Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
It's such a dirty old shame
When you got to take the blame for a love song
Because the best love songs are written
With a broken heart
(Carpenters, “All You Get From Love Is A Love Song”)
Lagu Lagi Patah Hati. Phoebe Buffay yang dimainkan oleh Lisa Kudrow adalah tokoh dalam sitkom “Friends” yang paling saya sukai. Karakternya jujur, kadang suka menipu, tidak jaim dan suka berterus terang. Karakter yang dalam khasanah comedy writing disebut sebagai outrageous character, karakter nyeleneh, dan urakan. Tetapi justru kehadirannya merupakan formula penting hidupnya suatu komedi situasi.
Sekadar ilustrasi : Phoebe pernah bertamu guna menemui orang tua pacarnya, Mike Hanigan, yang berasal dari golongan elite. Saat ditanya, ia enak saja mengenalkan diri. Katanya, dia pernah mengidap sakit hepatitis gara-gara seorang mucikari meludahi mulutnya. Ibunya ia katakan, terus terang, tewas akibat bunuh diri. Kalau dipuji bahwa dirinya cantik, ia akan polos mengaku, “ya, saya memang cantik”
Ketika Mike, di kesempatan lain, memutuskan bahwa dia tidak ingin menikah akibat trauma dengan kegagalan perkawinannya yang pertama, membuat hubungan Phoebe-Mike merenggang. Phoebe, sebagai wanita pada umumnya, tentu saja ingin menikah.
Tetapi Mike tetap menolak.
Dengan hati hancur, Phoebe mengadu pada Monica. Antara lain, ia mengaku dirinya sampai kesulitan menggubah perasaan galau dan deraan patah hati itu untuk menjadi sebuah lagu !
Bagi Anda yang setia menonton sitkom garapan produser eksekutif David Crane, Marta Kauffman dan Kevin S. Bright (ia kenal sama Artika Sari Devi yang Putri Indonesia), pengakuan sok gaya model Phoebe ini pastilah memicu bahak tawa. Karena senyatanya Phoebe adalah penyanyi dan gitaris yang hanya bermodal nekad.
Coba cerna, kalau judul-judul lagu yang ia ciptakan seperti “Shut Up and Go Home” sampai “The Pervert Parade” ? Nyanyian dan petikan gitarnya jelas kalah kualitas dan jauh dari enak didengar bila dibandingkan, misalnya, dengan para pengamen yang piawai menyanyikan (juga oleh Carpenters) “Ticket To Ride” atau “I Saw You Standing There”-nya The Beatles di Stasiun KRL Bogor.
Phoebe Buffay memang tidak seperti Karen Carpenter yang menyatakan bahwa “lagu cinta terindah justru tercipta ketika seseorang sedang patah hati.” Bahkan mampu pula membuktikannya saat menampilkan lanskap suasana hati khas Carpenters, di mana patah hati pun terasa indah :
“Air mata di mataku selalu membutakanku / masa depan yang terhampar di hadapanku tak mampu kulihat / walau kutahu esok hari matahari kan bersinar / menerangi dunia untuk siapa pun, tetapi bukanlah untuk diriku”
Anjing Hitam Lord Byron. Suasana hati yang kelabu, tidak semata bisa dipicu oleh patah hati. Melainkan juga, misalnya, oleh depresi. Novelis Kanada, Robertson Davies (1913-1995) pernah mengatakan bahwa depresi itu disebut sebagai anjing hitam oleh penyair Inggris legendaris, penulis satir Don Juan, yaitu Lord Byron (1788–1824).
Seperti diungkap Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Berani Berekspresi : Buku Meditasi Untuk Para Penulis ( 2004), betapa depresi itu sering dirasakan oleh para penulis.
Tetapi mereka terus menulis di tengah depresi. Depresi bisa melumpuhkan, tetapi jika Anda dengan disiplin yang kuat, mampu mengalahkannya dan tetap bertahan di tempat Anda menulis, Anda akan tercengang melihat kualitas karya Anda.
Robertson Davies menimpali, “Saya belum pernah tahu atau mendengar ada seorang penulis yang tidak kenal dengan Anjing Hitam itu. Tetapi bagaimana pun, buku itu akhirnya berhasil ditulis, dan kadang-kadang bagian yang ditulis saat Anjing Hitam itu sedang buas-buasnya, merupakan bagian yang terbaik”
Butir Pasir Yang Menyakitkan ! Patah hati, depresi sampai frustrasi, bagi kalangan komedian merupakan bahan mentah yang berharga sebagai materi lawakannya.
Sekadar cerita : tanggal 13/9/2005 saya mendengarkan siaran radio Voice of America (VoA) seksi Indonesia. Siaran jam 18.45 itu mengudarakan Kennedy Muslim sedang menceritakan kelompok musik Switchfoot asal San Diego. Kelompok ini baru-baru ini (13 September) merilis sebuah album baru berjudul "Nothing is Sound" yang diluncurkan di AS.
Kennedy Muslim saat itu mengutip pendapat vokalis Switchfoot, Jon Foreman, bahwa dalam album terbaru mereka menggubah pengalaman hidupnya dengan memakai metafora yang indah.
Yaitu, tentang sebutir pasir yang masuk dalam cangkang kerang. Tentu saja pasir, benda asing itu, sangat menyakitkan bagi kerang bersangkutan. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu membuat hal-hal yang semula menyakitkan tersebut justru mampu mereka olah sehingga akhirnya berubah menjadi mutiara.
Metafora indah itu yang membuat saya tergerak memberanikan diri, mengirimkan email kepada Kennedy Muslim di kantor VoA, di Independence Avenue, Washington D.C., Amerika Serikat. Kennedy Muslim, dan sebelumnya juga penyiar VoA lainnya yaitu Ni Made Yoni, berbeda dari respons yang biasa saya peroleh dari pekerja media, mereka justru bermurah hati. Mereka membalas email saya, juga memberikan cerita sana-sini, yang membuat saya merasa tersanjung dan terhormat.
Butir pasir di cangkang kerang.
Kita semua, baik warga biasa atau pun para komedian pastilah sama-sama pernah mengalami penderitaan atau kesengsaraan. Tetapi yang membedakan antara orang biasa dan komedian adalah bahwa kemarahan sampai penderitaan yang dialami itu, oleh seorang komedian, mampu mereka ubah dan mereka gubah menjadi sebuah hiburan. Di atas panggung, para komedian itu mengusung penderitaan, obsesi kesedihan, nasib buruk, ketakutan sampai bencana, sengaja mereka bedah guna mengguncang tawa audiensnya.
Patah hati mampu menelorkan lagu cinta yang terindah, begitu senandung Karen Carpenter. Lalu kondisi macam apa yang mampu melahirkan seorang komedian ? Steve Silberberg, moderator newsgroup alt.comedy.standup, mengatakan :
“But just as pressure and heat transform coal into diamonds, it's that frustration, social pressure and the heat of anger that transforms us into comedians”.
“Sebagaimana gencetan dan panasnya api mampu mengubah arang menjadi intan, maka frustrasi, tekanan sosial dan panasnya api kemarahan mampu pula mengubah diri kita menjadi seorang komedian”
Apakah hal serupa juga terjadi di kalangan komedian di Indonesia ?
Sayang, di Indonesia dewasa ini, sepertinya hal tersebut tidak terjadi. Sekadar ilustrasi aktual : kenaikan harga BBM yang benar-benar mencekik leher rakyat banyak, tim perekonomian SBY-Kalla yang gagal total, merebaknya wacana penghidupan kembali komando teritorial yang mengancam embrio kehidupan berdemokrasi yang mulai mekar sampai ledakan bom Bali 2, justru tidak nampak memicu empati, kemarahan sampai rasa frustrasi kalangan komedian Indonesia untuk tampil menyuarakan nurani dan akal sehatnya. Lelucon-lelucon mereka tidak pernah memihak kepada rakyat.
Mungkin mereka memang tidak punya nyali. Atau sudah tuli ? Atau sudah tidak pula punya nurani ? Apa pendapat Anda ?
Wonogiri, 3/9 – 18/10/2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment