Thursday, December 29, 2011

Legasi Gus Dur dan Hari Humor Nasional 2011

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Islam Warna-Warni. “Religion and Democracy : Face-to-Face “ merupakan topik diskusi di dunia maya yang menarik. Saya temui dan tersaji di situs islamonline.net, 7 Maret 2005. Sayang, sumber informasi ini sudah terhapus.

Saat itu nara sumbernya adalah Caspar Melville, Direktur Eksternal situs openDemocracy.net, yang kini sebagai editor majalah The New Humanist.

Salah satu peserta diskusi adalah “doaa” yang mengaku sebagai mahasiswa teknik asal Mesir. Ia meminta penjelasan bagaimana kaum muslim dapat menjelaskan kepada dunia bahwa Islam memiliki budaya demokrasi.

Caspar Melville yang mengaku sebagai sekuler dan tidak tahu banyak tentang Islam, memahami rasa frustrasi yang dialami dunia Islam pasca 11 September 2001, yang mendapatkan tekanan untuk menjelaskan bahwa Islam bukan identik sebagai agama kekerasan.

Ia berterus terang bahwa untuk membahas topik menarik tersebut dirinya belajar dari artikel yang ditulis Fareena Alam, editor Q News, majalah muslim terpandang dari Inggris.

Fareena Alam, kelahiran London 1978, keturunan Bangladesh dan besar di Singapura itu, telah dikutip oleh Caspar Melville bahwa dalam Islam dikenal budaya demokrasi yang ia sebutkan sebagai tradisi “moderasi, tidak berlebih-lebihan dan keinginan untuk mencari jalan tengah.”

Caspar Melville juga merujuk perbincangannya dengan jurnalis dan tokoh muslim Inggris lainnya, Fuad Nahdi, pendiri Q News yang kelahiran Mombasa, Kenya, yang telah malang melintang di dunia pers seperti International Islamic News Agency, Associate Press, Los Angeles Times, Guardian dan BBC.

Dari keduanya Caspar Melville memperoleh pemahaman betapa sangat kayanya dan beragamnya sejarah pemikiran Islam yang menampung segala macam gagasan. Termasuk sekularisme, nihilisme, hedonisme, juga sejarah sistem pemerintahan Islam yang mampu secara tegas memisahkan antara negara dan agama.

Secara khusus, Caspar Melville menyatakan bahwa dirinya selalu menemukan kejutan ketika berbincang dengan tokoh-tokoh yang relijius, yang menurutnya selalu lebih jenaka, lebih terbuka pikirannya, dan jauh dari pola pikir kaku yang semula ia duga. Pendek kata, usulnya kepada sang penanya, berdiskusilah dengan tokoh-tokoh tersebut.

Warisan Gus Dur. Usulan Caspar Melville yang simpatik. Bagi saya, tokoh Indonesia yang muncul di benak saya terkait perbincangan seputar topik Islam, demokrasi dan kejenakaan, tidak lain adalah Gus Dur.

Gambaran sosok-sosok relijius sekaligus humoris selain Gus Dur, tentu saja juga mudah tertuju kepada Amin Rais, Gus Mus, Said Agil Siradj, Cak Nun, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, dan beberapa tokoh lainnya.

Hari ini, 30 Desember 2011, adalah tepat dua tahun wafatnya Gus Dur. Pada tanggal yang sama adalah tepat 10 tahun meninggalnya pelawak Wahyu Sardono alias Dono Warkop. Semoga kini keduanya senantiasa dikaruniai hidayah di sisiNya.

Sebagaimana tercetus tahun lalu, tanggal 30 Desember telah saya usulkan sebagai Hari Humor Nasional.

Dengan harapan, di momen tersebut makna luhur humor bagi kemanusiaan dapat kita kemukakan.
Kita renungkan.
Kita rayakan.
Juga kita reguki kedahsyatannya.

Semoga kita semakin yakin betapa humor pantas sekali sebagai harta jiwa yang senantiasa kita perjuangkan sebagai bekal bangsa Indonesia dalam mengarungi peradaban.


Wonogiri, 30/12/2011

Tuesday, December 06, 2011

Shazia Mirza, Komedian Islam dan Pesta Natal

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Shazia Mirza.
Anda pernah mendengar namanya ?

Dalam buku Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania, 2010), sosoknya saya ceritakan ketika membahas mengenai warisan penting almarhum Gus Dur bagi dunia komedi Indonesia.

Sekadar Anda tahu, wafatnya Gus Dur dan Dono, sama-sama 30 Desember, saya usulkan sejak tahun lalu sebagai Hari Humor Nasional.

Shazia Mirza adalah pelawak Inggris yang tidak lajim. Ia perempuan, lulusan biokimia Universitas Manchester dan keturunan Pakistan. Menceritakan isi kelasnya, ia bercerita bahwa mahasiswa muslim pria lebih banyak yang lebih pintar menguasai ilmu kimia dibanding dirinya. “Pantas saja, mereka tekun belajar karena ingin mampu membuat bom,” cetusnya.

Shazia Mirza itu kini datang ke Indonesia. Sahabat saya, pencinta komedi beraliran garis keras asal Jakarta yang ditunjukkan dengan kepemilikan ratusan buku-buku koleksinya (“semua buku bertopik humor, komedi sampai kartun yang dijual di Amazon.com sepertinya telah pindah ke lemari dia”), Danny, beberapa hari yang lalu memberitahukan kedatangan Shazia Mirza itu.

Bagi saya, kedatangannya itu seperti keajaiban. Ketika tanggal 20/10 sd 17/11/2011 saat saya memperoleh fasilitas dan kemewahan langka di Hilton Humor di Kramat Jaya Baru, saya sudah mengincar buku yang membahas dirinya.

Sekadar info, Hilton Humor itu adalah rumahnya Danny tadi, yang tidak berpenghuni, selain terisi dua almari yang berisi koleksi buku-buku di atas tadi. Hampir sebulan saya mendapat bea siswa dari Danny untuk mengeram di sana, bersama buku-buku tadi.

Buku incaran saya itu berjudul Beyond a Joke : The Limits of Humour (2009). Buku susunan Sharon Lokyer, dosen sosiologi dan komunikasi Universitas Brunel (Inggris) dan Michael Pickering, professor media dan analisis kebudayaan, Universitas Laoghborough (Inggris), bersampulkan wajah Shazia Mirza.

Tidak berjilbab. Shazia Mirza akan tampil bersama Ward Anderson (AS), Kamis, 8 Desember 2011, atas undangan The American Club Jakarta, Hotel Mandarin, Jakarta. Lebih menarik lagi, acara pemanggungan dua komedian tunggal itu bertajuk Jakarta Comedy Club Christmas Party.

Dalam wawancara di buku tersebut (hal.119-120) tersaji dialog menarik :

MP (Michael Pickering) : Apakah Anda masih mengenakan jilbab ketika tampil ?

SM (Shazia Mirza) : Tidak. Ketika tampil pertama kali saya tidak mengenakan jilbab, lalu mengenakan, dan sekarang tidak dan saya berpikir tidak akan mengenakannya lagi.

SL (Sharon Lockyer) : Mengapa ?

MP : Apakah itu kesadaran untuk melepaskan dari masa lalu ?

SM : Sebab saya tidak ingin dilihat sebagai komedian muslim, saya tidak ingin dilihat dari pandangan satu dimensi dan semua hal bisa saya bicarakan dan hal itu pula eksistensi dari hidup saya.

Juga tidaklah sangat luwes ketika orang-orang menjadi berpandangan sempit, ketika mereka melihat Anda berpakaian seperti itu dan mereka lalu berpendapat, “Oh, dia tidak boleh ini, tidak boleh itu, sehingga mereka berpendapat tentang Anda dalam tafsir yang tunggal.

Ketika saya berpikir seperti itu, ini gambaran hanya satu dimensi, dan saya bukanlah pribadi yang hanya satu dimensi.

Humor seksi di Tanah Suci. Itulah sepotong profil Shazia Mirza. Ia lebih lanjut mengaku, “Saya merasa lebih jujur sekarang ini. Ketika saya di awal menginjakkan kaki di dunia komedi adalah menfokuskan bagaimana agar orang-orang menjadi tertawa dan ketika Anda mampu mengerjakannya, Anda akan tertantang untuk melakukan hal lain yang lebih menantang, seperti berbagi cerita-cerita yang lebih menarik.”

Barangkali yang ia sebut menarik itu antara lain tersaji di halaman lain (hal.11) yang menceritakan Shazia Mirza ketika mengunjungi Tanah Suci :

“Tahun lalu, saya pergi ke Mekkah untuk membersihkan dosa-dosa saya, di mana saat itu saya berada di sekeliling Ka’bah. Semua perempuan mengenakan pakaian hitam-hitam, yang menyisakan lubang untuk mata mereka. Kemudian saya merasakan ada yang mencowel pantat saya.

Saya cuekkan saja.
Saya berpikir : ‘Saya sekarang berada di Mekkah, dan apakah yang mencowel saya tadi itu tangan Tuhan.’

Kemudian cowelan itu terjadi kembali. Saya tidak mengeluhkan hal itu lagi. Saya menjadi yakin, bahwa semua doa-doa saya telah terjawab."

Apakah lelucon yang sama akan ia tampilkan lagi, di Jakarta ini ?


Wonogiri, 7/12/2011