak terasa diam-diam digiring untuk terjerumus menjadi bangsa yang hanya bisa mundur ke belakang, ke masa lalu ? Padahal kita tahu, Presiden SBY membanggakan bukunya yang berjudul Indonesia On The Move.
Backward, Mr. President ?
Komentar menarik lainnya disumbangkan “gagahput3ra” (#7), berupa pertanyaan : Dengan UU ITE ini, pemerintah yang akan 'memilih' hiburan untuk rakyatnya. Bukankah ini anti demokrasi? Lalu apa Depkominfo tidak takut Indonesia akan masuk daftar enemies of the internet seperti China, Arab Saudi, Burma, Cuba, dan Korea Utara?
Kalau saya yang mendapat pertanyaan itu maka akan saya jawab : “Kita sekarang memang sudah sama dengan China dan Arab. Contohnya : dulu Wulandari, lalu Mulan Kwok, dan kini Mulan Jameela !” (*)
Sementara itu “Yahya Kurniawan” (#24) menyikapi UU ITE yang gencar mewacanakan ambisi pemerintah untuk menyensor situs-situs porno di Internet, dibalas dengan cerita menggelitik. Ceritanya, ada seorang suami didakwa membunuh istrinya. Ketika ditanya hakim kenapa dia membunuh istrinya, suami itu menjawab: “Pak Hakim, lebih bijaksana mana : saya membunuh istri saya atau membunuhi lelaki-lelaki selingkuhannya setiap minggunya ?”
Inti moral cerita itu, mana yang lebih bijaksana : membatasi akses ke situs-situs negatif itu satu persatu, padahal situs-situs seperti itu tidak akan pernah habis ? Atau memperkuat akhlak dan iman bangsa hingga mampu bertahan dari berbagai serangan budaya negatif ?
Ekonomi kreatif baru. Tetapi menurut saya ada sisi positif dari ambisi Menkominfo kita yang ingin membentuk badan baru yang khusus bertugas menyensor situs-situs porno itu. Ide menteri kita yang mantan rektor ITS 10 November itu sungguh sesuai dengan era ekonomi kreatif yang mengandalkan produktivitas berdasarkan gagasan dan berjangkauan futuristik, diharapkan sebagai antidote cespleng di tengah pengangguran kaum muda kita yang merajalela di negeri ini. Bukankah kebijakannya itu jelas akan membuka lapangan kerja baru di kementeriannya ? Tentu saja, terutama bagi pencinta berat situs-situs porno di Internet !
If you can't beat them, join them.
If you can't beat them, lick them.
Apalagi mengingat realita terdapatnya puluhan juta situs-situs porno di Internet, maka badan baru itu kiranya akan mampu menampung ribuan atau jutaan tenaga kerja baru juga. Badan itu akan berkinerja hebat karena karyawannya dijamin memiliki dedikasi tinggi dalam melakukan pekerjaan rutinnya : menemukan situs-situs porno, menikmatinya, membloknya, dan lalu menemukan situs-situs porno baru berikutnya, menikmatinya, lalu membloknya, dan begitulah seterusnya dan seterusnya.
Sampai akhir jaman. Mungkin mirip adegan perburuan penuh nafsu dan tanpa henti model Wille E. Coyote yang mengejar, beep, beep, si Road Runner. Atau seperti nasib Sisyphus, tokoh mitologi Yunani, yang dihukum dewa untuk mendorong batu besar ke puncak gunung untuk hanya menemui kenyataan bahwa batu itu menggelinding kembali ke bawah. Lalu ia harus memulai mendorong lagi batu itu ke atas. Begitulah seterusnya dan seterusnya. Sebuah kesia-siaan ?
Tetapi mengingat pekerjaan itu bakal tidak akan ada habis-habisnya, jangan-jangan di kementerian itu hari-hari ini sudah menggelegak persaingan terselubung antar elit pejabatnya untuk memimpin tugas baru menyensor situs-situs porno di Internet itu ? Agar fair, sebaiknya dijabat oleh orang di luar kementerian itu. Saya usulkan : bagaimana kalau dijabat oleh mantan politisi Golkar yang mengundurkan diri dari DPR gara-gara video pornonya dengan Maria Eva tersebar di Internet ?
Katakanlah, dengan dijiwai semangat rekonsiliasi, ia mendapat rehabilitasi dengan cara berbakti kepada negara, sekaligus menebus dosa, dengan cara melampiaskan balas dendamnya : setiap hari ia menghabisi situs-situs porno dimana aksi dirinya dulu pernah menjadi bagian isi situs-situs bersangkutan. Jadi kalau kelak (“saya mengharapkannya : sekarang ini !”) muncul heboh lagi tentang foto-foto atau video porno serupa yang melibatkan tokoh-tokoh politik Indonesia, ia kemudian merupakan fihak pertama yang akan mengumumkannya. Win-win solution, bukan ?
Sebaiknya lagi dia yang (mantan) politikus itu, yang sepertinya nampak awam dan buta terhadap kedigdayaan perangkat hi-tech IT, termasuk handphone berkamera (“apalagi bila sedang terbakar api horny”), sekiranya bisa mengangkat deputi untuk membantu tugasnya. Saya rekomendasikan pakar telematika yang sering menjajarkan kata blogger dan hacker dalam satu tarikan nafas. Ia juga sohor sebagai ahli handphone dan ahli membedakan foto porno asli dari foto porno rekayasa yang terkenal di kalangan artis-artis kita itu.
Sehingga nanti keputusan akhir mengenai situs yang benar-benar kena gunting sensor kementerian itu dijamin benar-benar situs porno yang benar-benar asli. Bukan situs-situs porno yang sepertinya asli tapi benar-benar palsu. Dan bukan pula situs yang benar-benar asli palsu. Bukankah kita mempercayai kredibilitas beliau selama ini ?
Agar badan itu selalu visible, nampak menarik perhatian dan menonjol, sebaiknya mengangkat deputi lainnya yang bertugas di bidang kehumasan. Saya merekomendasikan : Mayangsari dibantu Halimah Bambang Trihadmojo. Atau sebaliknyalah. Bisa diaturlah. Atau digilirlah. Sehingga ketika keduanya muncul berbarengan secara rukun-rukun karena telah mencontoh dan meneladani keikhlasan serta keserasian dua istri dai yang kondang itu, saya tidak bisa membayangkan betapa sibuk dan heboh para pelaku entertainment journalism kita dalam meliput dan mewartakannya.
Kalau keduanya pas sedang tidak akur, yang membuat mereka tidak siap tampil secara serasi di depan wartawan, keduanya bisa saja mewakilkan kepada pembantu khusus sang pimpinan badan itu. Yaitu figur yang juga terkenal dan telah terbukti dengan akting dan trik-trik kehumasannya yang andal di layar televisi dulu-dulu itu. Maria Eva. Apalagi ia mampu menghibur wartawan dengan menyanyi.
Jangan lupa, dengan dijiwai semangat mikul duwur mendem jero dan rekonsiliasi nasional, termasuk mempertimbangkan rekam jejaknya yang sukses melakukan tindakan sensor informasi di era yang lewat, badan itu perlu mengangkat dewan penasehat yang diketuai, saya rekomendasikan, Harmoko. Sehingga badan itu akan mampu bekerja secara maksimal sepanjang selalu minta atau memohon petunjuk kepadanya terlebih dulu.
Oh, Indonesiaku. Itukah potret Indonesiaku di masa depan nanti ? Yaitu Indonesia yang lebih memilih melakukan mission impossible, misi tidak mungkin dalam upayanya menyensor atau memurnikan (talibanization ?) Internet demi ambisi menjaga perkembangan moral bangsa Indonesia ?
Kalau boleh bertamsil, saya akan mengutip satu ajaran Covey. Menurutnya, setelah tergigit oleh ular berbisa kita biasanya lebih suka memilih melampiaskan amarah dengan aksi mengejar dan memburu ular itu, bahkan kalau bisa sampai membunuhnya sekali pun. Kita lupa bahwa dalam masa pengejaran itu bisa atau racun sang ular itu terus berjalan di pembuluh darah kita, meracuni tubuh kita, dan mampu membunuh kita pula.
Sebaiknyalah, menurut Covey, setelah tergigit kita lebih berkonsentrasi untuk mengeluarkan racun ular yang bersarang di tubuh kita sendiri. Berusaha agar tubuh kita bisa menjadi pulih, sehat kembali, kuat lagi, dan kita tidak usah memikirkan untuk mengejar sampai upaya membunuh sang ular itu lagi.
Pak Menteri Kominfo, apa kita tidak sebaiknya berhenti mengejar ular-ular dari dunia maya itu, Pak Menteri ? Karena ular-ular itu pasti akan datang lagi dan lagi. Belum selesai masalah pemblokiran situs-situs porno, bukankah Anda harus meradang dengan memberi ultimatum kepada layanan video sharing YouTube di Internet terkait tayangan film pendek Fitna buatan politisi sayap kanan Belanda ?
Mungkin sebentar lagi Anda akan berbuat serupa lagi, dengan kemarahan yang lebih besar lagi, karena Radio BBC sudah pula mewartakan adanya seseorang yang berasal dari Iran, seorang muslim yang berpindah ke agama lain, saat ini sedang membuat film kartun yang memparodikan malam pertama Nabi Muhammad SAW ketika menikahi Aisah, istrinya yang paling muda.
Suara-suara rakyat. Kembali ke masalah komedi. Diskusi mengenai hak-hak sipil, sensor Internet sampai hak-hak asasi manusia, mungkin masih merupakan materi yang terlalu berat dan belum mengundang selera komunitas komedian kita untuk mewacanakannya dalam pentas-pentas lawakan mereka.
Mereka masih takut atau tidak tahu caranya untuk mampu menyuarakan suara-suara rakyat, baik mereka yang kelaparan hingga mati atau bunuh diri karena tiada harapan terbelit kelaparan, susah mencari minyak tanah, sampai menyimaki ulah pejabat yang hipokrit atau terlibat korupsi.
Tidak banyak atau bahkan mungkin tidak ada komedian kita yang marah-marah dengan melampiaskannya di panggung bila hal-hal seperti ketimpangan sosial sampai hak-hak warga dunia yang dilanggar dan dilecehkan oleh penguasa. Termasuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang berambisi melakukan sensor atau blokir situs-situs porno di Internet, yang tidak lain sebagai manifestasi seorang big brother, fihak yang merasa paling tahu, walau pun dikatakan sebagai upaya untuk melindungi dan menjaga moral anak bangsa ini.
Bukankah hal itu mengingatkan analisis klasik dari ahli politik George McTurnan Kahin yang menjelaskan bahwa salah satu penghalang demokrasi di Indonesia adalah kultur politik masyarakat yang senantiasa menyandarkan segala sesuatu kepada arahan dari atas ?
Jadi kebijakan model “polisi moral” dari atas itu jelas merupakan penghalang bagi demokrasi. Halo, komunitas komedi Indonesia, bukan suatu kekuatiran yang tidak beralasan bila suatu saat kelak rambu-rambu yang ambigu dan tak jelas itu juga menjarah ke dunia Anda. Apakah Anda tidak tergerak sebagaimana Iwan Fals telah tak letih menyanyikan lagunya dengan lirik satu ini : “Soal moral, biarlah kami cari sendiri ?”
Komedian sebagai seniman ibaratnya juga sebagai antene peradaban, idealnya mampu mengasah kepekaan untuk mengenali ancaman-ancaman yang membahayakan gerak laju peradaban. Kemudian paling duluan bersuara walau tetap dalam aura jenaka. Sayang, pelaku dunia komedi kita rupanya masih terus asyik sendiri, bersibuk-ria untuk bisa hadir secara lucu belaka. Maksud saya, berlucu-lucu, melucu-lucukan, sok lucu. Lucu artifisial.
Mungkin karena mashab teguhism, dari Teguh Srimulat, bahwa aneh itu lucu masih berurat, berakar dan diyakini sebagai mashab tunggal. Pelawak-pelawak kita jadinya masih lebih tergiur untuk memiliki comedy signature dengan bersibuk menata kumis tipis a la Jusuf Kalla, jenggot model Oma Irama, rambut model Gogon atau suku Mohawk, ketimbang mengolah ketajaman, kekayaan khasanah dan kewaskitaan organ penting titipan Tuhan yang berada di bawah rambut mereka.
Sehingga akhir-akhir ini suguhan komedi yang berlabel parodi politik pun terasa digarap secara business as usual, asal muncul rutin. Lebih kental sebagai parade cengengesan yang dangkal, sepi greget, sepi substansi, tak ada nyala api pemberontakan. Cemplang. Tak terpancar kobaran inspirasi yang mampu menggugah dari sana.
Guru lawak Gene Perret yang legendaris pernah bilang, the best humor is based on truth. Lawakan paling hebat adalah lawakan yang berlandaskan pada realita, kasunyatan, pada kebenaran. Dengan formula lawakan yang berpijak di bumi, yang memiliki relevansi dan kaitan dengan denyut hidup audiensnya, komedian bersangkutan berpotensi menyalurkan instink membunuhnya yang ultima prima. Bukan membunuh secara sadis seperti ulah kaum teroris, tetapi seperti ujar Mark Lonow : you really want to hurt these people – to laugh so hard it hurts !
Pendek kata : jadikan penonton benar-benar mati karena tertawa. Penggemar lawak, Anda tak usah kuatir, karena sejarah hanya mencatat seorang Zeuxis, pelukis Yunani pada abad 5 sebelum Masehi, yang mati karena tertawa. Bukan karena melihat lawakan, tetapi melihat lukisan seorang nenek tua buruk rupa, hasil lukisannya sendiri. Ia terbahak-bahak sendiri. Pembuluh darahnya pecah, dan ia pun mati.
Apakah hal serupa akan terjadi bagi komedian Indonesia, yang puas menertawai lelucon mereka sendiri ?
Wonogiri, 31/3 - 4/4/2008
ke
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment