Tuesday, July 12, 2011

Jago Bertaji Celurit dan Leher Komedian Solo Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Malaikat pencabut nyawa bekerja keras di Filipina. Statistik menunjukkan 32 juta nyawa tercabut setiap tahunnya di negeri Mabuhay itu.

Jangan merasa seram dulu. Itu nyawa ayam-ayam yang mati, tetapi bukan karena disembelih. Mereka tewas menjadi korban cabikan taji lawannya.

Taji itu berupa anak pisau, seperti clurit mini, yang teramat tajam. Jutaan ayam jantan itu kemudian satu per satu meregang nyawa dalam persabungan tingkat nasional yang disiarkan secara langsung oleh 6 saluran televisi yang menggelorakan.

Adu ayam merupakan olahraga nasional di Filipina. Saya baru tahu hal itu ketika pagi (13/7/2011) ini, sekitar jam 4-an, memergoki acara “Don’t Tell My Mother” di saluran National Geographic Channel. Acara menarik yang di-host-i oleh Diego Bunuel itu lagi menceritakan pernak-pernik negerinya Corazon Aquino.

Segmen sebelumnya bercerita tentang ribuan orang yang tinggal di kuburan Manila. Tinggal di atas kuburan orang tuanya, sedari tidur, masak, dan beranak-pinak. Kemudian ada adegan yang meliput suasana perjudian yang dilegalkan, yang diselelenggarakan oleh keluarga yang justru sedang berkabung.

Sebagian uang judi itu diserahkan kepada keluarga yang sedang dirundung duka, untuk membiayai upacara penguburan yang nampaknya mahal.

Di kampung saya, Kajen, Giripurwo, Wonogiri, hal serupa pernah terjadi. Setiap ada acara keluarga, seperti upacara kelahiran bayi, khitanan, pernikahan sampai kematian, selalu ada kegiatan lek-lekan, begadang, tidak tidur semalaman. Aktivitas para tetangga yang hadir adalah dengan berjudi, memakai kartu Cina. Ada kartu yang bernama “babi,” “bedor,” “ratu,” “glinding” dan sebagainya.

Hingga muncul guyonan, “bagaimana kalau nanti malam kita membanting babi ?” Itulah ajakan untuk berjudi. Setiap pemenang dalam satu putaran akan menyisihkan sejumlah uang, disebut cuk, yang akan diberikan sebagai semacam upeti sukarela kepada tuan rumah sebagai host acara tersebut.

Di kampung saya, kebetulan di sebelah timur rumah saya, ada seorang ibu yang kampiun dalam arena perjudian itu. Namanya masih melegenda : Ibu Sastro Sitan. Sepertinya beliau adalah sosok the last mohican, yang di masa tuanya kebiasaan ritus berjudi itu semakin surut pendukungnya. Karena kehidupan ekonomi warga yang semakin membaik, membuat permintaan asupan uang dari kegiatan berjudi itu menjadi sirna pula secara pelahan.

Digembleng dua tahun. Kembali ke Manila, ke masalah persabungan ayam. Arena perjudian legal sabung ayam yang mampu memutar uang milyaran peso itu, kemudian menumbuhkan profesi unik : pusat penggemblengan untuk para jago itu.

Diego Bunuel mengunjungi lahan maha luas tempat jago-jago pilihan itu dipelihara sejak kecil, diberi asupan makanan pilihan, juga dilatih secara spartan. Sekadar contoh : ayam itu ditempatkan di dalam kandang vertikal yang sempit.

Di bagian atas kandang dipasang planggrangan, tempat ia istirahat. Sekitar 1,5-2 meter dari tanah. Dari tanah, ayam jago itu harus melompat bila ingin istirahat. Kekuatan otot-otot kakinya dilatih, juga ketepatannya dalam melompat.

Sebagai rangsangan agar ayam-ayam jago jagoan itu gigih berlatih dipasang ayam betina. “Seperti suasana dalam gym ya, di mana banyak lelaki terdorong pamer dan giat berlatih ketika ada seseorang perempuan yang melihatnya,” seloroh Diego Bunuel jenaka.

Agar mampu fokus dalam persabungan, di pusat pelatihan ayam-ayam gladiator itu hingga selama dua tahun juga diputar kaset bunyi-bunyian yang riuh dan gaduh. Bunyinya hampir mirip suasana riuh dan bising dari arena persabungan yang sebenarnya.


Gagal audisi. Cerita tentang suasana “pelatnas” bagi ayam-ayam jago Manila itu membuat saya tergelitik untuk memperbandingkannya dengan apa yang terjadi dengan para calon komedian tunggal atau komedian solo kita.

Kemarin (12/7/2011) saya terjun di tengah acara audisi Stand Up Comedy Indonesia yang diadakan oleh KompasTV. Bertempat di Liquid Café, Jl. Magelang, Yogyakarta. Audisi satu ini menarik, walau ANTV pernah pula mengadakannya beberapa tahun silam.

Saya ikut audisi di Yogya itu, memperoleh nomor urut “014” dengan hasil : gagal total. Juri seleksi, Butet Kertarajasa bertamsil, bahwa saya adalah seorang komentator pertandingan sepakbola, tetapi ternyata tidak pandai bermain sepakbola. Padahal yang dibutuhkan dalam audisi ini adalah calon-calon pemain sepakbola. Saya mengerti atas penolakan seperti itu.Wah, waktunya belajar tentang teater dan penulisan humor yang lebih intensif lagi.

Juri lainnya, Indro Warkop, bilang : “Saat melihat Anda, membuat saya teringat Arwah Setiawan. Ia teoritikus jagoan dalam hal humor, tetapi tidak menjadi pelaku tayangan humor.”

Sebelumnya Butet menambahkan, bahwa “boleh jadi Anda lebih dibutuhkan oleh stasiun televisi bukan untuk tampil di depan kamera, tetapi di belakang kamera.”

Nasehat serupa sudah saya dengar dari seorang Effendi Gazali. Ketika menulis endorsement dalam buku saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010), pakar komunikasi politik itu telah menulis :

“Dalam dunia ‘humor kuliner’, Bambang Haryanto jago analisa serta jago masaknya. Indonesia perlu puluhan orang seperti Bambang Haryanto, baru kemudian ada kemajuan di negeri ini. Di sanalah nantinya dunia humor kita akan lebih kaya, pluralis, dan makin cerdas.”

Terima kasih, bos EG.

Nasehat atau jopa-japu tai asu a la Butet dan EG itu ternyata manjur kali ini. Sesudah audisi saya yang gagal tersebut, saya tetap merasa berhasil memperoleh berkah lainnya

Bahkan mungkin berkah ini justru tidak sengaja dikejar secara serius oleh peserta audisi lainnya. Yaitu berkah sebagaimana yang digariskan oleh Patrick Bromley, pengelola blog komedi di bawah koran The New York Times. Ia berkata bahwa komedi itu komunitas, di mana warganya guyub, saling membantu untuk meraih sukses secara bersama.

Dalam konteks itulah, saya merasa memperoleh berkah besar karena saya bisa bertemu muka dan berkenalan dengan keduanya. Baru kali ini bisa ketemuan sama Butet (“ia mengomentari bahwa saya sebagai blogger komedi”) dan Indro Warkop tadi.

Kemudian saya bisa meminta tanda tangan keduanya untuk bukunya Warkop, Main-main Jadi Bukan Main (2010). Butet menuliskan ajaran luhur dan dalam : “Urip mung mampir ngguyu. Hidup ini, katanya, sekedar tinggal sebentar untuk tertawa.

Kalau ucapan ini disesuaikan dengan aura Liquid Café yang poster depannya memajang merek minuman keras, mungkin bisa diubah menjadi : “Urip mung mampir mendem ciu.”

Indro Warkop kemudian menulis, To : Bambang Haryanto. Makasih & Sukses . Ucapan simpatik, walau dalam bagian akhir set saya sebenarnya saya sengaja meledeki dirinya. Yaitu ketika berkomentar terkait nilai penting buku biografi Warkop itu :

“Dari bukunya Mas Indro ini saya bisa memetik tiga pelajaran penting. Pertama, idealnya komedian Indonesia di masa depan adalah sarjana, yang memiliki gairah untuk terus belajar sepanjang hayat.

Keduanya, pentingnya ekosistem. Setiap komedian harus mengembangkan atau membangun lingkungan yang mendorong sukses dirinya. Seperti Warkop yang didukung komunitas mahasiswa UI saat itu (kebetulan saya juga alumnus UI, angkatannya Pak Mahar Mardjono) , radio, wartawan, dan akhirnya industri film. Ekosistem yang tersedia bagi semua orang kini, adalah Internet.

Yang ketiga, ini pelajaran paling penting dari Warkop untuk pelawak Indonesia generasi mendatang yang ingin melawak secara berkelompok.

Intinya, waspadalah bila Anda memilih peran sebagai komedian yang paling kocak, paling pandai dan paling kreatif. Karena merekalah yang paling cepat duluan -- meninggal dunia.”

Indro Warkop baru tergelak. Tetapi gelak dia itu tidak mampu menyelamatkan audisi saya. Sebelum berpisah, saya memberikan buku saya kepada keduanya. Indro Warkop malah gantian yang meminta tanda tangan saya.

Tawaran KompasTV. Berkah besar lain dari audisi itu adalah, saya minimal bisa berkenalan dengan tiga peserta yang lolos audisi. Yaitu : Dharmawan Budi Suseno. Nama panggungnya sebagai pembawa acara dan pelawak adalah : Dharmo BS (foto). Ia juga pendidik dan penulis beberapa buku.

Yang kedua : Sakdiyah Ma’ruf, SS. Sarjana Sastra Inggris dari UNS ini kini sedang ambil S-2 Kajian Amerika di UGM Yogyakarta. Ia tampil melucukan diri sendiri sebagai wanita keturunan Arab di tengah belitan budaya patriarkhi ketika (kelak) berstatus sebagai komedian solo.

Sosoknya yang memakai jilbab dan tampil melucu, merupakan pemandangan kontras yang sungguh menggelitik rasa ingin tahu. Dia kini sedang menulis tesisnya tentang komedian tunggal, dan dengan senang hati saya ingin mendorong keberhasilannya kelak.

Ketika saya pulang ke Wonogiri, di atas bus, saya memperoleh balasan SMS darinya : “Terima kasih supportnya, Pak Bambang. Suatu kehormatan bagi saya kenal Pak Bambang..sehari saja saya bisa belajar banyak. Selamat atas tawaran dari KompasTV pak.. Mohon bimbingannya utk masa2 yang akan datang ya pak.” (12/7/2011 : 18.21.45).

“Tawaran” yang Diyah sebut di atas adalah cerita sesudah audisi, ketika saya diajak mengobrol dan bertukar kartu nama dengan mBak Argalaras. Ia associate producer dari KompasTV. Dalam keremangan kafe (walau siang hari), saya sebut namanya indah. Ia juga cantik sekali. Kita kemudian bertukar visi mengenai apa yang bisa kami kerjakan kelak untuk menunjang keberhasilan audisi komedian tunggal ini.

Sebelum tampil di audisi, saya juga dapat bonus. Diminta oleh mBak Dossy, untuk menjadi bintang klip video. Ditodong kameranya Mas Oman, disutradai mas Arif, saya diminta menyeberang jalan, lalu menatap papan nama kafe, menceritakan niat ikut audisi, dan juga membuat sampul buku saya nampak di-close-up habis-habisan. Ketika satu pintu tertutup, masih ada jendela lain yang terbuka.

Yang paling klop dalam mengobrol dengan mBak Diyah ini (Dalam foto ia mengobrol dengan Indro Warkop) adalah ketika menyangkut topik bahwa komedian tunggal itu bukan komedi yang biasa kita kenal. Saya kemudian menggambarkan antara komedi yang menonjolkan kelucuan dan yang menonjolkan kejujuran. Komedi kita selama ini hanya menonjolkan kelucuan, bahkan secara lewa (dibuat-buat, istilah dari Dr. Sudjoko), alias artifisial.

Sementara di negara-negara yang maju, komedi yang berkelas adalah komedi yang menonjolkan kejujuran. Komedian dalam aliran ini tampil berani untuk menceritakan cacat-cela dirinya sebagai tumbal agar audiens mampu tertawa, lalu mampu berpikir dan kemudian berubah, To laugh, to think and to change.

Truth is hurt. Mungkinkah kita dapat sedikit mulai berharap terhadap luaran yang kelak disuguhkan dari hasil audisi komedian solo yang diadakan oleh KompasTV ini ? Sungguh masih harap-harap cemas.

Termasuk berharap bahwa pengetahuan Sakdiyah sebagai akademisi yang mumpuni tentang roh eksistensi komedian tunggal, akan bisa membuat perubahan. Ia telah menyebutkan intinya, bahwa truth is hurt, di mana komedian tunggal itu tampil untuk menceritakan sisi-sisi sakit atau derita yang mereka alami.

Pemahamannya yang krusial ini telah membuat saya menyebut dirinya sebagai “teroris” di antara sesama comedian wanna be lainnya dalam karantina nanti. Saya berharap ia mampu menyebarkan “teror,” mengenai ajaran yang benar tentang komedian yang tampil harus senantiasa berlandaskan kejujuran itu.

Semoga ia nanti akan dibantu “teroris” lainnya, yaitu komedian Imot a.k.a. Sigit Hariyo Seno (foto). Anak muda Yogya satu ini sengaja mau jatuh-bangun merintis karier, dan akhirnya sering mengisi pagelaran di Kafe Jendelo, Yogya.

Kami saling berkenalan melalui media maya, dan kemarin untuk pertama kalinya bisa bertemu muka. Keberhasilannya lolos dalam audisi di Yogya ini semoga membuat semakin besar hatinya dalam melangkah ke depan.

Harapan serupa pantas pula dititipkan untuk teman-teman mereka lainnya. Intinya : komedian solo itu binatang yang berbeda, dan semoga mereka mau berubah, utamanya merubah mindset mereka.

Dari beberapa tampilan luar sebagian rekan dalam audisi di Yogya, dari yang berjubah hitam dengan dandanan a la Deddy Corbuizer atau berpidato mirip almarhum dai Zainuddin MZ dengan pelesetan-pelesetan (word play), kiranya membuat jalan mereka menuju keautentikan dan orisinalitas masing-masing pribadi sebagai komedian solo, meminjam lirik The Beatles, adalah : “the long and winding road.”

Jalan terjal yang paling sulit adalah bagaimana dalam karantina yang mepet itu bisa membuat diri-diri mereka mampu menulis sendiri hidup mereka. Benar-benar menulis sendiri. Bahkan oleh Judy Carter yang mentor komedian AS, “setiap bangun pagi komedian harus (!) menulis !” Dari situlah mereka kemudian dituntut mampu mentransformasikan hidupnya menjadi lawakan-lawakan mereka yang orisinal.

Saya bergumam, semoga kerasnya latihan ayam jago Manila di kawah candradimuka seperti yang dikisahkan Diego Bunuel di atas, mampu menjadi inspirasi bagi calon-calon komedian tunggal kita.

Karena sebagaimana diungkap oleh Will Ferrell, komedian tunggal adalah dunia yang sepi, keras dan bengis. Sebengis sayatan taji berupa celurit mini setajam silet milik ajam jago Manila ketika mengoyak leher-leher musuhnya.

Anda tidak percaya ?

Lihatlah sampul dari bukunya Jay Sankey, Zen & The Art of Stand-Up Comedy (1998). Nampak seorang komedian berkeringat dingin main di panggung sendirian. Disorot lampu terang. Di depannya nampak ratusan kursi kosong, yang hanya dihuni oleh satu sosok yang menyeramkan.

Malaikat pencabut nyawa !


Wonogiri, 13/7/2011

5 comments:

  1. Iya, Mas Bambang, selalu terbuka pintu-pintu lain. :) Sudah kenal Imot juga rupanya. Semoga acara-acara seperti ini semakin jadi penanda (beacon) yang memanggil sesama penggemar komedi/lawakan tunggal untuk bertemu.

    Saya dan beberapa teman minggu lalu (Rabu) juga meramaikan sesi open mic di Comedy Cafe Kemang, Jakarta. Ternyata minatnya besar. Dan banyak kok talenta di bidang ini yang dulu ter/bersembunyi.

    Rekamannya bisa dilihat di www.youtube.com/standupcomedyindo

    Dari ramainya itu, ada tawaran juga untuk merintis open mic di Bandung. Saya dan teman-teman coba menjalaninya. Semoga usaha kita makin bisa meluaskan komedi tunggal.

    ReplyDelete
  2. Eh, maksudnya memperkenalkan komedi tunggal lebih luas di Indonesia.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih, Mas Isman. Beacon atau milestone ? Whatever-lah.Semoga acara di Comedy Cafe Kemang, Jakarta itu akan segera menular ke Bandung, dan juga kota-kota lainnya. Saat meraba-raba apa ayng terjadi saat audisi di Yogya itu saya kok merasa banyak sejawat yang belum "ngeh" tentang komedi tunggal, yang disebut Azhar Usman sebagai bukan komedi ketengan. Saya juga tidak tahu sejauh mana KompasTV punya wawasan dalam "track" yang benar. Kita berharap yang terbaik. Sukses selalu untuk Isman di masa-masa mendatang..

    ReplyDelete
  4. Terima kasih berat, Isman. Semoga gagasan brilyanmu untuk membuat arena open mic di Bandung sukses, sehingga epidemi komedi tunggal semakin mampu meluber ke tanah air.

    Saat terjun di audisi KompasTV di Yogya yang lalu, saya raba-raba kok rasanya masih banyak yang belum ngeh tentang komedi tunggal yang oleh Azhar Usman disebut "bukan komedi ketengan." Fihak KompasTV sendiri, kira-kira bagaimana wawasannya ? Moga yang terbaik saja bagi mereka.

    Sukses selalu, Isman.

    ReplyDelete
  5. pak BH sukses selalu, sedikit tulisan acak adut dari saya http://pasoepati.blogdetik.com/2011/09/11/bh-dan-stand-up-comedy/

    ReplyDelete