Thursday, November 03, 2005

Komedian Itu Hadir Untuk Menjual Gagasan, Bukan Hanya Lawakan !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Kena Marah Ibu Mien Uno. Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, 8 April 2002. Hari penganugerahan bagi pemenang Honda : The Power of Dream Contest 2002. Di acara penutup, para kontestan, juri, panitia dan eksekutif PT Honda Prospect Motor, naik panggung. Dipandu violis jelita Maylaffayza Permata Fitri Wiguna dan ben pengiringnya, kami ramai-ramai menyanyikan lagu “I Have A Dream”-nya ABBA.

Sebelumnya kami dan ratusan tamu bersantap siang, dengan menu seperti grilled chicken salad with field greens and walnut oil vinaigrette, pumpkin bisque with red curry and coriander sampai pan fried seabass on creamed spinach and potato with mushroom salsa.

Saya adalah salah satu dari enam pemenang kontes meraih impian yang diadakan oleh pabrikan mobil Honda di Indonesia tersebut. Sebelum resepsi dimulai, saya sibuk menemui para juri. Minta tanda tangan kenangan. Antara lain dari Susi Susanti, peraih medali emas bulutangkis Olimpiade Barcelona, sampai Satoshi Okamoto yang Vice President PT Honda Prospect Motor. Ia menuliskan kata-kata berhuruf kanji, yang terjemahannya “Semua Kawan”.

Sutradara film Riri Riza menuliskan pesan dan tanda tangan di buku yang khusus saya beli, Ada Apa Dengan Cinta ? : Skenario Jujur Prananto (2002) di mana Riri bersama Mira Lesmana adalah produser film laris ini. Ketua juri, Arswendo Atmowiloto, menuliskan hal yang sama di bukunya yang rada sulit saya temukan, yaitu Menghitung Hari (1996). Sementara tokoh pendidik Mien Uno dengan senang hati pula membubuhkan pesan dan tanda tangan di buku Menjadi Wanita Indonesia yang merupakan buku biografi beliau yang disusun oleh Herry Gendut Janarto.

Ibu Mien Uno sebelum membubuhkan tanda tangan, sempat meminta kartu namaku. Sejurus saya ambil segepok kartu yang seukuran kartu nama, polos, lalu saya tulis dengan bolpoin nama dan alamatku. Ternyata Ibu Mien Uno tak begitu berkenan dengan kartu nama “manual” itu. Beliau memberiku nasehat agar aku membuat kartu nama yang tercetak. Nasehat beliau itu aku camkan.

Sebenarnya kartu-kartu polos yang aku bawa-bawa itu, selain sebagai kartu nama darurat, juga saya gunakan untuk mendokumentasikan lelucon. Dari pengamatan terhadap corat-coret di dinding sampai menguping perbincangan orang, bila kuanggap lucu, akan segera aku tuliskan di kartu. Tetapi tidak jarang, upayaku ini memunculkan kesalahpahaman.

Seseorang yang mengetahui bahwa saya sedang menghimpun lelucon, sering dirinya tiba-tiba antusias untuk mengeluarkan koleksi lelucon yang ia miliki. Sebagian besar merupakan lelucon yang bukan berdasar pengalamannya sendiri. Segian besar lelucon itu dihafalkan dari sumber lain. Keadaan yang lajim kita temui tersebut mengingatkan saya “sinyal lampu merah” untuk para komedian dan calon komedian yang dilansir oleh seorang instruktur komedi yang terkenal, Judy Carter seperti berikut ini :

”We funny people are not normal. In my workshops, the normal ones are not the funny ones. We think differently. Normal people express their sense of humor by memorizing jokes ; comics transform their life experiences into punchlines and write their own jokes”

“Kita para jenakawan bukanlah pribadi normal. Dalam workshop komedian yang saya adakan, orang-orang normal bukan jenakawan. Kita berpikir secara berbeda. Orang-orang normal mengekspresikan selera humornya dengan menghafalkan lelucon, sementara komedian mentransformasikan pengalaman hidupnya menjadi bahan lawakan dan menulis lelucon-leluconnya sendiri”


Menghumori Diri Sendiri. Rumusan Judy Carter itu segera mengingatkan saya akan sosok stand-up comedian yang tergolong sebagai legenda, Rodney Dangerfileld (81), yang meninggal tahun lalu. Seperti diwartakan Solopos (11/5/2003), begitu keluar dari rumah sakit UCLA Los Angeles selama dua minggu, ia sudah mendagel tentang dirinya. Menanggapi operasi otaknya, di acara konferensi pers Rodney ringan saja bilang : “Jika kamu ingin mengurangi berat badan, lakukan apa yang saya lakukan : diet untuk operasi otak”

Pelawak Indonesia yang tidak sungkan menertawai kekurangan dirinya adalah almarhum Ateng Suripto. Ia meninggal pada usia 61 tahun, 6 Mei 2003 di Jakarta. Pengamat lawak Herry Gendut Janarto yang dikutip Kompas (7/5/2003) mengatakan bahwa Ateng adalah tipe humoris, bukan joker. Ia mampu menertawakan diri sendiri, dan mungkin itu yang membuatnya awet.

Kalau Anda nonton lawak di televisi, lalu untuk memancing tawa antara mereka saling berolok mengenai kekurangan masing-masing, terutama fisik, jelaslah mereka hanyalah kumpulan para joker semata. Lihatlah, ketika manggung, mereka suka berpakaian sebagai badut-badut. Pelawak laki-laki tetapi memakai baju perempuan. Memakai rambut palsu warna-warni. Memakai pakaian yang tidak lajim. Mereka suka sekali menyembunyikan diri mereka sebenarnya. Oleh karena itu, mereka senyatanya belum berkaliber sebagai humoris atau pun komedian.

Para joker tersebut memang sering tampil ramai-ramai. Minimal bertiga. Kwartet Jaya. Jayakarta. Warkop Dono Kasino Indro (DKI). Bagito. Patrio. Cagur. Saya tidak tahu mengapa sajian lawakan di Indonesia selalu tampil dengan gaya Srimulatan, yang beramai-ramai itu. Mungkinkah ini cerminan dari budaya gotong royong bangsa Indonesia, sebagai ciri masyarakat yang agraris ? Silakan berspekulasi.

Hal yang praktis, ramai-ramai tampil di panggung memang mengurangi tekanan bagi sang pelaku bersangkutan. Tetapi pada saat yang sama, demi menjaga harmoni pemanggungan, seseorang dari mereka tidak “diijinkan” untuk tampil lebih menonjol, lebih bersinar, dibanding yang lainnya. Konstruksi pemanggungan lawakan di Indonesia semacam itu membuat tiap individu komedian tidak memiliki saluran untuk mentransformasikan pengalaman hidupnya menjadi bahan lawakan mereka !

Akhirnya tak dapat dielakkan : kerumunan itu memang telah meniadakan atau membunuh pribadi. Akibatnya, sampai akhir hayat rata-rata para pelawak Indonesia tidak banyak yang mewariskan pengetahuan sampai kenangan tentang jati diri atau kepribadian tertentu yang menjadi ciri khasnya sebagai humoris atau komedian. Jarang dari mereka mampu atau bisa dikenang sebagai persona, tetapi kebanyakan akan hanya disebut-sebut sebagai sosok joker belaka.

Apa yang bisa dilakukan untuk mengoreksi “kekeliruan fatal” semacam ini ? Orang luar tidak bisa melakukan apa-apa. Para joker yang lalu-lalang di layar-layar televisi kita selama ini tentu tidak pula merasakan tuntutan untuk berubah. Dengan situasi yang ada selama ini toh mereka sudah merasa sukses, merasa diuntungkan, lalu mengapa ada yang harus berubah ?

Baiklah. Biarkanlah mereka. Tetapi hemat saya, pentas lawakan di Indonesia membutuhkan darah-darah segar yang baru. Cakrawala baru. Dunia sinema kita, dan dunia kepengarangan kita, telah menghadirkan wajah-wajah dan potensi-potensi baru. Dunia komedi kita, tidak. Walau ada reality show oleh pelbagai stasiun televisi swasta yang bertujuan untuk merekrut pelawak-pelawak baru, seperti Audisi Pelawak TPI (TPI) sampai Meteor Kampus (antv), tetapi fondasi pemikirannya masih berurat pada pola-pola lama belaka.

Judy Carter berpesan untuk para komedian dan calon komedian : ”You must go on stage with a passionate desire and the intent to communicate your thought and feelings, not just to make people laugh”

“Anda harus tampil di panggung dengan hasrat yang membara dan niat untuk mengomunikasikan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan Anda, dan bukan hanya untuk membuat para penonton tertawa”

Pekerjaan rumah bagi Anda, para komedian dan calon komedian Indonesia !




Wonogiri, 1-3 November 2005

No comments:

Post a Comment