Thursday, May 22, 2008

Komedi Kita, Budaya Hero dan Selebritas

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Perang dua budaya. Perang sengit itu sedang terjadi. Kita semua terlibat di dalamnya. Kalangan sosiolog berpendapat bahwa di dunia saat ini sedang bertempur antara dua budaya. Yaitu budaya hero, pahlawan, melawan budaya pesohor, selebritas.

Budaya hero bercirikan suatu upaya pencapaian prestasi dengan bekerja keras, tekun, sabar, berproses langkah demi langkah, alami dan memakan waktu. Hal universal ini, menurut Stephen R. Covey dalam bukunya Seven Habits of Highly Effective People (1989), berlaku untuk semua tahap kehidupan, pada semua bidang perkembangan. Apakah dalam belajar main piano atau berkomunikasi. Juga berlaku untuk setiap individu, dalam perkawinan, keluarga, atau pun organisasi.

Prinsip atau fakta mengenai pentingnya proses ini kita fahami dan kita terima bila berlaku pada bidang yang bersifat fisik. Tetapi untuk memahaminya di bidang emosional, hubungan antar manusia dan bahkan dalam karakter pribadi, ternyata tidak mudah dan lebih sulit. Bahkan ketika pun kita memahaminya, menerimanya dan hidup selaras dengan prinsip tersebut, ternyata merupakan hal yang lebih sulit lagi.

Akibatnya, kita selalu mudah tergoda untuk mencari terobosan, jalan pintas, mengharap dengan melompati beberapa langkah vital guna menghemat waktu dan usaha, tetapi tetap mampu meraih hasil yang maksimal.

Sikap mental getol mengambil jalan pintas, itulah perwujudan budaya selebritas, yang cenderung ingin sukses secara instan dengan mengingkari proses alami suatu perkembangan. Anda ingin kaya raya tanpa perlu dibarengi kerja keras dalam waktu lama ? Maka tak ayal, mewabahlah budaya korupsi. Ingin nampak berpendidikan tinggi, tetapi tak mau bersusah payah berkuliah ? Budaya jual-beli gelar akademi palsu pun meruyak dimana-mana.

Sebagai ilustrasi lagi, beberapa tahun lalu terpapar realitas penerimaan kita terhadap budaya hero vs. budaya selebritas. Itu tergambar saat seorang selebritas, penyanyi perempuan muda, terkenal, yang tewas dalam kecelakaan lalu lintas karena diduga habis mengkonsumsi narkoba. Lokasinya di Bandung. Liputan media begitu hebat dan ribuan pelayat berjubelan menghadiri pemakamannya.

Sementara pada saat yang hampir bersamaan, wafatnya sosok hero, pekerja keras dan intelektual, pujangga Angkatan 30, Sutan Takdir Alisjahbana, hanya diantar belasan orang ketika menuju peristirahatannya yang terakhir .

Gelegak budaya selebritas itu, kini, suka atau tidak suka telah mengepung hidup kita. Mungkin kita tidak mampu mengingkarinya. Demikian pula hal yang sama kiranya juga terjadi di dunia komedi. Kalau Anda ingin menjadi pelaku dunia komedi, berbondonglah melalui jalan pintas : ikutlah API-nya TPI. Atau kontes-kontes serupa yang diadakan oleh televisi swasta lainnya. Kalau Anda gagal di ajang ini maka habislah peluang Anda untuk selamanya. Benarkah ?


Petani Jeruk Bali Madu. Kisah mengenai perang dua kubu budaya ini telah saya tulis di Kompas Jogya-Jateng (22 Mei 2004). Saat itu di kota Solo sedang dimabuk eforia. Pasalnya, ada seorang warganya yang dengan sebutan Tia AFI sedang berkibar-kibar menjadi favorit dalam kontes nyanyi yang diselenggarakan oleh stasiun televisi Indosiar.

Pelbagai lapisan masyarakat dari Walikota Solo dan istrinya, beragam institusi bisnis, sosial dan kemasyarakatan, juga sekolah, terus menggencarkan kampanye agar warga Solo dan sekitarnya mendukung Tia AFI dengan mengirimkan SMS ketika kontes berlangsung

Empat tahun kemudian, artikel di atas ingin saya ungkap kembali ketika saya berkenalan dengan seorang petani jeruk bali madu asal Pati. Namanya, Pak Sukir. (foto). Ia juga guru sekolah dasar di Desa Bageng, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati. Ia membuka stan yang memamerkan dan menjual produk buah dan bibit jeruk bali madu.

Gerainya itu jadi nampak menonjol. Karena berbeda dibanding puluhan stan lain yang meramaikan perhelatan Wonogiri Puspa Gumelar 1/2008 : Ajang Kontes dan Bursa Tanaman Hias Nasional yang berlangsung 27 April sd 4 Mei 2008 di Lapangan Giri Kridha Bhakti, Alun-Alun Kabupaten Wonogiri.

Pameran tanaman hias kali ini auranya tak segemerlap tahun lalu. Saat itu orang memang sedang dilanda mabuk tanaman hias yang dari obrolan mulut ke mulut bisa mencapai harga-harga fantastis. Juga cerita yang aneh-aneh. Misalnya pasangan yang bercerai karena sang suami menjual hartanya untuk berspekulasi jual-beli tanaman hias. Ada pria yang konon pergi kemana saja, tanaman hiasnya yang mahal itu selalu dibawa di mobilnya, juga berada disamping tempat tidurnya.

“Tahun lalu ada tanaman Jenmanii Gelombang Cinta dihargai 700 juta di Surabaya,” tutur Giyarto, supir Pak Sukir. Ketika saya tanyakan mengapa hal itu bisa terjadi, ia hanya menjawab dengan satu kata : “Permainan.”

Di kolom surat pembaca harian Kompas Jawa Tengah (Jumat, 21 September 2007), saya mencoba ikut menganalisis apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Di bawah ini adalah surat pembaca yang saya kirimkan secara lengkap, yang ketika dimuat telah mengalami penyuntingan.


Pria Mabuk Gelombang Cinta

Kalau Anda menonton pameran tanaman hias, cermatlah melihat sekeliling. Semoga saya tidak salah, karena menurut pengamatan saya, sebagian besar yang menjaga pelbagai stan itu kebanyakan kaum pria. Ada apa ini ? Kalau selama ini bunga, tanaman hias dan hal yang indah-indah sering dikonotasikan sebagai ranahnya kaum perempuan, tetapi di jaman orang mabuk Jenmanii dan asyik masyuk dalam ayunan pesona Gelombang Cinta, justru kaum pria yang mendominasinya.

Ada dugaan, karena dalam gejolak tanaman hias saat ini sangat kental bau bisnisnya. Juga bau spekulasinya. Tentu saja menyangkut perputaran uang yang tinggi. Apalagi bila mengingat tesisnya Deborah Tannen bahwa di kalangan pria itu lajim terjadi hubungan secara hirarkis, ada yang di atas dan ada yang harus di bawah, kalah-menang, persaingan, maka hal itu pula yang terjadi dalam boom tanaman hias dewasa ini.

Secara spekulatif dapat diartikan, dalam boom tanaman hias dewasa ini orientasi utamanya adalah kalah atau menang, untung atau rugi, dalam arti memperoleh atau kehilangan lembaran-lembaran rupiah. Hubungan semacam itu justru yang sering disingkiri kaum perempuan.

Tidak ada yang salah dengan pendekatan bisnis semacam itu. Tetapi alangkah mulianya, bila nilai-nilai keindahan, sentuhan feminitas yang lembut dan manfaat ekologis dari tanaman hias itu juga dimunculkan.

Misalnya bagaimana mereka-mereka yang sudah menjadi jutawan itu sukarela menghias arena publik terbuka dengan tanaman-tanaman yang mampu menyedapkan mata, memperteduh suasana dan menyehatkan kita semua warga. Apalagi di tengah ancaman serius bahaya pemanasan global dewasa ini terhadap satu-satunya bumi yang kita huni ini, ikhtiar menanam satu pohon saja sudah merupakan usaha yang bermakna.


Bambang Haryanto
Pemilik Tanaman Lavender (Anti Nyamuk)
Warga Epistoholik Indonesia


Sebagian dari para pebisnis tanaman hias itu memiliki sikap mental sebagai selebritas. Mereka ingin sukses berbisnis melalui cara instan, dengan melakukian jalan pintas. Tetapi ketika membaca-baca kliping tentang kiprah Pak Sukir selama ini, saya berpendapat, beliau dapat digolongkan bukan sebagai mereka yang bermental sebagai selebritas.

Majalah pertanian berwibawa, Trubus (No.446, Januari 2007 : hal.62- 63), memuat liku-liku menarik tentang asal-muasal tanaman jeruk bali madu dan kiprah Pak Sukir sejak tahun 1988. Menurut awal cerita, dua pohon jeruk yang buahnya besar dan terasa manis, tanpa rasa getir, yang berada di kebun milik mertuanya itu ia tangkar dengan cangkokan. Ada sebanyak 10 bibit untuk ditanam di lahan seluas ¼ ha.

Ia tertarik menanam karena pada 1986, saat baru menikah, dari 2 pohon indukan itu diperoleh 1.000 buah. Total pendapatan Rp. 500-ribu. “Nilai itu setara dengan 2 anak sapi,” tutur Sukir.

Prediksinya tepat. Saat panen pertama kali, pada 1997, ia memperoleh pendapatan Rp. 10-juta dari 10 pohon. Nilai itu luar biasa karena tanah seluas ¼ ha miliknya hanya dihargai Rp. 6-juta. Masyarakat Gembong gempar melihat harga jeruk bisa melampaui harga tanah. Sejak itulah tetangga Sukir mengikuti jejak menanam jeruk besar. Sang pionir pun memperluas penanaman hingga 2 ha sejak 1995-2003. Total jenderal ia memiliki 270 tanaman berbagai umur. Dari sanalah pada 2005 guru Sekolah Dasar itu memperoleh 5 ton setara Rp. 35-juta. Pada 2006, total panen dan pendapatan berlipat dua kali. Sukir menduga, saat ini di Kabupaten Pati tersebar 125.000 tanaman berumur 3-4 tahun.

Dengan jeruk, kata Pak Sukir, ia ingin ikut andil menyejahterakan warganya dan menciptakan lapangan kerja untuk anak-anak muda di desanya. Anda ingin tahu seperti apa rasa jeruknya ? Ketika Pak Sukir memboyong 2 truk --setara 8 ton-- jeruk besar ke Pameran Trubus Agro Expo 2006 di Taman Bunga Wiladatika Cibubur, Jakarta Timur, produknya itu telah menyedot perhatian pengunjung dan sesama peserta stan. “Luar biasa. Itu jeruk paling enak yang pernah saya cicipi. Manis tanpa rasa asam,” kata Ganis Harsono, pemilik Garfazh Utama Nurseri, di Jakarta, seperti dikutip oleh majalah Trubus.

Pak Sukir sempat mampir ke rumah saya. Selain jeruk bali madu, ia juga membudidayakan avokad dan buah naga. Saat itu ia sempat saya pameri buah avokad yang tumbuh di halaman belakang rumah saya. Saya yang tidak tahu menahu mengenai seluk-beluk tanaman avokad, yang pohonnya ditanam oleh om saya, Mulyono almarhum sekitar dua puluh tahun lalu, ternyata memberikan kejutan.

“Baru kali ini saya menemui buah avokad yang besar seperti ini,” tutur Pak Sukir. Dalam foto ia membandingkan dengan ukuran gelas es. Saya merasa tersanjung dengan pendapatnya itu. Dengan senang hati, saya memberikan dua buah avokad yang bijinya siap untuk ditanam dan juga bibit tanaman avokad. Sebaliknya, saya memperoleh dua tanaman jeruk bali madu dan tanaman buah naga.

Sungguh, tidak saya sangka, di halaman belakang rumah saya ada tanaman istimewa. Kenyataan ini semakin mengingatkan kata-kata Pak Sukir di stannya, sebelum ia mampir ke rumah saya, bahwa di sekitar kita itu selalu terdapat hal-hal istimewa yang dapat kita temukan, kita eksploitasi, untuk memperoleh kemajuan dan kemakmuran. Untuk itu dibutuhkan kejelian, cara pandang baru dan ketekunan.

Pak Sukir pantas mengungkapkan pendapat itu. Ketekunannya telah membuahkan hasil nyata. Ia meraihnya bukan melalui jalan pintas, tetapi dengan perjuangan panjang, meraih prestasi dengan bekerja keras, tekun, sabar, berproses langkah demi langkah, alami dan memakan waktu.


Kaca cermin komedian. Pak Sukir adalah sosok seorang hero. Di tengah meruyaknya budaya selebritas yang mengepung kita saat ini, di mana kalangan sosiolog menyimpulkan betapa budaya selebritas tersebut sangat berimpit ketat dengan budaya kriminalitas, ia menjadi semacam sosok yang langka. Saya bangga bisa mengenalnya.

Bukankah budaya kriminalitas juga meruyak dalam dunia komedi kita ? Silakan hitung, berapa sosok-sosok pelawak kita yang terlibat dengan pemakaian narkoba. Bahkan pernah heboh, seseorang pelawak yang memiliki akting dan kumis bergaya wapres kita, konon terlibat penipuan uang. Kalau boleh jujur, bukankah penyelenggaraan kontes pelawak model API-nya TPI itu juga model yang menempuh jalan pintas ? Lihat saja hasilnya, baik mereka yang juara atau mereka yang gagal : di manakah mereka kini ?

Oleh karena itu, kiranya tak ada salahnya bila saya kali ini sok mengimbau untuk kalangan pendukung dunia komedi kita, terutama yang muda-muda dan alumnus API, untuk menengok sosok hero seorang petani jeruk dari Pati ini. Syukur-syukur kalau bisa meneladani perjuangan hidupnya.

Karena seperti kata Mariah Carey, selalu ada sosok hero pada diri kita masing-masing : “So when you feel like hope is gone, look inside you and be strong / And you'll finally see the truth, that a hero lies in you.” Sementara itu Judy Carter, mentor komedian terkenal, telah juga bilang, “You are as funny as you think.

Secara kasar, bila menurut saya, kalau Anda berpikir bahwa diri Anda jenaka, maka jenakalah Anda pula. Kemudian untuk meraih cita-cita mengejawantahkan kemampuan jenaka Anda itu, selalulah menengok ke dalam diri Anda sendiri. Eksploitasilah harta karun dalam diri Anda sendiri itu. Temukanlah kebenaran, kesejatian diri Anda sendiri. Temukanlah nilai-nilai kepahlawanan.

Ujudkanlah cita-cita itu dalam bingkai budaya hero. Bukan melalui budaya atau cara jalan pintas, cara meraih tujuan yang berimpit dekat dengan budaya kriminalitas.



ke

No comments:

Post a Comment