Monday, May 18, 2009

Pemilihan Presiden Indonesia 2009 : Satire

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Bangkit dari abu dan api. Indonesia ibarat dongeng burung phoenix. Ketika dirinya merasa menua, ia akan masuk ke dalam kobaran api. Bulan Mei sebelas tahun lalu jadilah Indonesia yang terbakar mengiringi tumbangnya rejim Orde Baru.

Majalah AsiaWeek edisi 5 Juni 1998, memuat kartun yang menggambarkan sebuah mobil dengan nama “Indonesia” sedang terbalik, terbakar, bersama sang sopir, yaitu Soeharto didalamnya. Teksnya berbunyi : Famous last words : “Vrooom, vrooooomm…”

Seperti halnya legenda burung phoenix, dari reruntuhan abu bekas kebakaran itu muncul kemudian burung phoenix baru. Di bulan Mei 2009 kini, sebagian dari aktor yang bermain di balik kobaran abu dan terbakarnya Indonesia sebelas tahun yang lalu itu, telah muncul menjadi calon-calon pemimpin Indonesia masa depan. Bangsa Indonesia memang bangsa yang menakjubkan. Bangsa yang pelupa, yang mudah memaafkan, sekaligus mudah termakan iklan.

Hari-hari mendatang kita semua akan semakin dijejali dengan iklan, iklan dan iklan. Juga oleh janji, janji, dan janji. Karena sebagaimana ujar penyair, kritikus dan ahli kamus asal Inggris, Samuel Johnson (1709-1784), bahwa promise, large promise, is the soul of an advertisement. Pelbagai janji besar itu mulai meluncur ketika mereka melakukan deklarasi.

Merebut Bung Karno. Adalah pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang pertama kali melakukan deklarasi. Slogan “lebih cepat dan lebih baik” diusung dan dipraktekkan oleh pasangan tersebut. Mereka melakukan secara gerak cepat. Termasuk dalam hal memperebutkan semboyan dan slogan. Misalnya, ketika mereka memosisikan diri sebagai pasangan dwi tunggal.

Kita tahu, jargon ini terlanjur melekat di benak bangsa Indonesia untuk pasangan proklamator Soekarno-Hatta. Untuk mendekati realitas, bahkan mereka pun mendeklarasikan diri di komplek patung proklamator di Pegangsaan. Partainya Megawati, PDIP, dalam hal ini kalah cepat dalam merebut simbol-simbol politik masa lalu yang justru dicetuskan dan lekat bagi ayahnya, Bung Karno.

JK sendiri mengatakan bahwa perpaduan dirinya dengan Wiranto sebagai sesuatu yang cocok dan saling mengisi. Ilmu numerologi muncul lagi. “Hanura itu nomor 1. Golkar itu nomor 23. Jadi kalau digabung menjadi 1, 2, 3,” ujar JK.

Urutan nomor semacam itu mudah mengingatkan kita akan merek peranti lunak terkenal di masa lalu, Lotus 1-2-3. Tetapi kini merek tersebut tinggal mengisi sejarah, sudah kedaluwarsa dan tidak lagi digunakan oleh pemakai.

Pasangan JK-Wiranto sepertinya memang suka bernostalgia akan masa lalu. Ketika mendaftar di KPU, seperti ditulis oleh Seputar Indonesia (17/5/2009), JK sempat menyindir pasangan lain yang berasal dari daerah yang sama. “Kami pasangan pilpres, bukan pasangan pilkada,” tandasnya. Sasaran tembaknya adalah SBY yang berasal dari Pacitan dan Boediono dari Blitar, sama-sama dari Jawa Timur.

JK-Wiranto, menurutnya, merupakan pasangan yang merepresentasikan wilayah Indonesia yang luas. Kalla dari Sulawesi Selatan, istrinya dari Sumatera Barat, sedangkan Wiranto dari Jawa Tengah dan istrinya dari Gorontalo, Sulawesi Utara. Seorang pengamat politik, Dr. Sukardi Hambali dari Politika Humorista Institut Jakarta, nyeletuk :

“Kalau tesis JK-Wiranto semacam itu disetujui banyak orang dan agar berkesesuaian dengan dinamika geopolitik berskala regional dan global masa kini, maka pasangan yang ideal adalah pasangan yang bukan mereka berdua. Melainkan pasangan Yusril Ihza Mahendra sebagai calon presiden dan istri keduanya, Rika Tolentino Kato, sebagai calon wakil presiden. Keduanya sungguh merepresentasikan Indonesia, Filipina dan bahkan Jepang !”


Kaos McBoed di Bandung. Kita pindah ke Bandung. Kembali Megawati Soekarnoputri dan PDIP harus kehilangan semboyan perjuangan masa lalu ayahnya. Jargon terkenal dari Bung Karno, yaitu Indonesia Menggugat, telah digunakan oleh calon wakil presiden Boediono ketika berpidato dalam acara deklarasi yang bernuansa a la kampanye Obama-Biden di Amerika Serikat.

Bahkan pasangan SBY-Boediono, beserta istri masing-masing, naik ke panggung dengan mengenakan pakaian berwarna merah. Kita tahu, warna merah selama ini lekat disimbolkan sebagai warna seragam partainya Mega. “Slogan lebih cepat dan lebih baik juga bisa kami wujudkan. Itu bukan monopoli pasangan JK-Wiranto saja,” tutur salah satu anggota tim sukses SBY Berbudi.

Deklarasi SBY-Boediono di Sabuga ITB Bandung, memang meriah. Tepuk tangan dari hadirin, terutama anggota partai dan simpatisan, terkesan nampak rapi dan terorganisir. Tambahan lagi, seolah Rizal Mallarangeng bersaudara dari FoxIndonesia ingin menfotokopi persis hura-hura a la Obama-Biden, bahkan termasuk ketika rombongan undangan untuk menghadiri deklarasi menggunakan kereta api dari Jakarta ke Bandung.

Hanya saja, kalau Obama naik kereta api dari Philadelphia ke Washington DC dalam rangka mengikuti jejak rute Abraham Lincoln sebelum inaugurasi, rombongan pasangan SBY Berbudi naik kereta api Parahyangan sebelum deklarasi.

“Ini kereta api murah dan merakyat,” papar Rizal Mallarangeng di depan kamera televisi. Penggunaan kereta api yang bukan dicarter khusus itu dimanfaatkan untuk melunakkan tuduhan gencar politikus senior Amin Rais bahwa pemilihan Boediono sebagai cawapres merupakan penubuhan dari mashab ekonomi neoliberalisme yang diusung SBY.

Tudingan tentang mashab neoliberalisme ini memancing kalangan profesional kehumasan yang mewakili perusahaan besar berkomentar. Mereka menyayangkan bahwa, “duet SBY-Boediono malam itu benar-benar melewatkan momen televisi yang berharga. Dalam deklarasi, SBY Berbudi telah berani tidak lagi mengenakan baju biru, warna Partai Demokrat, maka sebaiknya mereka juga berani untuk tidak mengenakan peci. Dengan rambut tertata rapi, yang menjadi ciri khas keduanya, mereka berpeluang menjadi bintang iklan dari produsen minyak rambut. Yardley atau Mandom, pasti tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.”

Tambahnya sengit : “Kalau pun pakai peci, sembari mengambil muatan lokal Sunda, kenakanlah seperti posisi pecinya si Kabayan. Pecinya melintang. Biarkan sebagian rambut menyembul sebagai sarana masuk untuk menjadi bintang iklan minyak rambut. Jadi ada simbiosis ideal antara muatan lokal, nasionalisme dan sekaligus neoliberalisme !”

Acara deklarasi SBY Berbudi sampai menit-menit terakhir konon dibayang-bayangi aksi pembelotan kubu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Beberapa hari sebelumnya PKS menyatakan tidak setuju atas pengangkatan Boediono karena tidak merepresentasikan golongan Islam. Presiden PKS Tifatul Sembiring gencar bicara, bahwa dalam Islam ada gradasinya, sementara perwakilan Jawa-Non Jawa harus diperhitungkan, bahkan tak langsung menyebutkan adanya bibit-bibit “pemberontakan” bila keberadaan mereka tidak diwakili.

Ancaman itu merupakan permainan kartu untuk menegosiasikan posisi. Menurut kabar burung, PKS konon ingin memperoleh posisi kuat bagi kader-kadernya untuk memimpin departemen di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan. “Agar pasok kain putih tidak tersendat,” kata seorang pengamat. Karena jutaan konstituen PKS membutuhkan bahan pokok, kain putih itu.

“Lihat saja demo-demo mereka. Kain putih, seragam putih, itu ciri mereka. Bahkan demo untuk memprotes Israel dan demo memprotes ketidakadilan AS di Timur Tengah, telah menjadi merek dagang yang telah dipatenkan oleh mereka,” tuturnya lebih lanjut. PKS juga ingin memperoleh konsesi dalam hal memproduksi bendera-bendera Israel dan bendera Amerika Serikat.

“Kalau beli yang asli kan mahal. Kami harus mampu memproduksinya sendiri, guna memenuhi kebutuhan konstituen kami. Konstelasi geopolitik secara global mensyaratkan setiap kantor cabang kami di seluruh Indonesia memiliki cadangan cukup bendera-bendera Israel dan AS tersebut,” tegas salah satu fungsionaris PKS yang berlatar pendidikan S-3 di Jepang.

“Ketika Timur Tengah bergolak, kami bisa segera berdemo. Bendera negeri Zionis dan pendukungnya itu bisa dibakar oleh mitra dan konstituen kami untuk menjadi bahan liputan televisi yang dramatis dan mendunia !,” simpul akhirnya.

Malam itu, demo menentang SBY Berbudi juga terjadi di Bandung. Sekitar satu kilometer dari arena deklarasi di Sasana Budaya Ganesha ITB Bandung, ribuan mahasiswa berdemonstrasi. Antara lain mereka menolak penggunaan fasilitas kampus untuk sarana kampanye politik.

Sebagian mereka memakai kaos yang berisikan slogan-slogan menentang mashab neoliberalisme. Tergambar, dengan latar belakang logo golden arch-nya produsen makanan cepat saji McDonald, terpampang wajah SBY, Boediono, Hatta Radjasa, Sudi Silalahi, Sri Mulyani Indrawati, Rizal Mallarangeng, Andi Mallarangeng, sampai Dino Patti Djalal.

Di bawah wajah-wajah tersebut terdapat tulisan : McBY, McBoed, McHatta, McSilalahi, McMulyani, McMallarangeng sampai McDino. Sambil berdemo, para mahasiswa itu menenggak Coca Cola. Mereka pun agak lama menunggu kiriman burger dari gerai McDonald terdekat, karena lalu lintas Bandung tambah macet saat itu.

Malam yang alot. Di Bandung ada pesta, sementara di Jakarta dan Bogor malam itu terjadi negosiasi yang alot. Jadi benarlah bila beberapa hari sebelumnya kalangan intelektual Indonesia menyebut-nyebut adanya fenomena politisi malam.

Yaitu politikus yang menggalang dan menegosiasikan kekuasaan secara misterius, dalam kegelapan, melakukan politik dagang sapi yang tidak transparan, dengan tujuan semata-mata berbagi kekuasaan dengan tidak menghiraukan kepentingan bangsa dalam jangka panjang.

“Saya prihatin melihat mating season, musim cari jodoh yang menjadi ajang dagang. Tawar-menawar perjodohan kandidat presiden-wakil hanya merupakan tawar-menawar kekuasaan dan jabatan…Karena hanya kepentingan jangka pendek yang jadi pertimbangan, dua jenderal yang menyimpan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu diterima…Menerima dua sosok itu berarti menerima kembalinya pelanggaran hak asasi manusia,” demikian tulis Ayu Utami dalam kolomnya berjudul “Naik kereta dengan Pak Boed” (Seputar Indonesia, 17/5/2009).

Di ujung malam, Jumat 15/5/2009 itu, akhirnya Megawati dan Prabowo sepakat maju sebagai capres dan cawapres PDIP-Gerindra. Di BBC, pengamat politik Daniel Sparingga dari Unair berkomentar, Mega membutuhkan Prabowo karena tokoh ini banyak duitnya untuk membiayai pemasangan iklan-iklan mereka kelak.

Sesuatu yang aneh kemudian terjadi. Misalnya, kita bisa melihat sosok Boediman Sudjatmiko, aktivis PRD yang lalu menyeberang ke barisan Mega, atau aktivis HAM seperti Rieke Dyah Pitaloka, sejak malam itu diri mereka berada dalam satu kubu dengan Prabowo Subianto.

Pengikatnya, kedua kubu mengaku memiliki platform yang sama, utamanya dalam mengusung jargon ekonomi kerakyatan. Mega dan Prabowo tentu juga sama-sama mengenal nama-nama yang patut diduga menderita Stockholm Syndrome, yaitu Haryanto Taslam dan Pius Lustri Lanang.

Menurut desas-desus, tokoh Haryanto Taslam itulah yang sempat menjadi salah satu bahan negosiasi yang tidak mudah. Bila menang, kubu Prabowo menginginkan Departemen Hukum dan HAM ingin dijabat oleh Muchdi PR. Tokoh ini memang segera meroket ke publik sebagai tokoh yang sangat sadar hukum. Ketika dibebaskan dari tuduhan sebagai aktor intelektual dibalik terbunuhnya aktivis HAM, Munir, ia berencana menggugat balik kepada istri Munir dan pelbagai LSM lainnya.

Sementara itu kubu Mega, walau merasa pernah dikhianati atau ditinggalkan oleh kadernya yang bernama Haryanto Taslam, naluri keibuan dari Mega yang berbicara. Pengalaman diculik dan segala duka-derita yang dialami Haryanto Taslam ia anggap sebagai aset. Maka Mega menginginkan Haryanto Taslam, bila menang pilpres, untuk menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM.

Akhirnya diperoleh kompromi. Muchdi PR diplot sebagai Menteri Hukum dan Haryanto Taslam kelak diproyeksikan sebagai Menteri HAM. Win-win terjadilah.

Antitesa neoliberalisme. Negosiasi kedua tokoh ini memang paling alot. Isu yang beredar, kealotan terjadi bukan hanya karena Gerindra ingin mendominasi di bidang ekuin untuk mewujudkan mashab ekonomi kerakyatan. Tetapi kealotan itu bahkan merembet ke masalah kereta api dan lokasi seremoni deklarasi.

Konon, karena ingin menyaingi hebohnya kubu SBY-Berbudi, PDIP ingin menyewa kereta api dari Bali ke Jakarta. “Kebalikan dari rutenya Daendels. Sebagai isyarat dan simbol perlawanan kami berdua terhadap neoliberalisme yang diusung rival kami,” demikian tulis sebuah milis politik yang dekat dengan kubu Mega.

Lanjutnya, kereta api itu akan berhenti di Blitar. Untuk melayani ritus Mega yang terkenal, yaitu nyekar ke makam Bung Karno. Aksi itu juga merupakan gestur manis agar rakyat Blitar akan memilih dirinya di pilpres. Bukan memilih kubu Boediono dan Anas Urbaningrum, walau keduanya adalah orang asli Blitar.

Prabowo juga minta agar kereta berhenti di Solo dulu. Agar dia bisa nyekar ke makam pak Harto di Giribangun, Mangadeg. Juga sekaligus memberi pesan agar warga Solo dan sekitarnya, yang memang basis tradisionalnya Mega, agar memilih dirinya. Bukan memilih jenderal saingannya, yang orang Solo dan kini menjadi cawapresnya JK.

Kabar burung ia ingin mengunjungi Candi Sukuh, agar enteng jodoh sebagai kandidat wakil presiden. Tetapi kabar itu segera dibantah oleh fihak-fihak terdekatnya. “Hal satu itu bukan masalah kenegaraan yang mendesak. Ingat kasus Presiden Sarkozy. Ia menyunting Carla Bruni sesudah duduk di kursi presiden, bukan ?,” kata sumber tersebut.

Kebijakan tersebut dipilih demi menjaga keotentikan makna slogan triumvirat baru Indonesia yang diusung pasangan ini. Slogan satu ini, ketika slogan dan simbol-simbol terkenal dari Bung Karno keburu direbut pasangan pesaing, memang diilhami oleh keharmonisan para founding fathers Indonesia yang harmonis dan inklusif antara Soekarno, Hatta dan Sjahrir, ketika Indonesia masih berusia muda.

Semangat itu pula yang akan ditonjolkan saat deklarasi. Ketika di puncak seremoni deklarasi mereka, warga Republik Indonesia akan melihat triumvirat baru Indonesia di layar televisi mereka. Yaitu Megawati Soekarnoputri, pasangannya Taufik Kiemas, dan Prabowo Subianto.

Adegan herois tersebut akan terpancar dari lokasi tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang, Bekasi. Salah satu pentas sejarah politik Indonesia 2009 akhirnya berpihak ke tempat satu ini. Lokasi ini dipilih untuk mencerminkan keberfihakan PDIP-Gerindra kepada rakyat kecil.

Walau ada ganjalan, dari Jakarta, kedua tokoh itu akan sampai di lokasi upacara dengan menaiki mobil yang selama ini mereka gunakan. Mereknya pun sama : Lexus. Kubu konsultan politiknya Mega-Prabowo berkilah. “Karena mobil MR keluaran Mazda tahun 1980-an sudah tak diproduksi lagi. Padahal kami ingin memakainya.” MR adalah singkatan Mobil Rakyat.

Ekonomi kerakyatan. Sebelum kompromi bab lokasi deklarasi diteken, sebenarnya Gerindra mengajukan ide menarik. Agar seremoni deklarasi mereka juga bernuansa atmosfir perguruan tinggi seperti halnya SBY-Boediono di Sabuga ITB, kubu Prabowo minta seremoni deklarasi dilangsungkan di kampus Universitas Trisakti. Sekaligus untuk memperingati Tragedi Mei 1998. Keinginan ini, di kalangan ahli psikoanalis, disebutnya sebagai manifestasi sindrom burung phoenix.

Ketika itu, sebelas tahun lalu, 12-14 Mei 1998, saat pusat-pusat bisnis Jakarta sampai Solo yang merupakan wajah depan ekonomi liberal menjadi membara dan terbakar, dari asap hitam yang mengepul itu ternyata telah menerbitkan embrio gagasan jenial. Gagasan itu kini menjadi platform andalan para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang berebutan tampil sebagai kampiun dalam mengusung mashab ekonomi kerakyatan.

Implementasi dari mashab ekonomi kerakyatan itu, pada satu sisi, dimaknai dengan berulangnya kejadian di Indonesia seperti di tahun 1974, 1982 sampai 1998. Ketika huru-hara membara di perkotaan terjadi, ketika rakyat miskin kota berani menjarah sana-sini guna mencoba memperoleh pembagian roti pertumbuhan ekonomi, bukankah itu merupakan salah satu wujud dari mashab “ekonomi kerakyatan” yang aktual dan nyata bagi rakyat Indonesia ?

Apalagi di antara tiga pasangan yang berlomba dalam Pilpres 2009, kita belum lupa tentang mereka, terdapat sosok-sosok yang ahli dalam merekayasa wajah “ekonomi kerakyatan” di atas. Huru-hara menjelang Soeharto jatuh 21 Mei 1998, menunjukkan hal itu pula. Bahkan huru-hara serupa juga sempat menjalar sampai di Timor Timur 1999 pula. Apakah semua itu kini mudah bagi kita untuk melupakannya ?

Filsuf dan kritikus kelahiran Spanyol, George Santayana (1863–1952), berujar : mereka yang tidak mampu mengingat masa lampau akan dihukum untuk mengulanginya. Fenomena legenda mengenai burung phoenix nampaknya memperoleh tempat yang sentosa dan nyata bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Tragedi itu berpeluang kembali untuk terjadi dan terjadi lagi, ketika memori lama kita mudah menjadi luntur, tatkala dibombardir oleh iklan-iklan dan janji-janji yang akan sangat gencar kita terima pada hari-hari mendatang ini.


Wonogiri, 16-21/5/2009

ke

No comments:

Post a Comment