Saturday, July 16, 2005

Pelawak : Kepada Siapakah Sebaiknya Mereka Belajar ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Miing Mengintimidasi ? Miing Bagito sedang menasehati ataukah justru sedang mengintimidasi ? Dalam salah satu tayangan di stasiun televisi swasta TPI seputar kegiatan di belakang layar para calon kontestan Audisi Pelawak TPI 2 (API 2) di Bandung, pelawak Miing Bagito didaulat untuk memberikan petuah. Miing pun tampil dengan percaya diri. Ia mula-mula menyesalkan mengenai makin redupnya pelawak generasi baru yang muncul dari Bumi Priangan selama ini.

Miing pun melanjutkan, dari pengalamannya selama 27 tahun ia berpendapat bahwa di panggung banyak pelawak yang pintar, tetapi tidak banyak yang berbakat. Lalu menurutnya, panggung lawak adalah arena yang sukar untuk dimasuki. Hanya itu saja yang bisa saya dengar dan catat dari petuahnya saat itu.

Umpama saya saat itu hadir sebagai salah satu kontestan API 2, jelas saya pasti hanya bingung berat. Karena memang tidak tahu mana nasehat atau petuahnya yang sebaiknya dituruti atau ditindaklanjuti. Informasi yang ia sampaikan bukan pula hal yang baru. Petuah Miing itu justru mudah menimbulkan tanda tanya besar : apakah itu benar-benar dorongan yang tulus darinya bagi para pelawak generasi baru tersebut ?

Jangan-jangan Miing sedang melancarkan intimidasi, teror mental terselubung, terhadap para calon pelawak-pelawak tersebut, calon pesaingnya di masa depan, sehingga mereka menjadi ciut nyalinya ? Ini bukan masalah buruk sangka. Sebab seperti sudah saya tulis sebelumnya, walau mungkin tidak diakui, betapa dunia pelawak adalah dunia yang sarat kobaran intrik, rasa iri dan kecemburuan.

Bahkan saking sengitnya, saya menyebutnya mungkin mirip dengan perseteruan klasik antarsaudara kandung, sibling rivalry, di mana sukses yang lain akan menerbitkan iri hati atau rasa “makan hati” (terutama yang belum pernah membaca tesis abundance mentality dari Stephen R.Covey) pada diri saudara lainnya.


Dalam kesempatan lain, tampil adiknya, Didin Pinasti. Didin mengharapkan para calon kontestan harus mau banyak belajar, terutama bergaul dengan para senior. Belajar lewat membaca-baca buku ? Tidak muncul nasehat Didin yang semacam itu, saat itu.

Baiklah. Tetapi benarkah belajar melawak dari para senior merupakan anjuran terbaik ? Kemudian, kira-kira, menurut Anda, siapakah sosok pelawak senior kita yang layak dan ideal untuk dijadikan sebagai guru untuk belajar melawak ?

Sesepuh pelawak Yogyakarta, KRT Susanto Gunoprawiro (Pak Guno), menyebutkan bahwa kini penonton lah yang menjadi pelawak. Karena mereka sudah mengetahui dan bisa menebak isi lawakan. Katanya, saat ini ia melihat banyak pelawak tua mau pun muda yang kehabisan ide. Itu membuktikan bahwa mencari bahan lawakan memang sulit.

Tambahnya lagi, bila pelawak dan materi lawakan yang itu-itu saja, baik plesetan atau pun lawakan yang menyerempet wilayah-wilayah biru atau porno terus diulang-ulang di belasan stasiun televisi setiap malam, seperti prediksinya, akan membuat banyak penonton merasa tidak lagi terhibur dengan sajian pelawak. “Pelawak akan mati”, tegas Pak Guno seperti dikutip Radar Yogya (27/4/2005).


Sulitnya Mengajar Komedi. Kini kita terpaksa bertanya ke luar negeri. Apa boleh buat. Seorang Greg Dean, penulis buku Step By Step to Stand-Up Comedy mempunyai cerita menarik. Ia katakan, pada pertengahan tahun 1980-an sampai 90-an, pentas komedi solo (stand-up comedy) mengalami booming di Amerika Serikat.

Saat itu industri komedi laris manis, katanya seperti penjualan Viagra. Klub-klub komedi bertumbuhan bak cendawan di musim hujan dan kebutuhan terhadap pelawak pun memuncak. Akibatnya, kursus-kursus untuk menggelontor pasokan komedian-komedian baru juga bertumbuhan.

Sejalan dengan semakin populernya komedi, produser televisi yang beranggaran cekak sadar bahwa mereka dapat merancang program pentas komedi solo dengan anggaran seadanya. Hal itu bisa terjadi karena komedian solo bekerja sendirian dan mampu membuat materi lawakannya sendiri. Hal serupa yang juga dapat mereka kerjakan adalah merekrut beberapa penulis lelucon, kemudian pembawa acara (MC) yang punya nama, jadilah mereka memiliki acara pentas komedi di stasiun televisi mereka.

Formula serupa pernah dicoba oleh TransTV. Pelawak Taufik Savalas dengan pentas “Comedy Club” yang disiarkan di TransTV, 2004, adalah salah satu contoh kasus serupa di Tanah Air. Eksperimen pentas komedi solo yang pertama kali di stasiun televisi di Indonesia tersebut tidak membawa hasil gemilang. (Silakan baca artikel saya di blog ini pula : “Taufik Savalas, Lelucon Porno dan Stand-Up Comedy”).


Kejenuhan kemudian melanda dunia komedi AS pada pertengahan tahun 1990-an. Banyak klub komedi tutup. Akibatnya, mereka yang selama ini menjadi pemilik komedi klub atau komediannya, dalam upaya bertahan hidup, diantaranya beralih profesi sebagai instruktur atau guru melawak.


Greg Dean wanti-wanti berpesan bahwa dengan menjadi komedian atau pemilik klub komedi sebenarnya belumlah cukup untuk tampil mengajar komedi. Mengajar memerlukan dua hal. Pertama, pengetahuan mengenai subjek yang diajarkan. Kedua, pengetahuan tentang bagaimana mengajar. Seseorang yang telah menjadi pelawak atau menjadi pemilik klub komedi tidaklah otomatis menjadikan dirinya andal sebagai guru komedi, persis sama sebagaimana seorang pemain baseball hebat tidak pula otomatis tahu bagaimana mengajar orang lain menjadi cakap bermain baseball pula.

Mengetahui bagaimana mengerjakan sesuatu tidaklah sama dengan kemampuan untuk mengajarkan sesuatu kepada orang lain. Seringkali pemain terbaik dalam bidang tertentu terlalu rewel, kritis dan kurang sabar ketika menanamkan teknik-teknik yang mendasar kepada murid-muridnya yang masih muda. Mereka ingin cepat-cepat menuai hasil secara segera.

Tetapi seringkali, banyak guru terbaik justru bukan mereka yang terbaik dalam bidang bersangkutan. Contoh : Tommy LaSorta hanyalah seorang pitcher dan pemain baseball profesional yang berkualitas rata-rata, tetapi merupakan pelatih yang hebat. Dirinya mampu mengomunikasikan keterampilan yang dibutuhkan pemain baseball profesional kepada para pemainnya. Ia seorang guru yang ekselen dan pengetahuannya cocok untuk murid-muridnya !


Bagaimana kalau para pelawak mengajar calon pelawak ? Menurut Greg Dean, fenomena ini yang paling sering dijumpai. Tetapi menurutnya, menjadi pelawak dan menjadi guru merupakan dua gugus kubu keterampilan yang berbeda. Memang benar, dalam satu dan lain hal, bila Anda memiliki pengalaman dalam bidang tertentu merupakan modal untuk menjadi instruktur secara lebih baik. Pelawak menjadi instruktur pelawak, menurutnya, menyimpan sisi positif dan pula sisi negatif.

Sisi Positif. Anda memiliki peluang untuk tampil secara teratur tiap minggunya di depan pelawak profesional. Dia memahami bahwa Anda membutuhkan jam terbang pentas sesering mungkin. Pelawak yang mapan dan sudah berpentas bertahun-tahun memiliki harta karun informasi dan dapat memberikan nasehat berdasarkan pengalamannya. Dirinya tahu bagaimana menulis lelucon, menyusun rutin, mengelola pengganggu pentas, mengatur irama pertunjukan, menyesuaikan pertunjukan untuk penonton yang beragam, mengembangkan kepribadian dan ciri khas pelawak, dan lain sebagainya.

Dirinya juga tahu bagaimana mencari order pentas, tahu bayaran yang pantas dan punya jaringan koneksi yang banyak. Pengetahuan yang dipetik dari pengalaman bertahun-tahun itu tak ternilai harganya, dengan catatan si instruktur tersebut sudi berbagi informasi dengan anak didiknya. Apabila Anda menjumpai instruktur pelawak yang juga pelawak dan dirinya mampu mengartikulasikan apa yang ia ketahui menjadi pengetahuan, Anda orang yang beruntung.

Sisi Negatif. Dengan berstatus sebagai pelawak yang tahu bagaimana mengerjakan semua hal di atas tadi bukan berarti dirinya mampu mengomunikasikannya secara komprehensif. Menghabiskan waktu bertahun-tahun mengerjakan sesuatu tidaklah sama dengan belajar bagaimana mengajarkan hal yang sama. Banyak pelawak tahu bagaimana menulis lawakan, tetapi bukan berarti dirinya mampu mengajar Anda untuk menulis lawakan pula.

Mereka mungkin faham dalam merangkai lawakan, atau rutin, tetapi bukan berarti dia mampu mengajar Anda untuk membuat rutin pula. Hal serupa juga dapat terjadi dalam hal mengelola pengganggu pentas, mengatur irama pertunjukan, menyesuaikan pertunjukan untuk penonton yang beragam, mengembangkan kepribadian dan ciri khas pelawak, dan lain sebagainya.

Pelawak dalam beraksi mendayagunakan beragam teknik yang mereka pelajari selama bertahun-tahun, tetapi karena pelbagai keterampilan itu diperoleh dengan cara mencoba dan salah (trial and error), maka sebagian besar pengetahuannya itu tersimpan di bawah kesadaran. Akibatnya, sungguh merupakan hal yang sulit atau bahkan mustahil, bagi para pelawak dalam mengartikulasikan segala yang mereka ketahui ke dalam sesuatu mata pelajaran yang dapat diserap oleh anak didik sesuai pengalaman pribadi anak didik bersangkutan.

Seringkali, sebagai pengejawantahan teknik, pelawak yang bersangkutan justru menulis lelucon dan menyusunnya menjadi rutin untuk bahan pentas anak didiknya. Atau menceritakan sesuatu lelucon yang telah ia tulis dan merangkainya menjadi rutin. Tindakan semacam ini bukanlah pengajaran. Menceritakan lelucon adalah memberi contoh, bukanlah mengajar.

Masalah serius lain bagi pelawak yang menjadi instruktur adalah kuatnya kecenderungan untuk mengkloning diri mereka sendiri. Mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menghadirkan kelucuan sehingga seringkali menyuruh anak didiknya untuk mengerjakan apa yang telah ia lakukan itu sebagai wujud pengajaran.

Pilihan yang keliru. Anak didik seyoganyanya diajar sehingga mereka dapat melakukan percobaaan, bereksperimen, hingga mampu menemukan kepribadiannya sendiri sebagai pelawak. Pelawak memang harus berbeda antara satu dengan lainnya, karena mereka memang pribadi yang berbeda.

Apabila Anda mengikuti workshop dimana pengajarnya adalah pelawak dan apa yang dia sampaikan sebagian besar hanya bercerita sana-sini, membual tentang nama-nama besar, atau menuliskan materi lawakan untuk Anda, sebaiknya anda mempertimbangkan untuk berganti pengajar. Apa yang Anda perlukan adalah pengajaran mengenai teknik-teknik komedi yang dapat Anda daya gunakan untuk sepanjang karier Anda sebagai komedian !

Audisi Pelawak TPI (API) senyatanya adalah arena di mana pelawak yunior banyak belajar dari para seniornya. Termasuk belajar memperoleh intimidasi dan teror terselubung dari mereka. Di masa-masa mendatang, pencinta lawak di Indonesia jelas hanya bisa menunggu buah atau hasil dari ajang semacam ini. Semoga hasil yang positif yang lebih mencuat ke permukaan !


Wonogiri, 14-15 Juli 2005

No comments:

Post a Comment