Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Brokeback Mountain. Burung puyuh kini sedang menertawai Amerika. Jelasnya, menertawai tindakan ceroboh dan bodoh Dick Cheney, sang Wakil Presiden AS. Semua itu terjadi akibat kekonyolan melakukan salah tembak saat berburu burung puyuh yang dilakukan orang terkuat kedua Amerika Serikat tersebut.
Guyonan tentang dirinya pun meledak.
Komedian Jimmy Kimmel, nyeletuk : “Dengan menyingkirkan segala lelucon dan ketika kita harus adil menilai Dick Cheney, nampaknya setiap lima tahun sekali ia harus menumpahkan darah orang tak berdosa atau dia mencederai perjanjian dirinya dengan setan”
Sementara itu David Letterman, pembawa acara humor di televisi yang terkenal, meledek insiden itu sebagai upaya Wapres AS ikut serta menghentikan penyebaran wabah flu burung. Lelucon lain khas Letterman lalu ganas main sikut sana-sini.
Misalnya dari kondisi Cheney yang jantungnya lemah, ia memiliki anak perempuan yang lesbian, menyangkut kisah percintaan sesama lelaki oleh para koboi dalam film unggulan Oscar, Brokeback Mountain (“Habis, dia mau mencoba ‘koboi gay’ pada diri saya”), sampai isu senjata pemusnah massal Irak yang selama ini tidak pernah ditemukan oleh Amerika Serikat. Celetuk Letterman untuk isu yang satu ini :
“Berita bagus, para hadirin. Akhirnya kita mampu menemukan lokasi senjata pemusnah massal. Pada diri Dick Cheney !”
Mari kita tinggalkan David Letterman.
Kini kita simak obrolan yang sarat sindiran tajam Jon Stewart, seorang stand up comedian terkenal dan pembawa acara “The Daily Show,” ketika melakukan dialog dengan Rob Corddry. Inilah transkripnya :
Jon Stewart (JS) : “Saya sekarang bersama Robb Coddry, analis peristiwa salah tembak yang dilakukan oleh Wakil Presiden kita. Rob, ini nyata-nyata situasi yang sial. Bagaimana Wakil Presiden kita mengatasainya ?”
Robb Coddry (RC) : Jon, semalam Wakil Presiden tetap kukuh pada pendiriannya untuk menembak Harry Whittington. Berdasarkan analisis intelijen terbaik, terdapat burung puyuh di semak tersebut. Semua orang percaya saat itu memang terdapat burung puyuh di semak bersangkutan.
“Dan ketika burung puyuh itu berubah menjadi pria berusia 78 tahun, kita tahu kemudian, Mr. Cheney tetap bersiteguh menembak Mr. Whittington pada bagian wajahnya. Ia percaya bahwa dunia akan menjadi lebih baik bila ia menebarkan peluru
ke seluruh wilayah wajah Mr. Whittington”
JS : “Tetapi mengapa, Rob ? Apabila dia tahu bahwa Mr. Whittington bukan seekor burung, mengapa ia tetap saja menembak dirinya ?”
RC : “Jon, pasca 11 September, bangsa Amerika mengharapkan pemimpinnya bertindak tegas. Dengan tidak melakukan penembakan terhadap seorang teman tepat pada wajahnya akan mengirimkan pesan kepada burung-burung puyuh bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang lemah”
JS : “Sangat mengerikan”
RC : “Lihat, fakta bahwa bagaimana Wakil Presiden kita berkendara dengan sahabat-sahabatnya yang orang kaya menaiki mobil untuk menembaki burung puyuh, burung yang tak punya sayap kuat dan hidup di peternakan, adalah memberi isyarat kepada buruh puyuh itu ‘bagaimana’ kita memburu mereka. Saya yakin, saat ini burung-burung itu sedang menertawakan kita di tengah-tengah kawanan mereka”
JS : “Saya tidak yakin burung-burung itu bisa tertawa, Rob”
RC : “Ya, apa pun yang mereka lakukan, coo (menirukan suara burung), mereka kini sedang meledeki kita, Jon. Sebab kita di sini sedang berbicara blak-blakan tentang rencana kita untuk memburu mereka. Sudah tak ada harapan lagi. Skornya : Buruh Puyuh satu, Amerika nol !”
Library of Congress. Sebelum dialog yang sarat sindiran cerdas di atas, ketika membuka perbincangan Jon Stewart lebih dulu melemparkan guyonan sebagai berikut :
“Wapres AS Dick Cheney secara tidak sengaja menembak seseorang ketika berburu burung puyuh...membuat Harry Whittington sebagai orang pertama ditembak wakil presiden AS sejak Alexander Hamilton. Hamilton terlibat tembak-menembak dengan Aaron Burr demi mempertahankan kehormatan, integritas dan manuver politik. Whittington ? Tertembak karena dikira seekor burung !”
Lelucon Stewart yang satu ini menarik. Terutama karena peristiwa duel antara Hamilton (1755-1804) vs Burr (1756-1836) itu sudah terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Tetapi peristiwa tersebut masih hidup dalam ingatan bangsa Amerika. Masih juga relevan untuk bahan guyonan. Mengapa ?
Hal ini bisa terjadi, karena harus diakui, Amerika Serikat adalah bangsa yang maju budaya baca dan tulisnya. Sekadar contoh : mereka memiliki Library of Congress, perpustakaan yang terbesar di dunia. Didirikan pada tahun 1800, alias 25 tahun sebelum meletus Perang Diponegoro di negeri kita ini.
Mereka cermat mencatat kejadian bersejarah. Bahkan juga mendokumentasikan hal-hal yang kelihatan remeh-temeh, trivia, juga rewel mendiskusikannya. Tradisi intelektual ini tentu membuat bangsa Amerika tidak mudah melupakan prestasi atau aib seseorang tokoh, ketika mereka hendak menjatuhkan sesuatu pilihan politik.
Seorang komedian, idealnya, juga dituntut untuk memiliki tradisi pendokumentasian yang kuat. Jay Sankey dalam bukunya Zen and The Art of Stand-Up Comedian (1998) menyebutkan bahwa seorang komedian adalah seorang pengamat.
Tidak ayal Judy Carter, mentor dan guru pelawak yang terkenal di Amerika Serikat, dalam salah satu ajarannya mewajibkan muridnya memiliki bloknot kecil dan pena. Dua benda “keramat” ini harus selalu dibawa kemana-mana. Lebih bagus lagi, disertai pula sebuah tape recorder kecil.
Antara lain Judy Carter mengutip pendapat komedian George Wallace yang bilang, “Saya menulis lelucon saya dari hal-hal atau kejadian bodoh. Misalnya tanda lalu lintas berbunyi ‘DILARANG BERISIK DI ZONA RUMAH SAKIT.’ Memang tidak ada kejadian yang menimbulkan berisik, sampai suatu saat mobil ambulans muncul dengan sirine yang menggaung..”
Richard Lewis, komedian yang konon telah menciptakan lebih dari 250.000 lawakan, bilang bahwa dirinya selalu membawa bloknot kemana saja. “Bila ada sesuatu yang lucu, saya segera menuliskannya. Beberapa bulan kemudian saya memiliki ribuan premis lawakan, saya beri lingkaran untuk premis-premis yang mampu membuat saya tertawa, dan saya membayangkan bagaimana menyajikannya di panggung”
Menyerang Penguasa. Komedian terkenal di Amerika Serikat seperti Conan O’Brien, Craig Kilborn, David Letterman, Jay Leno, Jimmy Kimmel, Jon Stewart, sampai comedienne Tina Fey, pekerjaan pokoknya memang membulan-bulani para penguasa dengan lelucon. Sasaran tembak nomor satu mereka, pastilah presiden Amerika Serikat.
Melucukan penguasa merupakan salah satu ciri khas bangsa Amerika, yang memiliki gaya hidup getol memperolok diri, membuat satir, sebagai bagian dari budaya masyarakat mereka. Humor politik menjadi makanan sehari-hari mereka.
Gene Perret, kepala penulis lawakannya Bob Hope, pemenang tiga kali Emmy Award, ketika meringkas kaidah-kaidah terpenting dalam menyajikan lawakan antara lain ia sebutkan : lawakan harus merefleksikan kebenaran, melonggarkan tensi atau tekanan, mengejutkan, menyerang otoritas atau penguasa, melibatkan penonton dan menyajikannya secara jenaka.
Bagaimana pelawak Indonesia dalam mengaplikasikan kaidah-kaidah di atas ? Saya kali ini tertarik membahas masalah kaidah bahwa lawakan memang harus menyerang otoritas atau penguasa. Peran yang menantang dan merangsang.
Apalagi lawakan dalam hal ini ikut hadir sebagai mekanisme checks and balances, kontrol terhadap kebijaksanaan pemerintah. Dengan disajikan secara jenaka, sehingga yang mendapat semprotan tidak perlu bermerah muka. Dalam dunia pewayangan kita sudah mengenal para panakawan seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, yang lawakannya berfungsi sebagai kritik yang mengingatkan para penguasa.
Para penguasa memang pantas menjadi sasaran lawakan, antara lain karena baik dirinya atau kebijakan yang ia ambil, jelas akan diketahui dan mempengaruhi hidup orang banyak. Pemahaman secara bersama oleh masyarakat luas, atau oleh banyak orang, bagi seorang komedian yang cerdas adalah ibarat dirinya berdiri di depan lautan bensin.
Dengan celetukan atau lawakan kecil yang oleh Perret disebut harus merefleksikan kebenaran, juga harus melibatkan penonton, komedian ibarat melemparkan api ke tengahnya. Kobaran tawa dijamin muncul menggelegar dari sana.
Sayang, sepertinya kini tidak banyak, atau justru tidak ada, komedian kita yang berani bermain humor politik saat ini. Mungkin karena mereka telah merasa berkecukupan, lalu berusaha hanya mempertahankan status quo dengan main aman, lebih suka tiarap, apolitik, sehingga membuat peran luhurnya sebagai panakawan yang bertugas mengritik para penguasa sudah musnah entah di mana.
Bagi saya, pantas saja lelucon-lelucon mereka tidak banyak lagi yang lucu. Karena lawakan mereka memang semakin jauh dari greget merefleksikan kebenaran, sekaligus juga tidak melibatkan suara hati kita sebagai rakyat sebagai audiens mereka.
Burung-burung puyuh kini sedang menertawai Amerika. Tetapi di Indonesia, burung-burung menjadi terdakwa karena membuat semakin banyak korban-korban berjatuhan dan meninggal. Akibat flu mereka !
Wonogiri, 24 Februari 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment