Friday, January 16, 2009

The Harvard Lampoon dan Masa Depan Komedi Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Otak lucu dan jenius. “Empat tahun berkuliah di Harvard cukup sudah,” tutur John Updike (1932–2009 ), novelis dan penulis cerita pendek terkenal Amerika. “Saya memang masih harus banyak belajar, tetapi juga mendapatkan gagasan yang membebaskan bahwa sekarang saya mampu mendidik diri saya sendiri.”

Ia lulus dari Universitas Harvard pada tahun 1955 dan kariernya kemudian banyak terkait dengan majalah mingguan The New Yorker yang terkenal. Ia masuk jajaran dengan nama-nama penulis besar Amerika yang berkecimpung di majalah yang didirikan oleh Harold W. Ross yang terbit pertama kali tanggal 21 Februari 1925.

Para penulis itu antara lain Robert Benchley (1889-1945), humoris Amerika. Yang menarik dari keduanya adalah : selain sama-sama alumnus Harvard, juga sama-sama digembleng ketajaman ujung penanya ketika terjun mengelola majalah satir, The Harvard Lampoon (THL), saat mereka masih menjadi mahasiswa.

The Harvard Lampoon itu diluncurkan pertama kali tahun 1876 sebagai terbitan majalah humor oleh mahasiswa tingkat sarjana Universitas Harvard di Cambridge, Massachusetts. Terbit setahun lima kali, menurut Wikipedia, THL yang mengambil model majalah satir Inggris Punch itu kini nampak lestari sebagai majalah humor berbahasa Inggris yang mampu berumur panjang.

Yang juga membanggakan, kawah candradimuka THL tersebut kemudian mampu melahirkan alumnus yang menyandang nama-nama terkenal dalam dunia media, sastra dan humor. Sebut saja William Randolph Hearst (1863–1951), nama raksasa dalam dunia penerbitan media di Amerika Serikat. Atau George Santayana (1863–1952), kritikus dan filsuf kelahiran Madrid, Spanyol. Mereka yang berkiprah sebagai penulis buku, selain John Updike juga ada William Gaddis, Cass Sunstein, Simon Rich, George Plimpton, Fred Gwynne sampai Douglas Kenney.

Mereka yang terjun dalam dunia kepenulisan program televisi, selain nama Simon Rich di atas, juga ada B.J. Novak, Conan O’Brien dan Andy Borowitz. Untuk nama terakhir ini, yang lulusan magna cum laude dari Harvard, saya berlangganan kolom satirnya, The Borowitz Report, sejak 2007. Jejak mereka itu diikuti ratusan alumnus THL lainnya.

Bahkan dapat ditandaskan bahwa hampir setiap program televisi di Amerika yang menjadi hit dalam beberapa dekade terakhir pasti ditongkrongi oleh satu atau lebih otak-otak lucu dan jenius yang alumnus The Harvard Lampoon. Sebut saja acara Saturday Night Live (sejak 1975), Futurama, dan Late Show with David Letterman (1982).

Menurut Encyclopedia of 20th-Century American Humor (2000), buku babon seluk beluk dunia komedi yang dihadiahkan oleh Danny Septriadi kepada saya, alumnus THL juga menulis untuk program televisi seperti Seinfeld, Veronica’s Closet, Murphy Brown, Suddenly Susan, The Larry Sanders Show, Cracker, News Radio, Third Rock from the Sun dan The Naked Truth.

Anda kenal sitkom animasi The Simpsons (1989) ? Disebut sebagai sitkom animasi yang pemutarannya tercatat sebagai terpanjang dalam sejarah televisi, kisah Bart Simpson yang tak pernah naik kelas dari kelas empat sekolah dasar dan keluarganya ini, dalam masa produksinya telah memperkerjakan 36 penulis yang alumnus The Harvard Lampoon tadi.


Humor dipandang rendah. “Humor is serious, not just funny.” Itulah judul artikel almarhum Arwah Setiawan dan Bambang Utomo di koran The Jakarta Post (14/9/1992). Humor memang serius, tidak hanya jenaka. Dengan merujuk nama-nama alumnus pengelola majalah komedi sebuah universitas tersohor di dunia, juga kiprah spektakuler dan kreasi mereka setelah kelulusannya, mungkin kita dapat terinspirasi untuk membuka diskusi tentang bagaimana dunia kepenulisan humor itu, misalnya, bisa ditumbuh kembangkan di kampus-kampus kita.

Dengan mengambil contoh ranah komedi solo, Woody Allen menyatakan bahwa “ultimately, the success of stand-up comic is often determined by his material.” Material itu tidak lain adalah naskah. Begitu pentingnya naskah, tentu saja juga para penulisnya, kita dapat bercermin ketika hampir sepuluh minggu, dari 5 November 2007 hingga 8 Januari 2008 para penulis naskah program dunia hiburan Amerika Serikat melakukan pemogokan secara besar-besaran.

Mereka tergabung dalam organisasi penulis Writers Guild of America, East (WGAE) dan Writers Guild of America, West (WGAW). Kedua organisasi itu yang menghimpun sampai 12.000 anggota merupakan serikat pekerja yang mewakili para penulis untuk film, televisi dan radio yang berkarya di Amerika Serikat. Mereka melakukan pemogokan untuk melawan kebijakan dari Alliance of Motion Picture and Television Producers (AMPTP), organisasi dagang yang mewakili interes para produser film dan acara televisi Amerika Serikat. Isu pokok sengketa mereka adalah menyangkut pembayaran royalti bagi para penulis naskah untuk program-program yang ditayangkan di pelbagai media baru, yaitu media digital, utamanya di Internet.

Karuan saja saat itu dunia televisi Amerika Serikat menjadi kalang kabut. "Writers strike to hit TV first - and hard", tulis koran The Salt Lake Tribune (4/11/2007). Apalagi banyak kaum selebritis yang ikut mendukung mereka sebagaimana ungkap harian USA Today (9/11/2007) : “More celebs show solidarity at writers' picket lines.” Ketika terjadi pemogokan sebelumnya di tahun 1988 yang berlangsung hampir 22 minggu, telah mengakibatkan dunia industri hiburan Amerika Serikat merugi yang diperkirakan mencapai 500 juta dollar.

Mengomentari peristiwa itu, komedian David Letterman mengeluh bahwa tanpa penulis naskah dirinya ibarat Roger Clemens tanpa doping hormon pertumbuhan manusia. Roger Clemens adalah atlet bisbol yang saat itu bikin heboh karena tertangkap menggunakan hormon untuk meningkatkan prestasinya.

Tapi Letterman dalam menanggapi pemogokan itu juga sempat menyodok George W. Bush, sang sumber kaya untuk olok-olok. Ia katakan, para penulis naskah itu sebenarnya hanya punya dua tuntutan : mendapat royalti ketika karya kreatifnya ditayangkan di Internet dan menuntut agar George W. Bush memangku jabatannya empat tahun lagi !

Komedian yang juga alumnus THL, lulus dengan magna cum laude dari Harvard 1985 dengan konsentrasi Sejarah dan Sastra, Conan O’Brien, ketika memandu acaranya Late Night with Conan O'Brien tampil beda. Ia membiarkan brewoknya tumbuh lebat. “Dalam sepanjang hidup saya, saya tak pernah memelihara brewok saya. Kini saya menumbuhkannya sebagai tanda solidaritas kepada para penulis naskah dan sekaligus untuk menunjukkan kejantanan saya. Dua burung dengan satu lemparan batu !,” candanya.

Lain di Amerika, lain pula di negara tercinta kita. “Merujuk pentingnya fungsi humor, sungguh aneh bila humor tidak menjadi kajian yang serius di Indonesia. Bila di Barat humor atau komedi telah menjadi objek kajian sejak jaman Plato, sebaliknya bangsa Indonesia cenderung meremehkannya dan hanya memandangnya sebagai trivia, remeh-temeh belaka,” keluh Arwah Setiawan dan Bambang Utomo lima belas tahun lalu itu. Bagaimana potret aktualnya masa kini ?

Kita Mabuk Komedi. Potret nyata perlakuan dunia intelektual sampai dunia industri hiburan kita terhadap humor atau komedi sebagai hal yang remeh-temeh, mungkin dapat tercermin ketika menghidupkan pesawat televisi Anda. Tayangan komedi kita sebagian besar adalah komedi kasar, slapstick atau riddle, tebak-tebakan.

Sekadar contoh, Kelik Pelipur Lara dalam acara Dunia Dalam Ketawa (Antv), seolah ia sebagai penyiar bertanya kepada temannya : “Mengapa babi bau ?” Temannya menjawab, karena babi suka hidup di habitat yang kotor. Kelik lalu membuat jawaban yang rasa ia benar : “Karena babi mempunyai ketek empat, jadi sangat bau.” Penonton memang boleh tertawa. Tetapi kita tahu, itulah bentuk dari low comedy. Tebak-tebakan adalah lelucon untuk anak-anak.

Gambaran lain dari tayangan komedi kita di layar kaca kita bisa membaca komentar wartawan Kompas Budi Suwarna dan Susi Ivvaty (21/12/2008). Keduanya sempat menulis mengenai acara Empat Mata, kini Bukan Empat Mata : “Dari dulu begitu-begitu saja. Guyonan Tukul Arwana tidak banyak berubah selama 2,5 tahun membawakan acara tersebut.”

Pada laporannya yang terbaru berjudul “Menonton Komedi Sampai Mabuk” (11/1/2009), Budi Suwarna menulis mengenai acara komedi yang saat ini menjadi prima dona acara di televisi kita. Konon karena masyarakat saat ini sedang jenuh terhadap isu-isu politik dan dirundung stres akibat terjepit tekanan ekonomi, maka mereka mencari penghiburan lewat acara-acara komedi di televisi. “Itu sebabnya mereka merespons acara-acara komedi yang ringan dan bisa membuat mereka tertawa,” kata Zoraya Perucha dari Antv yang dikutip dalam laporan itu.

Akibatnya, ragam tontonan di televisi memang kian mengarah kepada hiburan semata. Apa pun acaranya, sebagian besar dikemas dalam bentuk ringan dan diasumsikan dapat menghibur penonton. “Talk show politik pun,” catat Budi Suwarna lebih lanjut, “kini, dikemas sedemikian cairnya hingga mendekati panggung lawak.

Alih-alih memberikan informasi yang berharga dan menjelaskan duduk perkara, talk show semacam itu justru menyajikan sederet kekonyolan. Para pengelola televisi beralasan, penonton sekarang kebanyakan tidak mau berpikir terlalu ruwet ketika menonton televisi. Karena itu televisi memberikan tontonan ringan.”

Premis pengelola televisi itu memang tidak dapat disalahkan. Ketika menonton televisi memang telah terjadi perubahan gelombang dalam otak kita : menurunnya gelombang cepat yang merupakan karakteristik aktivitas berpikir dan meningkatkan jumlah gelombang lemah yang merupakan karakteristik keadaan yang santai. Itulah sebabnya mengapa menonton televisi membuat kita santai, karena otak kita benar-benar dalam kondisi padam.

Liur anjing Pavlov. Menurut kajian Fred Emery dan Merrelyn Emery dalam bukunya A Choice of Futures: To Enlighten or Inform (1976), kondisi merasa santai bagi pemirsa itu menjadikan televisi sebagai kendaraan penyampai iklan yang efektif. Citra-citra dan pesan itu memasuki otak tanpa diproses, tidak dapat diingat kembali, tetapi dapat dikenali, misalnya ketika sang pemirsa itu berada di pasar swalayan.

Kajian ini mungkin memperkuat isi tulisan saya sebelumnya, betapa penonton tayangan komedi kita telah mengalami metamorfosis sehingga perangainya mirip sebagai “anjing Pavlov.” Sebutan itu diambil dari nama dokter Rusia, Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936), yang terkenal sebagai pelopor kajian mengenal refleks yang terkondisikan. Percobaannya yang melegenda melibatkan anjing-anjing yang kelaparan. Kepada satwa-satwa itu diperlihatkan makanan dan pada saat yang sama dibunyikan bel. Anjing-anjing itu mengeluarkan air liurnya.

Percobaan dilakukan berulang kali, sehingga akhirnya terbukti bahwa satwa tersebut ternyata tetap mengeluarkan air liur ketika bel dibunyikan, walau kepada mereka tanpa disodorkan makanan sama sekali. Alhasil, kita bisa bercermin : begitu tombol televisi dinyalakan, otak kita pun padam, sehingga yang memandu kita selanjutnya adalah bunyi bel yang membuat anjing-anjing dalam eksperimen Dr. Pavlov itu mengeluarkan air liur masing-masing.

Bunyi bel itu bisa berupa kata-kata “kembali ke laptop”-nya Tukul Arwana. Atau apa pun isi omongan si komedian atau nara sumber, yang tanpa perlu dikaji benar atau salah secara moral, atau berdasar pertimbangan akal sehat, maka refleks otomatis penonton komedi kita harus selalu tertawa dan kompak bertepuk tangan.

A mob is a group of people with heads, but no brains.

Jadi tidak penting lagi apakah audiens itu punya latar belakang sebagai anggota partai politik, mereka yang dari pakaiannya nampak sebagai umat yang taat beribadah atau pun anak-anak muda yang mengenakan jaket alma maternya, perilaku mereka sebagai gerombolan hampir identik ketika tampil sebagai audiens dalam sesuatu acara komedi dan bahkan juga acara non-komedi di layar kaca kita.


Otak mahasiswa tercecer. Olah kreativitas komedi di Indonesia masih berpeluang diselamatkan masa depannya, dengan mengeksploitasi kedahyatan media-media baru berbasis digital. Seorang Barack Obama bisa meraih kursi Gedung Putih antara lain berkat bantuan situs berbagi video YouTube.com, bahkan ia memerintah kini dengan tetap mengandalkan media yang sama untuk meraih rakyat.

Ide serupa a la Obama itu sudah saya sosialisasikan sebagai gerakan komedi indie sejak saya gagal di audisi API-4. Gagasan itu muncul setelah mengkaji pula sistem perekrutan model API yang nyatanya tidak begitu menjanjikan untuk kemajuan dunia komedi Indonesia. Media mainstream seperti televisi memang memiliki agenda tersendiri, mengejar rating dan iklan, dimana hal itu selalu tidak kompatibel dengan aspirasi baru di dunia komedi. Insan-insan cerdas dari dunia komedi Indonesia harus menempuh jalan alternatif. Jalan baru sesuai tuntutan jaman. Jalan digital. Keampuhan situs YouTube.com menanti mereka manfaatkan secara sepenuh daya untuk pengembangan talenta-talenta baru komedi Indonesia.

“Jangan hanya jadi konsumen industri kreatif.” Itulah kepala berita di harian Kompas (11/12/2008) yang melaporkan seminar bertajuk “Ilmu Pengetahuan Budaya sebagai Paradigma Keilmuan” yang dilangsungkan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Sumber daya manusia Indonesia harus juga menjadi produsen industri kreatif. Salah satu nara sumber, Sapardi Djoko Damono, mengatakan bahwa kultur bangsa-bangsa mengarah kepada kultur urban yang ditandai antara lain dengan kreativitas. Kreativitas dan bakat itu dapat dikembangkan. Perguruan tinggi, dalam hal ini Fakultas Ilmu Budaya, menjadi salah satu tempatnya.

Sebagai alumnus fakultas yang sama, saya berharap komedi ikut pula memperoleh porsi yang memadai untuk dikembangkan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tersebut. Minimal, dengan merintis penerbitan atau situs yang visi-misinya kurang lebih mirip dengan penerbitan The Harvard Lampoon dari Universitas Harvard itu. Imbauan ini juga berlaku untuk perguruan tinggi lainnya. Termasuk perguruan tinggi yang mahasiswanya suka tawuran, siapa tahu pengembangan seni berkomedi akan mengubah paradigma pikir dan perilaku mereka. Bahwa adu olok-olok lebih berbudaya daripada adu golok.

Kita pun berharap mereka akan terilhami oleh kata-kata John Updike, yang meninggal dunia ketika tulisan ini dipersiapkan, 27 Januari 2009 dalam usia 76 tahun, bahwa kelulusan dari bangku kuliah telah memberinya berkah, berupa “gagasan yang membebaskan bahwa sekarang saya mampu mendidik diri saya sendiri.” Bila hal vital itu tidak terjadi, maka tragedilah yang akan terjadi, seperti diceritakan dalam lelucon model Harvard di bawah ini.

Saya kutipkan dari bukunya wartawan brilyan majalah Fortune, Thomas A. Stewart, yang berjudul Intellectual Capital : The New Wealth of Organization (1997). Tentang rektor Universitas Harvard yang menjabat tahun 1909-1933, Abbott Lawrence Lowell. Suatu hari ada seorang tamu yang bertanya di kampusnya, “Bagaimana sedemikian banyak pengetahuan dapat terkumpul di hulu Sungai Charles ini, Tuan Lowell ?”

Lowell menjawab : “Oh, sangat sederhana. Setiap tahun kami menerima pemuda yang paling brilyan di Amerika” – pada masa itu hampir semuanya pemuda, dan hampir semuanya orang Amerika-- dan ketika mereka diwisuda empat tahun kemudian, mereka hampir semuanya tidak tahu dan tidak peduli apa-apa. Jadi, pasti mereka meninggalkan ilmu dan pengetahuannya di sini.”


Wonogiri, 4/1-7/2/2009


ke

4 comments:

  1. Ditunggu sambungan berikutnya mas... Btw, tidak pasang fasilitas RSS ya ?

    ReplyDelete
  2. iya mas, komedi terbaru kita kaya TawaSutra materi masih slapstick dan bikin daya pikir jadi tumpul. menyedihkan.

    ReplyDelete
  3. Mas, sekarang kita hampir tiap hari di suguhi komedian televisi yang seragam, terus ditambah lagi artis yang bukan pelwak yang terjun jadi komedian,apakah ini menunjukkan sebuah harapan baru bagi komedian kita apa sebaliknya...
    makasih nasehatnya....

    ReplyDelete
  4. Dear sobat-sobat pencinta komedi,

    Thanks untuk atensi Anda.
    Untuk Mas Riyanta, duh, aku engga tahu apa blogku ini sudah ada fasilitas RSS-nya atau tidak.Aku gaptek nih. Nanti aku akan belajar lagi. Thx.

    Untuk "Kang," aku setuju sama pendapatmu. Komedi a la Tawa Sutra muncul karena, mungkin gampang dibuat, dan hasilnya ya seperti itu. Anda harus bersuara untuk mengkritisi hal ini. Mau-mau-mau ?

    Untuk sobat "Malu Bertanya," ya saya maklum akan keprihatinan Anda. Lawak kok seragam, lalu di mana lucunya ? Bagi saya, fenomena semacam ini bukan harapan bagus untuk masa depan komedi kita. Engga apa-apa artis bukan pelawak terjun sebagai pelawak, asal ditopang oleh naskah yang bagus, terutama yang jujur dan masuk akal.

    Hmm, kapan Anda bikin blog untuk menyuarakan concern Anda tersebut ? Atau sudah ? Salam.

    ReplyDelete