Thursday, July 14, 2011

Rahasia Google, Nasehat Arden dan Nostalgia Jogja

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Gadis cantik di seberang itu memakai jaket biru. Bertuliskan, “Economics UGM.” Ia berkali-kali menghindari adu pandang.

Ia lebih tersedot perhatiannya kepada telepon genggamnya. Hampir sepanjang perjalanan Solo-Yogya.

Di sebelahku, anak muda laki. Berkali-kali mencek telepon genggam dari tasnya. Sebelahnya lagi, seorang bapak muda. Sejak naik, headset nampak terus menempel di telinganya.

Di seberang jauh, ada yang membaca koran. Sisa penumpang di gerbong kereta api Prameks yang saya tumpangi pagi itu (12/7/2011), tenggelam dalam lamunan masing-masing.

Saya terbenam sendirian dalam pengembaraan yang dipandu John Battelle. Ia adalah editor pendiri majalah gaya hidup digital, Wired, yang di Indonesia pada tahun 2001 dijual seharga 125 ribu rupiah. Sementara majalah lain yang juga saya sukai, Harvard Business Review dijual sampai 250 ribu rupiah.

John Battelle itu telah menulis seluk-beluk sejarah dan pengaruh keberadaan mesin pencari Google. Judul asli bukunya itu, The Search: How Google and Its Rivals Rewrote the Rules of Business and Transformed Our Culture (2005).

SBY, staf dan kroninya yang bertugas dalam politik pencitraannya, seyogyanya membaca buku ini. Siapa tahu, mereka akan menjadi maklum mengapa di bulan Februari 2011 lalu ketika seseorang mengetikkan lema “kebaikan sby” langsung disambut Google dengan pertanyaan balik yang sangat menohok : “Mungkin maksud Anda adalah keburukan SBY?”

Pustakawan ("nama Dewey juga muncul di buku ini"), bahkan juga Anda yang ingin tahu posisi diri di tengah perubahan kosmos ilmu pengetahuan dan budaya masa kini, sebaiknya juga membaca. Ini bukan buku tentang teknologi, atau sejarah bisnis perusahaan. Tetapi sebuah ulasan dalm dan menggairahkan tentang antropologi budaya suatu pencarian dan menganalisis mesin pencarian tersebut dalam perannya sebagai database of our intentions, pangkalan data penuh arti, karena di dalamnya terhimpun rasa ingin tahu kemanusiaan, eksplorasi dan gairah-gairah yang terekspresikan.

Google mencatat dan mendokumentasikan secara terinci lalu lalang pikiran umat manusia dalam lebih dari 150.000 lebih pangkalan data. Ia tahu persis, misalnya berapa juta kata “seks” atau “pornografi” yang diketik oleh orang Indonesia atau bangsa lainnya dalam kurun waktu tertentu.

Lalu muncul pikiran usil, kalau misalnya “x” itu kini menjadi minat sesuatu bangsa, bagaimana kalau kita jualan produk-produk yang terkait “x” kepada bangsa bersangkutan ? Kalau dalam sesuatu jajak pendapat seseorang tokoh dikabarkan populer dalam pangkalan data Google, tetapi bagaimana kalau yang dibocorkan ke media justru tokoh lainnya ? Google tahu kedahsyatan dirinya. Maka mereka pun pagi-pagi sudah memasang slogan Don’t be evil. Janganlah menjadi jahat.

The Dirty Thousands. Dalam perjalanan di atas Prameks itu saya baru membaca sampai halaman 41. Buku saya masukkan ke dalam tas punggung, dan gantian saya kembali membaca kartu berisi butir-butir topik terkait dengan misi perjalanan ke Yogya ini. Yaitu ingin ikut audisi Stand-Up Comedy Indonesia yang diadakan oleh KompasTV. Di Liquid Café, Jl. Magelang.

Saya tiba di stasiun Tugu, jam 8 pagi. Kereta api (walau sudah tak menggunakan api) ini ketika di tahun 70-an bernama Kuda Putih, telah memicu saya membuat cerita pendek. Judulnya, “Cintaku Antara Balapan dan Tugu.”

Kalau tidak salah tahunnya, yaitu 1978, dimuat di majalah Gadis. Itu cerpen kedua saya dan yang terakhir di majalah yang salah satu redaksinya, mBak Threes Emir, merupakan kakak kelas di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI.

Keluar dari Stasiun Tugu, jalan kearah timur, langsung menatap bangunan yang dulu di tahun 1970-an dipakai sebagai markas Kodim 0734. Kantor ayah saya, almarhum Kapten Kastanto Hendrowiharso. Saat itu saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta, di Jetis.

Kalau pas pelajaran dibatalkan, saya mengajak teman yang punya uang. Hanya dengan uang Rp. 50,00 dirinya saya ajak menemui Bapak saya. Di sana ada jatah bagi tentara untuk membeli karcis bioskop tayangan siang hari, matinee. Uang Rp. 50,00 bisa untuk menonton bagi dua orang.

Film saat itu yang jadi perbincangan antara lain kisah percintaan mahasiswa Harvard, yaitu Love Story-nya Ali McGraw dan Ryan O’Neal. Juga filmnya Lee Marvin dkk, The Dirty Dozen, cerita tentang pasukan komando terdiri dari 12 tahanan yang menyusup dan menghancurkan markas tentara Nazi Jerman.

Ketika baru-baru ini otoritas perfilman Indonesia bilang bahwa negeri kita akan menjadi tempat syuting 7 film manca negara, saya bergumam : “Sebaiknya ada film yang menceritakan SBY dan kemelut skandal korupsi di Partai Demokrat. Dan The Dirty Thousands kiranya merupakan judul yang tepat untuk film bersangkutan.”

Menjejaki Malioboro, saya kemudian menunggu bis TransJogja di terminal yang persis di seberang kantor Perpustakaan Daerah Yogyakarta. Ada papan namanya berbunyi, Jogja Library Center (JLC).

Seingat saya, sepanjang tahun 1970-1972, saya hanya sekali mengunjungi ruang bacanya. Terasa gelap, seperti suasana filmnya Harry Potter. Sejak itu tak berkunjung lagi, padahal tempat tinggal saya di Dagen, hanya sekitar 800 m dari perpustakaan ini.

Toh masih ada kenangan manis tersisa. Tahun 1977 ketika saya beraktivitas di Gallery Mandungan Muka Kraton Surakarta, saya pernah meminjam belasan koleksi majalah dinding perpustakaan ini. Saat itu saya dibantu petugasnya yang ramah : Mas Heri Santoso.

Majalah-majalah dinding yang hasil karya SLTA Yogyakarta itu lalu saya pamerkan di Solo. Dua kali. Kemudian kami pajang bersama karya-karya murid SLTA Surakarta. Karya anak-anak Jogja jauh lebih gaya.

Selain papan nama JLC, terdapat spanduk berisi informasi lomba menulis surat untuk ibu yang diadakan oleh perpustakaan tersebut. Terbuka untuk murid SD dan SMP. Topiknya, “Ibuku, Perpustakaanku.”

Sedikit berefleksi, menulis surat adalah salah satu pintu gerbang diri saya untuk menyukai kebiasaan menulis. Dan tentu saja, membaca. Sebagai anak yang pemalu, ketika SD (saya tinggal di Wonogiri, tetapi ayah saya bekerja di Yogya) saya menyatakan keinginan dengan menulis surat.

Juga ketika ingin dibelikan buku. Hari Minggu siang, ketika ayah saya akan kembali ke Yogya, bila menginginkan buku saya akan tulis judul dan nama pengarang di secarik kertas. Diam-diam, kertas itu saya masukkan ke saku baju seragam ayah saya.

Sabtu minggu depan, sekitar jam 3 sore, ketika ayah saya datang dan tidak usah saling ngomong, saya segera menggeledah isi tas kerja beliau. Selain buku-buku pelajaran, buku bacaan favorit adalah kisah Mahesa Djenar dalam karya SH Mintardja, Nogososro-Sabukinten., yang akan saya temukan. Bau tintanya masih terpateri hingga kini. Lalu meringkuk di kamar tidur, membacanya. Menjelang Maghrib, buku itu pun selesai.

Kembali ke perpustakaan Jogja. Di bagian lain spanduknya itu nampak terpajang logo beberapa lembaga negara, televisi dan perusahaan, sebagai sponsor perlombaan. Kalau saja saya bekerja di perpustakaan, saya akan senang hati belajar lagi dari perpustakaan Jogja ini dalam mengadakan aktivitas yang kreatif dan inspiratif tersebut.

Muncul sajalah. Ketika bis TransJogja 3A tiba, Malioboro segera saya tinggalkan. Di jalanan ini, dulu-dulu itu, saya suka nabrak-nabrak untuk menyapa turis asing. Sekadar melatih bahasa Inggris semampunya. Perjalanan bis nampak lamban, mungkin karena saat itu saya lagi tergesa-gesa.

Seharusnya saya belajar untuk mengendalikan perangai suka tergesa-gesa ini. Demikian pula ketika dalam mencoba berenang di lautan dunia komedi, yang ingin saya terjuni, dengan mengikuti audisi komedian tunggal oleh KompasTV ini.

Audisi saya gagal. Tetapi, syukurlah, dampaknya tidak fatal-fatal amat. Karena dari rumah sudah saya siapkan beberapa mata pancing. Beberapa opsi. Ada yang untuk kepentingan sesaat, tetapi lebih banyak lagi mata-mata pancing untuk masa depan. Yang bahkan sinarnya pun baru mengintip di balik cakrawala.

Bagi para pencari kerja, saya ajak Anda menyimak nasehat Paul Arden ini. Ia eksekutif kreatif perusahaan periklanan kelas dunia Saatchi & Saatchi yang menulis buku berisi ajaran agar kita berani melawan arus. Karena emas ada di sana.

Dalam bukunya Whatever You Think, Think The Opposite (2006), ia menulis : “Jika Anda tidak mempunyai gelar atau biaya kuliah, muncul saja. Jika Anda ingin ada dalam pekerjaan di mana mereka tidak menerima Anda, muncul saja.

Pergilah menghadiri kuliah-kuliah, mondar-mandirlah mengerjakan segala sesuatu, buatlah diri Anda berguna. Buatlah orang-orang mengenal Anda. Pada akhirnya mereka akan menerima Anda, karena Anda adalah bagian dari komunitas mereka.

Mereka tidak hanya akan menghormati kegigihan Anda tetapi juga akan menyukai Anda karenanya. Ini mungkin akan makan waktu, katakan setahun, tetapi Anda akan diterima, bukan ditolak.”

Terima kasih, Paul. Ajaran Anda itu memberi saya perasaan dada lega ketika naik bus untuk meninggalkan Yogya. Saya sudah mengikuti nasehat Anda. Saya sudah muncul, dan hal magis itu kini kiranya sedang bekerja.

Tetapi tetap ada hal rada mengecewakan. Keinginan reuni dengan gadis cantik berjaket “Economics UGM” tadi hanya tinggal kenangan semata.

Tak apa-apa. Apalagi saya kini juga sudah tak mampu lagi menulis seperti “Cintaku Antara Balapan dan Tugu,” sebuah cerita pendek picisan yang saya tulis beberapa dekade lalu itu.


Wonogiri, 14/7/2011

No comments:

Post a Comment