Monday, May 09, 2005

Bagito 1999 Vs Bagito 2005

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



BAGITO 1999. “Makanya jangan kaget, kalau pelawak pun tak salah membaca Alvin Toffler, Machiavelli, atau malah John Naisbitt”, kata Tubagus Dedi Suwandi Gumelar yang bernama komersial Miing Bagito. Pernyataan dan omongan “kelas atas” ini termuat dalam wawancara yang dilakukan oleh wartawan Kompas Retno Bintarti, Agus Hermawan dan Rudy Badil, dan dimuat dalam Harian Kompas, 10 Oktober 1999.

Wawancara dilakukan menjelang tepat 21 tahun kelompok lawak Bagito pada tanggal 28 Oktober 1999. Wawancara itu juga merujuk penerbitan buku Bagito Trio Pengusaha Tawa (1995) yang ditulis oleh Herry Gendut Janarto.

Memang tidak salah bila pelawak, setiap kali, harus memperkaya dan meningkatkan diri dengan membaca-baca buku karya-karya penulis terkenal. Akademisi pemasaran dari Universitas Indonesia, Rhenald Khasali, malah pernah menyanjung Bagito terkait dengan upaya mereka meningkatkan diri tersebut.


HARTA TIDAK KELIHATAN. Dalam artikel berjudul “Bagito” di tabloid Kontan (No.8/13 November 2000), Rhenald Kasali membahas apa yang disebut sebagai invisible assets, harta yang tidak kelihatan yang dimiliki sesuatu perusahaan. Harta yang satu ini memang tidak kelihatan seperti mesin-mesin produksi, peralatan pabrik, mobil atau gedung yang nampak secara fisik.

Harta ini tak kasat mata karena ia melekat dalam diri seseorang dan tidak dapat diperoleh dalam sekejap. Tapi ia bisa berkembang dan menghasilkan hal-hal baru dalam kehidupan. Seberapa jauh ia berkembang akan sangat bergantung pada kemampuan manusia memupuknya dalam diri sendiri dan tim yang ada di sekitar dirinya.

“Belajarlah dari Bagito”, kata Rhenald Kasali yang merujuk isi buku Bagito Trio Pengusaha Tawa, yang mengulas bagaimana Bagito memobilisasi harta tak kelihatannya dengan metode tumbuh dari bawah. Bagito, menurutnya, menjadi besar karena mampu memobilisasi dengan baik harta tak kelihatan yang Tuhan berikan kepada mereka.

Sukses Bagito tentu saja tak dapat dikopi begitu saja oleh siapa pun, karena setiap manusia punya jalan dan karakternya masing-masing. Tapi, setiap manusia perlu menyadari bahwa sejak dilahirkan Tuhan telah membekali dirinya dengan harta tak kelihatan yang harus dimobilisasi secara bijak. Dedi Gumelar, katanya, memang cuma tamat STM, tapi ia pernah tampak kuliah kembali di sebuah lembaga pendidikan. Tetapi seingat saya, Bagito belum pernah melucukan pendidikannya yang STM (Sekolah Teknik Melawak ?) tersebut.


INVESTASI ISI OTAK. Di mana kini posisi Bagito di tahun 2005 ini ? Satu dari tiga anggota trio Bagito, Hadi “Unang” Prabowo Suwardi, telah keluar. Setelah sukses tampil di stasiun televisi RCTI membawakan “Basho”, rasanya pamor mereka makin meredup. Menurut pandangan saya, seperti halnya para pelawak Indonesia, mereka nampak kurang berinvestasi dalam pendidikan, yaitu untuk mendidik diri mereka sendiri.

Benyamin Franklin (1706–90), politisi, penemu dan ilmuwan Amerika, berkata : ”If a man empties his purse into his head no one can take it away from him. An investment in knowledge always pays the best interest”. Apabila seseorang mengosongkan isi dompetnya untuk mengisi kepalanya, maka tak seorang pun mampu mengambilnya dari dirinya. Berinvestasi dalam bentuk pengetahuan selalu memberikan bunga yang terbaik.

Ketika Bagito memperoleh kontrak bernilai milyaran rupiah dari “Basho”-nya RCTI, kira-kira berapa banyak buku-buku tentang lawak yang telah ia beli untuk mengisi “aki” otak dan wawasan mereka ? Pertanyaan yang sama juga tetap relevan untuk diajukan kepada para pelawak-pelawak kita yang masih berkibar saat ini. Saya ragu mereka terpikir untuk melakukan hal penting itu. Juga skeptis apakah buku-buku bacaan “tingkat atas” yang Miing sebutkan di awal tulisan ini, sedari Alvin Toffler hingga John Naisbitt, telah mampu memperkaya gizi bagi lawakan mereka.

Sekadar info : Alvin Toffler ngetop di tahun 1970-an dengan buku The Future Shock dan 1980-an dengan The Third Wave. Jadi Bagito nampak telmi karena ia baru menyebutkannya di tahun 1999. Alias “terlambat” sembilan belas tahun lebih kan..boo.

Baru-baru saja Miing Bagito terpilih sebagai Sekretaris Jenderal organisasi Persatuan Artis Seni Komedi Indonesia (PASKI).

Semoga posisinya yang baru ini akan mampu membuka pintu selebar-lebarnya bagi dirinya untuk mewariskan cerita-cerita keberhasilan, kegagalan, juga hikmah atas perjalanan hidupnya sebagai salah satu tonggak sejarah seni komedi di Indonesia. Siapa tahu, sesuai ajaran Robert T. Kiyosaki bahwa “mengajarlah dan Anda akan menerima”, akan menghadirkan mukjijat bagi Bagito 2005. Bangkit dari keterpurukan !


Wonogiri, 8 Mei 2005

No comments:

Post a Comment