Monday, August 08, 2005

Aming “Extravaganza” Sugandhi Dan Monyet Yang Muntah-Muntah Dalam Tayangan Komedi Di Televisi Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Pelawak Itu Pribadi Gelisah. Steve Martin sedang duduk bersama tiga temannya di bawah keteduhan payung di pelataran restoran di California Selatan. Ia menyeruput kopi dan intuisinya berbisik, ada seorang fans mendekatinya. Segera ia menegakkan kerah jaket dan bergaya tak acuh di balik kacamata hitamnya.

Fans yang mendekat itu seorang wanita bertubuh subur. Dengan bergaya centil dan seolah mengajak bercanda, ia sodorkan kertas dan bolpen. Steve Martin tersenyum, lalu menuliskan tanda tangannya. Fans itu segera berlalu dengan riang hati, tetapi kepada suaminya ia mengeluh : “Steve Martin tidak mengatakan hal lucu sepatah kata pun !”

Tuntutan sulit bagi seorang Steve Martin. Dirinya memang tidak pernah menyediakan atau membawa-bawa stok lelucon seperti halnya Bob Hope atau George Burns. Ia juga tidak pula bisa langsung nyetel dalam berimprovisasi seperti halnya komedian Jonathan Winter atau Robin Williams.

Begitulah, gara-gara dirinya meroket sebagai komedian solo yang sukses secara fenomenal di era 70-an, ia selalu diharap mampu melucu setiap saat. Di mata para penggemarnya Steve Martin adalah sosok yang harus selalu siap melucu setiap saat seperti ketika naik panggung, gila dan liar, lincah bertingkah, berkuping kelinci atau tampil sebagai binatang berbentuk balon.

Tetapi berbeda dibanding penampilannya di panggung dan persona di layar putih, Steve Martin adalah pribadi yang serius, demikian tulis wartawan Cork Millner di majalah Saturday Evening Post (Nov-Des, 1989). “Ia cerdas dan canggih”, timpal Shelley Duvall, teman mainnya dalam film larisnya, Roxanne. Steve Martin berpendidikan doktor filsafat.

Kebanyakan pelawak memang pribadi yang sangat cerdas. Demikian kesimpulan Jay Sankey dalam bukunya Zen and The Art of Stand-Up Comedy (1998). Selain itu pelawak juga sangat sensitif, pribadi yang relatif gelisah, dan punya pisau pengamatan yang tajam. Sosoknya lebih condong sebagai individuil yang kuat ketimbang anggota sesuatu kelompok. Dirinya dikaruniai dorongan membara untuk berbagi segala apa yang ia fikirkan dan ia rasakan. Perspektif yang ia pilih adalah sebagai orang luar, outsider, pengamat.


Penonton Kita Belum Cerdas ? Aming Sugandhi, pemeran tokoh waria dalam acara komedi Extravaganza di TransTV, juga berpendapat senada. Ketika ditanyakan kepadanya oleh wartawan Kompas, Edna C. Patiasina, apakah dirinya aktor atau pelawak, Aming pun menjawab : “Aku belum siap memikul beban sebagai pelawak. Buat aku itu profesi yang sangat keren, tidak semua orang punya kapasitas seperti itu”

Menurut dia, menjadi sosok pelawak membutuhkan kecerdasan jauh di atas rata-rata. Pelawak harus mampu menangkap umpan lelucon untuk kemudian dikembangkan sendiri. Hal ini berbeda dengan apa yang dijalaninya selama ini. Dalam Extravaganza, misalnya, Aming berakting berdasarkan skenario yang telah disusun. “Kita masih berputar-putar di komedi slapstik, mungkin karena kultur kita belum siap menerima komedi cerdas”, ucap Aming (Kompas, 7/8/2005).

Pendapat Aming, yang mahasiswa jurusan Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu, tentang “kultur kita belum siap menerima komedi cerdas”, boleh-boleh saja ia lontarkan. Sudah lajim dan layak bila dirinya membela format tayangan komedi di mana ia berkecimpung, mencari nafkah di dalamnya. Aming bahkan tidak sendirian. Pelawak Wahyu Sardono atau Dono Warkop almarhum juga pernah mengatakan hal yang sama, ketika bersama kelompoknya Warkop DKI sedang berkibar dengan film-film slapstiknya.

Seperti tertuang dalam artikel berjudul “Dono dan Tolak Politisi Busuk”, (Kompas, 30/12/2003), yang ditulis Effendi Gazali, dosen Pascasarjana Komunikasi UI dan Research Associate di Nijmegen University, Belanda, Dono memimpikan hadirnya lawakan cerdas tetapi saat itu belum mungkin. Hal ini, menurutnya, terjadi akibat tekanan kebijakan TVRI saat itu, juga tekanan politik dan ekonomi di era Orde Baru yang represif.

Effendi Gazali yang di tahun 1983, ketika duduk di SMA adalah juara melawak se-Propinsi Sumatera Barat, kemudian mengutip pertanyaan Dono : “Mungkinkah bikin lawakan a la Jay Leno atau David Letterman Show ?” Effendi pun membalas : “Kalau rakyat kita selalu dianggap tidak mampu mengerti lawakan cerdas, cita-cita itu pun akan menjadi in your dreams.”

Kini, ketika Orde Baru sudah tumbang, saat stasiun-stasiun televisi relatif bebas membuat acara yang tidak mendapat represi dari pemerintah, sialnya anggapan bahwa penonton kita dianggap tidak mampu mengerti lawakan cerdas, masih saja muncul.

Bangun, Aming, ayo bangun !

Ijinkanlah saya ikut berpendapat : sebenarnya penonton komedi kita senyatanya sudah semakin cerdas, tetapi hanya para komedian kita saja (juga para penulis naskah lawakan di televisi-televisi kita) yang tidak pernah menjadi semakin cerdas !


Lawak Gaya Keroyokan ! Suguhan komedi di televisi-televisi kita, bila menurut istilah komedian Sam Greenspan, barulah berkualitas tayangan yang menampilkan komedian pamer hidung dan komedian biang kerok. Dirinya telah membagi tiga jenis komedian.

Golongan pertama, ia istilahkan sebagai komedian pamer hidung. Ia adalah paman atau kakek Anda, atau siapa pun, yang melucukan seputar kejadian keluarga. Untuk memperoleh tawa ia melakukannya dengan menggelitik anak kecil dengan hidungnya. Leluconnya dangkal, rasis atau berbau SARA, berbau seksual, dan berselera rendah. Kelompok demografi penggemar terbaiknya : 0 – 6 tahun.

Golongan kedua adalah komedian biang kerok. Leluconnya tidak cerdas, juga tidak asli, ia melakukan aksinya semata ingin menjadi pusat perhatian. Di kelas, ia memasang pensil pada lubang hidungnya. Meninggikan nada sendirian ketika bernyanyi koor. Pelawak jenis ini kita temui ketika kita duduk sampai bangku SMA.

Golongan ketiga, adalah komedian solo, atau stand-up comedian, yang ia sebut sebagai seseorang yang memanggungkan komedi di muka audiens sebagai profesi dan untuk memperoleh nafkah. Sam Greenspan menyebut contoh : dirinya sendiri. Atau George Carlin.

Komedian golongan ketiga ini di Indonesia, menurut pengetahuan saya, masih ditunggu kehadirannya. Karena memang belum ada. Mungkin karena kentalnya semangat bergotong royong pada bangsa ini, bahkan juga dalam melakukan korupsi, maka pentas lawak kita yang lajim adalah pentas model gotong royong pula.

Mainnya model keroyokan. Anda dapat menunjuk pada sosok kelompok Srimulat, Ketoprak Humor, Bagito, Patrio, Cagur sampai pentas pelawak baru hasil karbitan Audisi Pelawak TPI (API). Dan, tentu saja, juga Extravaganza di mana Aming bermain di dalamnya. Dalam tayangan semacam ini yang dibutuhkan hanya aktor-aktor. Baik itu pelawak atau bukan pelawak. Baik memakai naskah yang harus ketat dipatuhi atau pun pelakunya dibebaskan untuk berimprovisasi.


Monyet Muntah-Muntah. Menurut muatan lawakannya, seorang Steve Silberberg, moderator newsgroup alt.comedy.standup, pernah membagi kategori pelawak. Yang pertama adalah pelawak yang lawakannya mengandung pesan-pesan untuk ia sampaikan. Golongan ini jarang-jarang eksis, tetapi dirinya mampu melawak sekaligus menebarkan pesan.

Golongan pelawak seperti inilah yang disinggung oleh Jay Sankey sebagai pribadi yang dikaruniai radar peka yang terus jalan, cermat menguping tiap pembicaraan, mengamati peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, dan mencatat pula kesan dan pikirannya tentang semua hal yang ia observasi.

Semuanya itu ia olah dan menjadi siraman bensin guna mengobarkan bara semangatnya untuk selalu berbagi. Ia pun menuliskan lawakannya sendiri. Tidak ayal, karena sodokan komentar-komentar tajam dari para pelawak kategori intelektual dan cerdas ini, menurut Jay Sankey, sering mengantarkan diri mereka mampu meraih julukan sebagai filsuf yang blak-blakan, pemimpi anarkis, atau bahkan pahlawan sosial.

Sudah hadirkah pelawak atau komedian seperti ini di panggung-panggung komedi kita selama ini ? Saksikan dan silakan mencatat sendiri dari pentas lawakan di televisi kita selama ini.

Bagi saya, yang menonjol di televisi-televisi kita adalah suguhan acara humor yang hanya semakin riuh dengan para pelawak jenis yang kedua. Yaitu para pelawak yang misinya tampil di panggung semata-mata berambisi memperoleh tawa dari penontonnya. Tidak ayal, seorang Steve Silberberg kemudian mempunyai pendapat khas untuk para pelawak jenis kedua ini :

If they bought/stole/used someone else's material, they'd be no more than a talking monkey on stage regurgitating other people's thoughts.

Bila mereka membeli/mencuri/menggunakan materi lawakan karya orang lain, maka mereka itu tidak ubahnya sosok kera yang mampu bicara, yang tampil di panggung, untuk muntah-muntah mengeluarkan karya buah pikir orang lain.

Betul atau tidak : bila kita kini hampir tiap hari semakin sering melihat “kera-kera yang bisa ngomong dan muntah-muntah” itu di layar televisi kita ? Ucapan Aming yang dimuat di Kompas (7/8/2005) bahwa “komedi itu harus digarap dengan serius”, semoga dapat membangunkan kesadaran pada seluruh stakeholder dunia komedi kita.

Betul, Aming, dunia komedi kita memang menuntut perhatian yang lebih serius lagi. Semoga Anda bisa ikut serta memulainya !



Wonogiri, 7-8 Agustus 2005

Monday, August 01, 2005

Klub Komedi, Kapan Hadir Di Negeri Ini ? : Pertanyaan Wong Wonogiri Anggota New York Comedy Club, Amerika Serikat

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



New York Kini Dekat Wonogiri ! Kota London pernah menjadi subjek ejekan aktris Amerika, Bette Midler. Ia pernah bilang, “bila di New York jam tiga, maka di London masih tahun 1938”. Saya tidak tahu konteks ucapan sinis Midler tentang London itu. Mengejek kekunoan London yang ketinggalan jaman ? Baru-baru ini, dari Radio BBC, saya mendengar ejekan terbaru tentang London.

Ejekan itu muncul utamanya setelah Polisi Metro London melakukan kesalahan sangat tragis, salah tembak. Mereka telah menghujani kepala seorang warga Brasil, Jean Charles de Menezes (27) di stasiun kereta bawah tanah Stockwell (22/7), hingga tewas. De Menezes dicurigai oleh agen polisi Metro London sebagai teroris yang akan meledakkan bom bunuh diri.

Ejekan itu berupa rumor bahwa Olimpiade 2012 batal dilaksanakan di ibukota negaranya Lady Diana itu. Pasalnya, para pelari dari seluruh dunia memboikot. Mereka takut datang ke London, takut akan dikejar-kejar dan ditembak mati oleh Polisi Metro London !

Oh, London.

Maaf, saya agak melenceng sedikit. Tulisan ini sebetulnya ingin bercerita tentang kota New York. Karena saat ini, gara-gara urusan komedi, New York menjadi terasa dekat dengan kota saya, Wonogiri. Anda pernah mendengar lagu puja-puji tentang New York ? Simaklah gairah hidup yang terpancar dari sana :

I want to wake up in a city that never sleeps,
and find I'm a number one, top of the list.

Saya ingin terbangun di kota yang tak pernah tidur ini,
dan menemukan diriku sebagai si nomor satu,
menjadi pemuncaknya daftar peringkat.

If I can make it there, I'll make it anywhere.
It's up to you, New York, New York, New York.

Bila diriku berhasil di sini, aku akan berhasil pula di mana saja.
Semuanya terserah padamu, New York, New York, New York.


Saya dan New York Comedy Club ! Semangat untuk memperoleh keberhasilan di kota yang punya julukan Apel Besar itu, The Big Apple, mungkin juga membara di dada Lisa Ann Walter. Artis cantik dan menawan ini pernah mendampingi Jim Carrey dalam "Bruce Almighty" (“sayang DVD saya untuk film ini tak bisa saya putar !”), main bareng Richard Gere dalam "Shall We Dance", tampil di “Parent Trapp”, dan yang terakhir dalam "War of the Worlds" untuk berseteru melawan Tom Cruise !

Tanggal 15 dan 16 Juli 2005, saya sebenarnya berpeluang menonton pementasan komedi solonya Lisa Ann Walter di New York Comedy Club, di Boca Raton, New York. Klub komedi ternama ini memang menawarkan peluang untuk memperoleh tiket gratis. Petugas pemasarannya, Natasha, hampir dua kali dalam sebulan selalu mengontak saya. Sebelum Lisa Ann Walter, pernah pula dipanggungkan komedian Alan Prophet, Bob Levy, Eddie Clark, sampai Tony Woods. Saya memang menjadi anggota klub email New York Comedy Club, sejak Juni 2005 yang lalu !

Tetapi bisa nonton pentas komedi di sebuah klub komedi di New York, memang masih impian. Perjalanan ke luar negeri saya yang terjauh baru Singapura. Tetapi demi memperoleh sentuhan bagaimana industri komedi bernafas dan bergulir di negara-negara maju, menyodorkan alamat email untuk memperoleh info-info baru, dan gratisan, apa pula salahnya. Asal Anda jangan bilang-bilang kepada Natasha, bahwa saya adalah anggota klub email klub komedinya yang berasal dari kota yang tak pernah masuk dalam benaknya : Wonogiri, Solo, Jawa Tengah, Indonesia !

Selain di New York, saya berpeluang menjadi anggota klub email klub komedi di 50 negara bagian Amerika Serikat. Klub komedi, dalam bayangan saya, adalah mirip pentas Aneka Ria Srimulat di Taman Remaja Senayan di tahun 1980-an. Hanya saja penontonnya lebih sedikit, penampilnya juga bukan kelompok lawak secara keroyokan model Srimulat. Tetapi para komedian solo, stand-up comedian, yang tampil di panggung sendirian dalam meledakkan lawakan demi lawakan.

Para komedian solo di Amerika Serikat, sekadar contoh, antara lain : Kip Addotta, Jeff Altman, Louie Anderson, Richard Belzer, Sandra Bernhard, Lewis Black, John Caponera, Jim Carrey, Cheech and Chong, Margaret Cho, Bobby Collins, Anthony Clark, Dane Cook, Jim David, Bill Engvall, Gilbert Esquivel, Jimmy Fallon, Pablo Francisco, Dana Gould, Arsenio Hall, Maryellen Hooper, Richard Jeni, Sam Kinison, Denis Leary, David Letterman, Jack Mayberry, Jackie "The Joke Man" Martling, Kathleen Madigan, Monique Marvez, Steve McGrew, Jay Mohr, John Pinette, Brian Regan, Ray Romano, Bob Saget (“pembawa acara America’s Funniest Home Videos”), Adam Sandler, Garry Shandling, Jerry Seinfeld, Flip Schultz, Craig Shoemaker, Pauly Shore, Jimmy Shubert, Margaret Smith, Doug Stanhope, Rich Vos, Damon Wayans, Suzanne Westenhoefer sampai Bob Zany !

Mereka yang termasuk kelas legendaris : Steve Allen, Morey Amsterdam, Milton Berle, Shelley Berman, Joey Bishop, George Burns, Red Buttons, Pat Buttram, Charlie Callas, Godfrey Cambridge, Pat Cooper, Norm Crosby, Bill Dana, Rodney Dangerfield, Phyllis Diller, Redd Foxx, George Gobel, Buddy Hackett, Hudson & Landry, George Jessel, Jerry Lewis, Gary Owens, Moms Mabley, Pat McCormick, La Wanda Page, Don Rickles, Soupy Sales, Dick Shawn, Jerry Stiller & Anne Meara, Three Stooges, Jackie Vernon, Slappy White, Rich Little, Rusty Warren, Jonathan Winters, dan Henny Youngman


Mirip Liga Dalam Sepakbola. Jakarta sebenarnya pernah memiliki klub komedi serupa. Namanya, Jakarta Comedy Club (JCC). Lokasi pentasnya di Rooftop Bear Garden, Hotel Mandarin Oriental. Pentasnya, biasanya di akhir Minggu. Jumat sampai Minggu. Acara hiburan yang nampak ditujukan untuk membidik ceruk pasar para pekerja asing di Jakarta itu kaya akan sponsor. Misalnya pabrikan bir, Rolls Royce, klub golf Jagorawi, hotel eksklusif di Bali, sampai provider Internet. Bulan Januari 2002, misalnya, JCC telah memanggungkan komedian solo Tommy Dean (Amerika Serikat) dan Tom Gleeson (Australia)

Klub komedi untuk para (calon) pelawak domestik, tentu tak perlu hotel mewah sebagai tempat untuk penyelenggaraannya. Dalam khasanah literatur mengenai komedi dikenal istilah open mike, mikrofon yang boleh digunakan oleh siapa saja. Open mike ini dapat dilakukan di restoran, kafe, bar, galeri, ruang pamer, toko-toko buku, sampai pelataran kampus. Dengan pengorganisasian tertentu, para calon komedian dapat berpentas 7-10 menit di pelbagai lokasi open mike tersebut untuk menjajal nyali, men-tes kreativitas karya dan gaya lawakan mereka.

Apabila komunitasnya telah terbentuk, bisa dilanjutkan dengan acara diskusi. Mirip pementasan baca puisi, bedah buku atau pemanggungan teater. Apabila pasar memberikan respons positif, klub komedi yang menarik karcis atau pun sponsor, sudah tiba saatnya untuk diluncurkan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, mungkin berdasar pertimbangan kualitas atau gengsi, masing-masing klub komedi nantinya bisa tersegmentasi seperti pembagian divisi dalam liga sepakbola.

Klub komedi juga mampu menghindari pemborosan dalam perekrutan talenta-talenta baru dalam dunia lawak Indonesia. Strategi yang ditempuh stasiun televisi swasta TPI, dengan Audisi Pelawak TPI (API), terlalu mahal dengan hasil luaran yang meragukan.

Melahirkan kelompok pelawak baru melalui lomba, boleh saja. Tetapi setelah memerhatikan beberapa pentas eksklusif dari beberapa kelompok lawak pemenang API 1, jelas nampak betapa kreativitas mereka dalam penciptaan lawakan-lawakan baru sangat gampang kehabisan nafas. Kedodoran. Hal ini terjadi karena pentas lawak tidak sama dengan pentas nyanyi. Dalam pentas menyanyi, setiap lagu dapat dinyanyikan ribuan kali oleh penyanyi yang berbeda, tetapi materi lawakan sekali muncul akan hangus selamanya. Tidak akan lucu apabila diulangi lagi !

Pelawak-pelawak hasil karbitan API itu masih harus ditempa lagi sebelum pantas dimunculkan di layar televisi. Penampilan yang kedodoran, di bawah standar tontonan televisi, seperti halnya hukum yang berlaku dalam dunia hiburan, justru akan membunuh masa depan mereka secara lebih dini. Klub komedi merupakan salah satu solusi terbaik untuk mematangkan dan dan mempertinggi jam terbang mereka.

Tentu saja klub komedi bukan hanya ditujukan untuk para novice, pemula, semata. Fenomena bintang-bintang layar putih yang sudah terkenal, tetapi tetap tertarik untuk main di panggung teater, dapat pula diaplikasikan untuk para komedian kita. Siapa tahu para komedian senior kita, yang selama ini hanya berani main keroyokan di panggung televisi, akan tergiur untuk main solo di pentas-pentas klub komedi.

Dalam imajinasi saya, di dalam habitat lingkungan klub komedi tersebut akan banyak berbaur para pemilik bakat yang berfungsi penting mendukung semaraknya denyut kehidupan industri hiburan berbasis komedi. Misalnya para pencari bakat, penulis, komedian, wartawan, pemerhati, orang-orang televisi, sampai para juragan klub komedi itu sendiri.


If I can make it there, I'll make it anywhere.
It's up to you, comedy club, comedy club, comedy club.

Bila diriku berhasil di sini, aku akan berhasil pula di mana saja.
Semuanya terserah padamu, klub komedi, klub komedi, klub komedi.

Semoga begitulah janji dan ambisi yang mekar di dada para calon komedian yang memperoleh tempaan di kawah candradimuka, berupa klub-klub komedi, di masa depan nanti. Itulah pula beberapa bayangan yang selalu muncul di benak, setiap kali saya memperoleh kiriman email dari Natasha, dari New York Comedy Club, di New York, Amerika Serikat sana.

Masalahnya kini, perintisan cikal-bakal klub komedi di Indonesia itu dari mana sebaiknya dimulai ? Masak sih, harus pula dari Wonogiri ?



Wonogiri, 1 Agustus 2005