Wednesday, December 07, 2005

Erman Suparno Menakertrans Baru Kita Adalah “Bapak Ketoprak Humor” : Bisakah Masa Depan Seni Komedi Indonesia Mengharap Banyak Darinya ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Era Ekonomi Kreatif. Michael Jordan pasti tidak tahu siapa itu Erman Suparno. Yang satu adalah maha bintang bola basket Amerika Serikat, sedang satunya adalah lelaki kelahiran 20 Maret 1950 asal Desa Duduwetan, Grabag, Purworejo, Jawa Tengah. Lelaki yang melanjutkan sekolah di STM 1 Yogyakarta (satu kompleks dengan sekolah saya, STM 2 Yogyakarta), kini diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang baru, 5 Desember 2005.

Lalu apa kaitan antara si Erman dengan si Jordan ? Simaklah isi bukunya John Howkins, The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001). Buku ini saya beli 29 Juli 2002, di QB World of Books, Jl. Sunda Jakarta Pusat. Berkat kemenangan menjual gagasan sehingga meraih juara pertama dan hadiah 20 juta di Honda The Power of Dreams Contest 2002.

Pada pengantar, John Howkins menulis : Di tahun 1997 Amerika menghasilkan kekayaan sebesar 414 milyar dollar AS dari penjualan buku, film, musik, acara televisi dan produk-produk hak cipta lainnya. Hak cipta menjadi ekspor nomor satu Amerika, melebihi penjualan pakaian, kimia, mobil, komputer dan pesawat terbang.

Majalah bisnis terkemuka Fortune menghitung bahwa nilai ekonomi pribadi seorang Michael Jordan sebagian besar diperoleh dari penjualan hak cipta dan merchandising yang nilainya melebihi GNP negeri Jordania. Bahkan Naomi Klein, pengarang buku terkenal No Logo (2000), menghitung besaran uang kontrak dari Nike untuk Michael Jordan di tahun 1992 adalah senilai gaji buruh Indonesia sebanyak 30.000 orang sepanjang tahun !

Pak Menakertrans yang baru, dalam wawancara dengan Mohammad Bakir, wartawan harian Kompas (19/2/2002), ketika menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR yang membidangi perhubungan dan prasarana wilayah, berkata : “Kalau boleh memilih, saya sebenarnya suka mengurusi pendidikan. Bidang ini sangat serius, tetapi sekarang masih belum digarap secara serius”

Pak Erman, walau tidak seratus persen harapan Anda di atas terpenuhi, tetapi di bidang ketenagakerjaan dan transmigrasi inilah tentu visi Anda tentang pendidikan dalam arti luas dapat pula diaplikasikan. Perbaikan mutu tenaga kerja kita yang rendah sampai terangkatnya jutaan anak muda dari jeratan pengangguran, menunggu tangan dingin solusi Anda.

Siapa tahu sukses Anda dalam membidani lahirnya Yayasan Samiaji dan Ketoprak Humor (KH) di tengah himpitan krisis berat 1997, menjadi inspirasi yang kuat. Kita sebagai rakyat, hanya bisa berharap.


Manajemen Lawak Modern. Sekadar kilas balik : Ketoprak Humor memang fenomenal saat itu. Majalah Gamma (31/12/2001) dalam sampulnya terpajang wajah pelawak Timbul dan tulisan mencolok, “Menyingkap Industri Humor Ratusan Milyar”. Di dalamnya, antara lain terpajang foto pelawak Leysus, berpakaian sarung. Ia sedang membuka gerbang tinggi dari pagar kayu rumahnya yang menampakkan bagian belakang mobil Mercy. Bernomor polisi B 35 US, yang bisa dibaca sebagai “besus”. Kata itu dalam bahasa Jawa bisa diartikan sebagai “sukses” atau “kaya”.

Kemunculan Ketoprak Humor, konon diawali ketika Erman Suparno mengumpulkan seniman tradisional. Ketika dia belajar dan tinggal di Jepang, ceritanya, dia melihat banyak pertunjukan tradisional yang dikelola secara profesional. Setelah lulus MBA tahun 1993 di Newport University, California, AS, Erman berkeyakinan : agar seniman tradisional bisa bertahan, mereka harus dibantu, khususnya di bidang manajemen, dibarengi peningkatan pengetahuan dan kesejahteraannya.

Seperti dikutip oleh wartawan Kompas Mohammad Bakir, Erman Suparno mengatakan : “Sentuhan yang kami lakukan hanya menyangkut soal manajemen organisasi. Kami melakukan perencanaan produk, evaluasi, keuangan, pengelolaan sumber daya manusia khususnya yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan, serta marketing”.

Menyangkut pertunjukan, dibentuk satu tim lagi, tim pergelaran, yang terdiri dari seniman yang pada Ketoprak Humor dipimpin Timbul. Mereka yang menulis naskah, kostum, setting pemain, tata panggung. Setiap seminggu sekali, tim profesional manajemen dan tim pergelaran yang mengurus produksi ini bertemu.

“Sebagai pembina, saya mengarahkan dua tim itu. Alhamdullilah, dua tim ini bisa berjalan beriringan selama empat tahun. Seniman sudah merasakan manfaat bagaimana sentuhan manajemen modern bisa meningkatkan kesejahteraan mereka”, ujarnya.


Di Mana Ketoprak Humor Sekarang ? Adakah yang terlupa dari gebrakan Pak Erman Suparno saat itu ? Sebagai lulusan MBA, tentu saja dapat dimaklumi bahwa gebrakannya cenderung myopia, terlalu berfokus pada pembenahan manajemen. Aksinya itu melupakan pentingnya asupan informasi dan pengetahuan mengenai konstelasi seni pertunjukan komedi yang bisa terus seirama dengan tuntutan jaman.

Sekadar contoh, pengajar Fakultas Sastra (kini Fakultas Kajian Budaya) Universitas Indonesia, I. Yudhi Soenarto, dalam esainya berjudul “Andai Tessy Belajar Akting”, sudah memberikan caveat, peringatan, terhadap gaya pemanggungan Ketoprak Humor saat itu.

Ia tulis di Gamma pada edisi yang sama : “Yang paling penting bagi kelompok (KH) ini, mungkin juga bagi sebagian penonton, adalah penampilan para pelawak. Timbul, Tessy, dan Tarzan merupakan bintang-bintang ketoprak ini. Sebagai bintang, mereka bertugas memancing tawa penonton dengan citra kepelawakan yang sudah menjadi identitas mereka. Mereka tak peduli pada peran yang mereka bawakan, misalnya sebagai dewa, adipati, atau punakawan. Pokoknya, penonton tertawa, kurang lebih itulah ukuran sukses mereka”

“Saking semangatnya menjadi mesin ketawa, mereka mengacak-acak cerita dan membuatnya menjadi lamban dan bertele-tele. Di samping penampilan fisik yang unik, jurus-jurus lawak standar seperti mengolok, saling mencela, dan saling mengakali menjadi andalan mereka. Mereka juga menjadikan para pemain lain sebagai objek kelucuan....Mereka, dalam konteks seni peran, telah terjebak untuk hanya memerankan satu karakter. Jika ini kunci keberhasilan mereka, ini pulalah yang akan jadi penyebab kegagalan mereka”

Ketoprak Humor kini di mana ? Pamornya telah memudar atau sudah menjadi sejarah itu memang bisa dibedah dari pelbagai pandangan. Saya ingin mengutip pandangan cendekiawan humor, almarhum Arwah Setiawan dalam bukunya Humor Zaman Edan (1997). Pandangan yang sangat relevan untuk juga dicamkan oleh komunitas komedi kita saat ini.

Dalam tulisan berjudul “Lomba penulisan naskah komedi terlucu”, ia jelaskan : “Semua pengelola dan pengamat televisi tentu menyadari sekali bahwa betapa pun pentingnya pelawak atau komediwan untuk menyukseskan suatu pertunjukan komedi, tetapi kalau pertunjukan itu tidak didasarkan pada naskah cerita yang jenaka dan rapi, pertunjukan tersebut niscaya tidak akan dinikmati oleh para pemirsa. Keberhasilan suatu pertunjukan komedi memang bertumpu pada penulisan naskah komedi yang jenaka, rapi dan masuk akal.”

Sudahkah tuntutan itu makin mengeras dewasa ini ? Harian Kompas (4/12/2005) yang menampilkan tulisan wartawati Susi Ivvaty dan M. Clara Wresti berjudul “Kekuatan Naskah dalam Komedi”, antara lain menunjukkan bahwa generasi lawak a la Srimulat yang berjaya lewat kekuatan “tahu sama tahu” dan improvisasi panggung, nampaknya semakin ditinggalkan.

Salah satu pelawak alumnus Srimulat, Tarzan, bahkan mengiakannya. “Improvisasi itu kalau dulu memang gampang, namun sekarang susah karena bersaing dengan pelawak yang berkonsep. Sekarang, saya sendiri memilih yang berkonsep dan bernaskah”, kata Tarzan sambil menambahkan, “Srimulat itu menang karena jam terbang. Tetapi ini juga spekulatif, kadang lucu kadang tidak ha-ha-ha”

Harapan spekulatif pula : bila Menakertrans kita yang baru adalah orang yang pernah dekat dengan dunia komedi Indonesia, bisakah kita mengharapkan sesuatu dorongan pembaruan (lagi) yang signifikan dari dirinya bagi perkembangan seni komedi di Indonesia ?

Saya hanya ingin titip satu pesan. Hallo, Bapak Erman Suparno, seperti contoh dari cerita awal tentang sumber kekayaan pebasket Michael Jordan, kita kini hidup dalam era gagasan. Era kreativitas. Dan di lahan ini, mengutip tesis Menaker AS di era Clinton, Robert B. Reich, pekerja yang tahan uji dalam era kreatif tersebut adalah mereka yang berkecimpung dalam kiprah simbolis-analis. Menulis peranti lunak komputer, menulis buku sampai naskah komedi, pasti juga masuk pula dalam kiprah simbolis-analis ini pula.

Sayangnya, terus terang, sepengetahuan saya, komunitas kreatif komedi kita belum pernah mendapatkan penataran atau up grade seputar comedy writing dan sejenisnya. Walau tayangan-tayangan komedi bernaskah, full script, sudah lalu lalang di televisi kita, jangan mimpi untuk membandingkan dengan kekuatan naskah di balik sitkom “Friends” atau “Everybody Loves Raymond”.

Sekadar ilustrasi : Anda sebagai Menakertrans nanti pasti juga berurusan dengan masalah TKW (Tenaga Kerja Wanita). Indonesia kita ini terkenal sebagai pengekspor babu, pembantu rumah tangga berketerampilan rendah, baik ke Hongkong, Singapura sampai Jeddah. Banyak sekali suka dan terutama duka-duka mereka.

Tetapi, tahukah Pak Erman, untuk cerita komedi seputar kehidupan para babu itu ada stasiun televisi kita justru mengadopsi mentah-mentah kehidupan para pembantu dari sitkom “The Nanny”, produk Amerika Serikat ? Itulah, akibat lemahnya kreator komedi televisi kita, sampai-sampai negeri eksportir babu terbesar di dunia (?) ini ketika membuat sitkom tentang babu pun harus impor dari Amerika Serikat !

Bagaimana kalau sekalian impor dari AS untuk hal satu ini ?

Anda kan pernah berkuliah di California, Amerika Serikat ? Alamat klub komedi seperti Improvisation di Melrose., Los Angeles, Comedy Store atau Laugh Factory di West Hollywood, Comedy Spotlight at Hornblowers di Ventura sampai LA Connection Comedy Theatre di Sherman Oaks, semuanya di California, bukankah bisa Anda kontak (berkoordinasi dengan PaSKI) untuk diajak berdiskusi demi memajukan dunia komedi, khususnya comedy writing, di Indonesia ?

Selamat bertugas, Pak Erman. Silakan tertawa, bila berkenan, setelah membaca tulisan saya ini pula.


Wonogiri, 6 Desember 2005

No comments:

Post a Comment