Monday, June 27, 2005

Kiat Sukses 26 Hari Menjadi Komedian !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


SEKOLAH PELAWAK : MIMPI DI SIANG BOLONG ? Di Amerika Serikat terkenal lelucon sehari-hari mengenai bola lampu.

Misalnya : Berapa banyak pembaca majalah Cosmopolitan (majalah wanita AS yang suguhannya seksi) yang dibutuhkan untuk mengganti bola lampu ? Jawab : Dua orang. Satu mengganti bola lampu dan satunya lagi memperoleh orgasme dengan bola lampu yang lama.

Pertanyaan : Berapa orang filsuf dibutuhkan untuk mengganti bola lampu ? Jawab : Tiga orang. Satu orang mengganti bola lampu dan dua sisanya saling berdebat mengenai apakah bola lampu tersebut eksis atau tidak.

Pertanyaan : Berapa orang pelawak yang dibutuhkan untuk mengganti bola lampu ? Jawab : Hanya seorang. Dirinya tidak suka berbagi sebagai pusat perhatian dengan pelawak lainnya !

Lelucon terakhir ini, hemat saya, relevan dengan isu yang berkembang dalam dunia lawak Indonesia mutakhir saat ini. Banyak pelawak atau pengamat dunia ha-ha-hi-hi di Indonesia tiba-tiba memunculkan isu bahwa dunia lawak Indonesia membutuhkan adanya lembaga pendidikan untuk mencetak pelawak-pelawak generasi baru.

Antara lain pelawak Kirun. Menurutnya seperti dikutip Republika (16/2/2005), pelawak merupakan profesi yang terbilang sangat sulit. Apalagi, kata dia, hingga kini belum ada lembaga pendidikan yang secara khusus mampu melahirkan pelawak.

''Saya merasa di Indonesia ini perlu ada sekolah yang bisa melahirkan pelawak,'' ujarnya dengan mimik serius. Sulitnya melawak dan membuat orang bisa tertawa disadarinya saat Kirun menjadi juri audisi pelawak TPI. ''Bisa gila dan stres menjadi juri untuk menilai para pelawak,'' imbuhnya.

Miing Bagito ketika dikutip Kompas (24/4/2005) berujar, “Kami ini kan engga ada sekolah untuk meningkatkan skill dan knowledge (keterampilan dan pengetahuan). Organisasi itu (PASKI : Persatuan Seniman Komedi Indonesia) nantinya diharapkan menjadi fasilitator untuk meningkatkan sumber daya pelawak”

Pengamat dunia lawak, Darminto M. Soedarmo, mengangankan berdirinya Institut Seni Lawak Indonesia. Dalam artikelnya di Suara Merdeka (5/9/2004), ia menulis, “Pendidikan seni lawak...salah satu tujuannya adalah mengubah mitos, bahwa seni lawak yang semula diyakini tergantung bakat dan anugerah alam, ternyata memiliki anatomi yang dapat dibedah menjadi sebuah sistem atau metodologi, dengan kata lain, dapat dipelajari lewat suatu institusi pendidikan”

Wacana mengenai pentingnya lembaga pendidikan untuk pelawak di Indonesia itu semakin riuh dengan hadirnya tulisan berjudul “Universitas Humor” yang ditulis Mohamad Fahmi di Kompas Jawa Tengah (21/6/2005). Sayang, dirinya nampak belum memiliki kekayaan informasi yang komprehensif guna menunjang usulannya tersebut.

Misalnya, Mendikbud Bambang Sudibyo ia usulkan membuka kampus khusus jurusan Humorologi Indonesia, dengan pertimbangan bahwa kita memiliki banyak maestro pelawak. Siapa maestro yang ia maksudkan ? Bing Slamet, S. Bagyo, Benyamin S, Srimulat, Warkop DKI dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka telah meninggal dunia dan tidak mewariskan dokumen tertulis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian !

Klaim kaliber katak dalam tempurung lain yang ia gulirkan adalah dengan mengatakan bahwa, “jurusan lawak: belum dibuka di muka bumi ini”. Bahkan, katanya, Indonesia akan dijadikan proyek percontohan “Humorologi” di dunia. Sebab ilmu ini, begitu klaim Mohamad Fahmi lagi, belum begitu diminati di berbagai belahan dunia.

Nampak jelas bahwa Mohamad Fahmi belum pernah mengenal nama-nama besar seperti Sigmund Freud yang pada tahun 1905 telah menulis artikel “Jokes and Their Relation to the Unconscious”, Arthur Koestler yang terkenal dengan teori asosiasi ganda (bisosiasi) sebagai formula lawakan dalam buku terkenalnya yang sempat saya temukan di Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Rawamangun tahun 1980-an, yaitu The Act of Creations sampai Norman Cousin yang mengaplikasikan humor sebagai terapi. Mohamad Fahmi rupanya juga sangat malas untuk sekadar membuka-buka ensiklopedia.

Sementara itu wartawati masalah hiburan, Tresnawati, dalam tulisannya di Suara Merdeka (1/6/2005) ketika mengevaluasi tayangan reality show Audisi Pelawak TPI (API), menyebutkan bahwa API adalah oase di padang pasir perlawakan Indonesia. Kembali mengutip pendapat Kirun, API disebutnya sebagai upaya mengisi kekosongan sekolah lawak di Indonesia.

Tetapi benarkah diperlukan lembaga pendidikan untuk mencetak pelawak ? Jangan-jangan, seperti isi lelucon tentang bola lampu dan pelawak tadi, usulan tentang sekolah pelawak hanyalah usulan basa-basi. Karena dunia pelawak adalah dunia yang sarat kobaran intrik, rasa iri dan kecemburuan.

Bahkan mungkin mirip perseteruan klasik antarsaudara kandung, sibling rivalry, di mana sukses yang lain akan menerbitkan iri hati atau rasa “makan hati” (terutama yang belum pernah membaca tesis abundance mentality dari Stephen R.Covey) pada diri saudara lainnya.

Usulan itu boleh jadi hanya basa-basi. Apalagi dikaitkan ke masalah praktikal, betapa mendirikan lembaga pendidikan merupakan hal yang teramat rumit. Menimbulkan persoalan tersendiri. Mungkin, dengan berdiri di balik kerumitan ini maka para pelawak yang merasa mapan dewasa ini akan terus merasa aman, karena sulitnya kemunculan saingan yang berpotensi menggerogoti sumber rejeki mereka.

Bagaimana kaderisasi pelawak di luar negeri ? Eko Patrio dikutip Suara Merdeka (14/9/2003), bilang, “saya tak tahu di LN ada sekolah lawak atau tidak”


ADA DOKTOR, ADA LULUSAN STM. Bill Cosby yang terkenal bermain sebagai tokoh Huxtable dalam serial televisi terkenal “The Cosby Show” senyatanya adalah seorang doktor kependidikan. Steve Martin, yang terakhir bermain dalam film komedi “Cheaper By Dozen”, adalah doktor ilmu filsafat. Komedian muslim Azhar Usman yang oleh koran prestisius The New York Times disebut memiliki humor yang “membunuh”, dan kini terkenal di Amerika Serikat, adalah lulusan master hukum di AS.

Komedian wanita muslim asal Pakistan yang terkenal di Inggris, Shazia Mirza, belajar biokimia di Universitas Manchester. Bruce Vilanch yang tiap tahun mengkreasi lelucon dahsyat untuk pembawa acara penganugerahan Oscar seperti Steve Martin, Billy Crystal, Whoppie Goldberg sampai Chris Rock, semula wartawan hiburan.

Gene Perett, kepala penulis lawakan Bob Hope dan pemenang 3 kali Emmy Award, adalah ahli gambar teknik yang berkarier di perusahaan General Electrics. Almarhum Wahyu Sardono, lulusan FISIP Universitas Indonesia. Miing Bagito dan Doyok, hanya lulusan STM.

Bukti di atas itu sekadar menunjukkan betapa dunia komedi adalah dunia ekspresi kreatif yang terbuka untuk semua insan, tanpa memandang asal-usul pendidikan mereka. Pelbagai latar belakang tersebut justru membuat khasanah dunia komedi menjadi sangat kaya warna dengan keanekaragaman topik sampai gaya.

Merujuk realitas tersebut, maka ide lembaga pendidikan pelawak adalah hal yang redundant, berlebihan. Di luar negeri di mana dunia komedi sudah jadi industri, ajang asah talenta di bidang penulisan humor dilaksanakan dalam mata kuliah penulisan kreatif yang dapat diikuti mahasiswa dari segala jurusan. Atau bagi yang serius dapat mengikuti pelbagai pelatihan jangka pendek, misalnya stand-up dan comedy writing, yang di AS jumlahnya banyak sekali.

Judy Carter yang memiliki Judy Carter’s Comedy Wokshops Productions di California (AS), malah berani menjamin bahwa dengan belajar sendiri selama 26 hari, seseorang sudah siap tampil sebagai stand-up comedian yang andal.

Selama 26 hari itu pelajaran yang harus dilakoni adalah : Hari (1) – Get a Gig : Menentukan Lokasi Pentas Melawak (12 kali sepanjang 26 hari), (2) Belajar Struktur Lelucon- Set Up, (3) Belajar Struktur Lelucon – Punchline, (4) Belajar Dengan Menonton, (5) Hidup Anda Adalah Lelucon, (6) Menulis Premis Autentik, (7) Menulis Topik Autentik, (8) Menserasikan Topik, (9,10 dan 11) Mengolah Lelucon Bersama Mitra Komedi, (12) Mengorganisasikan Set List (Daftar Lelucon), (13) Mempertajam Materi Lawakan, (14) Persiapan Pentas, (15) Gladi Resik, (16) Pementasan, (17) Merayakan Kesuksesan, (18) Menganalisis Pementasan, (19) Pengayaan Materi Lelucon Dengan Peristiwa Aktual, (20) Mempertajam Premis, (21) Mengeksploitasi Topik Yang Hit, (22) Mempertajam Materi Lawakan-Bagian II, (23) Membuang Lawakan Yang Tak Perlu, (24) Persiapan Pementasan Kedua, (25) Pementasan, dan (26) Seheboh Apa Pementasanku Malam Tadi ?

Di antara materi kursus Judy Carter, menurut pendapat saya, maka “mata pelajaran” yang paling sulit bagi calon komedian Indonesia adalah pada bagian menulis. Karena setiap komedian itu haruslah menulis. Merujuk tuntutan tersebut maka almarhum Wahyu Sardono (Dono Warkop DKI) adalah pribadi langka. Ia pelawak dan pernah menjadi akademisi di universitas ternama. Dono juga seorang penulis, baik artikel, buku kumpulan lelucon mau pun novel. Komedian Bill Cosby dan Steve Martin adalah seorang doktor yang juga penulis. Billy Crystal, Chris Rock, George Carlin sampai Joan Rivers, adalah contoh lain para komedian yang juga penulis.

Dono jadi fenomena langka di Indonesia. Para pelawak segenerasinya atau pun penerusnya, seperti Bagito, Patrio sampai Cagur, tidak menonjol sebagai penulis. Melainkan hanya sebagai pembanyol.

Prof. Sudjoko dari ITB pernah berujar bahwa semua yang kita kenal sebagai pelawak, badut, bodor, klontangan, ludruk dan sebagainya adalah pelakon, orang panggung, orang tontonan. Bukan penulis, bukan sastrawan. Dalang juga bukan penulis. Semua tidak mampu menulis. Sungguh pun begitu, bagi masyarakat (kita yang) mohbaca dan mohnulis, itu sama sekali bukan kekurangan, malah wajar, dan sudah semestinya begitu, sebab dari dulu selamanya memang begitu.

Dalam kungkungan budaya kerdil semacam itulah, pentas komedi kita selama ini disajikan. Memang muncul fenomena cerdas, seperti sitkom Bajaj Bajuri yang mengandalkan pada naskah secara ketat, tetapi selebihnya kita tahu sendiri.

Merujuk realitas itu maka kita boleh kuatir, bahwa kontes untuk menyeleksi pelawak semacam Audisi Pelawak TPI (API), akan terancam mengalami kemandekan. Audisi bersangkutan bila hanya kepingin merekrut calon-calon pelawak dan mengingkari pentingnya keberadaan penulis-penulis komedi yang baru, jangan berharap muncul cakrawala baru yang lebih cerah dalam dunia komedi kita !


KOMEDI KITA YANG STAGNAN. Mandulnya budaya menulis di atas memicu kronisnya problem dunia lawak di Indonesia. Seperti diungkap oleh harian Kompas (30/8/2001), bahwa dunia komedi Indonesia stagnan karena dunia lawak kita miskin orang-orang pintar. Tokoh-tokoh sekaliber almarhum Arwah Setiawan, Arswendo Atmowiloto, Jaya Suprana sampai Prof. James Dananjaya, adalah teoritisi humor yang mumpuni. Tetapi mereka bukan penulis naskah humor atau pelawak yang terjun ke lapangan.

Arwah Setiawan dan James Dananjaya memang menulis buku kumpulan humor, tetapi untuk dibaca dan bukan untuk dipanggungkan. Darminto M. Soedarmo, mungkin karena kendala bahasa atau hambatan akses informasi yang kronis, dirinya kurang mendapatkan pasokan informasi mutakhir yang tepat guna sebagai bahan tulisannya.

Sementara pelawak lainnya, yang lalu lalang di layar televisi, bahkan juga menjadi mentor/pembimbing sampai menjadi juri dari Audisi Pelawak TPI (API), sebagian besar jauh dari tradisi olah intelektual yang dibutuhkan untuk menunjang kemajuan dunia komedi kita : mereka sama sekali bukan pula penulis !


MEMBEBERKAN CACAT PRIBADI ! Semoga boom pemunculan puluhan stasiun televisi nasional dan lokal dewasa ini (akan ada 53 stasiun televisi baru lagi !) mampu mendorong terjunnya anak-anak muda pintar dan berbakat meramaikan dunia komedi kita.

Tetapi ingat, seperti kata almarhum Dono, membuat lelucon yang benar-benar lucu itu setengah mati. Edmund Gwenn, aktor komedi Hollywood era 1940-an saat menjelang ajalnya berbisik kepada aktor Hollywood terkenal lainnya, Jack Lemmon, bahwa sekarat menuju kematian itu menyakitkan, tetapi tidak sebegitu menyakitkan dibandingkan berpentas sebagai komedian. Jim Carrey pernah mengungkapkan pahitnya perjalanan hidupnya :

“Sebelum film Ace (Ventura, Pet Detective) diluncurkan, saya menghabiskan waktu selama 15 tahun untuk bergulat dalam sirkuit dunia komedi. Saya pernah mementaskan seratus lima puluh kali akting, ternyata harapan untuk terkenal dan sukses itu hanya mengabur kemudian. Terlalu sering seseorang eksekutif studio bilang bahwa diri saya memiliki peluang, dan, ternyata saya harus kembali mengarungi kegelapan lagi”

Dunia komedi bila dilihat dari luar, adalah dunia penuh canda. Tetapi bila disimak dari kacamata para pelakunya, ada tuntutan sangat keras di sana. Seperti kata guru komedi Judy Carter, bahwa para jenakawan adalah orang-orang yang aneh. Kalau kebanyakan orang berusaha menyembunyikan segala cacat dan celanya, para jenakawan justru membeberkannya kepada dunia. Anda berani ?

Menurut pendapat saya : tidak banyak pelawak Indonesia yang telah berani melakukan hal mengerikan ini. Maka tak ayal, seperti diungkap oleh Garin Nugroho di Kompas (27/3/1994) : humor televisi di Indonesia belum banyak yang mampu mengangkat rangsang manusiawi dalam diri pemirsa, seperti keharuan, kegembiraan, cinta sampai rasa ikatan persaudaraan.

Suka atau tidak suka, pelawak Indonesia masih sibuk melucukan aneka lubang yang ada di tubuh manusia dan aneka zat yang keluar darinya !



Wonogiri, 27 Juni 2005

No comments:

Post a Comment