Thursday, April 21, 2005

Berbiak Pelawak

Oleh : Bambang Haryanto

Kelompok lawak Glopot asal Semarang telah gosong dalam pentas API di TPI (15/4) yang lalu. Nampak diilhami film kartun Donal Bebek, mereka bertiga pentas dengan dandanan sebagai bebek-bebek, tetapi nyerocosnya seputar tema dunia selebritis yang diajukan oleh panitia. Pendekatan Glopot yang berakibat fatal.Mereka, seperti halnya banyak kelompok lawak di negeri ini, sering melupakan prinsip dasar lawakan yang utama, yaitu harus berlandaskan premis kebenaran. Lawakan memang harus merefleksikan kebenaran, kenyataan, karena audiens akan tertawa apabila mereka merasa mengetahui objek lawakannya.

Lihatlah, dramawan Butet Kertarajasa. Walau isi kalimatnya sama sekali tidak ada yang lucu, tetapi dengan hanya menirukan ucapan khas Pak Harto atau Harmoko, audiens sudah meledak dalam tawa. Butet tidak melakukan rekayasa, ia hanya mengedepankan kenyataan. Persis seperti ulah burung beo yang terlatih, ketika beo menyanyikan sesuatu lagu atau memberi salam, kita sudah tertawa dibuatnya !S

ementara itu bebek-bebek Glopot ketika berbicara seputar gaya hidup kaum selebritis menjadi tidak lucu, karena premisnya cacat. Tidak meyakinkan. Penonton sulit mencari-cari perbendaharaan pengetahuan atau pengalaman pribadi atau pun bersama untuk menemukan kaitan antara bebek-bebek dengan dunia selebritis. Umpama saja temanya bebas dan bebek-bebek Glopot itu tampil untuk hanya melucukan dunia binatang bebek, baik yang berkaitan dengan binatang lain, manusia, sampai sepeda motor misalnya, mungkin nasib Glopot akan lain.Kedodoran dalam hal fondasi lawakan, tentu saja Glopot tidak sendirian.

Pada pentas sebelum dan sesudahnya, sebagian besar kelompok lawak peserta kontes API ini berusaha menjual lawakan dominan dengan modal utama plesetan kata-kata sampai ucapan yang asosiatif ke wilayah-wilayah biru (porno). Penulis Eswe Winarto sampai mengatakan bahwa para kelompok lawak generasi baru itu tidak tampil dengan gaya baru, gaya yang belum pernah dimainkan pendahulu mereka. Materi lawakan, walau tematis, disebutnya tak jauh dari dari lawakan model Srimulat, Warkop DKI, Bagito, Ngelaba atau Chatting. Ada yang mencoba mengisi lawakan dengan kritik sosial, namun masih sebatas bumbu penyedap, bukan masakan utama. Ia pun pesimis bahwa dari arena API itu akan muncul grup lawak baru dengan gaya dan penampilan baru pula ! (Suara Merdeka,6/3/2005).

Apa yang salah dari dunia lawak kita ? Wartawan budaya Kompas, Efix Mulyadi (Kompas, 30/8/2001) menulis bahwa dunia lawak kita miskin orang-orang pintar. Mencolok tidak ada kesungguhan dan energi untuk mengembangkan lawak, di mana penulisan naskah lakon komedi sangat tersendat dan tidak menarik minat para penulis pintar dan berbakat. Akibat fatalnya, dunia lawak kita terus saja berjalan di tempat.

Kendala itu bisa dimaklumi karena komedi adalah seni yang rumit. Penulisan naskah komedi ibarat jazz dalam musik, yang harus inovatif, seringkali sarat pemberontakan, ketimbang berlaku normal. Serta cenderung menghancurkan tradisi yang ada ketimbang membebeknya. Itulah kata Gene Perret, penulis lawakan komedian Bob Hope yang terkenal. Walau pun demikian, imbuh Perret, penulisan naskah komedi dapat dipelajari. Menjadi komedian juga dapat dipelajari. Kalau kita sudi melebarkan wawasan terhadap dunia komedi di negara-negara maju, tidak sedikit ditemui pelbagai workshop untuk calon komedian dan workshop pelatihan bagi penulis naskah-naskah komedi.

Problem kita kemudian : bagaimana mencari dan menghimpun orang-orang pintar untuk mau berkiprah di dunia komedi kita ? Kontes semacam API di TPI, haruslah dibarengi dengan kegiatan yang bermenukan intelektualitas. Misalnya menyelenggarakan workshop penulisan naskah komedi sampai kiat-kiat menjadi komedian. Untuk membuka wawasan yang lebih luas, sudah saatnya bila didatangkan pembicara dari luar negeri.

Upaya pembelajaran inilah yang selama ini sangat terbengkalai dalam dunia lawak kita.Terlebih lagi dunia komedi tidak sama dengan dunia tarik suara. Dunia komedi memiliki tuntutan yang jauh lebih keras. Sebab dalam dunia tarik suara sebuah lagu dapat dan halal secara mudah diulang-ulang, untuk dinyanyikan oleh beragam penyanyi, dalam pelbagai kesempatan.

Tetapi lawakan tidak. Kalau Anda melucukan sesuatu, mungkin di antara kawan-kawan ada yang menyeletuk bahwa ia sudah pernah mendengarnya. Dalam dunia menyanyi, tak ada penonton yang berteriak melarang seseorang menyanyikan sesuatu lagu karena lagu tersebut pernah didengarnya. Realitas ini menandakan bahwa tuntutan orisinalitas yang tinggi terhadap materi lawakan, membuatnya terasa semakin langka dalam peredaran. Apalagi materi lawakan baru, ketika begitu tampil di media akan langsung menjadi usang. Faktanya, tidak hanya lawakan spesifik tersebut, juga premisnya, bahkan semua lawakan yang mirip juga ikut menjadi usang karenanya. Materi lawakan kita, yang berupa plesetan, sebenarnya termasuk kategori lawakan yang telah pula lama daluwarsa !

Tuntutan orisinalitas terhadap materi lawakan tersebut membuat banyak kelompok lawak kita tak punya nafas panjang. Apalagi dengan mengambil tamsil dari Stephen Covey, para pelawak kita selama ini ibarat angsa bertelur emas. Begitu melejit, angsa tersebut mendapat tekanan kuat dari publik agar terus-menerus bertelur emas secepatnya. Para pelawak kita dengan sikap mental aji mumpung, menanggapi kebutuhan tadi dengan tak kalah rakusnya. Mereka jadi mudah lupa hal yang sangat penting bahwa angsa itu juga butuh makan, butuh asupan gizi yang berkualitas tinggi. Misalnya ide-ide, suntikan kreativitas, memperluas wawasan, termasuk memperoleh suntikan rohani. Tanpa adanya keseimbangan antara masukan dan luaran, angsa-angsa yang pernah menjadi petelur emas tersebut cepat layu, mandul, jalan di tempat dan mati suri sekali pun. Silakan mendata nama-nama kelompok pelawak yang kini tinggal nama, walau pun personil-personilnya masih hidup berseliweran di tengah kita.

Kini sudah saatnya dunia komedi kita berkaca dari dunia film kita saat ini. Karena dalam dunia sineas kita tersebut kini telah muncul pekerja-pekerja baru, bahkan lulusan perguruan tinggi luar negeri, dan memiliki tradisi olah intelektual yang canggih. Hal serupa nampaknya sedang terjadi, misalnya dalam dunia hiburan sulap, penulis naskah sinetron, pemusik sampai kreator videoklip.

Jawa Tengah dan Yogyakarta yang dalam ranah lawakan kesenian tradisional selama ini banyak memunculkan pelawak legendaris seperti Basiyo, Pak Guno, D2S, Marwoto, Yati Pesek, pemikir lawak almarhum Teguh Srimulat sampai Arswendo Atmowilotoo, Basuki sampai Mamiek Prakoso, kini saatnya bangkit. Industri televisi yang marak sangat haus akan bakat-bakat baru, baik penulis lawak atau pelawak, dalam jumlah yang luar biasa.

Jadi sungguh mengherankan bila insan-insan perguruan tinggi kita, baik lembaga pendidikan tinggi kesenian seperti STSI (Solo) sampai fakultas-fakultas sastra di pelbagai perguruan tinggi negeri atau swasta DIY/Jawa Tengah, enggan untuk proaktif turun tangan guna mencari solusi atas persoalan kronis dunia komedi kita yang terlalu lama berjalan di tempat ini !


Bambang Haryanto, penulis komedi dan dua buku kumpulan humor. Alumnus UI.

Friday, April 15, 2005

Sersan Prambors 2005

Oleh : Bambang Haryanto


Masihkah Anda mengenal nama Sersan Prambors ? Hari Minggu (10/4/2005) sebagian besar dari mereka tampil sebagai bintang tamu dalam acara Ceriwis ..Yo Wis di stasiun televisi TransTV yang dipandu oleh Indi Barends.

Bagi generasi saat ini, sekedar mengingatkan, Sersan Prambors adalah nama kelompok pengisi acara bebodoran, lawakan, untuk Radio Prambors, Jakarta, pada dekade 1980-an. Kebetulan pada saat itu saya berkuliah di Universitas Indonesia, suka menguping radio Prambors, tetapi terus terang tidak begitu intensif atau khusuk mengikuti acara lawakan yang satu ini.

Kelompok ini terdiri dari Sys NS, Pepeng Ferasta, Krishna, Mukhlis, dan satu lagi yang sering bergaya sebagai preman. Istilah “sersan” merupakan singkatan dari “serius tapi santai”, yang di tahun 80-an sering menjadi buzz word atau bahasa gaul banyak kalangan saat itu.

Kalau tidak salah, acara Sersan Prambors ini diupayakan menjadi pengganti acara lawakan sebelumnya, Warung Kopi Prambors dengan pengisi acara Dono, Kasino, Indro, Nanu Mulyono (adik Nanu, Ipiet, adalah teman satu kelas saya di JIP-FSUI), juga Rudy Badil yang kini wartawan Kompas. Almarhum Dono, almarhum Kasino dan Indro kemudian berganti merek menjadi Warkop DKI !

Acara Sersan Prambors kemudian juga diangkat ke layar lebar, dibintangi oleh artis seksi saat itu, Nena Rosier. Lagu yang terkenal dalam film tersebut antara lain, “Ninety Nine Red Baloons”. Sepertinya kurang berhasil, misalnya bila dibandingkan dengan film-filmnya Warkop DKI.


MODAL EJEKAN. Saya kurang menyukai lawakan model Warkop DKI atau pun Sersan Prambors ini. Seperti halnya Dono yang pernah jadi dosen di UI, sementara Mukhlis (pernah jadi pemimpin redaksi majalah bisnis) dan dianggap sebagai otaknya Sersan Prambors, entah kenapa, mereka-mereka itu kurang mampu menghasilkan lawakan yang cerdas dan pantas untuk dikenang (memorable) lebih lama.

Pernah suatu saat, ketika kampus saya Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengadakan malam kesenian di Taman Sastra UI Rawamangun (kalau siang di taman ini banyak nongkrong WTS : Wanita Taman Sastra. Salah satu yang terkenal saat itu adalah penyanyi Christine Panjaitan, peragawati Pinkan Vemy Runtu, sementara favorit saya St. Hanifah Misa Lestari dan Dwiretno Setiarti), antara lain tampil mengisi acara adalah Pepeng Ferasta. Saat itu Pepeng masih kuliah di Jurusan Antropologi FSUI, yang beberapa waktu kemudian jurusan ini bergabung di FISIP UI. Pepeng tampil melawak. Seperti halnya tipikal lawakan di televisi, menu pokoknya adalah saling mengejek antara penampil lawak satu dengan yang lainnya.

Suatu saat lain, Krishna menjadi emce lomba lukis anak-anak di Hotel Sahid Jaya, 1986. Adik saya Basnendar, saat itu SMP, sengaja didatangkan dari Wonogiri untuk ikut lomba. Ia menang, tetapi oleh ketua panitia, yaitu Rae Sita (artis merangkap Humas Hotel Sahid Jaya), kemenangan Basnendar itu digugurkan. Karena lomba ini, katanya, khusus untuk anak-anak Jakarta. Merespons ini, ketika Basnendar tampil ke panggung, justru emce Krishna, mungkin bertjuan mengundang tawa, tetapi meledek penampilan Basnendar dengan pemakaian kata-kata berdialek Tegal.


MASIH DICARI : PELAWAK SEJATI. Saat tampil di TransTV, hari Minggu itu, mereka (Sys NS tak hadir) memang sudah nampak tidak muda lagi. Pepeng Ferasta, rambutnya pun sudah hampir semua memutih. Kelompok ini pun sudah lama bubar. Sokurlah, mereka belum dilupakan.

Yang bisa dipelajari dari mereka, agaknya, kelompok lawak Sersan Prambors tersebut seperti halnya kelompok-kelompok lainnya di Indonesia, sepertinya terlupa untuk belajar dan memiliki rasa ingin tahu kuat tentang kriteria utama yang dibutuhkan oleh sosok pelawak sejati. Pelawak sejati adalah mereka yang mampu menggelar kesakitan, duka nestapa, obsesi patetik dan pelbagai cacat-kekurangan diri mereka di depan audiens, dan bahkan dengan sukarela membedahnya pula.

Mungkin baru Pak Basiyo, Bendot atau Ateng Suripto, yang kesemuanya kini almarhum, merupakan sebagian kecil saja dari pelawak Indonesia yang mampu mencapai tataran luhur sebagai sosok pelawak yang sejati !


Wonogiri, 12 April 2005