Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Komedian Meniti Bahaya. Diskusi tentang lawak itu terkirim dari Salzburg, Austria, akhir Mei 2007. Pengirimnya Agung Pramono, warga Wonogiri yang kini tinggal di Jakarta dan biasa keliling dunia. Beberapa bulan lalu ia kirim lelucon dari Pattaya, Thailand. Juga cerita tentang acara komedi Gags sampai Just for Laugh yang sering ia tonton dari tayangan televisi di Kanada.
Obrolan dari Salzburg itu langsung mengingatkan saya akan nomor Musical Joke, karya komposer jenius kelahiran Salzburg. Ia sering disebut sebagai darling of the world, yang tidak lain adalah Wolfgang Amadeus Mozart. Dalam film Amadeus (1984) yang menyabet 8 Oscar garapan Milos Forman, Mozart digambarkan memiliki selera humor cabul dan vulgar.
”Forgive me, Majesty. I am a vulgar man! But I assure you, my music is not,” begitu akunya kepada Kaisar Josef II. Pada nomor karyanya Musical Joke itu kita dapat membuktikan ucapannya
Pada awalnya Anda akan dibelai oleh harmoni dua french horn berpadu dengan empat alat musik gesek yang indah. Tetapi kemudian tiba-tiba Anda digerojok alunan musik liar, edan-edanan, chaotic, yang menggelitik kita untuk tertawa.
Karya Mozart yang tanggal lahirnya sama dengan Jaya Suprana, 27 Januari, dan sama pula dengan Hari Epistoholik Indonesia yang saya deklarasikan dua tahun lalu di acara HUT MURI ke-15 di Semarang, harus saya dengarkan berkali-kali. Terus terang, mencoba menikmati lelucon dari musik klasik, ternyata memang tidak mudah. Sama halnya, kita semua tahu, bahwa mengkreasi lelucon yang bermutu juga tidak mudah.
Agung Pramono, alumnus ITB, dalam emailnya itu menyatakan apriori terhadap perkembangan lawak di Indonesia. Menurutnya, isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) merupakan musuh dari kreatifitas pelawak. Belum lagi isu SAMPAH (Sex, Anatomi, Moral, Partai, Adat dan Humanisme), menurutnya lagi, adalah pula mimpi buruk bila kaum lucu itu bertindak “kebablasan” dalam meledakkan lawakan-lawakan mereka.
Saya bisa memahami kerisauannya. Kelompok lawak Bagito, sebagai contoh, pernah terperosok ke dalam tong SAMPAH ketika mereka melucukan kekurangan yang bersifat “anatomi” dari seorang Gus Dur. Gus Durnya sendiri, sebagai humoris sejati (“siapa yang punya rekaman acara Kongkow Bareng Gus Dur, Radio 68H, 24 Juni 2007 yang bertopik lawakan vs keberingasan dalam Islam ?”), tidak apa-apa. Tetapi para pendukungnya, yang tidak memiliki selera humor setinggi Gus Dur, saat itu langsung menjadi berang beramai-ramai.
Mungkin saya salah, tetapi sejak insiden “lelucon anatomi” itu meletup pamor Bagito pun meredup. Mereka mungkin trauma, lalu melakukan sensor diri sendiri, sehingga ketajamanan leluconnya yang lain pun pelan tetapi pasti tergerus habis daya ledaknya. Sementara itu lelucon yang menjurus ke seks dan diskriminasi jender seperti saya tulis sebelumnya, telah membuat tayangan Chatting di TPI dan Empat Mata-nya Tukul Arwana di Trans7 mendapat somasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
Begitulah, melucukan dan melecehkan kadang batasnya memang tipis sekali. Justru itu, menurut saya, di situlah tantangan yang menarik dan sangat unik bagi seorang komedian. Mereka ibarat atlet akrobat yang berani meniti tali di atas ketinggian. Atau berjalan dan menari di atas sisi keping tajam pisau silet raksasa. Humor always plays very close to the hot fire of truth. Hidup komedian selalu dalam bahaya. Tetapi sebagaimana ciri komedian sejati yang memiliki kejujuran dan keberanian, terutama dalam mengolok kekurangan dirinya sendiri, pengalaman dan tantangan semacam itu bahkan kemudian ibarat candu bagi mereka.
Komedian Itu Komando. Billy Crystal pernah menegaskan bahwa sebagian besar komedian adalah sosok orang-orang pemalu yang menggunakan panggung untuk mengalahkan rasa takutnya terhadap orang lain. Komedian solo perempuan terkenal Joan Rivers bertutur, “My routines come out of total unhappiness. My audiences are my group therapy.”
Dengan melawak Joan Rivers mengharapkan rasa tidak bahagianya yang kronis itu menjadi tersembuhkan ketika dirinya berbaur di tengah penontonnya. Louie Anderson memberi garis bawah : “Komedi sejati adalah kemampuan dan keberanian Anda untuk membuka diri sehingga audiens dapat melongoki isinya dan percaya mereka tidak akan mencoba menyakiti Anda.”
Komedian seperti Joan Rivers atau Louie Anderson, memang ibarat anggota pasukan komando. Dirinya berani berperang sendirian. Selain untuk menaklukkan rasa takut pada dirinya sendiri, sekaligus berjuang mengalahkan hujan bom dan berusaha membunuh belasan sampai ratusan pengunjung pentasnya.
Anda jangan merasa serem dulu. Harap Anda maklum, istilah bom dalam dunia komedi adalah slang untuk cemoohan penonton yang tidak puas terhadap lawakannya. Sementara membunuh adalah lawakan yang mampu mengundang gelegar tawa.
Mungkin seperti sosok Arnold Schwarzenegger dalam film Commando, komedian dituntut memiliki amunisi dan trik yang banyak, juga selalu baru, dalam melawak. Dan sebagaimana anjuran dari para pelawak terkenal dan mentor pelawak yang mumpuni, kepemilikan amunisi dan trik-trik lawakan itu harus dimulai dari aktivitas menulis. Komedian Jerry Seinfeld memberi nasehat : “Menulislah (lelucon) hingga tanganmu terasa sakit !”
Mengapa menulis ? Karena menurut Mark Rutherford, dalam diri setiap orang ada sebuah mata air yang terus menyemburkan kehidupan, energi, cinta, apa pun sebutan yang Anda berikan padanya. Mata air apa yang menyembur dari dalam diri Anda ? Menulis merupakan cara yang baik untuk menyalurkannya.
Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang diterjemahkan (“menurut saya menjadi lebih jelek”) dengan judul Berani Berekspresi (MLC, 2004), menegaskan bahwa dengan menulis penulis (mampu) menangkap hal-hal yang tidak teramati oleh orang lain. Penulis menangkap kebenaran-kebenaran yang tersembunyi.
Penulis kemudian menariknya dari sudut remang-remang tempat kebenaran itu suka bersembunyi, membawanya ke tempat terang, menangkapnya ketika mereka sedang mengawang terbang. Di bagian lain juga ia tegaskan, “jika Anda punya kejujuran diri yang mendasar, Anda kemudian akan menulis. Anda akan melaksanakan kegiatan yang Anda kaitkan dengan jati diri Anda yang paling dalam.”
Pelawak juga memiliki landasan eksistensi yang sama : dirinya melawak untuk mengekspresikan sisi relung terdalam dari dirinya sebagai manusia. Ia pun memiliki misi mulia seperti halnya penulis, untuk berani mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang tersembunyi.
Sekadar contoh, simak ledekan Jay Leno berikut ini : “Walikota New York Michael Bloomberg memutuskan keluar dari Partai Republik dan menjadi independen. Ia bilang tidak memiliki rencana untuk jadi presiden. Sekarang jangan campur adukkan perkataan dia dengan Presiden Bush, yaitu seseorang yang tidak memiliki rencana sebagai presiden.”
Ketika Bush diam-diam berkunjung ke Baghdad, David Letterman berkomentar : “Saya pikir ini menarik sebagai perbandingan. Presiden Bush secara diam-diam mengendap ke Baghdad dan tidak seorang pun tahu. Sebaliknya Bill Clinton, ketika ia mengendap pegawai magang Gedung Putih (Monica Lewinsky-BH), semua orang justru tahu tentangnya.”
Lengsernya Tony Blair juga menjadi bahan olok-olokan komedian Conan O’Brien : “Perdana Menteri Tony Blair dari Inggris baru saja mengumumkan diri akan lengser dalam waktu dekat, yang berarti Presiden Bush akan kehilangan sekutu terdekatnya dalam urusan luar negeri. Bush merasa sedih dan berkata, ‘Kini pemimpin asing yang saya percayai adalah Arnold Schwarzenegger.’”
Masih tentang Bush, Bill Maher mengolok kualitasnya yang terkenal sebagai presiden “dungu” : “Majalah TIME baru saja menerbitkan Daftar 100 Orang Paling Berpengaruh Di Dunia dan Presiden Bush tidak masuk di dalamnya. Ia pun marah. Ia menghentikan langganan dan berhenti dari kursus privat membaca.”
Lalu adakah hubungan antara politikus dan kriminalitas ?
“Kelompok lembaga konsumen menegaskan harus tersedianya kolom isian dalam kartu suara untuk memastikan bahwa pajak yang tersalur digunakan untuk memerangi kriminalitas dan bukan mengalir ke kantong para calon presiden. Saya pikir ini ide hebat. Yang saya maksudkan, setiap kali Anda menarik uang Anda dari kantong politikus, berarti Anda memerangi kriminalitas, bukan ?,” kata Jay Leno.
Sekolah Lawak di Indonesia. Selain email dari Salzburg di atas, diskusi mengenai lanskap komedi Indonesia dewasa ini juga dipicu oleh email yang saya terima dari Tri Agus S. Siswowiharjo (17/6/2007) dari Depok. Sebagai aktivis LSM, penulis lepas dan kegemarannya terhadap humor, ia telah menghasilkan buku antara lain Mati Ketawa Cara Timor Leste (2001) dengan kata pengantar Xanana Gusmao, GAM: Gerr Aceh Merdeka (2003), Humor Pemilu 2004 (2004), dan Senyum Dikulum, Tsunami (2005).
Prestasi yang hebat. Saya balas emailnya, antara lain : “saya salut untuk telah terbitnya beberapa buku kumpulan humor Anda. Melihat topik dan judulnya, sungguh bikin iri (bukan dengki) karena Anda telah mengetahui jeroan orang Aceh sampai Timor Timur dalam bingkai humor. Kalau Clemence Dane pernah bilang bahwa “make us laugh and you can pick all pockets,” maka bayangkan betapa banyak kantong orang Aceh dan Timor Timur yang berpotensi untuk bebas Anda “gogohi” selama ini ?
Diskusi email Depok-Wonogiri ini meningkat ke topik menarik. Yaitu tentang cita-cita Tri Agus dan juga cita-cita tokoh pemerhati dan penulis humor Darminto M. Soedarmo, di mana keduanya sama-sama ingin mendirikan sekolah atau kursus pelawak. Ungkapnya, “Dia (Darminto M. Soedarmo) bilang semuanya sudah siap. Cuma ada gak orang gila (investor) yang mau membiayai. Saya bilang, tak perlu harus gila, cukup setengah gila untuk mewujudkan gagasan itu. Mengapa banyak kursus menyanyi, presenter, kepribadian dan lain-lain bisa eksis, sementara komedi/lawak tak ?”
Cita-cita bagus itu tentu saja saya dukung. “Terima kasih untuk obrolan tentang cita-cita Anda dan Mas Darminto untuk membangun kursus lawak. Tetapi ketika mendengar harus ada uang milyaran, waduh, saya ikut keder. Apa engga modal dengkul saja, yaitu reputasi Anda, lalu kerjasama menyewa ruko atau rumah dengan bagi hasil, lalu berdirilah kursus itu. Simpel tapi mungkin gak simpel ya ? Sori, ini logika made in Wonogiri.
Hal lain, boleh dianggap serius atau guyon : kalau saya jadi pengelola kursus, semua siswa saya harus menjadi blogger dulu. Karena semua komedian, menurut saya, harus menjadi penulis dulu. Persyaratan semacam ini yang mungkin akan membuat banyak dari mereka pikir-pikir atau bahkan mundur ya ?”
Obrolan dengan topik yang sama, sebelumnya telah pula saya kirimkan kepada Agung Pramono. Antara lain saya tuliskan : “Email Agung dari Salzburg itu, terkait aspirasi tentang dunia komedi, mengingatkan saya cerita dari bukunya Aribowo Prijosaksono dan Marlan Mardianto, Self-Management : 12 Langkah Manajemen Diri : Guru Terbaik Sekaligus Musuh Terbesar Manusia (Elex Media Komputindo, 2002).
Aribowo itu kakaknya musikus Piyu/Padi. Aribowo menceritakan seorang temannya, sama-sama alumnus IPB, tetapi si teman itu kini sudah jadi doktor dengan spesialisasi keuangan. Si doktor ini punya cita-cita terpendam, yaitu ingin jadi : komedian solo, alias stand up comedian !
Karena di tv kita sampai saat ini belum ada kabar adanya komedian solo yang bergelar doktor, maka sampai kini ya kayaknya dirinya masih saja memendam ambisinya itu. Mungkin cita-cita itu sudah ia lupakan.
Cerita kecil itu mengingatkan bahwa mungkin harus ada sesuatu pulung tertentu untuk menjadi komedian. Mungkin paduan antara keberanian, kenekadan, lalu luck juga. Seperti temanmu yang manajer PT Johnson Indonesia itu, bila saja ia ketiban pulung dan jadi pelawak, mungkin ia akan menjawab lain bila mendapat pertanyaan yang sama dengan yang Agung sms-kan itu. Mungkin lho.
Sang doktor yang teman Aribowo sampai manajer PT Johnson Indonesia itu, juga bagi Agung sendiri, bila pun kini terbuka peluang untuk terjun ke dunia lawak dan prospeknya gilang-gemilang, apakah mereka dan Agung berani menerjuni “hutan belantara” yang satu ini, sekarang ini ? Mungkin itu pertanyaan berat ya ?
Yang tidak berat, dan bisa kita nikmati, bahwa apa pun profesi kita, maka pulung itu, yaitu sense of humor, merupakan aset yang berharga untuk setiap pribadi. Sokur-sokur kalau humornya itu bukan yang mengejek orang lain, tetapi mengejek (a la Gus Dur) dirinya sendiri. Dengan humor kita sukarela menunjukkan sisi-sisi rawan, vulnerable, dari diri kita sendiri. Hal ini justru berdampak magical. Orang menjadi tersentuh, dan mau mendekat kepada kita. Beda dengan lawakan jahilnya Komeng bin Spontan. Orang akan cenderung memilih menjauh, karena takut dijahilinya.
Terakhir, harta karun sense of humor kita memang tidak selalu hanya pantas diaktualisasikan semata menjadi aksi komedian solo yang tampil di panggung. Gene Perret dapat Emmy Award karena menulis naskah. Kita kan juga bisa menjadi kritikus komedi ? Menjadi sutradara, seperti Teguh Srimulat ? Menjadi pendidik calon pelawak ? Menjadi manajer ?
Yang paling saya harapkan segera, ya segera, dari Agung : luncurkan blog komedimu. Segera. Dua emailmu kepada saya, itu sudah menjadi bahan awal tulisan yang menarik. Pengalamanmu nonton sajian komedi di tv Kanada atau bahkan tv Austria, tak ada yang menyamaimu di Indonesia, kan ? Maka, PD aja, Gung, ayo tuliskan saja – apa pun pendapatmu, ungkapkan menurutmu yang terbaik tentang komedi-komedi yang telah kau tonton itu. OK ?
Kalau Agung benar-benar menyukai komedi dan Agung ingin memberikan andil perbaikan kepada komedi di Indonesia, maka bloglah yang bisa kau garap – mulai hari ini. Bukankah ini tidak menyita pekerjaan dan gajimu, bukan ? Entah, kalau hari ini kau malah telah bulat-bulat memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanmu, lalu terjun 100 persen ke dunia komedi ?”
Moga obrolan ini bermanfaat.
Salam dari anak buah mBok Bende
(sama-sama Wonogirinya),
Bambang Haryanto
Email terakhir saya ini, mengenai tuntutan saya bahwa seorang komedian harus juga seorang blogger, baik yang saya kirimkan kepada Agung Pramono mau pun Tri Agus S. Siswowiharjo, sampai saat ini belum mendapat balasan.
Wonogiri, 29/6 - 3/7/2007
ke
Tuesday, July 03, 2007
Joker, Writer, Blogger !
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Effendi Gazali mgk bisa dikategorikan stand up comedian bergelar Doktor pertama di Indonesia.
ReplyDeleteSaat meminta endorser beliau untuk buku "Kumis Lele Rezeki Arwana", label diri yg dituliskan Pak Effendi dibawah namanya adalah "Stand Up Comedian".
Dan belakangan sy baru tau kalo Pak Effendi ini di kampungnya dulu mmg sering berkelana dari panggung ke panggung ikut lomba lawak.
Mungkin tayangan Republik Mimpi itu benar-benar impian terbesar beliau yg bisa memuaskan hasrat humor, intelektualitas, dan selebritas beliau :)
Dear Ira,
ReplyDeleteThanks untuk komentarmu yang menarik. Saya setuju-setuju saja kok bila beliau Bung Pendi (EG) mengaku sebagai stand up comedian dan bergelar doktor juga.Saya pernah berkali-kali kontak beliau via SMS, tapi karena saya tak punya TV, jadi engga bisa mengikuti tayangan Republik Mimpinya sesudah Kelik keluar. Moga sukses adanya. Oh ya, saya sudah menulis dua kali tentang acara parodinya itu.Termasuk ia "salah tulis" (dlm artikelnya di Kompas) tentang Jon Stewart yang ia (EG) tulis sebagai John Stewart. Lalu saat ia diprofilkan di Kompas Minggu oleh mBak Maria Hartiningsih (juri saya saat saya mengikuti Mandom Resolution Award 2004, kok ya muncul nama varian lain yang juga keliru, Jon Steward. Ah, itu hanya trivia. Sumbangsih Bung Pendi dkk menarik untuk diikuti. Buku Ira itu juga penting bagi dunia komedi Indonesia. Hanya kapan ya Tukul Arwana bisa menulis bukunya sendiri ?
hi friend...
ReplyDelete