Sunday, November 27, 2005

Benturan Peradaban : Promo Islam Lewat Lelucon

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


-------------

Catatan Bambang Haryanto :
Artikel ini telah dimuat di Rubrik Teroka/Humaniora, Harian Kompas, Jumat, 18 November 2005, Halaman : 14. Kini juga tertayang di situs web Kompas Cybermedia.

Pengasuh rubrik Teroka, sastrawan Radhar Panca Dahana, dalam mengantar tulisan ini antara lain mengatakan :

Masih banyak kita bisa temukan kisah, puncak-puncak sejarah, peradaban, kekuasaan, bahkan pemaknaan manusia berakhir dalam lelucon dan komedi. Satu ‘realitas’ yang jika kita bisa berada di luarnya, terlihat menggelikan.

Maka jika komedi menjadi bahasa yang (bisa jadi, paling) universal, karena memang tak satu pun manusia sehat yang tak menghendakinya. Lantaran di situlah kita kerap menemukan diri sendiri, mengalami katarsis, puncak pencerahan spiritual.

Esai “teroka” kali ini, memberi contoh yang sangat menarik. Satu hal yang tertindas, dicurigai, dinegasi, disudutkan, akan mendapat makna baru dan diterima melalui satu cara : lelucon. Maka, tak berbahagialah Anda yang tak bisa menikmatinya.

Cobalah uji dengan esai dari penulis “baru” kita kali ini”

--------------

Garin Nugroho kepada BBC Siaran Indonesia mengenai keikutsertaan filmnya, Rindu Kami Pada-Mu, ke Festival Film London 2005 mengatakan bahwa dirinya ingin mengembuskan citra yang berbeda mengenai umat Islam di forum kebudayaan internasional.

Kalau selama ini citra Islam selalu digambarkan media massa Barat sebagai umat yang selalu tampil dengan wajah marah, maka filmnya menampilkan kehidupan umat Islam yang bersahaja, ramah dan juga berwarna humor.

Memang, sejak serangan teroris 11 September 2001, prasangka buruk Barat terhadap Islam juga sebaliknya mencapai puncaknya. Presiden Bush dalam upaya melindungi kaum Muslim Amerika sampai mengatakan bahwa teroris itu bukanlah warga Muslim, melainkan pembunuh yang memakai agama Islam untuk melegitimasi tujuan politiknya.

Upaya ini bersambut, misalnya kajian bertahun-tahun yang dilakukan Irfan Omar profesor teologi dari Universitas Marquette dan koleganya, yang mendelegitimasi tindak kaum teroris dengan membedah isi Al Quran yang menentang aksi-aksi kekerasan. Tetapi, ikhtiar mulia semacam tetap tersembunyi, kurang menonjol, karena tidak ada saluran menuju aliran budaya yang utama. Bagaimana agar proyek penting untuk mengelakkan “benturan peradaban” tersebut bisa merasuk dalam kesadaran masyarakat? Jawabnya adalah melalui lelucon!

Sejumlah komedian Muslim Amerika segera tampil ke depan, menggunakan kekuatan komedi sebagai sarana mendefinisikan kembali apa makna sebagai kaum Muslim yang sekaligus warga negara Amerika. Inilah wajah “benturan peradaban” baru itu.

Sesosok pria berjubah, berjenggot lebat, memakai kopiah hitam, mirip pejuang Taliban, menaiki panggung. Ia lalu memberi salam : “Assalamualaikum!” Tidak ada tanggapan atau salam balik yang berarti. Pria tambun itu segera menimpali, “Bagi Anda yang tidak memahami arti salam saya tadi, akan saya beri tahu. Artinya adalah : Saya akan membunuh Anda semua!”

Penonton meledak dalam tawa.

Pejuang Islam bersenjatakan lawakan tadi adalah Azhar Usman (28). Komedian merangkap pengacara dan aktivis itu adalah lulusan ilmu komunikasi dari University of Illinois dan juris doctorate (cum-laude) dari University of Minnesota Law School. Variasi lain lawakannya yang menjurus, seperti : “Apa kesamaan teroris dan komedian Muslim? Keduanya sama-sama mem-bom!”.

Azhar, keturunan India kelahiran Chicago, mengaku, “Saya Muslim Amerika. Ya shalat, tetapi juga makan hamburger”, candanya. “Saya keponakan Osama Bin Laden. Mereka menyebut saya sebagai Bin Laughin” (Bin Ngakak).

Menanggapi sikap hipokrit yang melekat pada masyarakat AS dalam memersepsikan dunia Islam, Azhar menjelaskan bahwa di beberapa negara Islam memang diperintah oleh raja. “Tapi, apakah kita hidup di abad ke-15? Saya tak bisa membayangkan hidup di negara di mana rakyat memilih presiden berdasar siapa dulu ayahnya!”

Audiens kembali tergelak. Mereka tahu bahwa kini George W Bush yang kena tembak. Lawakan Azhar Usman tidak pernah menyinggung materi-materi biru atau porno. Satirnya merambah ke sistem peradilan kriminal. Ia katakan, “Warga kulit hitam di AS tidak pernah merasa diadili secara fair. Tetapi kami, warga keturunan Arab dan warga Muslim bahkan tidak pernah sekalipun memperoleh peradilan!”

Ia pun melucukan terorisme, sensasi di kalangan media, tata cara ibadah, politik internasional sampai prasangka rasial. “Saya berharap, lawakan saya adalah lawakan cerdas. Ini adalah cara untuk memanusiawikan apa yang tersembunyi di balik pintu. Saya pikir, bagi kalangan non-Muslim, masjid merupakan bangunan yang sangat –sangat misterius. Saya kira mereka sangat-sangat terganggu karena menara-menara masjid menyerupai rudal.”


Azhar Usman adalah bagian dari munculnya genre baru dunia komedi muslim di dunia Barat. Nama lain termasuk Ahmed Ahmed asal California yang kelahiran Mesir, Bryant Reginald Moss (Preacher Moss), warga Amerika keturunan Afrika, Maysoon Zayid berasal dari Palestina yang lahir di New Jersey, juga komedian wanita Tissa Hami keturunan Iran.

Sulayman S Nyang, profesor kajian Afrika dari Universitas Howard dan cendekiawan Muslim Amerika, seperti dikutip Caryle Murphy dari Washington Post (25/4/04), menjelaskan bahwa pemunculan komedian Muslim-Amerika merupakan pertanda bahwa komunitas Muslim telah berasimilasi dengan gaya hidup Amerika dalam hal memperolok diri, membuat satir, yang merupakan bagian dari budaya masyarakatnya.

Seperti pendahulunya, pelawak berketurunan Yahudi, Irlandia, dan Afrika, komedian Muslim juga menyuguhkan humor etnis. Tujuannya tidak hanya untuk memancing gelak, tetapi juga untuk mempromosikan penerimaan Islam ke dalam mainstream masyarakat Amerika. Melalui media hiburan, komedian Muslim yakin mampu mengikis pandangan diskriminatif berdasarkan stereotip di kalangan non-Muslim. Juga diharapkan mampu memberikan penyadaran kepada kalangan Muslim sendiri mengenai jati diri, termasuk perilaku merusak diri sendiri dan kekurangannya.


“Misi saya sebagai komedian adalah membuat penonton tertawa. Tetapi kalau saya mampu membuat mereka berpikir, hal itu merupakan bonus tambahan”, tutur Tissa Hami. “Saya ingin menunjukkan bahwa umat Islam bukanlah teroris, tidak semuanya fanatik. Juga tidak semua wanita Muslim itu tertindas dan terbungkam”, lanjut master kajian internasional yang kini bekerja di Kennedy School, Universitas Harvard.


Komedi berorientasi Muslim di AS sedang naik daun. Terjadi peningkatan permintaan, baik oleh komunitas Muslim ataupun kelompok non-Muslim. Bulan Mei 2004 misalnya, digelar tur komedi baru, Allah Made Me Funny : The Official Muslim Comedy Tour. Penggagasnya adalah Preacher Moss, sebelumnya sohor sebagai penulis Saturday Night Live yang didukung komedian Azeem dan Azhar Usman.

“Ide tur ini adalah menyediakan wahana di mana kaum Muslim dan non-Muslim dapat saling merasa nyaman, relevan dan inklusif dalam pengalaman bersama ketika humor yang terjadi mampu menjembatani jurang-jurang bias, sikap tidak toleran dan penyakit sosial lainnya”, tutur Moss kepada Hannah K Strange dari UPI (8 Juni 2004).

Ia katakan, sebelum 11 September 2001, isu yang dominan dalam komunitas Muslim AS adalah isolasionisme. “Kita berada di tengah budaya Amerika tetapi kurang progresif dalam menyatakan diri. Kini seluruh komunitas Muslim harus memperbaiki diri, tumbuh, dan kita menginginkan menjadi bagian dari proses.” Komedi, menurutnya, “sarana untuk menenangkan, melucuti senjata, dan membangun jembatan melalui humor.”


Apakah lawakan diperbolehkan dalam Islam ? Menurut Azhar Usman, Nabi Muhammad adalah pribadi yang suka tersenyum dan bercanda. Dalam cerita sufi, juga terdapat tokoh Nasarudin Hoja yang termasyhur dengan lawakannya yang cerdas.

Menjadi komedian, menurutnya, juga diperbolehkan oleh syariah Islam. Pedoman bagi dirinya adalah melawak untuk membuat orang tertawa dan dilandasi niat mulia. Walau ia juga tahu, ada kelompok-kelompok konservatif Islam yang tidak menyetujui ia terjun sebagai komedian Muslim.

Mungkin itulah bedanya, simpul Azhar, dirinya sebagai Muslim Amerika merasa nyaman untuk menertawai diri sendiri dan bahkan umat Muslim lainnya di dunia. Katanya, “Momen paling mengerikan sebagai Muslim di AS adalah saat berwudlu, tertangkap basah oleh bos ketika kita sedang mencelupkan kaki di wastafel.”

Bagaimana dunia lawak Muslim di Indonesia? Kiranya Gus Dur, Mustofa Bisri atau Cak Nun sebagai intelektual Muslim, sumber inspirasi dan pencetus lawakan cerdas, kini tak boleh lagi hanya sendirian. Sangat dinantikan Nasarudin-Nasarudin Hoja baru atau komedian Muslim lahir segera di Indonesia.

Dengan meneladani Azhar Usman dan kawan-kawan, akan mampu membuka perspektif dan wajah segar baru tentang Islam. Apalagi akhir-akhir ini sebagian umat Islam seperti justru senang bersikap reaktif, daripada proaktif, dengan tampil menjadi polisi moral dalam menyikapi sebagian karya-karya kreatif anak bangsa.

Bambang Haryanto, penulis Dua Buku Kumpulan Humor, Tinggal di Wonogiri

No comments:

Post a Comment