Friday, July 22, 2011

Hummer, Penis Kecil dan Polusi Demokrasi

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Mobil Hummer yang macho itu terparkir di Wonogiri. Jumat siang (22/7/2011).

Nomor polisinya menunjukkan mobil Jakarta. Saya amati ban yang kekar, juga membelai-belai bodinya dengan rasa takjub. Syukurlah, pemiliknya tak ada di tempat.

Sempat muncul impuls untuk mengambil kamera dari tas, lalu jepret sana-sini. Termasuk menjepret diri sendiri di depan mobil garang itu, lalu misalnya untuk kemudian diunggah ke Facebook. Desakan nafsu kecil itu, tidak saya hiraukan. Sudahlah.

Tidak perlu. Walau saya menyukai tontonan balapan F-1 sebagai fans Ferrari, pernah bersekolah di STM jurusan mesin, tetapi saya tidak begitu bernafsu untuk dikenal atau dikenang (?), sebagai maniak mobil. Apalagi kemudian sempat pula terlintas guyonan komedian top AS, Andy Borowitz, yang menyatakan bahwa kepemilikan mobil Hummer itu merupakan aksi kompensasi diri dari sang empunya.

Dalam kolom humornya 25/2/2010 ia menulis : “Keputusan General Motors kemarin untuk menghentikan produksi mobil Hummer telah mengunjam hati sekelompok pencinta fanatik mobil ini : kaum brengsek (aslinya ia tulis sebagai : assholes) Amerika.

Di seluruh negara, kaum brengsek itu menyatakan rasa kehilangan dan dukanya yang mendalam akibat keputusan itu. Mereka pun menyarankan para sesamanya agar mencari cara-cara baru untuk mengkompensasikan kepemilikan penis mereka yang kecil-kecil.

Terima kasih, Andy.

Humor Anda ini mengingatkan ucapan nyelekit dari Gus Dur bahwa anggota DPR itu seperti murid taman kanak-kanak. Suka ribut, getol mementingkan dirinya sendiri, dan tentu saja pantas (ini menurut saya dan tertulis di buku Komedikus Erektus) mereka memiliki penis yang kecil-kecil juga.

Penuh warna. Bisa memergoki mobil Hummer itu lumayan memperkaya rona hari Jumat saya ini. Pagi hari, berangkat jam 04.50, bisa melakukan ritus jalan kaki pagi. Bertemu dan berbagi ucapan selamat pagi, ritus rutin, dengan trio ladies menawan dari Toko Bangunan Metro Jaya. Dua di antaranya nampak sambil jalan tangannya memegang dan mengayun-ayunkan dumble untuk memperkuat otot-otot tangan mereka. Apakah mereka akan ikut lomba pancho seperti Sylvester Stallone ? Saya tidak tahu.

Pulangnya, mampir pasar. Bertanya tentang harga ayam babon yang siap bertelur, sekitar 40 ribuan. Kemudian menuju kios yang pemiliknya saya beri nama kode “mbak cantik selatan.” Beberapa saat lalu saya melihat matanya berkilau-kilau, persis seperti kata-kata Sunyahni dalam lagu “Tak Eling-Eling” : “Ing naliko iku, candik ayu sumunar netramu.”

Kepadanya, saya berikan foto dirinya, yang saya jepret tahun 2009. Tawanya yang renyah berderai mengisi pagi.

Sesudah mandi, menuju Perpustakaan Umum Wonogiri. Membaca-baca Kompas dan tiga koran lainnya. Akses Internet untuk menemukan gambar teknografi profil pemakai media sosial dari Forester Research dan memajangnya di catatan saya di Facebook.

Dapat SMS, mantan teman kuliah saya di UI, Bakhuri Jamaluddin. Warga Pamulang, Tangerang Selatan ini lagi berada di Sragen. Lagi nyadran. Ia mengajak ketemuan di Solo, Sabtu malam, untuk menonton Wayang Orang Sriwedari.

Aduh, seingat saya, saya nonton wayang orang ini yang terakhir kali adalah pada abad yang lalu. Tepatnya tahun 1974. Atau tahun 1975. Saat itu malam inaugurasi IKIP Surakarta. Mahasiswi baru yang menjadi buah bibir saat itu adalah, antara lain Rosana, Anik dan Ratih. Dua nama terakhir itu mahasiswi Pendidikan Sosial, satu angkatan dengan Ravik Karsidi yang kini menjabat sebagai rektor UNS Sebelas Maret.

Saat itu saya mengajak tetangga saya di Tamtaman, Baluwarti, Solo. Orang Australia, yang suka melukis, guru bahasa Inggris, dan punya matanya biru kehijauan.Victory Monk.

Undangan Bakhuri itu bikin nostalgia tahun 1986. Saat kami sama-sama menonton Srimulat di Taman Ria Senayan, dan membuat undangan dari Gus Muh (Muhidin Dahlan)-Yogyakarta terpaksa tidak bisa saya penuhi. Pagi-pagi Gus Muh (semalam sebagai peneliti sejarah LEKRA, ia muncul di tvOne) kirim SMS tentang acara bedah buku.

Yang ditampilkan adalah novel karya Wina Bojonegoro berjudul The Soul : Moonlight Sonata. (Btw, “kok bikin saya mudah ingat cerita tentang Bella dan Edward”-nya Stephenie Meyer). Tempat : Indonesia Buku, Jl. Patehan Wetan 3, Yogyakarta. Pembicara : Diana AV Sasa, Wina Bojonegoro dan Dyah Merta. Moderator Endah Sr. Waktu : Sabtu, 23/7/2011. Jam 15.00.

Makasih, Gus Muh.
Moga acaranya sukses.

Sesudah Jumatan, menemani adik saya Nuning yang ulang tahun hari ini (22/7) dan juga suaminya, Nano, ke warung makan ayam goreng kampung Bu Paryanti. Di Wonokarto. Warung ini dipenuhi spanduk. Yang mencolok spanduk promosi sepeda motor Yamaha dan ada juga Suzuki. Bersama produk rokok, promosi sepeda motor memang lagi “menggila” di Wonogiri.

Bye Facebook. Malam, bisa akses Internet, untuk menulis status berisi ucapan politikus Partai Demokrat dari AS yang menjadi Gubernur Texas ke 45, Ann Richards. Ucapannya itu relevan terkait atmosfir perseteruan teman yang kemudian menjadi musuh, antara M. Nazaruddin vs Anas Urbangingrum.

Ann Richards bilang : “Senantiasa saya katakan bahwa dalam politik, lawan-lawan Anda tidak akan melukai Anda, tetapi justru teman-teman sendiri yang mampu membunuh Anda.”

Status saya yang kedua tentang hasil penelitian menarik yang mengisahkan perbedaan profil pendidikan antara mereka yang memiliki akun Facebook, Twitter dan LinkedIn.

Dibeberkan, pendidikan rata-rata pemilik akun Twitter lebih tinggi dibanding pemilik akun Facebook. Tetapi keduanya jeblok bila dibandingkan tingkat pendidikan mereka yang memiliki akun LinkedIn. Apakah kini saatnya untuk mengucap good bye untuk Facebook ?

Malamnya, melalui layar MetroTV, saya menonton sajian rekaman percakapan antara Iwan Piliang dengan M. Nazaruddin melalui fasilitas video chatting-nya Skype. Kalau dalam pembelaannya Anas Urbaningrum selalu menuduh M. Nazaruddin sedang berhalusinasi, melakukan fitnah tanpa data, maka di wawancara itu kita disodori data dari Nazaruddin betapa politik uang benar-benar telah mencengkeram Partai Demokrat. Juga melumpuhkan Indonesia.

Di buku Komedikus Erektus saya telah menulis di halaman 94, mengutip penulis dan wartawan AS Theodore H. White (1915-1986) yang bilang bahwa banjir uang yang digelontorkan dalam arena politik merupakan polusi bagi demokrasi. Kemudian bila polusi ini meruyak kemana-mana, kita akan segera (atau justru sudah dan sudah lama !) mendapati negeri kita ini sebagaimana gambaran dari tokoh serba bisa Benyamin Franklin (1706-1790) :

“Di aliran sungai dan pada pemerintahan yang jelek, benda yang paling ringan saja yang mengapung di atasnya.”

Siapa yang paling top ?


Wonogiri, 23/7/2011

2 comments:

  1. perseteruan antara dua tokoh yang hingga kini masih terus bikin penat kepala tuh kang.. anas vs nazar.. :( ckckckck kapan kelarnya iia :(

    ReplyDelete
  2. Tks untuk "PS Holic"ang sudi mampir dan berbaik hati memberikan komentar.

    Sekarang kan si Naz sudah tertangkap di Kolombia,moga dia bisa pulang dengan selamat (juga tekad plus akal sehatnya) dan kita akan tahu babak akhir duel mereka. Tetapi jangan terlalu optimistis, karena dunia politik di Indonesia terasa kental banget unsur sandiwaranya.

    Kita harus kawal dengan ketat !

    ReplyDelete